• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pajak dalam Negara Demokrasi

SISTEM PAJAK INDONESIA

B. TANGGAPAN ATAS PERMOHONAN PARA PEMOHON

2. Yustinus Prastowo, SE, M.Hum, M.A 1.0 PENDAHULUAN

3.2. Pajak dalam Negara Demokrasi

Saat ini berkembang teori baru yang mengaitkan pajak dan demokrasi. Secara

empirik penelitian Kenny dan Winner membuktikan bahwa terdapat kaitan yang

erat dan berbanding lurus antara pengakuan hak dan kebebasan sebagai bentuk demokrasi yang semakin baik dengan peningkatan penerimaan pajak penghasilan orang pribadi. Penelitian Boix juga menunjukkan hal positif

di mana pengeluaran untuk kesejahteraan meningkat dalam sistem

demokratis. Transisi menuju demokrasi membutuhkan peningkatan penerimaan pajak dan belanja publik sejalan dengan pemenuhan janji politik terhadap konstituen. Penelitian Paola Profeta dan Simona Scabrosetti menunjukkan korelasi positif bahwa penerimaan pajak berbanding lurus dengan keterbukaan

ekonomi. Menggunakan data dari Polity IV dataset dan The Freedom House,

Profeta dan Simona juga menemukan hasil menarik. Terdapat korelasi positif

antara GDP (Gross Domestic Product) per pekerja dan kualitas demokrasi sebuah negara. Negara kaya lebih demokratis dibandingkan negara miskin. Di samping itu hasil penelitian menunjukkan negara-negara yang lebih

demokratis memiliki tingkat penerimaan pajak yang lebih tinggi

Deborah Brautigam mendokumentasikan hasil penelitian di negara-negara

berkembang bahwa kebijakan perpajakan dan administrasi perpajakan yang baik mendorong penguatan peran warganegara, prinsip demokrasi, dan kapasitas negara sekaligus. Pemungutan pajak di negara-negara eks komunis pada umumnya cukup tinggi karena mewarisi paternalisme dan sistem sentralistik, keberhasilan pengembangan sistem perpajakan di Afrika Timur yang mendorong partisipasi publik yang luas, khususnya terhadap sektor ekstraktif dan

penerapan earmarking, keberhasilan Mauritius meningkatkan penerimaan pajak

dari pajak ekspor, dan Ghana yang berhasil memungut pajak dari sektor informal dengan pendekatan negosiasi dan pelibatan asosiasi-asosiasi usaha. Ia meyakini sistem perpajakan yang baik dapat memainkan peran sentral dalam perkembangan dan keberlanjutan kekuatan negara dan masyarakat. Ini

tampak dalam dua prinsip, pembebanan pajak sebagai proses negosiasi

berbasis tawar-menawar (revenue-bargaining policy) akan mendorong demokrasi partisipatif, dan pengembangan institusional yang memperkuat kapasitas negara untuk menjalankan fungsinya secara optimal bersumber pendapatan pajak.

Negosiasi berbasis tawar-menawar (revenue-bargaining policy) membutuhkan

cara pandang berbeda bahwa persoalan pajak bukan semata-mata persoalan ekonomi, yang dapat diserahkan begitu saja pada penyelenggara negara dan diasumsikan netral dan serba jelas sebagaimana

dipahami dalam corak pemerintahan teknokratik. Lebih dari itu pajak adalah

persoalan politik yaitu bagaimana kesetaraan politik warganegara juga tercermin dalam kesetaraan kesejahteraan. Brautigam menyimpulkan bahwa reformasi perpajakan terjadi merata dan menjanjikan keberhasilan. Ia melihat kontestasi antara agenda global dan agenda negara berkembang. Ada tiga elemen pokok reformasi perpajakan sebagai agenda global: (1) Pajak Pertambahan Nilai yang berorientasi pada liberalisasi perdagangan yang menyebar secara cepat di seluruh dunia, (2) penyederhanaan sistem perpajakan yang bermakna menjadi pajak lebih jelas, transparan, dapat diramalkan, dan murah, (3) penekanan berlebihan pada aspek administratif. Sebagai alternatif bagi wacana global, Brautigam mengusulkan empat kanal reformasi perpajakan yang

(1) penyediaan pendapatan yang memadai dengan meningkatkan tax ratio, (2) menggeser sumber penerimaan yang memadai yaitu memajaki sektor informal,

memajaki kekayaan orang pribadi (taxing urban property), pengurang

pajak (tax exemption) bagi tujuan-tujuan sosial- kemanusiaan,(3)

menciptakan administrasi perpajakan yang efektif – seperti The South African

Revenue Service (SARS), Uganda Revenue Authority (URA), dan SUNAT (National Superintendency of Tax Administration) di Peru,(4) menciptakan

pelembagaan state-society yang konstruktif untuk isu perpajakan.

Ahmed Riahi-Belkaoui secara empirik menunjukkan kaitan antara kepatuhan

pajak, korupsi, dan birokrasi. Ia ingin menjawab mengapa individu melakukan penolakan untuk patuh terhadap pajak. Adalah Belkaoui yang menunjukkan

bahwa ketika pemerintah melakukan debirokratisasi dan meningkatkan

kontrol terhadap korupsi, kepatuhan pajak mencapai tingkat tertinggi. Artinya kepatuhan pajak berkorelasi positif terhadap kontrol terhadap korupsi dan sebaliknya berkorelasi negatif dengan derajat birokratisasi. Dari 30 negara maju dan berkembang yang diteliti, Indonesia tercacat berada pada level kontrol terhadap korupsi terendah (skor - 0.79885), negara paling birokratis ke-3 (skor 17.6), dan level kepatuhan pajak (skor 2.53) di urutan ke-19. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa agenda reformasi perpajakan yang penting untuk

meningkatkan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan (tax compliance) adalah iklim dan moral perpajakan (tax morale and climate) yang melindungi pembayar pajak dari korupsi dan birokrasi yang tidak efektif.

Terkait dengan tax morale (moralitas pajak) dan kaitannya dengan kepatuhan

pajak, penelitian Benno Torgler menunjukkan bahwa pembayar pajak lebih terdorong untuk patuh terhadap undang-undang jika pertukaran antara pajak yang dibayar dan kinerja pelayanan pemerintah berimbang. Torgler juga menemukan korelasi positif antara relijiusitas dengan tingkat kepatuhan pajak. Terkait dengan institusi, ditemukan fakta bahwa demokrasi langsung, tingkat kepercayaan pada pemerintah, sistem hukum dan peradilan. Salah satu ukuran

rendahnya moralitas pajak adalah tingginya tingkat ekonomi informal (shadow

economy). Secara relasional, tingkat kepatuhan pajak juga dipengaruhi perilaku sesama pembayar pajak. Jika penghindaran pajak ditoleransi, maka cenderung mendorong ketidakpatuhan pembayar pajak. Di sisi lain ditunjukkan bahwa

apabila administrasi perpajakan mencoba untuk bersikap jujur, informatif, tanggap dalam melayani, bertindak sebagai institusi pelayan, dan memperlakukan pembayar pajak sebagai mitra – pembayar pajak cenderung ingin bekerjasama dengan otoritas. Valerie Braithwaite juga mengelaborasi sebuah

pendekatan baru tentang model tax compliance. Bertolak dari pengalaman

Australia dan Selandia Baru yang memiliki sistem kepatuhan yang baik,

Braithwaite mengusulkan pendekatan perilaku (behavioural approach) yang

sudah dipakai otoritas perpajakan Australia dikaji ulang.

Kesimpulannya, mengapa orang membayar pajak harus didekati secara

komparatif dan multidisiplin untuk memperoleh pemahaman yang utuh dan benar karena memperhitungkan kompleksitas aspek dan dimensi. Ada ketegangan antara hegemoni dan dominasi, kesukarelaan dan paksaan, ilusi dan harapan – dan jawaban atas pertanyaan itu ditemukan dalam pencarian kontekstual-historis. Bahwa sifat pajak yang memaksa dan bersemayam dalam pola hubungan negara-warganegara yang bersifat atas-bawah selalu diimbangi dengan tuntuan perumusan prinsip-prinsip memungut pajak yang adil. Atau dalam

bahasa Aristides – Bapak Keadilan Pajak – memungut pajak yang baik

bukan sekedar dilakukan dengan cara-cara yang adil dan berintegritas, melainkan sekaligus menyenangkan semua pihak.