• Tidak ada hasil yang ditemukan

Landasan Teori Pengampunan Pajak a) Filosofi Pengampunan Pajak

SISTEM PAJAK INDONESIA

A. Penjelasan Terkait Dengan UU Pengampunan Pajak

3) Landasan Teori Pengampunan Pajak a) Filosofi Pengampunan Pajak

Kebijakan Pengampunan Pajak sebagai kebijakan ekonomi yang bersifat mendasar untuk memperbaiki kondisi perekonomian, mempercepat pembangunan dan mengurangi pengangguran, kemiskinan serta kesenjangan.

Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini dijabarkan dalam Pembukaan UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa tujuan dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan negara tersebut, tentu diperlukan sumber pembiayaan yang besar, baik dari sektor publik maupun sektor swasta. Dalam rangka percepatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ditengah kelesuan kondisi perekonomian global pada umumnya dan Indonesia pada khususnya, maka tidak dapat dipungkiri, Indonesia membutuhkan tambahan dana yang besar untuk menggerakkan sektor ekonomi dan pembangun.

Terdapat beberapa cara yang dapat ditempuh untuk memenuhi kebutuhan akan pendanaan tersebut, seperti dengan melakukan repatriasi aset warga negara yang berada di luar negeri kembali ke Indonesia, pelaksanaan deklarasi/ memaksimalkan aset warga negara yang tersimpan di dalam negeri, dan kebijakan-kebijakan lainnya. Salah satu bentuk program repatriasi aset yang banyak dilakukan oleh negara lain dalam rangka menarik kembali aset warganya dari luar

negeri ke dalam negeri adalah melalui program Offshore

Voluntary Disclosure Program (OVDP). OVDP dilaksanakan sebagai program pemerintah untuk menarik kembali harta warganya yang berada di luar negeri untuk menambah dana pengerak ekonomi nasional dan pembangunan, sekaligus untuk meningkatkan penerimaan pajak dalam waktu singkat dan dengan biaya yang efisien serta untuk meningkatkan kepatuhan pajak dalam jangka panjang. OVDP berpijak di atas kesadaran Wajib Pajak (baik kelompok Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Badan Usaha) untuk secara sukarela melaporkan seluruh hartanya serta membayar segala kewajiban utang pajaknya dengan benar. Sebagai insentif, Wajib Pajak yang berpartisipasi mendapatkan suatu pengampunan. Efektivitas dari model Pengampunan Pajak OVDP akan lebih baik apabila berlaku sekali sepanjang masa. Selain dari masih besarnya potensi pajak dari harta yang belum dilaporkan di luar negeri tersebut, potensi pajak dari

kegiatan ekonomi bawah tanah (underground economy/

shadow economy) di dalam negeri juga sangat besar. Kegiatan ekonomi bawah tanah umumnya berlangsung di semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang,

termasuk Indonesia. Shadow economy atau kadang kala

disebut cash economy ini lazimnya diukur dari besarnya nilai

ekonomi yang dihasilkan, dibandingkan dengan nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Berdasarkan penelitian, besarnya persentase kegiatan ekonomi bawah tanah di negara maju

dapat mencapai 14-16% PDB, sedang di negara berkembang dapat mencapai 35-44% PDB.

Peningkatan kegiatan ekonomi bawah tanah tidak pernah dilaporkan sebagai penghasilan dalam formulir Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan dalam jangka waktu yang lama sehingga daluarsa penetapan pajaknya sangat mungkin sudah terlampaui. Hal tersebut sangat merugikan negara karena berarti hilangnya uang pajak (tax revenue forgone) yang sangat dibutuhkan untuk membiayai program kesejahteraan rakyat pendidikan, kesehatan, dan program-program pengentasan kemiskinan lainnya. Oleh karena itu, timbul pemikiran untuk mengenakan kembali pajak yang belum dibayar dari kegiatan ekonomi bawah tanah tersebut melalui program khusus yaitu pemberian

kebijakan Pengampunan Pajak (Tax Amnesty). Dengan

pelaksanaan kebijakan Pengampunan Pajak diharapkan para Wajib Pajak memilih untuk menempatkan dananya di dalam negeri sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional.

b) Pengampunan Pajak Dalam Pendekatan Hukum

Kewenangan pembentukan UU Pengampunan Pajak bersumber pada Pasal 23A UUD 1945.

Hukum Pidana perpajakan mempunyai sifat dan karakteristik khusus terkait dengan tujuan penegakkannya. Tujuan pidana perpajakan bukan hanya semata-mata memberikan sanksi dan efek jera tetapi juga secara khusus untuk mendapatkan pemasukan negara atas pajak terutang yang tidak dibayarkan beserta dengan sanksi administrasi. Dalam hal sedang dilakukan penyidikan tindak pidana perpajakan terhadap Wajib Pajak, Negara masih memberikan keadilan yang bersifat

restoratif (restorative justice) yang tercermin dalam Pasal 44B

ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP).

Pada prinsipnya, UU KUP telah menjadi salah satu aturan formal dalam pelaksanaan pemungutan pajak di Indonesia selain ketentuan undang-undang lain. Terdapat beberapa pasal yang erat kaitannya dengan upaya pemberian pengampunan pajak, seperti: Pasal 8 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 13A, Pasal 16 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), dan Pasal 37 UU KUP.Namun tidak terbuka kemungkinan untuk menghapus dan mengurangi sanksi, baik administrasi maupun pidana di bidang perpajakan. Jikapun terbuka kemungkinan penghapusan sanksi pidana maka hal itu hanya dimungkinkan dalam konteks Wajib Pajak pertama kali melakukan kealpaan. Dengan demikian, apabila program Pengampunan Pajak mengacu pada UU KUP yang saat ini berlaku maka akan membuat program ini kehilangan fitur-fitur menariknya seperti pengurangan, penghapusan sanksi, dan sebagainya.

Oleh karena ketentuan yang ada saat ini tidak dapat digunakan sebagai ‘pintu masuk’ legal basis atas Pengampunan Pajak, maka menjadi lebih baik apabila kebijakan Pengampunan Pajak untuk pengungkapan harta kekayaan di dalam dan/atau luar negeri dilegalisasikan dalam Undang-Undang yang berdiri sendiri dan terpisah dari UU KUP. Sebagai peraturan perundang-undangan yang secara hierarki lebih rendah kedudukannya dari UUD 1945, UU Pengampunan Pajak telah mendasarkan pada dan/atau tidak bertentangan dengan UUD 1945 sebagai peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya. Dari aspek yuridis, penyusunan UU Pengampunan Pajak ini merupakan suatu bentuk implementasi Pasal 23A UUD 1945, yang menyatakan bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang.

Pengampunan Pajak sebagai suatu gerakan rekonsiliasi perpajakan nasional diatur dalam Undang-Undang tersendiri dan bukan diatur secara umum dalam ketentuan suatu Undang-Undang yang telah ada dan kemudian diatur detail dalam peraturan pemerintah. Ketentuan pemberian Pengampunan Pajak tidak tepat diatur dalam UU KUP mengingat terdapat keterbatasan untuk mengatur ketentuan Pengampunan Pajak secara detail dalam UU KUP tersebut.