• Tidak ada hasil yang ditemukan

Setiap individu terinfeksi HIV dengan jumlah hitung sel T CD4+ <200/µL didefinisikan sebagai AIDS, terlepas adanya gejala maupun penyakit oportunistik.

2.2.2. Virologi HIV

Agen etiologik dari Acquired Immunodeficiency Syndrome adalah Human Immunodeficiency Virus, yang merupakan famili dari Retroviridae, dan subfamili dari lentivirus. Penyebab paling umum dari penyakit HIV di seluruh dunia merupakan HIV-1, yang memiliki beberapa subtipe dengan distribusi geografis yang berbeda. HIV-2 pertama kali diidentifikasi pada tahun 1986, yang diisolasi dari pasien dari Afrika Barat.

Secara struktural, retrovirus berdiameter 70-130 nm dan memiliki pembungkus mengandung lemak mengelilingi kapsid ikosahedral. Pada pusat lingkarannya terdapat untaian RNA untai tunggal yang memiliki panjang 8-10 kb dan dilengkapi dengan enzim reverse transcriptase dan tRNA. DNA yang terbentuk

dari retrovirus disebut juga provirus (Fauci et al, 2008). Permukaan virus dibentuk oleh tonjolan dari protein utama envelope virus, yaitu protein permukaan gp120 dan protein transmembran gp41. Virion protein gp120 mengandung tempat perlekatan untuk reseptor sel. Bagian tengan protein gp41 berikatan dengan protein gp120 dengan ikatan non-kovalen (Engelman, 2012). Material genetik HIV mengandung sembilan gen berbeda yang mengkode 15 protein (Greene and Peterlin, 2003).

Gambar 2.2. Genom provirus HIV dan fungsi produknya.

2.2.3. Siklus Replikasi HIV

Replikasi HIV terbagi atas dua fase. Pada fase pertama, virus masuk ke sitoplasma setelah berikatannya protein gp120 dengan molekul CD4 di sel pejamu. Protein gp120 melakukan perubahan terhadap sel untuk memfasilitasi berikatannya virus pada koreseptor. Terdapat dua koreseptor utama untuk HIV-1 yaitu CCR5 dan CXCR4. Fusi dengan membran sel pejamu terjadi melalui penetrasi protein gp41 ke membran plasma dari sel target serta bergelung untuk LTR : tempat

vpu : memicu degradasi CD4 dan menstimulasi keluarnya

vpr : memfasilitasi transpor provirus ke dalam nukleus

membawa virion dan sel target bersamaan. Dengan aktivasi dari sel, DNA virus berintegrasi ke dalam kromosom sel pejamu melalui aktivitas enzim integrase.

Provirus ini dapat bertahan laten (inaktif) atau bermanifestasi pada ekspresi gen, bergantung pada produksi aktif dari virus.

Fase kedua termasuk transkripsi gen virus, translasi m-RNA hingga membentuk protein yang berfungsi untuk glikosilasi, miristilasi, fosforilasi dan cleavage.

Hanya subfamili lentivirus yang dapat dapat menginfeksi sel-sel yang tidak membelah tersebut. Infeksi sebuah sel pejamu akan berlangsung seumur hidup sel tersebut (Fauci et al, 2008).

Gambar 2.3. Faktor seluler yang terlibat dalam replikasi HIV (Nakayama & Shioda, 2012).

2.2.4. Transmisi HIV

HIV ditularkan melalui hubungan seksual, darah dan produk-produknya, serta dari ibu yang terinfeksi ke anaknya, baik secara intrapartum, perinatal atau dari air susu ibu. Di seluruh dunia, jalur infeksi yang paling umum, khususnya di negara berkembang, adalah melalui hubungan heteroseksual. HIV telah ditemukan di cairan semen dalam sel mononuklear yang terinfeksi dan material bebas lainnya yang berada di dalam sel. Virus terkonsentrasi di dalam cairan semen, khususnya ketika terdapat kenaikan jumlah limfosit dan monosit pada cairan tersebut, seperti

dalam kondisi inflamasi genitalia atau infeksi menular seksual. Virus tersebut juga dapat ditemukan pada usapan serviks dan cairan vagina (Fauci et al, 2008).

HIV juga dapat disebarkan ke orang-orang yang mendapat transfusi darah, produk darah, atau jaringan transplantasi dari penderita HIV. Transmisi HIV secara parenteral juga dapat terjadi pada penyuntikan secara intramuskular maupun subkutan, walaupun hanya terdapat resiko kecil untuk menderita HIV di kemudian hari. Resiko menderita HIV juga meningkat seiring dengan durasi penggunaan obat secara injeksi. Kasus AIDS yang berhubungan dengan transfusi pertama kali dijumpai pada tahun 1982, dan pada akhir tahun 2005, lebih dari 9300 individu yang menerima transfusi darah, komponen darah atau jaringan transplantasi yang terkontaminasi HIV berkembang menjadi AIDS (Fauci et al, 2008).

Selain itu, HIV juga dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi ke fetus selama periode kehamilan, persalinan maupun menyusui. Transmisi dari ibu ke fetus terjadi paling banyak pada periode perinatal. Cara ini merupakan bentuk transmisi yang umum terjadi di negara berkembang, karena proporsi HIV antara pria dan wanita yang terinfeksi adalah ±1:1. Faktor resiko yang meningkatkan transmisi HIV melalui air susu ibu termasuk level HIV yang terdeteksi pada air susu ibu, keadaan mastitis, jumlah sel T CD4+ ibu yang rendah, dan defisiensi vitamin A pada ibu. Resiko transmisi HIV dari air susu ibu paling tinggi pada periode awal menyusui (Fauci et al, 2008).

2.2.5. Patogenesis dan Patofisiologi HIV

Patogenesis

Aktivitas sistem imun yang menyimpang merupakan tanda utama dan komponen penting dari patogenesis HIV. Keadaan ini digambarkan dari:

- hiperaktivitas sel B yang berujung pada hipergammaglobinemia;

- proliferasi spontan dari limfosit;

- aktivasi monosit;

- ekspresi dari CD4+ dan CD8+ yang teraktivasi;

- meningkatnya aktivasi apoptosis;

- hiperplasia nodus limfe, khususnya pada awal perjalanan penyakit;

- meningkatnya sekresi sitokin proinflamatorik;

- meningkatnya level neopterin, mikroglobulin β2, interferon, dan reseptor IL-2;

- penurunan jumlah sel - dan fenomena autoimun.

Walaupun level antibodi tinggi, respon antibodi terhadap antigen HIV tidak cukup kuat, dan diiikuti dengan resistennya virus terhadap antibodi. Mengikuti infeksi awal HIV, kemunculan respon lisis sel T CD4+, yang sebagian besar merupakan respon sel T CD8+, berkaitan sementara dengan menurunnya jumlah antigen HIV di plasma. Jumlah sel T CD8+ terus meningkat hingga infeksi HIV stadium lanjut, saat seluruh jumlah sel T menurun. Akan tetapi, sel tersebut tidak berfungsi secara keseluruhan terhadap antigen.

Pada infeksi HIV yang tidak diobati, nodus limfe menunjukkan respon inflamasi dengan meningkatnya ekspresi sitokin seperti interferon-gamma, IL-1, IL-2, dan IL-12. Level TNF-α, IL-1, dan IL-6 di plasma meningkat pada stadium lanjut, serta level TNF-α dan IL-6 berhubungan langsung dengan level RNA HIV di plasma. Inflamasi jaringan limfoid merupakan konsekuensi dari tingginya replikasi HIV.

Sistem imun humoral pada infeksi HIV ditandai dengan hiperaktivasi paradoksal dan hiporesponsivitas. Hiperaktivasi dicerminkan dari hiperglobinemia poliklonal, hanya pada tempat yang langsung terinfeksi HIV; ekspresi limfosit B yang meningkat; munculnya antibodi autoreaktif di plasma; dan penyakit autoantibodi. Pada saat yang bersamaan, responsivitas limfosit B terhadap stimulasi antigen berkurang.

Gambar 2.4. Imunologi HIV (Altfeld et al, 2011)

Patofisiologi

Kejadian yang berhubungan dengan infeksi HIV primer merupakan penentu yang penting dari rangkaian gejala HIV berikutnya. Penyebaran awal virus ke organ limfoid, khususnya Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) adalah faktor utama dalam infeksi kronis dan menetap. Virus yang masuk langsung ke peredaran darah melalui darah yang terinfeksi ataupun hubungan seksual dialirkan dari sirkulasi menuju limpa, dimana fokus infeksi primer bermula, diikuti penyebaran lebih luas ke organ limfoid lainnya, khususnya GALT, yang berujung pada viremia.

Baik pada pasien yang tidak diobati maupun pasien dengan penanganan tidak adekuat, setelah beberapa periode, biasanya dalam beberapa tahun, jumlah hitung sel T CD4+ anjlok hingga <200/µL dan pasien menjadi lebih cenderung terkena infeksi oportunistik. Pasien dapat merasakan tanda dan gejala atau menderita infeksi oportunistik tanpa gejala awal. Menurunnya jumlah hitung sel T CD4+

berlanjut menjadi progresif dan tidak terkendali pada fase ini (Fauci et al, 2008).

2.2.6. Manifestasi Klinis HIV

Diperkirakan bahwa 50-70% individu terinfeksi HIV mengalami sindroma klinis akut kurang lebih tiga hingga enam minggu setelah infeksi primer. Gejala klinis akut terjadi bersamaan dengan ledakan viremia di plasma darah. Infeksi primer dengan atau tanpa gejala akut akan berlanjut dengan latensi dalam waktu yang lama (Fauci et al, 2008).

Walaupun lama periode dari infeksi awal hingga perkembangan penyakit bervariasi, waktu median untuk pasien yang belum diobati adalah 10 tahun. Pada pasien dalam fase ini, penyakit oportunistik menjadi manifestasi pertama dari infeksi HIV. Selama periode asimtomatik, rata-rata penurunan sel T CD4+ sebesar

±50/µL per tahun. Ketika sel T CD4+ jatuh <200/µL, pasien berada dalam resiko tinggi infeksi oportunistik dan neoplasma (Fauci et al, 2008).

Komplikasi HIV yang mengancam jiwa terjadi pada pasien dengan jumlah sel T CD4+ <200/µL. Kurang dari 50% kematian pada penderita AIDS disebabkan oleh penyakit yang datang bersamaan dengan AIDS, dan jumlah rerata hitung sel T CD4+ >300 sel/µL. Secara keseluruhan, spektrum klinis penyakit HIV berubah secara konstan dengan pendekatan penanganan yang lebih baik dan profilaksis yang telah dikembangkan (Fauci et al, 2008).

Tabel 2.1. Kategori klinis infeksi HIV (WHO, 2007)

Stadium klinis Gejala yang timbul

1  Asimtomatik

 Limfadenopati persisten menyeluruh

2  Penurunan berat badan (<10% berat badan sebelumnya)

 Infeksi saluran napas berulang (sinusitis, tonsillitis, otitis media dan faringitis)

 Herpes Zoster

 Angular cheilitis

 Ulkus pada mulut yang berulang

 Erupsi pruritus papuler

 Dermatitis seboroik

 Infeksi jamur pada kuku

3  Penurunan berat badan (>10% berat badan sebelumnya)

 Diare kronis selama lebih dari 1 bulan

 Demam persisten (>37,6 oC, selama lebih dari 1 bulan)

 Kandidosis oral yang menetap

 Oral hairy leukoplakia

 Tuberkulosis paru

 Infeksi bakteri yang parah (pneumonia, empiema, piomiositis, infeksi pada tulang atau sendi, meningitis maupun bakteremia)

 Acute necrotizing ulcerative stomatitis, gingivitis atau periodontitis

 Anemia (Hb < 8 gr/dL), Neutropenia (<0,5 x 109 per liter), atau trombositopenia kronis (<50 x 109 per liter) 4  Wasting syndrome

 PCP (Pneumocystis carinii pneumonia)

 Pneumonia bakterialis rekuren

 Infeksi Herpes Simpleks kronis (di orolabia, genitalia maupun anorektal selama lebih dari satu bulan, atau di organ dalam)

 Kandidosis esofagus (di trakea, bronkus, atau paru)

 Sarkoma Kaposi

 Ensefalopati HIV

 Cryptococcosis ekstrapulmoner termasuk meningitis

 Isosporiasis kronis

 Mikosis diseminata

 Bakteremia berulang dari Salmonella sp. non-tifoid

 Limfoma

 Karsinoma serviks invasif

 Leishmaniasis diseminata atipik

 Nefropati atau kardiomiopati

2.2.7. Penegakan Diagnosis Infeksi HIV

Tes skrining darah standar untuk infeksi HIV adalah Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA), atau disebut juga Enzyme Immunoassay (EIA).

Tes ini merupakan tes skrining yang baik dengan sensitivitas >99,5%. Sebagian besar laboratorium diagnostik menggunakan peralatan EIA komersial yang mengandung antigen HIV-1 dan HIV-2 yang dapat mendeteksi keduanya. Akan tetapi EIA tidak mempunyai spesifisitas yang tinggi meskipun sensitivitasnya tinggi. Hanya 10% individu dengan hasil positif pada EIA dinyatakan terinfeksi HIV. Faktor-faktor yang menyebabkan hasil positif palsu pada EIA antara lain

antibodi terhadap antigen kelas II, autoantibodi, penyakit hepar, individu yang baru mendapatkan vaksinasi influenza, dan infeksi virus akut (Fauci et al, 2008).

Untuk memastikan bahwa hasil positif pada EIA merupakan positif HIV, tes yang paling luas digunakan adalah Western blot. Antigen HIV dipisahkan berdasarkan berat molekulnya, dan antibodi terhadap tiap komponen dapat dideteksi sebagai pita yang berbeda pada Western blot. Hasil negatif dinyatakan ketika tidak ada pita yang muncul pada berat molekul yang berhubungan dengan produk gen HIV. Dalam hal lain, Western blot menunjukkan antibodi dari produk seluruh gen HIV (gag, pol, dan env) adalah bukti adanya infeksi HIV. Hasil positif dinyatakan bila terdapat antibodi terhadap dua atau tiga protein HIV : p24, gp41, dan gp120/60. Hasil samar dinyatakan bila terdapat reaksi silang antibodi dengan protein p24 dan/atau p55 (Fauci et al, 2008).

Pada pasien diduga terinfeksi HIV, uji awal yang tepat adalah EIA. Pada pasien dengan hasil negatif, diagnosis disingkirkan dan pengulangan harus dilakukan hanya bila terindikasi secara klinis. Bila hasil EIA samar atau positif, pengujian harus diulang. Bila dalam dua kali pengulangan terdapat hasil negatif, dapat disimpulkan bahwa pernyataan hasil positif pada tes awal disebabkan oleh kesalahan teknis dalam melakukan pengujian. Bila dalam pengulangan terdapat hasil samar atau positif, maka harus dilanjutkan dengan Western blot. Bila hasil pada Western blot positif, diagnosis infeksi HIV dapat ditegakkan. Bila hasil Western blot negatif, EIA dapat disimpulkan telah menyatakan hasil positif palsu terhadap infeksi HIV dan diagnosis HIV dapat disingkirkan (Fauci et al, 2008).

Bila hasil pada Western blot dinyatakan samar, tes tersebut harus diulang dalam empat hingga enam minggu. Bila hasil uji p24 dan RNA HIV negatif dan tidak ada perubahan pada Western blot, maka diagnosis HIV-1 disingkirkan. Bila hasil uji p24 maupun RNA HIV positif dan/atau hasil Western blot terhadap HIV-1 menunjukkan progresi, diagnosis sementara HIV-HIV-1 dapat ditegakkan dan nantinya dikonfirmasi dengan pengujian Western blot berikutnya yang menunjukkan hasil positif (Fauci et al, 2008).

2.2.8. Penatalaksanaan HIV

Secara farmakologis, penatalaksanaan HIV menggunakan antivirus jenis Antiretrovirus (ARV). Keputusan untuk memulai terapi ARV lebih baik berdasarkan dua hasil hitung jumlah CD4 yang terpisah, dengan jarak waktu pengukuran sedikitnya tujuh hari dikarenakan variabilitas jumlah CD4 dan untuk menyingkirkan kesalahan diagnosis dari hasil laboratorium (WHO, 2012).

Tabel 2.2. HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy) (Setiabudy, 2007)

Golongan Obat Nama Obat

Nucleoside Reverse Transcriptase

Protease Inhibitor (PI) Sakuinavir

Ritonavir

Viral Entry Inhibitor Envufirtid

2.2.9. Evaluasi Pengobatan dengan Antiretrovirus

Terdapat tiga cara untuk menilai respon terapi ARV antara lain secara klinis, imunologis, dan virologis. Dikarenakan tujuan langsung dari terapi ARV adalah untuk mencegah replikasi virus, kriteria respon virologis merupakan indikator paling sensitif untuk keberhasilan atau kegagalan terapi (WHO, 2012).

Tabel 2.3. Kriteria keberhasilan terapi ARV (WHO, 2012)

Virologis Imunologis Klinis

Marker Viral Load Hitung sel

CD4

Target <200/ml <50/ml Meningkat dari waktu

2.3. Ruam Kulit dan Kelainan Kulit pada Infeksi HIV

Dokumen terkait