• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANGGAPAN TERHADAP KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON

SISTEM PAJAK INDONESIA

II. TANGGAPAN TERHADAP KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON

Para Pemohon Tidak Mampu Membuktikan Kerugian Hak Konstitusional Yang Bersifat Spesifik (Khusus) Dan Aktual Serta Tidak Adanya Hubungan Sebab Akibat (Causal Verband)

Di dalam masing-masing permohonannya, para Pemohon mendalilkan

bahwa para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk

mengajukan permohonan pengujian ini karena adanya hak konstitusionalnya yang dirugikan dengan berlakunya UU Pengampunan Pajak. Para Pemohon pada pokoknya mendalilkan bahwa dirinya selaku kelompok perorangan yang memiliki kepentingan yang sama sebagai masyarakat miskin yang taat membayar pajak telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan adanya perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum dan pemerintahan serta tidak mendapat kepastian hukum yang adil dengan berlakunya UU Pengampunan Pajak.

Para Pemohon pada pokoknya mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya yang dirugikan dengan berlakunya UU Pengampunan Pajak adalah adanya perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum dan pemerintahan serta tidak mendapat kepastian hukum yang adil antara para Pemohon sebagai Wajib Pajak yang taat membayar pajak dengan Wajib Pajak yang tidak taat membayar pajak. Para Pemohon mendalilkan bahwa dirinya sebagai Wajib Pajak yang taat membayar pajak tidak dapat memperoleh pengampunan pajak, sedangkan pihak-pihak yang tidak taat membayar pajak justru dapat memperoleh pengampunan pajak dengan berlakunya UU Pengampunan Pajak.

Bahwa ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut “UU Mahkamah Konstitusi”) telah menentukan bahwa yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah pihak yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara.

Berdasarkan ketentuan Pasal 51 UU Mahkamah Konstitusi dimaksud, Pemerintah memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk dapat terlebih dahulu memeriksa kualifikasi para Pemohon dan keabsahan dari kewenangan pihak yang mewakili organisasi tersebut (Ketua Umum dan/atau Sekretaris Jenderal), apakah mempunyai kewenangan untuk mewakili organisasi di muka badan peradilan berdasarkan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) organisasi?

Selanjutnya dijelaskan dalam Penjelasannya bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945. Terkait hal tersebut, Mahkamah Konstitusi telah berpendapat bahwa agar seseorang

atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan

hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian Undang-Undang

terhadap Undang-Undang Dasar, Pemohon harus terlebih dahulu menjelaskan dan membuktikan:

a. kualifikasinya sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji sesuai dengan kualifikasinya dalam mengajukan permohonan;

c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai akibat dari berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.

Kemudian Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah memberikan pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang ditimbulkan karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:

a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon

telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;

c. bahwa kerugian hak konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak

konstitusional dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Oleh karena itu, tidak terpenuhinya salah satu kriteria kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas akan mengakibatkan Pemohon dianggap tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan uji konstitusi ke Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan ketentuan mengenai syarat-syarat kedudukan hukum (legal standing) pemohon pengujian undang-undang tersebut di atas dan mencermati apa yang dikemukakan oleh para Pemohon pada bagian

kedudukan hukum (legal standing) permohonannya, Pemerintah

berpendapat bahwa masing-masing Pemohon dalam keempat permohonan pengujian Undang-Undang ini seluruhnya tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), karena UU Pengampunan Pajak tidak merugikan masyarakat miskin, namun justru memberikan keuntungan kepada masyarakat miskin. Setidaknya ada tiga manfaat pengampunan pajak yang akan menguntungkan perekonomian nasional, yang tentunya juga akan memberikan keuntungan kepada seluruh lapisan masyarakat, termasuk

masyarakat berpenghasilan rendah. Pertama, bahwa uang yang masuk ke

Indonesia melalui repatriasi aset keuangan dari luar negeri dapat

menggerakan perekonomian. Kedua, uang tebusan yang dihasilkan oleh

pengampunan pajak bisa digunakan secara langsung bagi pembangunan yang pro rakyat, termasuk pendidikan, kesehatan, perumahan, dan penciptaan lapangan pekerjaan untuk seluruh lapisan masyarakat. Ketiga, dalam jangka panjang akan menjamin penerimaan pajak secara berkelanjutan karena kebijakan pengampunan pajak akan menciptakan subjek (ekstensifikasi) dan objek pajak baru (intensifikasi). Dengan meningkatnya pertumbuhan di berbagai sektor perekonomian dan meningkatnya penerimaan negara dari perpajakan sebagai konsekuensi dari diberlakukannya UU Pengampunan Pajak, maka akan tercipta lapangan pekerjaan, suku bunga kredit yang rendah, kurs rupiah menguat, yang pada akhirnya juga meningkatkan daya beli masyarakat. Hal yang demikian tentunya tidak merugikan masyarakat miskin, namun justru sangat bermanfaat bagi masyarakat miskin. Oleh karena itu, UU Pengampunan Pajak yang semata-mata bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia jelas-jelas tidak mengakibatkan kerugian konstitusional bagi siapapun.

Selain itu, Pemerintah berpendapat bahwa kerugian hak konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor

006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 serta putusan-putusan selanjutnya, dikarenakan:

a. kerugian hak konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon dalam masing-masing permohonannya tidak bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

Hal tersebut dikarenakan para Pemohon tidak dapat membuktikan dirinya sebagai Wajib Pajak yang taat membayar pajak, sehingga kerugian hak konstitusional berupa adanya perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum dan pemerintahan serta tidak mendapat kepastian hukum yang adil antara para Pemohon sebagai Wajib Pajak yang taat membayar pajak dengan Wajib Pajak yang tidak taat membayar pajak yang didalilkan oleh para Pemohon tidak terbukti benar.

Sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon dalam permohonannya, seluruh Pemohon dalam keempat permohonan pengujian Undang-Undang ini merupakan masyarakat miskin yang taat membayar pajak penghasilan atau sebagai badan hukum privat yang mewakili masyarakat miskin yang taat membayar pajak penghasilan.

Atas dalil para Pemohon tersebut, perlu Presdien sampaikan bahwa masyarakat miskin tidak dikenakan pajak penghasilan. Hal ini dikarenakan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah sebesar Rp54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah)/tahun.Sehingga masyarakat miskin yang penghasilannya di bawah Rp54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah)/tahun, nyata-nyata tidak diwajibkan membayar pajak penghasilan.

Dari penjelasan terkait PTKP ini, maka dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa para Pemohon adalah bagian dari masyarakat miskin yang membayar pajak penghasilan adalah hal yang tidak masuk akal. Apalagi para Pemohon tidak dapat menunjukkan masyarakat miskin pembayar pajak penghasilan yang mana yang para Pemohon wakili

kepentingannya dan apakah yang para Pemohon jadikan dasar dalam penentuan kelompok masyarakat tersebut sebagai masyarakat miskin.

Selain itu, seandainya pun benar (quad non) para Pemohon dapat

membuktikan dirinya sebagai pembayar pajak yang taat, kerugian hak konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon tersebut adalah tidak benar, karena sebagaimana telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU Pengampunan Pajak, Pengampunan Pajak merupakan hak bagi setiap Wajib Pajak.

b. tidak adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian

hak konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon dengan berlakunya UU Pengampunan Pajak yang dimohonkan untuk diuji;

Pemerintah berpendapat bahwa tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon dengan berlakunya UU Pengampunan Pajak yang dimohonkan untuk diuji, dikarenakan pajak merupakan iuran wajib kepada negara yang tidak memberikan imbalan (kontra prestasi) secara langsung kepada pembayarnya (Wajib Pajak). Sehingga meskipun

seandainya benar (quod non) para Pemohon adalah Wajib Pajak yang

taat membayar pajak, Pemerintah berpendapat bahwa berlakunya UU Pengampunan Pajak tidak mengakibatkan kerugian hak konstitusional bagi para Pemohon.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, Presiden berpendapat bahwa kerugian hak konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon dalam

masing-masing permohonannya tidak bersifat spesifik (khusus) dan

aktual serta tidak adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon dengan berlakunya UU Pengampunan Pajak yang dimohonkan untuk diuji. Oleh karena itu, Presiden berpendapat bahwa para Pemohon dalam keempat permohonan pengujian UU Pengampunan Pajak ini tidak

memenuhi persyaratan kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak

sebagai pemohon pengujian UU Pengampunan Pajak dan Presiden mohon kebijaksanaan Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan permohonan para

III. KETERANGAN PRESIDEN ATAS MATERI UNDANG-UNDANG YANG