• Tidak ada hasil yang ditemukan

AHLI PEMOHON YANG HANYA MENGAJUKAN KETERANGAN TERTULIS

4. Dr. Endang Kiswara, S.E., M.Si. Ak.

 UU pengampunan pajak cenderung ditujukan untuk menampung keinginan pemerintahan Presiden Jokowi untuk mencari cara cepat dan sederhana guna memperoleh dana untuk pembangunan melalui peningkatan realisasi penerimaan pajak yang belum mencapai 100% untuk periode 2015 maupun 2016 (tercatat 86%). Namun UU tersebut menimbulkan efek moral dari yang buruk terhadap upaya penegakan hukum (law enforcement) sebagaimana diisyaratkan dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Nomor 28/2007), sehingga

berpotensi mempengaruhi motif WP yang sudah terlanjur taat pajak. Pemerintah melalui UU Pengampunan Pajak menampakkan motif tidak menghargai terhadap para wajib pajak yang patuh selama ini dengan memberikan insentif terhadap mereka yang tidak patuh selama ini. Sebagaimana diketahui bahwa penerapan tax amnesty di Indonesia tahun 2016 merupakan kali ketiga dalam sejarah, yaitu setelah yang pertama pada tahun 1964, dan kedua tahun 1984, dimana keduanya tidak mampu memperbaiki sistem perpajakan di Indonesia terutama yang diikuti dengan upaya negara untuk meneguhkan aspek keadilan dalam pemungutan pajak melalui penguatan database dan perangkat hukum perpajakan. Menurut data OECD tahun 2016, Indonesia adalah salah satu negara emerging economy yang lemah dalam menampilkan database pajak.

 UU pengampunan pajak yang diinisiasi oleh pemerintah (terutama Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu) tersebut cenderung hanya upaya untuk menutupi kelemahannya dalam penguatan dan updating database pajak selama ini. Ditjen Pajak tidak mampu membuka peluang prosedur identifikasi dan system penagihan pajak yang sesuai dengan perkembangan praktik ekonomi, bisnis dan keuangan di Indonesia, sehingga upayanya sebagai pemegang otoritas pelaksana system perpajakan di Indonesia selama ini boleh disebut kurang aktif dan agresif. Padahal identifikasi kelemahan sistem perpajakan Indonesia secara jelas telah teridentifikasi berdasarkan nilai rasio pajak yang rendah (11%) dan rasio potensi pajak yang tidak lebih dari 10% (dari sekitar 70,3 juta rumah tangga, hanya sekitar 11-25 juta yang memiliki NPWP, dan hanya sekitar 6 juta yang melaporkan SPT Pajak).

 Hal yang lebih urgen dan perlu ditingkatkan saat ini demi meningkatkan penerimaan pajak adalah memacu kemampuan Ditjen pajak dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan database pajak, antara pajak Negara dan antar pajak daerah, sehingga memiliki kemampuan untuk melakukan asas penagihan lebih aktif.

 Sensus pajak yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah salah sasaran karena menembak target yang tidak tepat, masak orang ditanyai tentang

penghasilannya yang bersifat confident, seharusnya yang ditanyai adalah pihak yang memberi penghasilan.

 Besarnya dana yang terkumpul dari hasil pengampunan pajak (165 T) relatif tidak sebanding dengan luka yang timbul kepada para wajib pajak patuh dan effort serta motif orang untuk taat bayar pajak karena toh bisa menunggu tax amnesty berikutnya lagi.

 Seharusnya untuk memicu peningkatan penerimaan pajak justru melalui ketegasan Ditjen pajak dalam menindak wajib pajak yang tidak patuh. Sebab dengan tindakan tegas dan terintegrasi dengan sanksi hukum yang ada dan mengikat tersebut justru dapat menunjukkan kewibawaan UU Pajak dalam menerapkan azas keadilan dalam pemungutan pajak dan kepastian hukum karena pajak menerapkan equal treatment bagi semua pihak yang memiliki objek pajak. Dayagunakan fungsi Tax Intellegence and Investigation.

 Inisiatif pengampunan pajak, reinventing, sensus pajak, dan sunset policy menunjukkan bukti bahwa Ditjen Pajak selama ini belum profesional dalam memegang otoritas tertinggi sebagai pelaksana sistem pemungutan pajak.

 Model kerjasama pajak sebagaimana diterapkan dalam tax treaty dengan lebih kurang 60 negara di dunia selama ini tidak efektif dan efisien dalam pertukaran info pajak dan sistem penagihan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya integrasi klausul pajak dengan profil situasi dan kondisi negara pihak dalam hal ekonomi, perdagangan, geografis dan fiskal.

 Tunjangan kinerja dan honor yang diterima oleh pegawai pajak belum optimal dalam memicu asas ketertagihan dalam sistem pemungutan pajak (kinerja aparat pajak tidak optimal).

 Tidak ada salahnya jika Ditjen pajak meniru apa yang dilakukan oleh Bapak Gubernur DKI Jakarta (Pak Ahok) dalam optimalisasi penerimaan pajak, yaitu dengan cara memberi pancing kepada sistem seperti memberi EFT POS untuk memungut pajak restoran lebih optimal sekaligus menunjukkan dasar pengenaan pajak yang reliabel, dan memodali BBM kepada tukang parkir sehingga realisasi pajak dan retribusi DKI Jakarta bisa melebihi target 100%. Strategi Gubernur DKI

tersebut dapat menjadi contoh kewibawaan pemerintah dalam mendorong kepatuhan pembayaran pajak tetapi tetap menggunakan cara-cara yang mendidik karena masyarakat ditimbulkan kesadarannya melalui pemahaman tentang hak dan kewajiban.

[2 .3 ] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden

menyampaikan keterangan lisan dan keterangan tertulis, disertai ringkasan keterangan tertulis, bertanggal 20 September 2016 yang disampaikan kepada Kepaniteraan pada tanggal 27 September 2016, serta keterangan tambahan (Tanggapan Pemerintah) bertanggal 12 Oktober 2016 yang diterima Mahkamah pada 19 Oktober 2016. Keterangan dimaksud adalah sebagai berikut:

I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON

Berdasarkan pada masing-masing permohonannya, ketentuan yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon pada pokoknya adalah:

1) Pasal 1 angka 1, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 dan Pasal 5 UU Pengampunan Pajak terhadap Pasal 23A UUD 1945.

2) Pasal 1 angka 7, Pasal 4, dan Pasal 5 UU Pengampunan Pajak terhadap 28D ayat (1) UUD 1945.

3) Pasal 11 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 20, dan Pasal 22 UU Pengampunan Pajak terhadap Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.

4) Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) UU Pengampunan Pajak terhadap Pasal 24 ayat (1) UUD 1945; dan

5) Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan Pasal 23 UU Pengampunan Pajak terhadap Pasal 28F UUD 1945.

Adapun dalil-dalil permohonan para Pemohon pada pokoknya adalah sebagai berikut:

1. UU Pengampunan Pajak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 yang telah mengatur bahwa pajak bersifat memaksa dan menyebabkan Negara kehilangan potensi penerimaan yang pasti dari ranah pajak penghasilan; 2. Uang Tebusan mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum yang adil

dan perlakuan yang sama di hadapan hukum antara Wajib Pajak yang taat (seperti karyawan yang dipotong penghasilannya setiap bulan untuk membayar pajak penghasilan) dengan penggelap/pengemplang pajak

yang justru mendapat diskon besar-besaran atas pajak penghasilan dengan hanya membayar uang tebusan;

3. UU Pengampunan Pajak memberikan hak khusus yang diberlakukan secara eksklusif kepada pihak-pihak yang tidak taat pajak, yaitu dibebaskan dari pemeriksaan perpajakan serta dari sanksi administrasi dan pidana, sehingga bertentangan dengan prinsip persamaan warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan;

4. Pasal 20 UU Pengampunan Pajak yang mengatur bahwa data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan Lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pengampunan pajak tidak dapat dijadikan dasar bagi proses penegakan hukum telah mengabaikan prinsip kesamaan kedudukan warga negara dihadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945;

5. Pemberian imunitas (tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, penyidikan, dituntut, baik secara perdata maupun pidana) kepada Menteri Keuangan, Wakil Menteri Keuangan, pegawai Kementerian Keuangan dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pengampunan pajak tidak memiliki dasar norma dan kaidah dalam konstitusi serta bertentangan dengan prinsip perlakuan yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan;

6. Pembatasan bahwa segala sengketa yang berkaitan dengan pelaksanaan UU Pengampunan Pajak hanya dapat diajukan ke Pengadilan Pajak telah meniadakan hukum pidana dan hukum administrasi, sehingga bertentangan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945;

7. Penutupan akses informasi atas pelaksanaan pengampunan pajak yang diatur dalam Pasal 21 ayat (2) juncto Pasal 20 juncto Pasal 23 ayat (1) UU Pengampunan Pajak bertentangan dengan prinsip keterbukaan informasi publik dan menghilangkan hak asasi warga negara atas informasi sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 28F UUD 1945;

8. Ketentuan dalam UU Pengampunan Pajak bertentangan dengan prinsip negara hukum, menciderai rasa keadilan buruh dan hak asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945.

II. TANGGAPAN TERHADAP KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING)