• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengampunan Pajak tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945

PARA PEMOHON

B. Tanggapan Atas Permohonan Para Pemohon

7) Pengampunan Pajak tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945

UU Pengampunan Pajak Merupakan Pengejawantahan Pasal 23A UUD 1945

UU Pengampunan Pajak mendasarkan pada Pasal 23A UUD 1945 yang mengatur bahwa pajak, sebagaimana juga pungutan negara lainnya yang bersifat memaksa, diatur dengan undang-undang. Kata memaksa dalam Pasal 23A UUD 1945 tidak dapat dimaknai bahwa Pemerintah tidak dapat merumuskan kebijakan pengampunan pajak, karena Pasal 23A UUD 1945 sendirilah yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat secara bersama-sama untuk membentuk suatu kebijakan atas pajak dalam bentuk undang-undang.

Sifat memaksa dalam pajak haruslah dimaknai bahwa setiap Wajib Pajak memiliki kewajiban untuk membayar kewajiban perpajakan dan negara memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi apabila Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajiban perpajakan tersebut. Sedangkan sistem perpajakan sendiri menganut sistem self assessment dimana Pemerintah memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan seluruh pajak yang menjadi kewajibannya. Hal ini menunjukan bahwa pola pikir para Pemohon dalam memaknai kata ‘memaksa’ di dalam UUD 1945 adalah pola pikir yang kurang tepat.

Pemerintah dan DPR telah merumuskan pengaturan-pengaturan yang ditetapkan dalam UU Pengampunan Pajak dengan hati-hati dan sangat memperhatikan kepentingan negara secara luas, baik dari aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis. Bahwa salah satu syarat untuk mengikuti pengampunan pajak ini, Wajib Pajak harus melunasi seluruh tunggakan pajaknya, dan apabila wajib pajak tersebut sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan pajak maka wajib pajak tersebut harus membayar pokok pajak yang terutang. Kewajiban membayar pokok pajak tersebut merupakan keharusan apabila ingin mendapatkan fasilitas pengampunan.

Kebijakan pengampunan pajak bukan berarti membebaskan sama sekali kewajiban perpajakannya, Wajib Pajak yang akan ikut harus membayar uang tebusan yang dihitung berdasarkan tarif yang diatur dalam Pasal 4 UU Pengampunan Pajak. Pengenaan uang tebusan dengan tarif tersebut merupakan suatu keharusan yang memaksa. Selain itu, perlu dipahami juga bahwa bagi wajib Pajak yang mengajukan pengampunan pajak diwajibkan untuk melunasi tunggakan pajak terlebih dahulu. insentif pajak berupa penghapusan sanksi, pengurangan pokok pajak yang seharusnya terutang, merupakan norma yang lazim dan tidak bertentangan dengan konstitusi yang banyak ditemukan dalam undang-undang

terkait perpajakan, seperti: insentif untuk wajib pajak patuh, perlakukan perpajakan untuk aktivitas ekonomi didaerah terpencil, revaluasi aktiva, dan sunset policy dalam UU KUP. Keseluruhan ketentuan tersebut hingga saat ini tidak pernah dianggap inkonstitusional. Dengan demikian, tidak terdapat pertentangan antara frasa "Penghapusan Pajak" dalam UU Pengampunan Pajak dengan Pasal 23A UUD 1945.

8) Uang Tebusan dalam Pengampunan Pajak tidak bertentangan

dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945

Uang Tebusan Memberikan Kepastian Hukum Yang Adil Bagi Setiap Wajib Pajak

Uang Tebusan yang diatur dalam UU Pengampunan Pajak sama sekali tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 7 yang direalisasikan dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UU Pengampunan Pajak, jika dilihat dan dimaknai secara sistematis dengan Pasal 3 ayat (1) UU Pengampunan Pajak, maka ketentuan ini telah menjamin kepastian hukum yang adil bagi seluruh Wajib Pajak. Pasal 3 ayat (1) UU Pengampunan Pajak telah memberikan jaminan bahwa yang berhak memanfaatkan Pengampunan Pajak adalah setiap Wajib Pajak, yaitu orang pribadi atau Badan yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Dengan demikian, tidak ada diskriminasi, ketidakadilan, ataupun ketidakpastian hukum dalam pemberlakuan Uang Tebusan dalam Pengampunan Pajak. Terkait dalil para Pemohon yang menyatakan frasa Uang Tebusan bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,

Dapat Pemerintah sampaikan bahwa sebagaimana yang telah diuraikan juga sebelumnya, Uang Tebusan wajib untuk dilunasi oleh seluruh Wajib Pajak yang mengajukan pengampunan pajak tanpa terkecuali. Selanjutnya terkait dalil para Pemohon yang

menganggap Pasal 1 angka 7, Pasal 4 dan Pasal 5 UU Pengampunan Pajak memberikan perlakuan khusus terhadap penghindar pajak, perlu Pemerintah tegaskan bahwa pengampunan pajak ini justru diperuntukan bagi seluruh lapisan masyarakat termasuk masyarakat yang menjalankan kegiatan UMKM sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU Pengampunan Pajak. Terhadap dalil para Pemohon yang mendalilkan seolah-olah Wajib Pajak dengan pekerjaan sebagai karyawan tidak dapat memanfaatkan pengampunan pajak, sekali lagi Pemerintah tegaskan bahwa seluruh Wajib Pajak termasuk karyawan dapat memanfaatkan pengampunan pajak. Misalnya, jika karyawan tersebut memiliki harta yang belum dilaporkan di Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilannya, ia bisa memanfaatkan pengampunan pajak dan membayar Uang Tebusan. Selain itu, para Pemohon juga hanya melihat dari satu sisi dimana Wajib Pajak yang patuh tidak diperlakukan sama dengan Wajib Pajak yang tidak patuh yang dapat menebus kewajiban pajaknya dengan tarif yang rendah sehingga dapat merugikan negara, akan tetapi Pemohon tidak melihat manfaat yang sangat besar dengan lahirnya UU Pengampunan Pajak dimana dana yang diperoleh oleh Indonesia akan menumbuhkan perekonomian dengan pesat yang dampaknya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat (baik rakyat yang merupakan Wajib Pajak yang patuh maupun tidak, bahkan yang belum menjadi Wajib Pajak) melalui pembangunan, terbukanya lapangan pekerjaan, jaminan kesehatan dan pendidikan. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah pengampunan pajak sebagai tonggak reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi dengan pertama-tama memberikan Wajib Pajak jembatan untuk kembali patuh (bridge to legality). Berdasarkan data yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak yang telah disampaikan di atas, masih terdapat potensi sekitar 87

juta Wajib Pajak yang belum terdaftar dan tingkat kepatuhan melaksanakan kewajiban perpajakan yang relatif masih rendah. Oleh karena itu, kebijakan pengampunan pajak ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat indonesia. Dengan semakin banyaknya wajib pajak terdaftar maka beban kewajiban perpajakan untuk seluruh masyarakat Indonesia untuk menutup pendapatan negara semakin ringan, sehingga akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya dan keadilan yang merata untuk seluruh Wajib Pajak, baik yang sebelumnya telah menjalankan kewajiban perpajakan secara patuh maupun yang mengikuti program pengampunan pajak. Berdasarkan fakta-fakta dan alasan-alasan hukum tersebut, Pemerintah tetap berkeyakinan bahwa Uang Tebusan yang diatur dalam UU Pengampunan Pajak sama sekali tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

9) Penghentian dan penangguhan pemeriksaan, pemeriksaan