• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pajak Terutang dan Penetapan Pajak

SISTEM PAJAK INDONESIA

B. TANGGAPAN ATAS PERMOHONAN PARA PEMOHON

2. Yustinus Prastowo, SE, M.Hum, M.A 1.0 PENDAHULUAN

4.3. Pajak Terutang dan Penetapan Pajak

Sistem self assessment atau swanilai sebagaimana dianut dalam peraturan

perundang-undangan perpajakan di Indonesia, memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya. Keberhasilan penerapan sistem swanilai sangat tergantung pada tingkat kepatuhan Wajib Pajak karena dengan sistem ini negara memberikan kepercayaan yang sangat tinggi kepada Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.

Untuk menunjang keberhasilan sistem self assessment tersebut, Undang-Undang

Perpajakan memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu, misalnya berupa fasilitas pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak, dan memberikan sanksi bagi Wajib Pajak yang tidak patuh berupa pengenaan sanksi administrasi (bunga, denda atau kenaikan) dan/atau sanksi pidana. Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang menyangkut tindakan administrasi dikenai sanksi administrasi, sedangkan pelanggaran yang

Wajib Pajak

Menghitung Memperhitungkan Menyetor Melaporkan

Pembayaran

Sendiri Pemotongan/ Pemungutan Pihak Lain

Surat Setoran

Pajak (SSP) Surat Pemberitahuan (SPT

Surat Setoran Pajak (SSP) Atau

menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan, dikenai sanksi pidana.

Pasal 12 UU KUP mengatur bahwa wajib pajak dalam menjalankan

kewajiban perpajakan tidak menggantungkan pada penetapan pajak dan harus

membayar pajak terutang sesuai kondisi yang sebenarnya. Apabila Dirjen Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut SPT tidak benar, Dirjen Pajak menetapkan jumlah pajak terutang. Penetapan – menurut Pasal 13 – dilakukan melalui pemeriksaan pajak. Penetapan Pajak dilakukan dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Apabila wajib pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan pemotongan atau pemungutan tidak sebagaimana mestinya, wajib pajak dapat mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak (Pasal 25 UU KUP). Dan apabila wajib pajak tidak setuju dengan Keputusan Keberatan, dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak (Pasal 27 UU KUP; UU No. 14 Tahun 2002).

Dalam konteks sanksi di bidang perpajakan, UU KUP merupakan “quasi criminal

law” atau “non-genuine criminal law”, atau hukum pidana quasi yaitu sanksi

hukum administrasi yang diperkuat oleh sanksi pidana. Dalam hukum (administrasi) perpajakan, sanksi administratif merupakan “primum remedium”, dan sanksi pidana merupakan “ultimum remedium” terhadap sanksi administratif; dalam arti bahwa, sanksi pidana hanya untuk memperkuat sanksi administratif, jika wajib pajak tidak kooperatif dan tidak beritikad baik sejak awal untuk memenuhi kewajiban sesuai UU KUP untuk membayar pajak terutang atau pajak kurang bayar.

Menurut Jan Remmelink (2003:15-17), ciri khas sanksi administrasi terletak dan bersumber dari hubungan pemerintah dan warganya. Tanpa perantaraan seorang hakim, sanksi administrasi dapat dijatuhkan pemerintah tanpa melibatkan institusi

penuntut umum (openbaar ministrie). Perbedaan antara sanksi administratif dan

sanksi pidana yaitu sanksi pidana memiliki tujuan punitif sedangkan sanksi administratif memiliki karakter situatif yaitu untuk memperbaiki situasi tertentu

yang menjadi perkara. Remmelink selanjutnya menegaskan bahwa primair

sanksi (administrative) bertujuan memperbaiki situasi tertentu yang menjadi perkara demi keuntungan pemerintah. Kesalahan karena itu tidak begitu penting.

Menurut Ridwan HR (2006: 319-334), sanksi dalam hukum administrasi ada 4

mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh kaidah hukum administrasi; (2) penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan, berarti meniadakan hak-hak yang melekat dalam keputusan (ketetapan) itu oleh organ pemeritahan, misalnya pencabutan izin atau subsidi; (3) pengenaan denda

administratif (bestuurlijke boetes), (4) pengenaan uang paksa (dwangsom)

sebagai sanksi reparatoir yaitu pembayaran uang paksa yang dikenakan kepada

pelanggar karena tidak menunaikan, tidak melaksanakan atau tidak sesuai waktu yang ditentukan.

Richard Gordon (1998) menyebutkan konsep-konsep dasar perumusan/perlunya sanksi pajak, antara lain:

The ability to deter unwanted behaviour.

Bring to greater compliance.

Only negligent or unreasonable behaviour resulting in an underpayment should result in sanctions.

Financial sanction may raise revenue, while prison sentences may increase expenditure.

Both financial and penal sanctions may also be designed to punish, not for the purpose or directly affecting the behaviour of the person punished…to indicate that society seriously disapproves of particular reasons.

Criminal offenses would be in addition to civil penalties. They can be subject to flat fines and even termin jail…to taking greater care to disguise their fraud.

Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 merumuskan bahwa Tindak Pidana di Bidang Perpajakan adalah perbuatan yang diancam sanksi pidana oleh Undang-Undang di bidang perpajakan yang meliputi Pasal 38,

Pasal 39, Pasal 39A, Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 41B,
Pasal 41C, Pasal 43 UU

KUP, Pasal 24 dan Pasal 25 Undang PBB, Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang Bea Meterai, dan Pasal 41A Undang-Undang-Undang-Undang PPSP.

Salah satu ciri UU Perpajakan Indonesia adalah sanksi pidana yang bersifat

ultimum remedium. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, sanksi pidana

bersifat ultimum remedium karena pemerintah mengedepankan penyelesaian

administratif untuk penerimaan negara. Dalam konteks self-assessment system,

terdapat paralelisme antara tindakan wajib pajak di satu sisi dan tindakan fiskus di sisi lain. Di satu sisi wajib pajak melakukan aktivitas mendaftarkan diri sebagai wajib pajak (Pasal 2 UU KUP), menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)

dengan benar, jelas, dan lengkap (Pasal 3 UU KUP), melakukan pembetulan SPT dengan kemauan sendiri dengan syarat belum diperiksa (Pasal 8 ayat 1 UU KUP), melakukan pengungkapan ketidakbenaran [Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) dan 5 UU KUP], pelunasan utang pajak dengan sanksi administrasi denda sebesar empat kali (Pasal 44B UU KUP).

Di sisi lain, fiskus memiliki tanggung jawab melakukan pembinaan terhadap wajib pajak melalui pelayanan dan penyuluhan pajak agar dapat mengisi SPT dengan benar (Pasal 3 UU KUP), memberikan teguran dan sanksi (Pasal 7 UU KUP), menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (Pasal 13 dan Pasal 15 UU KUP), Penagihan Pajak (Pasal 19-22 UU KUP, Pasal 33 UU PPSP), dan penyidikan pajak (Pasal 43A dan Pasal 44 UU KUP).

Di dalam doktrin hukum pidana dikenal asas hukum yang bersifat fundamental yaitu “tiada pidana tanpa kesalahan” yang mengandung makna bahwa, sekalipun perbuatan seseorang bersifat melawan hukum akan tetapi belum tentu perbuatan seseorang tersebut merupakan tindak pidana dan sekalipun semua unsur tindak pidana telah dipenuhi dalam perbuatan seseorang, belum tentu perbuatan tersebut dapat dituntut dan dipidana karena menurut doktrin hukum pidana, di dalam ketentuan umum KUHP serta yurisprudensi MA RI, terdapat, alasan pembenar atau alasan pemaaf, sehingga perbuatan tersebut tidak dapat dituntut

dan dipidana. Yang dimaksud dengan alasan pembenar dalam hukum pidana

adalah alasan-alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum dari suatu

perbuatan (tindak pidana). Yang dimaksud dengan alasan pemaaf adalah

alasan- alasan yang menghapuskan/meniadakaan kesalahan pelaku.

Kedua alasan tersebut di atas, mencerminkan bahwa, suatu perbuatan termasuk tindak pidana tidak berarti serta merta pelaku/pembuatnya dapat dipidana dan keberadaan dua alasan tersebut menunjukkan pembentuk KUHP tidak menghendaki prinsip bahwa terjadinya suatu tindak pidana identik dengan hukuman, begitu pula sebaliknya.

Dalam konteks kedua jenis alasan hukum tersebut, UU KUP 2007 juga telah

diatur dan dapat digolongkan sebagai alasan pemaaf, adalah ketentuan Pasal 8

ayat (3), Pasal 13 A, dan Pasal 44 B. Pasal 8 ayat (3) UU KUP 2007:

“Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan

Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidak benaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus limapuluh persen) dari jumlah pajak yang kurang bayar”.

Dalam ketentuan tersebut di atas, terdapat 2 (dua) unsur “pemaaf” yaitu, (a) dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran atau disebut wajib

pajak beritikad baik (good faith), dan (b) wajib pajak bersedia membayar sebesar

150% dari jumlah pajak kurang bayar. Dalam dua keadaan tersebut maka terhadap wajib pajak tidak akan dilakukan penyidikan.

Pasal 13 A:

“Wajib Pajak yang karena kelalaiannya tidak menyampaikan Surat

Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinyaa

tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan

negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib

melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta

sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari

jumlah pajak yang kurang bayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar”.

Merujuk ketentuan tersebut maka pembentuk UU KUP menghendaki agar pemberian sanksi administratif terhadap wajib pajak jika wajib pajak melakukan perbuatan karena kelalaian untuk kedua kalinya; bukan yang pertama kalinya.

Dalam hukum pidana dikenal istilah recidive yang mengandung dua pengertian

yaitu (1) seseorang melakukan tindak pidana lebih dari satu kali, dan (2) tindak yang terdahulu telah memperoleh putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Dalam ketentuan tersebut di atas, pembentuk UU KUP telah memberikan toleransi kepada wajib pajak dengan memasukkan nomenklatur baru yaitu

“kelalaian pertama kali” sebagai alasan pemaaf yang kedua terhadap wajib pajak –sehingga diharapkan dengan –pembayaran kenaikan sebesar 200%,

maka terhadap wajib pajak tidak dikenai sanksi pidana yaitu melalui keputusan Dirjen Pajak untuk menghentikan pemeriksaan bukti permulaan terhadap wajib pajak.

Pasal 44 B:

(1) “untuk kepentingan penerimaan Negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak piana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6(enam) ulaan sejak taanggal surat permintaan.

(2) Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang bayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan.”

Tampak jelas dalam konstruksi UU KUP, konsep menghukum dan

mengampuni merupakan konsep yang inheren dan bukan hal baru. Sifat mengampuni juga bukan merupakan lawan dari sifat memaksa. Secara hierarkis,

sifat memaksa lebih sebagai penegasan hak Pemerintah bahwa pajak

merupakan kewajiban kenegaraan bagi setiap warganegara dan jika tidak dibayar dapat ditagih dengan sanksi dan alat paksa. Di sisi lain sifat memaksa yang berpotensi menyimpang dipagari dengan Undang-undang yang merupakan representasi persetujuan wakil rakyat melalui DPR. Sedangkan pengampunan merupakan bagian dari diskresi yang dimiliki otoritas pajak

sebagai salah satu cara untuk memberikan keadilan substansial dan memperlakukan sanksi administrasi bukan sekedar fungsi retributif (menghukum) tetapi sekaligus edukatif (mendidik wajib pajak supaya patuh di kemudian hari), dan mengembalikan perlakuan yang tidak adil ke posisi asali (restoratif).

Hierarki Konstitusional

Pemerintah berhak memungut pajak (Pasal 23A)

Pajak bersifat memaksa – diatur dengan Undang-undang

Pemerintah menetapkan cara memungut pajak

Tax Amnesty adalah cara memungut pajak

5.0 Tax Amnesty sebagai “Instrumen Antara” Menuju Sistem Perpajakan