SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Oleh :
FILZA ALDINA HUMAIRA 140100176
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2017
SKRIPSI
Oleh :
FILZA ALDINA HUMAIRA 140100176
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya ucapkan kepada Allah SWT yang senantiasa memberi nikmat, teutama kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Hasil Hitung Sel T CD4+ dengan Pola Infeksi Kulit pada Penderita HIV/AIDS di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Tahun 2012- 2016” sebagai tahapan akhir pembelajaran dalam program studi Strata I Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :
1. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, SpS (K), selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. dr. Riyadh Ikhsan, SpKK, MKed(DV), selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaga, serta memberikan arahan dan dukungan moral dalam proses bimbingan skripsi ini.
3. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD-KGEH dan dr. Bugis Mardina Lubis, SpA(K), selaku Dosen Penguji yang telah membantu mengoreksi, menyempurnakan, menguji, dan menilai KTI ini.
4. Bagian Rekam Medis RSUP H. Adam Malik yang telah membantu penulis demi kelancaran skripsi ini.
5. Orang tua penulis, H. Didi Duharsa, S.H., M.Hum dan Hj. Mulia Sri Dewi, serta kakak dan adik saya, Hj. Liza Tifanni Zuhra, S.T., M.T. dan Shakila Aldjafira Duharsa atas dukungannya baik dukungan moril, materil, kasih saying, dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Teman-teman seperjuangan penulis, Debby Anggraini, Cynthia Margatretha, Bella Bellina, Tri Wulan Kurnia Nadhilah Khairina Lubis, Kevin, dan Rodoasi Jesaya Sibarani yang telah membantu dan memberi berbagai dukungan serta keceriaan selama penyusunan skripsi ini.
6. Seluruh pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penyusunan skripsi ini.
Akhirnya, penulis mengharapkan masukan dan saran demi perbaikan dan penyempurnaan penelitian ini serta menambah ilmu dan pengetahuan penulis di masa yang akan datang.
Medan, 5 Desember 2017
Filza Aldina Humaira
DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Pengesahan ... i
Kata Pengantar ... ii
Daftar Isi... iv
Daftar Lampiran ... viii
Daftar Gambar ... ix
Daftar Tabel ... ix
Daftar Singkatan ... xi
Abstrak ... xiii
Abstract ... xiv
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan Penelitian ... 1.3.1. Tujuan Umum ... 1.3.2. Tujuan Khusus ... 4
1.4. Hipotesis Penelitian ... 4
1.5. Manfaat Penelitian ... 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1. Kulit... 6
2.1.1. Struktur Kulit ... 6
2.1.2. Vaskularisasi dan Inervasi Kulit ... 7
2.1.3. Fungsi Kulit ... 8
2.2. HIV/AIDS ... 8
2.2.1. Definisi AIDS... 8
2.2.2. Virologi HIV ... 8
2.2.3. Siklus Replikasi HIV... 10
2.2.4. Transmisi HIV ... 11
2.2.5. Patogenesis dan Patofisiologi HIV... 12
2.2.6. Manifestasi Klinis HIV ... 14
2.2.7. Penegakan Diagnosis Infeksi HIV ... 16
2.2.8. Penatalaksanaan HIV ... 17
2.2.9. Evaluasi Pengobatan dengan Antiretrovirus ... 18
2.3. Ruam Kulit dan Kelainan Kulit pada Penderita HIV/AIDS ... 19
2.3.1. Jenis Ruam Kulit ... 19
2.3.2. Kelainan Kulit pada Penderita HIV/AIDS ... 21
2.4. Kerangka Teori... 27
2.5. Kerangka Konsep ... 28
BAB III. METODE PENELITIAN ... 29
3.1. Rancangan Penelitian ... 29
3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 29
3.2.1. Waktu Penelitian ... 29
3.2.2. Lokasi Penelitian ... 29
3.3. Populasi dan Sampel ... 29
3.3.1. Populasi Penelitian ... 29
3.3.2. Sampel Penelitian ... 30
3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 30
3.5. Metode Pengumpulan Data ... 30
3.6. Metode Analisis Data ... 30
3.7. Definisi Operasional... 31
3.7.1. Variabel independen... 31
3.7.2. Variabel dependen ... 31
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 31
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 31
4.2. Deskripsi Karakteristik Subjek Penelitian ... 31
4.2.1. Usia Subjek Penelitian ... 32
4.2.2. Jenis Kelamin Subjek Penelitian ... 35
4.2.3. Stadium Klinis Subjek Penelitian... 36
4.2.4. Hasil Hitung Sel T CD4+ Subjek Penelitian ... 37
4.3. Deskripsi Pola Infeksi Kulit pada Penderita HIV/AIDS ... 37
4.3.1. Distribusi Infeksi Kulit berdasarkan Tahun ... 38
4.3.2. Distribusi Infeksi Kulit berdasarkan Jenis Kelamin... 41
4.3.3. Distribusi Infeksi Kulit berdasarkan Penyebab ... 43
4.4. Analisis Hubungan Hasil Hitung Sel T CD4+ dengan Pola Infeksi Kulit pada Penderita HIV/AIDS ... 45
4.4.1. Hubungan Hasil Hitung Sel T CD4+ dengan Infeksi Kulit akibat Bakteri ... 45
4.4.2. Hubungan Hasil Hitung Sel T CD4+ dengan Infeksi Kulit akibat Virus ... 46
4.4.3. Hubungan Hasil Hitung Sel T CD4+ dengan Infeksi Kulit akibat Jamur ... 49
4.5. Keterbatasan Penelitian ... 51
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 52
5.1. Kesimpulan ... 52
5.2. Saran ... 52
DAFTAR PUSTAKA ... 54
LAMPIRAN ... 58
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A ... 58
LAMPIRAN B ... 60
LAMPIRAN C ... 61
LAMPIRAN D ... 62
LAMPIRAN E ... 64
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Anatomi kulit ... 6
2.2. Genom provirus HIV dan fungsi produknya ... 8
2.3. Faktor seluler yang terlibat dalam replikasi HIV ... 10
2.4. Imunologi HIV ... 13
2.5. Infeksi bakteri pada kulit ... 23
2.6. Infeksi virus pada kulit ... 25
2.7. Infeksi jamur pada kulit ... 26
2.8. Infeksi parasit pada kulit ... 26
---
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman 2.1. Kategori klinis infeksi HIV ... 152.2. HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy) ... 17
2.3. Kriteria keberhasilan terapi ARV... 18
4.1. Distribusi penderita infeksi oportunistik pada kulit setiap tahun berdasarkan usia ... 35
4.2. Distribusi penderita infeksi oportunistik pada kulit setiap tahun berdasarkan jenis kelamin ... 35
4.3. Distribusi penderita infeksi oportunistik pada kulit setiap tahun berdasarkan stadium klinis infeksi HIV ... 36
4.4. Distribusi penderita infeksi oportunistik pada kulit setiap tahun berdasarkan hasil hitung sel T CD4+ ... 38
4.5. Distribusi infeksi oportunistik pada kulit tahun 2012-2016 ... 39
4.6. Distribusi infeksi kulit tahun 2013 ... 39
4.7. Distribusi infeksi kulit tahun 2014 ... 40
4.8. Distribusi infeksi kulit tahun 2015 ... 40
4.9. Distribusi infeksi kulit tahun 2016 ... 41
4.10. Distribusi infeksi kulit pada laki-laki penderita HIV/AIDS ... 42
4.11. Distribusi infeksi kulit pada perempuan penderita HIV/AIDS ... 43
4.12. Distribusi infeksi kulit pada penderita HIV/AIDS oleh bakteri ... 44
4.13. Distribusi infeksi kulit pada penderita HIV/AIDS oleh virus ... 45
4.14. Distribusi infeksi kulit pada penderita HIV/AIDS oleh jamur... 46
4.15. Hubungan CD4+ dengan kejadian folikulitis ... 46
4.16. Hubungan CD4+ dengan kejadian sifilis ... 47
4.17. Hubungan CD4+ dengan kejadian kondiloma akuminata ... 47
4.18. Hubungan CD4+ dengan kejadian herpes zoster ... 48
4.19. Hubungan CD4+ dengan kejadian veruka vulgaris ... 48
4.20. Hubungan CD4+ dengan kejadian moluskum kontangiosum ... 48
4.21. Hubungan CD4+ dengan kejadian herpes genitalis ... 49
4.22. Hubungan CD4+ dengan kejadian kandidiasis ... 49
4.23. Hubungan CD4+ dengan kejadian tinea korporis ... 50
4.24. Hubungan CD4+ dengan kejadian tinea kruris ... 50
---
DAFTAR SINGKATAN
AIDS : Acquired Immunodeficiency Syndrome ARV : Antiretrovirus
CDC : Centers for Disease Control and Prevention CMV : Cytomegalovirus
DNA : Deoxyribonucleic Acid EIA : Enzyme Immunoassay
ELISA : Enzyme-linked Immunosorbent Assay
GALT : Gut Associated Lymphoid Tissue
Hb : Hemoglobin
HIV : Human Immunodeficiency Virus IL : Interleukin
LTR : Long Terminal Repeats
MAC : Mycobacterium avium complex MDGs : Millenium Development Goals
MRSA : Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus NNRTI : Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor NRTI : Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor NtRTI : Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor PCP : Pneumocystis carinii pneumonia
PI : Protease Inhibitor RNA : Ribonucleic Acid
TNF-α : Tumor Necrosis Factor-α tRNA : Transfer Ribonucleic Acid
TSPyV : trichodysplasia spinulosa-associated polyomavirus UNAIDS : Joint United Nations Programme on HIV/AIDS UV : Ultraviolet
WHO : World Health Organization
ABSTRAK
Latar Belakang. Penyakit kulit terjadi pada >90% penderita HIV/AIDS, dimana infeksi oportunistik pada kulit sudah dapat ditemukan pada stadium klinis kedua dari infeksi HIV.
Tujuan. Mengetahui hubungan hasil hitung sel T CD4+ dengan pola infeksi kulit pada penderita HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada tahun 2012-2016. Metode.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-analitik dengan desain cross-sectional.. Sampel penelitian ini adalah pasien HIV dengan infeksi kulit yang dirujuk ke Departemen Kulit dan Kelamin sejak Januari 2012-Desember 2016. Pengumpulan data menggunakan rekam medis pasien HIV/AIDS di RSUP Haji Adam Malik Medan.Hasil. Dari 16 sampel, terdapat 2 kejadian infeksi kulit. Kandidiasis (32%) dan kondiloma akuminata (20%) merupakan infeksi kulit yang paling banyak diderita pasien HIV/AID..Kesimpulan.Tidak terdapat hubungan antara hasil hitung sel T CD4 hanya dengan pola infeksi kulit (p<0,05).
Kata Kunci : hasil hitung sel T CD4+, pola, infeksi kulit, HIV/AIDS
ABSTRACT
Background. Cutaneous disorders are seen in >90% HIV patients, where opportunistic infections in the skin can already be found in the second clinical staging of HIV infection. Objective. To dertermine the pattern of cutaneous infection HIV/AIDS patients in Haji Adam Malik General Hospital in the period of 2012-2014. Methods. This is a descriptive-analytic study with cross- sectional design. The sample in this study were all HIV/AIDS patients with skin infection who are referred to the Department of Dermatology from January 2012- December 2016. Data collection use secondary data from medical records of HIV/AIDS patients in Haji Adam Malik General Hospital.Result. From 16 samples, there are 25 cases of skin infection.Candidiasis (32%) and condyloma acuminatum (20%) are the most frequent infection appear in HIV/AIDS patients.
Conclusion. There is no relationship between CD4+ T cell count and pattern of cutaneous infection.
Keywords : CD4+ T cell count, pattern, cutaneous infection, HIV/AIDS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah sejenis virus yang menginfeksi sel darah putih dan menyebabkan turunnya kekebalan tubuh manusia.
Acquired Immune Deficiency Syndrome atau AIDS adalah sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV. Pada tahun 2013, jumlah kematian akibat AIDS sebanyak 1,5 juta yang terdiri dari 1,3 juta dewasa dan 190.000 anak berusia <15 tahun (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Kejadian HIV tetap menjadi salah satu tantangan kesehatan global terbesar abad ke-21, dengan tidak adanya vaksin yang efektif atau terapi kuratif. Menurut laporan Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) pada tahun 2015, dijumpai 2,1 juta kasus infeksi HIV baru, menambah prevalensi HIV menjadi 36,7 juta kasus di seluruh dunia. Di Asia Pasifik, jumlah individu yang terinfeksi dengan HIV sebanyak 5,1 juta, dimana angka tersebut mengalami kenaikan sebanyak 400.000 kasus dalam kurun waktu 5 tahun (UNAIDS, 2016).
Berdasarkan data tersebut, WHO mencantumkan program pemberantasan HIV di dalam MDG2015 sebagai bentuk kesadaran masyarakat dunia akan bahaya infeksi HIV dan perjalanan penyakitnya.
Di dalam tubuh manusia, HIV menyerang sel T CD4+, yang berperan penting dalam aktivasi sistem imun, sehingga infeksi HIV menyebabkan penurunan kekebalan tubuh (Luckheeram et al, 2012). Oleh karena itu, penderita HIV sangat mudah terkena berbagai penyakit infeksi yang sering berakibat fatal. Penderita HIV memerlukan pengobatan dengan Antiretrovirus atau ARV untuk menurunkan jumlah virus HIV di dalam tubuh agar tidak masuk ke dalam stadium AIDS, sedangkan penderita AIDS memerlukan pengobatan ARV untuk mencegah
terjadinya infeksi oportunistik dengan berbagai komplikasinya (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Infeksi oportunistik adalah infeksi yang timbul lebih sering atau lebih berat dikarenakan supresi sistem imun, dan merupakan manifestasi klinis utama pada penderita HIV (CDC, 2009). Penderita HIV dengan keadaan immuno- compromised dapat menderita berbagai infeksi oportunistik, yang memiliki dampak signifikan pada kualitas hidup, biaya pelayanan kesehatan dan tingkat keselamatannya.
Risiko perkembangan infeksi oportunistik pada penderita HIV bergantung pada paparan terhadap patogen yang berpotensi, virulensi patogen, derajat imunitas, dan penggunaan profilaksis antimikroba. Pasien yang menderita infeksi oportunistik dapat memiliki gangguan dalam terapi ARV yang menyebabkan perburukan HIV yang lebih cepat. Selain itu penelitian Donovan dkk. pada tahun 1996 menunjukkan infeksi oportunistik menyebabkan up regulation dalam replikasi HIV dan viral load yang lebih tinggi (Moges & Kassa, 2014).
WHO membagi derajat keparahan HIV dalam empat stadium klinis, dimana pada stadium kedua penderita sudah memasuki fase terjadinya infeksi oportunistik (WHO, 2007). Infeksi oportunistik yang paling sering terjadi pada penderita HIV/AIDS antara lain kandidosis esofagitis, Pneumocystis carinii pneumonia (PCP), infeksi Mycobacterium avium complex (MAC) diseminata, Cytomegalovirus (CMV), Cryptococcus, sarkoma kaposi, Herpes Zoster, dan tuberkulosis (Moges et al, 2014). Walaupun kontrol terhadap penyakit telah meningkat, infeksi tetap berlanjut sebagai morbiditas pada populasi yang terinfeksi HIV dan menjadi indikator derajat keparahan supresi imun. Infeksi yang umum terjadi di masyarakat menjadi lebih kebal pada penderita HIV (Altman et al, 2015).
Penyakit kulit terjadi pada >90% penderita HIV, dari ruam makula menyerupai roseola yang terlihat pada sindroma serokonversi akut hingga sarkoma kaposi pada stadium akhir yang ekstensif (Fauci et al, 2008). Infeksi kulit seperti Herpes Zoster, angular cheilitis, dan infeksi jamur pada kuku merupakan beberapa contoh
infeksi oportunistik yang paling cepat dijumpai pada penderita HIV/AIDS (WHO, 2007). Infeksi HIV dan pengobatannya dapat bersamaan dengan perubahan kosmetik kulit yang bukan merupakan masalah klinis yang penting tapi dapat menjadi masalah pada pasien (Fauci et al, 2008).
Berdasarkan hal-hal di atas peneliti tertarik untuk meneliti mengenai pola infeksi kulit pada penderita HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada periode tahun 2012-2016.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
“Apa saja infeksi kulit yang ditemukan pada penderita HIV/AIDS di RSUP. Haji Adam Malik Medan periode tahun 2012-2016?”
“Apakah terdapat hubungan antara hasil hitung sel T CD4+ dengan pola infeksi kulit pada penderita HIV/AIDS di RSUP. Haji Adam Malik Medan periode tahun 2012-2016?”
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan hasil hitung sel T CD4+ terhadap pola infeksi kulit pada penderita HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada periode tahun 2012-2016.
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus penelitian ini :
1. Mengetahui karakteristik penderita HIV/AIDS dengan infeksi kulit berdasarkan usia, jenis kelamin, stadium klinis, dan hasil hitung sel T CD4+.
2. Mengetahui pola infeksi kulit akibat bakteri, jamur, parasit dan virus Medan pada periode tahun 2012-2016.
3. Mengetahui pola infeksi kulit berdasarkan hasil hitung sel T CD4+
pada penderita HIV/AIDS.
1.4. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
Terdapat hubungan antara hasil hitung sel T CD4 dengan pola infeksi kulit pada penderita HIV/AIDS di RSUP. Haji Adam Malik Medan periode tahun 2012- 2016.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap : 1. Tenaga kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan khususnya dalam prevalensi infeksi kulit pada penderita HIV/AIDS dalam hal penanganan perjalanan penyakit HIV/AIDS.
2. Bidang penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat dipakai sebagai data dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai hubungan hasil sel T CD4 terhadap pola infeksi kulit pada penderita HIV/AIDS.
3. Bidang pendidikan
Penelitian ini diharapkan sebagai sarana untuk melatih berfikir secara logis dan sistematis serta mampu menyelenggarakan suatu penelitian berdasarkan metode yang baik dan benar.
4. Bidang pelayanan masyarakat
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sumber informasi yang benar bagi masyarakat tentang infeksi HIV/AIDS dan manifestasi klinisnya, terutama dalam hal infeksi dermatologis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kulit
2.1.1. Struktur Kulit
Kulit merupakan organ terbesar pada tubuh manusia, sekitar 15% dari berat badan total (Kolarsick, 2011). Secara umum, kulit terdiri atas tiga lapisan yaitu :
1. Epidermis
Tebal lapisan epidermis adalah 50-100 µm (WHO, 2009). Epidermis terdiri atas 10-20 lapisan sel epitel berlapis gepeng. Secara histologis, epidermis terdiri atas lima jenis lapisan, yaitu stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum dan stratum basal (Eroschenko, 2008). Epidermis juga mengandung empat jenis sel residen berbeda yaitu melanosit, keratinosit, sel Langerhans, dan sel Merkel (Kolarsick, 2011).
2. Dermis
Dermis adalah lapisan jaringan ikat yang mengikat epidermis. Pada dasarnya, lapisan dermis terbentuk dari protein struktural yang disebut kolagen (Kolarsick, 2011). Dermis terdiri atas dua lapisan, yaitu stratum papillare dan stratum reticulare.
Stratum papilare merupakan lapisan teratas di dermis dan mengandung jaringan ikat longgar tidak teratur. Jaringan ikat terisi oleh serat, sel dan pembuluh darah. Stratum reticulare adalah lapisan yang lebih padat dan tebal di dermis, terisi oleh jaringan ikat padat tidak teratur. Dermis juga mengandung derivat kulit seperti kelenjar keringat, folikel rambut, dan kelenjar sebasea (Eroschenko, 2008).
3. Hipodermis
Kulit menyatu dengan jaringan di bawahnya melalui hipodermis, yang juga dikenal sebagai jaringan subkutis, suatu lapisan jaringan ikat longgar.
Sebagian besar sel lemak terdapat di dalam hipodermis. Endapan lemak di seluruh tubuh ini secara kolektif disebut sebagai jaringan adiposa (Sherwood, 2012).
Gambar 2.1. Anatomi kulit(Kolarsick et al, 2011).
2.1.2. Vaskularisasi dan Inervasi Kulit
Vaskularisasi kulit terbentuk dari dua plexus yang saling berhubungan, yaitu subpapillary plexus yang terdiri dari venula post-kapiler yang terdapat di taut antara stratum papillare dan stratum reticulare di dermis, dan lower plexus di antara lapisan dermis dan hipodermis.
Berkas serabut saraf banyak terdapat di dermis. Badan Meissner terdapat di papilla dermis dan sensitif terhadap sensasi sentuhan. Badan Vater-Pacini merupakan ujung saraf besar yang sensitif terhadap sensasi tekanan dan terletak di lapisan dermis yang lebih dalam. Sedangkan untuk sensasi nyeri, suhu dan gatal dihantarkan oleh serabut saraf tak bermyelin yang berujung di folikel rambut dan papilla dermis (Kolarsick et al, 2011).
2.1.3. Fungsi Kulit
Kulit memiliki beberapa fungsi utama, antara lain :
1. Memberi perlindungan melalui keratinisasi epidermis terhadap gerakan dan masuknya patogen.
2. Impermeabel terhadap air karena adanya lapisan lemak dan epidermis.
3. Pengaturan suhu tubuh melalui proses berkeringat dan perubahan diameter pembuluh darah.
4. Persepsi sensorik sentuhan, nyeri, tekanan dan perubahan suhu karena adanya ujung saraf.
5. Ekskresi air, garam natrium, urea dan produk sisa bernitrogen melalui keringat.
6. Membentuk vitamin D dari molekul prekursor yang dihasilkan di epidermis jika terpajan matahari.
7. Menyerap berkas UV yang berbahaya melalui melanin (Eroschenko, 2008).
2.2. HIV dan AIDS 2.2.1. Definisi AIDS
Setiap individu terinfeksi HIV dengan jumlah hitung sel T CD4+ <200/µL didefinisikan sebagai AIDS, terlepas adanya gejala maupun penyakit oportunistik.
2.2.2. Virologi HIV
Agen etiologik dari Acquired Immunodeficiency Syndrome adalah Human Immunodeficiency Virus, yang merupakan famili dari Retroviridae, dan subfamili dari lentivirus. Penyebab paling umum dari penyakit HIV di seluruh dunia merupakan HIV-1, yang memiliki beberapa subtipe dengan distribusi geografis yang berbeda. HIV-2 pertama kali diidentifikasi pada tahun 1986, yang diisolasi dari pasien dari Afrika Barat.
Secara struktural, retrovirus berdiameter 70-130 nm dan memiliki pembungkus mengandung lemak mengelilingi kapsid ikosahedral. Pada pusat lingkarannya terdapat untaian RNA untai tunggal yang memiliki panjang 8-10 kb dan dilengkapi dengan enzim reverse transcriptase dan tRNA. DNA yang terbentuk
dari retrovirus disebut juga provirus (Fauci et al, 2008). Permukaan virus dibentuk oleh tonjolan dari protein utama envelope virus, yaitu protein permukaan gp120 dan protein transmembran gp41. Virion protein gp120 mengandung tempat perlekatan untuk reseptor sel. Bagian tengan protein gp41 berikatan dengan protein gp120 dengan ikatan non-kovalen (Engelman, 2012). Material genetik HIV mengandung sembilan gen berbeda yang mengkode 15 protein (Greene and Peterlin, 2003).
Gambar 2.2. Genom provirus HIV dan fungsi produknya.
2.2.3. Siklus Replikasi HIV
Replikasi HIV terbagi atas dua fase. Pada fase pertama, virus masuk ke sitoplasma setelah berikatannya protein gp120 dengan molekul CD4 di sel pejamu. Protein gp120 melakukan perubahan terhadap sel untuk memfasilitasi berikatannya virus pada koreseptor. Terdapat dua koreseptor utama untuk HIV-1 yaitu CCR5 dan CXCR4. Fusi dengan membran sel pejamu terjadi melalui penetrasi protein gp41 ke membran plasma dari sel target serta bergelung untuk LTR : tempat
pengikatan untuk faktor transkripsi sel hospes.
vif (p23) : mengumpulkan inti nukleoprotein HIV dalam berbagai macam sel
vpu : memicu degradasi CD4 dan menstimulasi keluarnya virion
env : mengkode glikoprotein, protein yang menentukan sel mana yang dapat diinfeksi
nef : merusak CD4, merusak jalur aktivasi sel limfosit T pejamu dan meningkatkan infektivitas virus
gag : mengkode poliprotein prekursor yang akan membentuk tiga hingga lima protein kapsid
pol : mengkode enzim reverse transcriptase, integrase, dan protease
vpr : memfasilitasi transpor provirus ke dalam nukleus
rev : meregulasi penyatuan segmen RNA.
tat :
menambahkan ekspresi virus dari LTR
membawa virion dan sel target bersamaan. Dengan aktivasi dari sel, DNA virus berintegrasi ke dalam kromosom sel pejamu melalui aktivitas enzim integrase.
Provirus ini dapat bertahan laten (inaktif) atau bermanifestasi pada ekspresi gen, bergantung pada produksi aktif dari virus.
Fase kedua termasuk transkripsi gen virus, translasi m-RNA hingga membentuk protein yang berfungsi untuk glikosilasi, miristilasi, fosforilasi dan cleavage.
Hanya subfamili lentivirus yang dapat dapat menginfeksi sel-sel yang tidak membelah tersebut. Infeksi sebuah sel pejamu akan berlangsung seumur hidup sel tersebut (Fauci et al, 2008).
Gambar 2.3. Faktor seluler yang terlibat dalam replikasi HIV (Nakayama & Shioda, 2012).
2.2.4. Transmisi HIV
HIV ditularkan melalui hubungan seksual, darah dan produk-produknya, serta dari ibu yang terinfeksi ke anaknya, baik secara intrapartum, perinatal atau dari air susu ibu. Di seluruh dunia, jalur infeksi yang paling umum, khususnya di negara berkembang, adalah melalui hubungan heteroseksual. HIV telah ditemukan di cairan semen dalam sel mononuklear yang terinfeksi dan material bebas lainnya yang berada di dalam sel. Virus terkonsentrasi di dalam cairan semen, khususnya ketika terdapat kenaikan jumlah limfosit dan monosit pada cairan tersebut, seperti
dalam kondisi inflamasi genitalia atau infeksi menular seksual. Virus tersebut juga dapat ditemukan pada usapan serviks dan cairan vagina (Fauci et al, 2008).
HIV juga dapat disebarkan ke orang-orang yang mendapat transfusi darah, produk darah, atau jaringan transplantasi dari penderita HIV. Transmisi HIV secara parenteral juga dapat terjadi pada penyuntikan secara intramuskular maupun subkutan, walaupun hanya terdapat resiko kecil untuk menderita HIV di kemudian hari. Resiko menderita HIV juga meningkat seiring dengan durasi penggunaan obat secara injeksi. Kasus AIDS yang berhubungan dengan transfusi pertama kali dijumpai pada tahun 1982, dan pada akhir tahun 2005, lebih dari 9300 individu yang menerima transfusi darah, komponen darah atau jaringan transplantasi yang terkontaminasi HIV berkembang menjadi AIDS (Fauci et al, 2008).
Selain itu, HIV juga dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi ke fetus selama periode kehamilan, persalinan maupun menyusui. Transmisi dari ibu ke fetus terjadi paling banyak pada periode perinatal. Cara ini merupakan bentuk transmisi yang umum terjadi di negara berkembang, karena proporsi HIV antara pria dan wanita yang terinfeksi adalah ±1:1. Faktor resiko yang meningkatkan transmisi HIV melalui air susu ibu termasuk level HIV yang terdeteksi pada air susu ibu, keadaan mastitis, jumlah sel T CD4+ ibu yang rendah, dan defisiensi vitamin A pada ibu. Resiko transmisi HIV dari air susu ibu paling tinggi pada periode awal menyusui (Fauci et al, 2008).
2.2.5. Patogenesis dan Patofisiologi HIV
Patogenesis
Aktivitas sistem imun yang menyimpang merupakan tanda utama dan komponen penting dari patogenesis HIV. Keadaan ini digambarkan dari:
- hiperaktivitas sel B yang berujung pada hipergammaglobinemia;
- proliferasi spontan dari limfosit;
- aktivasi monosit;
- ekspresi dari CD4+ dan CD8+ yang teraktivasi;
- meningkatnya aktivasi apoptosis;
- hiperplasia nodus limfe, khususnya pada awal perjalanan penyakit;
- meningkatnya sekresi sitokin proinflamatorik;
- meningkatnya level neopterin, mikroglobulin β2, interferon, dan reseptor IL-2;
- penurunan jumlah sel - dan fenomena autoimun.
Walaupun level antibodi tinggi, respon antibodi terhadap antigen HIV tidak cukup kuat, dan diiikuti dengan resistennya virus terhadap antibodi. Mengikuti infeksi awal HIV, kemunculan respon lisis sel T CD4+, yang sebagian besar merupakan respon sel T CD8+, berkaitan sementara dengan menurunnya jumlah antigen HIV di plasma. Jumlah sel T CD8+ terus meningkat hingga infeksi HIV stadium lanjut, saat seluruh jumlah sel T menurun. Akan tetapi, sel tersebut tidak berfungsi secara keseluruhan terhadap antigen.
Pada infeksi HIV yang tidak diobati, nodus limfe menunjukkan respon inflamasi dengan meningkatnya ekspresi sitokin seperti interferon-gamma, IL-1, IL-2, dan IL-12. Level TNF-α, IL-1, dan IL-6 di plasma meningkat pada stadium lanjut, serta level TNF-α dan IL-6 berhubungan langsung dengan level RNA HIV di plasma. Inflamasi jaringan limfoid merupakan konsekuensi dari tingginya replikasi HIV.
Sistem imun humoral pada infeksi HIV ditandai dengan hiperaktivasi paradoksal dan hiporesponsivitas. Hiperaktivasi dicerminkan dari hiperglobinemia poliklonal, hanya pada tempat yang langsung terinfeksi HIV; ekspresi limfosit B yang meningkat; munculnya antibodi autoreaktif di plasma; dan penyakit autoantibodi. Pada saat yang bersamaan, responsivitas limfosit B terhadap stimulasi antigen berkurang.
Gambar 2.4. Imunologi HIV (Altfeld et al, 2011)
Patofisiologi
Kejadian yang berhubungan dengan infeksi HIV primer merupakan penentu yang penting dari rangkaian gejala HIV berikutnya. Penyebaran awal virus ke organ limfoid, khususnya Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) adalah faktor utama dalam infeksi kronis dan menetap. Virus yang masuk langsung ke peredaran darah melalui darah yang terinfeksi ataupun hubungan seksual dialirkan dari sirkulasi menuju limpa, dimana fokus infeksi primer bermula, diikuti penyebaran lebih luas ke organ limfoid lainnya, khususnya GALT, yang berujung pada viremia.
Baik pada pasien yang tidak diobati maupun pasien dengan penanganan tidak adekuat, setelah beberapa periode, biasanya dalam beberapa tahun, jumlah hitung sel T CD4+ anjlok hingga <200/µL dan pasien menjadi lebih cenderung terkena infeksi oportunistik. Pasien dapat merasakan tanda dan gejala atau menderita infeksi oportunistik tanpa gejala awal. Menurunnya jumlah hitung sel T CD4+
berlanjut menjadi progresif dan tidak terkendali pada fase ini (Fauci et al, 2008).
2.2.6. Manifestasi Klinis HIV
Diperkirakan bahwa 50-70% individu terinfeksi HIV mengalami sindroma klinis akut kurang lebih tiga hingga enam minggu setelah infeksi primer. Gejala klinis akut terjadi bersamaan dengan ledakan viremia di plasma darah. Infeksi primer dengan atau tanpa gejala akut akan berlanjut dengan latensi dalam waktu yang lama (Fauci et al, 2008).
Walaupun lama periode dari infeksi awal hingga perkembangan penyakit bervariasi, waktu median untuk pasien yang belum diobati adalah 10 tahun. Pada pasien dalam fase ini, penyakit oportunistik menjadi manifestasi pertama dari infeksi HIV. Selama periode asimtomatik, rata-rata penurunan sel T CD4+ sebesar
±50/µL per tahun. Ketika sel T CD4+ jatuh <200/µL, pasien berada dalam resiko tinggi infeksi oportunistik dan neoplasma (Fauci et al, 2008).
Komplikasi HIV yang mengancam jiwa terjadi pada pasien dengan jumlah sel T CD4+ <200/µL. Kurang dari 50% kematian pada penderita AIDS disebabkan oleh penyakit yang datang bersamaan dengan AIDS, dan jumlah rerata hitung sel T CD4+ >300 sel/µL. Secara keseluruhan, spektrum klinis penyakit HIV berubah secara konstan dengan pendekatan penanganan yang lebih baik dan profilaksis yang telah dikembangkan (Fauci et al, 2008).
Tabel 2.1. Kategori klinis infeksi HIV (WHO, 2007)
Stadium klinis Gejala yang timbul
1 Asimtomatik
Limfadenopati persisten menyeluruh
2 Penurunan berat badan (<10% berat badan sebelumnya)
Infeksi saluran napas berulang (sinusitis, tonsillitis, otitis media dan faringitis)
Herpes Zoster
Angular cheilitis
Ulkus pada mulut yang berulang
Erupsi pruritus papuler
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur pada kuku
3 Penurunan berat badan (>10% berat badan sebelumnya)
Diare kronis selama lebih dari 1 bulan
Demam persisten (>37,6 oC, selama lebih dari 1 bulan)
Kandidosis oral yang menetap
Oral hairy leukoplakia
Tuberkulosis paru
Infeksi bakteri yang parah (pneumonia, empiema, piomiositis, infeksi pada tulang atau sendi, meningitis maupun bakteremia)
Acute necrotizing ulcerative stomatitis, gingivitis atau periodontitis
Anemia (Hb < 8 gr/dL), Neutropenia (<0,5 x 109 per liter), atau trombositopenia kronis (<50 x 109 per liter) 4 Wasting syndrome
PCP (Pneumocystis carinii pneumonia)
Pneumonia bakterialis rekuren
Infeksi Herpes Simpleks kronis (di orolabia, genitalia maupun anorektal selama lebih dari satu bulan, atau di organ dalam)
Kandidosis esofagus (di trakea, bronkus, atau paru)
Sarkoma Kaposi
Ensefalopati HIV
Cryptococcosis ekstrapulmoner termasuk meningitis
Isosporiasis kronis
Mikosis diseminata
Bakteremia berulang dari Salmonella sp. non-tifoid
Limfoma
Karsinoma serviks invasif
Leishmaniasis diseminata atipik
Nefropati atau kardiomiopati
2.2.7. Penegakan Diagnosis Infeksi HIV
Tes skrining darah standar untuk infeksi HIV adalah Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA), atau disebut juga Enzyme Immunoassay (EIA).
Tes ini merupakan tes skrining yang baik dengan sensitivitas >99,5%. Sebagian besar laboratorium diagnostik menggunakan peralatan EIA komersial yang mengandung antigen HIV-1 dan HIV-2 yang dapat mendeteksi keduanya. Akan tetapi EIA tidak mempunyai spesifisitas yang tinggi meskipun sensitivitasnya tinggi. Hanya 10% individu dengan hasil positif pada EIA dinyatakan terinfeksi HIV. Faktor-faktor yang menyebabkan hasil positif palsu pada EIA antara lain
antibodi terhadap antigen kelas II, autoantibodi, penyakit hepar, individu yang baru mendapatkan vaksinasi influenza, dan infeksi virus akut (Fauci et al, 2008).
Untuk memastikan bahwa hasil positif pada EIA merupakan positif HIV, tes yang paling luas digunakan adalah Western blot. Antigen HIV dipisahkan berdasarkan berat molekulnya, dan antibodi terhadap tiap komponen dapat dideteksi sebagai pita yang berbeda pada Western blot. Hasil negatif dinyatakan ketika tidak ada pita yang muncul pada berat molekul yang berhubungan dengan produk gen HIV. Dalam hal lain, Western blot menunjukkan antibodi dari produk seluruh gen HIV (gag, pol, dan env) adalah bukti adanya infeksi HIV. Hasil positif dinyatakan bila terdapat antibodi terhadap dua atau tiga protein HIV : p24, gp41, dan gp120/60. Hasil samar dinyatakan bila terdapat reaksi silang antibodi dengan protein p24 dan/atau p55 (Fauci et al, 2008).
Pada pasien diduga terinfeksi HIV, uji awal yang tepat adalah EIA. Pada pasien dengan hasil negatif, diagnosis disingkirkan dan pengulangan harus dilakukan hanya bila terindikasi secara klinis. Bila hasil EIA samar atau positif, pengujian harus diulang. Bila dalam dua kali pengulangan terdapat hasil negatif, dapat disimpulkan bahwa pernyataan hasil positif pada tes awal disebabkan oleh kesalahan teknis dalam melakukan pengujian. Bila dalam pengulangan terdapat hasil samar atau positif, maka harus dilanjutkan dengan Western blot. Bila hasil pada Western blot positif, diagnosis infeksi HIV dapat ditegakkan. Bila hasil Western blot negatif, EIA dapat disimpulkan telah menyatakan hasil positif palsu terhadap infeksi HIV dan diagnosis HIV dapat disingkirkan (Fauci et al, 2008).
Bila hasil pada Western blot dinyatakan samar, tes tersebut harus diulang dalam empat hingga enam minggu. Bila hasil uji p24 dan RNA HIV negatif dan tidak ada perubahan pada Western blot, maka diagnosis HIV-1 disingkirkan. Bila hasil uji p24 maupun RNA HIV positif dan/atau hasil Western blot terhadap HIV- 1 menunjukkan progresi, diagnosis sementara HIV-1 dapat ditegakkan dan nantinya dikonfirmasi dengan pengujian Western blot berikutnya yang menunjukkan hasil positif (Fauci et al, 2008).
2.2.8. Penatalaksanaan HIV
Secara farmakologis, penatalaksanaan HIV menggunakan antivirus jenis Antiretrovirus (ARV). Keputusan untuk memulai terapi ARV lebih baik berdasarkan dua hasil hitung jumlah CD4 yang terpisah, dengan jarak waktu pengukuran sedikitnya tujuh hari dikarenakan variabilitas jumlah CD4 dan untuk menyingkirkan kesalahan diagnosis dari hasil laboratorium (WHO, 2012).
Tabel 2.2. HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy) (Setiabudy, 2007)
Golongan Obat Nama Obat
Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)
Zidovudin Didanosin Zalsitabin
Stavudin Lamivudin
Abakavir Emitrisitabin Nucleotide Reverse Transcriptase
Inhibitor (NtNRI)
Tenovofir
Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)
Nevirapin Delavirdin
Efavirenz
Protease Inhibitor (PI) Sakuinavir
Ritonavir Indinavir Nelvinafir Amprenavir
Lopinavir Atazanavir
Viral Entry Inhibitor Envufirtid
2.2.9. Evaluasi Pengobatan dengan Antiretrovirus
Terdapat tiga cara untuk menilai respon terapi ARV antara lain secara klinis, imunologis, dan virologis. Dikarenakan tujuan langsung dari terapi ARV adalah untuk mencegah replikasi virus, kriteria respon virologis merupakan indikator paling sensitif untuk keberhasilan atau kegagalan terapi (WHO, 2012).
Tabel 2.3. Kriteria keberhasilan terapi ARV (WHO, 2012)
Virologis Imunologis Klinis
Marker Viral Load Hitung sel
CD4
Stadium klinis menurut
WHO
Waktu 24 minggu ≥48
minggu
24-48 minggu dan
seterusnya
Dalam 12 minggu dari
inisiasi terapi seharusnya asimtomatik
atau gejala hanya sedikit
Penilaian berlanjut
Target <200/ml <50/ml Meningkat dari waktu inisiasi terapi ARV
sedikitnya 50 sel/µL
Stadium 1 atau 2
Setelah tiga bulan dari
inisiasi ARV, tidak
ada gejala simpang obat yang
muncul.
2.3. Ruam Kulit dan Kelainan Kulit pada Infeksi HIV 2.3.1. Jenis Ruam Kulit
Berdasarkan jenisnya, ruam kulit terbagi atas : 1. Ruam kulit primer
Terdiri atas :
Makula : lesi berwarna yang datar, berdiameter <2 cm, memiliki ketinggian yang sama dengan kulit sekitarnya.
Patch : lesi datar yang berdiameter >2 cm, dengan ciri lainnya sama dengan ruam makula.
Papula : lesi penonjolan padat yang kecil, berdiameter <0,5 cm, dan dapat dipalpasi.
Nodul : lesi berdiameter 0,5-5 cm, berbatas tegas, dengan ciri lainnya sama dengan ruam papula.
Tumor : lesi penonjolan kulit yang padat, berdiameter >5 cm.
Plak : lesi penonjolan kulit yang berdiameter >1 cm, dengan permukaan datar; dapat berbatas tegas ataupun berpadu secara bertahap dengan kulit yang disekitarnya.
Vesikula : lesi penonjolan kulit yang kecil, berisi cairan, dan berdiameter <0,5 cm. Cairannya biasanya dapat dilihat dan translusen.
Pustula : Vesikel yang berisi leukosit. Timbulnya pustul tidak selalu mengindikasikan adanya infeksi.
Bula : lesi penonjolan kulit yang berisi cairan, translusen, dan berdiameter >0,5 cm.
Urtika : lesi penonjolan kulit yang berwarna kemerahan, dapat berupa papula atau plak edematosa, biasanya menunjukkan vasodilatasi sementara.
Telangiektasis : pembuluh darah permukaan yang berdilatasi.
Kista : penonjolan di atas permukaan kulit berupa kantong yang padat atau berisi cairan (Fauci et al, 2008).
2. Ruam kulit sekunder Terdiri atas :
Likenifikasi : penebalan kulit yang ditandai dengan lipatan kulit yang menonjol.
Skuama : akumulasi stratum korneum.
Krustosa : eksudat kering dari cairan tubuh.
Erosi : kehilangan lapisan epidermis dengan lapisan dermis yang masih menetap.
Ulkus : kehilangan lapisan epidermis dan sebagian lapisan dermis, yang memiliki tepi, dasar, dinding dan isi.
Ekskoriasi : erosi angular yang dapat ditutupi krusta dan disebabkan oleh garukan. Kerusakan kulit mencapai ujung stratum papilaris sehingga kulit tampak merah disertai bintik perdarahan.
Atrofi : Kehilangan substansi yang didapat. Pada kulit, lesi ini dapat terlihat sebagai penekanan dengan epidermis utuh, atau sebagai lesi yang bersinar, berkerut ataupun lembut.
Parut : jaringan ikat yang menggantikan epidermis dan dermis yang sudah hilang.
Abses : kantong berisi nanah di dalam jaringan.
Hiperpigmentasi : penimbunan pigmen berlebihan sehingga kulit tampak lebih gelap dari sekitarnya.
Hipopigmentasi : kelainan yang menyebabkan kulit menjadi lebih terang dari sekitarnya (Fauci et al, 2008).
2.3.2. Kelainan Kulit pada Penderita HIV/AIDS
Ruam papula, plak dan nodul dapat dijumpai pada penderita HIV dan disebabkan oleh infeksi, inflamasi, maupun keganasan. Etiologi infeksi termasuk penyakit seperti warts, moluskum kontangiosum, infeksi Streptococcus sp. dan Staphylococcus sp., Bacillary angiomatosis, infeksi Mycobacterium sp. serta infeksi jamur permukaan dan dalam. Perilaku menggaruk dan mengusap kulit yang berulang dapat berujung pada likenifikasi dan berkembang menjadi prurigo nodularis. Neoplasma, khususnya kanker kulit, juga dapat muncul sebagai ruam dengan perubahan sekunder beragam, biasanya pada kulit yang terpapar matahari.
Sarkoma Kaposi muncul dengan ruam nodul dan papula merah kecoklatan (Altman et al, 2015).
Ruam plak dapat berhubungan dengan penyakit infeksi seperti selulitis atau intertrigo, maupun dengan penyakit non-infeksi. Penyakit inflamasi semerti eczema papuler tampak dengan papula terlokalisisir ataupun tersebar menyatu dengan plak yang terkait pruritus. Penyakit kulit lainnya yang dijumpai pada penderita HIV/AIDS termasuk dermatitis seboroik, dengan ruam plak dan papula eritematosa yang berminyak (Altman et al, 2015).
Vesikel dan bula juga dapat dijumpai pada penderita HIV/AIDS, terutama bila terdapat infeksi yang mendasarinya. Vesikel berkelompok dengan dasar eritematosa biasa dijumpai pada Herpes Simpleks, dan pada Herpes Zoster ruam terdistribusi dalam satu dermatom. Kedua penyakit tersebut bisa menyebar luas pada kasus imunosupresi berat (Altman et al, 2015).
Makula dan eritema morbiliformis sering terkait dengan reaksi obat, tetapi dapat juga menandakan adanya infeksi virus. Bila eritema yang menyebar luas disertai dengan lesi bulosa, deskuamasi dan keterlibatan mukosa, maka diagnosis reaksi obat yang berat seperti Steven-Johnsons Syndrome atau Toxic Epidermal Necrolysis dapat disingkirkan (Altman et al, 2015).
Infeksi
Infeksi oportunistik lebih sering terjadi pada infeksi HIV stadium lanjut yang tidak diobati. Infeksi oporunistik meliputi :
a. Bakteri
Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi kulit pada penderita HIV (Johnson, 2008). Impetigo dan folikulitis mrupakan contoh infeksi primer dari Staphylococcus aureus, dapat terjadi berulang dan menetap pada penderita HIV, terutama pada anak-anak (Schwartz et al, 2017).
Walaupun dengan meningkatnya fungsi sistem imun oleh ART, insidensi Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) semakin meningkat.
Prevalensi infeksi MRSA lebih tinggi pada penderita HIV, yang berkaitan dengan kolonisasi bakteri. Dibandingkan dengan pasien negatif HIV, proporsi
penyakit kulit kronis lebih banyak pada pasien positif HIV. Jumlah CD4 dan viral load tidak berhubungan dengan beratnya kolonisasi bakteri (Altman et al, 2015).
Bacillary angiomatosis, yang disebabkan oleh bakteri oportunistik Bartonella henselae, merupakan infeksi vaskular yang proliferative yang terjadi pada orang yang immunocompromised. Bacillary angiomatosis biasanya bermanifestasi sebagai papula dan nodul yang kemerahan (Plattenberg et al, 2000). Mikroorganisme lainnya adalah Helicobacter cinaedi dan Pseudomonas Aeruginosa dengan gambaran klinis selulitis (Murtiastutik, 2008).
Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium avium-intracellulare complex (MAC) dapat muncul sebagai papula akneiformis dan plak krusta yang berindurasi. MAC biasanya menyebabkan penyakit diseminata yang melibatkan paru-paru, nodus limfe, dan traktus gastrointestinal (Schwartz et al, 2017). Infeksi MAC primer pada kulit yang bermanifestasi sebagai lesi menyerupai sporotrikosis dijumpai pada pasien AIDS (Kayal et al, 2002).
(a) (b) (c)
Gambar 2.5. Infeksi bakteri pada kulit : a) Bacillary angiomatosis (Aung et al, 2016); b) folikulitis (Satter, 2017); c) impetigo (Lewis, 2016)
b. Virus
Infeksi virus juga lebih banyak ditemukan pada pasien supresi imun dan dapat berkaitan dengan keganasan. Infeksi virus Herpes Simpleks oral dan anogenital sering ditemukan pada penderita HIV, dan dapat berujung pada ulkus kronis. Pada pasien anak-anak, stomatitis Herpes Simpleks lebih sering ditemukan daripada infeksi virus Varicella-Zoster. Reaktivasi VZV atau
Herpes Zoster lebih banyak didapatkan pada pasien dengan hitung sel CD4+
<350/µL. (Murniastutik, 2008).
Infeksi virus Eipstein-Barr telah menimbulkan penyakit Oral Hairy Leukoplakia, yang merupakan salah satu AIDS-defining illness. Oral hairy leukoplakia biasanya muncul pada pasien laki-laki, yang dicirikan dengan papula filiformis berwarna putih di sisi lidah. Kondisi ini merupakan tanda awal dari imunosupresi yang progresif. Virus Eipstein-Barr menginfeksi sel epitel basal di faring dan masuk ke sel B, dimana virus tersebut bertahan secara laten (Cade et al, 2017).
Virus Moluskum Kontangiosum adalah virus DNA dari famili Retroviridae. Virus tersebut bereplikasi di sitoplasma sel epidermis (Schwartz et al, 2017). Pada penderita HIV, Moluskum Kontangiosum dapat menyebar.
Lesinya dapat ditemukan di tempat yang tidak biasa, seperti wajah, leher serta kulit kepala, dan lesi tersebut juga berbentuk atipikal (Kolokotronis et al, 2000).
Pada era ART, fokus pengobatan telah bergeser dari infeksi virus yang telah diketahui seperti Herpes, Moluskum dan virus yang berhubungan dengan keganasan pada HIV, menjadi penyakit baru akibat virus. Baru-baru ini, trichodysplasia spinulosa-associated polyomavirus (TSPyV) telah terdeteksi pada pasien supresi imun. Infeksi, khususnya infeksi virus, diduga menjadi penyebab yang mungkin dalam karsinoma sel skuamosa pada pasien dengan jumlah CD4 yang menurun. Follow-up jangka panjang diperlukan sebab risiko keganasan kulit belum diketahui (Altman et al, 2015).
(a) (b) (c)
Gambar 2.6. Infeksi virus pada kulit : a) Moluskum Kontangiosum (Schwartz et al, 2017)
; b) Oral hairy leukoplakia (Cade, 2017) ; c) Herpes Zoster (Schwartz et al, 2017)
c. Jamur
Infeksi jamur pada penderita HIV/AIDS meliputi infeksi superfisialis seperti dermatofitosis dan kandidiasis serta infeksi sistemik seperti histoplasmosis dan kriptokokus (Wahyuningsih, 2009). Kandidiasis sering muncul di lidah, orofaring, esofagus, sudut mulut, kuku, vulva dan vagina (Brown, 2005). Dermatofitosis pada kulit muncul dengan ciri eritema bulat atau oval, berskuama, menyebar secara sentrifugal dengan tepi yang inflamasi, dan central healing. Dermatofitosis pada pasien HIV/AIDS lebih sulit untuk diobati dan bersifat rekuren (Dlova & Nosam, 2007).
Kriptokokus dan Histoplasmosis sering terjadi pada HIV stadium lanjut.
Kelainan kulit pada infeksi Kriptokokus termasuk selulitis, plak, papula, ulkus hingga papula translusen berbentuk kubah seperti pada infeksi Moluskum Kontangiosum. Kultur positif maupun pewarnaan dari pus dan lesi kulit dapat digunakan untuk observasi Kriptokokus (Chetchotisakd et al, 2016). Infeksi Histoplasmosis di kuit berujung pada ruam papula eritema, erupsi, ulkus, papula akneiformis, atau lesi menyerupai Moluskum. Kelainan pada kulit akibat Histoplasmosis dan Kriptokokus menandakan telah terjadi diseminasi mikosis sistemik yang luas (Wahyuningsih, 2009).
(a) (b) (c)
Gambar 2.7. Infeksi jamur pada kulit : a) Kandidiasis (Hidalgo & Vasquez, 2016) ; b) Dermatofitosis (Andrews & Ramnarine, 2017) ; c) Kriptokokus (Moskowitz & Scheinfield,
2016)
d. Parasit
Skabies, dengan agen etiologik Sarcoptes scabiei, yang dicirikan dengan erupsi hiperkeratotik maupun plak krustosa, dapat terjadi pada penderita HIV (Schwartz et al, 2017). Leishmaniasis juga dijumpai pada penderita HIV.
Terdapat dua bentuk manifestasi klinis Leishmaniasis, yaitu Leishmaniasis kutaneus dan Leishmaniasis visceral (kala-azar). Bentuk mukokutaneus merupakan bentuk yang paling berat dari penyakit ini, dan menimbulkan lesi kecacatan (Nissapatom & Sawangjaroen, 2011).
(a) (b)
Gambar 2.8. Infeksi parasit pada kulit : a) Skabies (Barry et al, 2017) ; b) Leishmaniasis (Nissapatorn & Sawangjaroen, 2011)
2.4. Kerangka Teori
Keterangan :
: Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti
Gambar 2.6. Kerangka teori.
HIV masuk melalui :
Hubungan seksual
Darah dan produknya
Penularan vertikal
HIV menginfeksi sel T CD4+
replikasi HIV
Penurunan jumlah sel T CD4+
supresi sistem imun respon imun tubuh pejamu
hiperaktivasi paradoksal dari respon humoral kenaikan jumlah
sel T CD8+
meningkatnya apoptosis
penurunan jumlah sel dendritik
penurunan aktivitas sel NK
penurunan jumlah sel Langerhans infeksi oportunistik pada kulit
2.5. Kerangka Konsep
Variabel dependen Variabel independen
Gambar 2.6. Kerangka konsep
Hasil hitung sel T CD4 infeksi oportunistik pada kulit
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang bersifat deskriptif- analitik dengan desain cross-sectional, serta memakai data retrospektif berupa rekam medis. Penelitian ini akan mendeskripsikan pola infeksi kulit pada penderita HIV/AIDS di RSUP. Haji Adam Malik Medan pada periode tahun 2012-2016, kemudian mencari hubungan antara hasil hitung sel T CD4 dengan pola infeksi tersebut.
3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2.1. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama enam bulan (Juli - Desember 2017).
3.2.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pusat Pelayanan Khusus (Pusyansus) Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Rumah sakit dipilih karena merupakan pusat rujukan untuk kasus-kasus HIV/AIDS yang terjadi di Sumatera Utara.
3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien HIV/AIDS yang terdaftar dan menjalani terapi di Pusat Pelayanan Khusus (Pusyansus) Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada tahun 2012-2016.
3.3.2. Sampel Penelitian
Teknik sampling dalam penelitian ini menggunakan cara total sampling, yaitu setiap anggota populasi yang memenuhi kriteria inklusi merupakan sampel penelitian.
Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Pasien penderita HIV/AIDS yang menderita infeksi oportunistik pada kulit.
b. Usia penderita ≥10 tahun.
Adapun kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Pasien HIV/AIDS yang menderita Diabetes Melitus.
b. Pasien HIV/AIDS yang menderita uremia.
3.5. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dari penelitian ini adalah dari data sekunder dengan cara observasi menggunakan rekam medis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada periode 1 Januari 2012 – 31 Desember 2016.
Pengumpulan data dilakukan dengan mengobservasi hasil rekam medis pasien HIV/AIDS lalu dicatat, diolah dan dilakukan analisis data.
3.6. Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis univariat dan analisis bivariat. Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi, persentase, mean, dan standart deviation dari usia dan jenis kelamin penderita HIV/AIDS dengan infeksi kulit, serta variabel dependen yang akan diteliti yaitu infeksi kulit pada penderita HIV/AIDS.
Analisis bivariat dilakukan dengan uji statistik menggunakan uji Chi square, untuk melihat adanya hubungan antara variabel independen dan variabel dependen yang keduanya memiliki jenis data kategorik. Jika terdapat beberapa syarat yang tidak terpenuhi dalam uji Chi-Square maka akan dilakukan uji Fisher Exact Test.
3.7. Definisi Operasional Variabel 3.7.1. Variabel independen
1. Hasil hitung sel T CD4
Definisi : Hasil hitung sel CD4 yang diperoleh dari pasien HIV sebagai kriteria imunologis menderita AIDS.
Cara ukur : Observasi melalui rekam medis pasien HIV/AIDS di RSUP. Haji Adam Malik Medan periode tahun 2012-2016.
Alat ukur : Data sekunder berupa rekam medis pasien HIV/AIDS di RSUP.
Haji Adam Malik Medan periode tahun 2012-2016.
Hasil ukur :
<200
≥200(Moges & Kassa, 2014)
Skala ukur : Nominal 3.7.2. Variabel dependen
1. Infeksi bakteri pada kulit
Definisi : Proses peradangan pada kulit penderita HIV/AIDS yang disebabkan oleh bakteri.
Cara ukur : Observasi melalui rekam medis pasien HIV/AIDS di RSUP. Haji Adam Malik Medan periode tahun 2012-2016.
Alat ukur : Data sekunder berupa rekam medis pasien HIV/AIDS di RSUP.
Haji Adam Malik Medan periode tahun 2012-2016.
Skala ukur : Nominal
2. Infeksi virus pada kulit
Definisi : Proses peradangan pada kulit penderita HIV/AIDS yang disebabkan oleh virus.
Cara ukur : Observasi melalui rekam medis pasien HIV/AIDS di RSUP. Haji Adam Malik Medan periode tahun 2012-2016.
Alat ukur : Data sekunder berupa rekam medis pasien HIV/AIDS di RSUP.
Haji Adam Malik Medan periode tahun 2012-2016.
Skala ukur : Nominal 3. Infeksi jamur pada kulit
Definisi : Proses peradangan pada kulit penderita HIV/AIDS yang disebabkan oleh jamur.
Cara ukur : Observasi melalui rekam medis pasien HIV/AIDS di RSUP. Haji Adam Malik Medan periode tahun 2012-2016.
Alat ukur : Data sekunder berupa rekam medis pasien HIV/AIDS di RSUP.
Haji Adam Malik Medan periode tahun 2012-2016.
Skala ukur : Nominal 4. Infeksi parasit pada kulit
Definisi : Proses peradangan pada kulit penderita HIV/AIDS yang disebabkan oleh parasit.
Cara ukur : Observasi melalui rekam medis pasien HIV/AIDS di RSUP. Haji Adam Malik Medan periode tahun 2012-2016.
Alat ukur : Data sekunder berupa rekam medis pasien HIV/AIDS di RSUP.
Haji Adam Malik Medan periode tahun 2012-2016.
Skala ukur : Nominal
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) Medan, yang beralamat di Jalan Bunga Lau No. 17 Kecamatan Medan Tuntungan. Rumah sakit ini telah berdiri sejak 21 Juli 1993 dan merupakan rumah sakit umum milik pemerintah pusat yang secara teknis berada dibawah Direktorat Jenderal Bina Upaya Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. RSUP HAM juga merupakan pusat rujukan kesehatan regional untuk wilayah Sumatera bagian Utara dan bagian Tengah yang meliputi provinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Barat.
Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
335/Menkes/SK//VII/1990 tanggal 11 Juli 1990 menyatakan bahwa RSUP Haji Adam Malik ditetapkan sebagai rumah sakit kelas A berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI No. 502/Menkes/SK/IX/1991 tanggal 6 September 1991.
Kemudian pada tanggal 15 Juni 1991 RSUP HAM resmi ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan untuk Fakultas Kedokteran USU.
4.2. Deskripsi Karakteristik Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah pasien HIV/AIDS yang menderita infeksi oportunistik pada kulit, berusia lebih dari 10 tahun, serta tidak menderita Diabetes Melitus dan uremia.Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi karakteristik subjek penelitian. Penelitian ini memperoleh sampel sebanyak 16 pasien dalam kurun waktu 5 tahun, yaitu dari tahun 2012 hingga tahun 2016.
4.2.1 Usia Subjek Penelitian
Tabel 4.1. Distribusi penderita infeksi oportunistik pada kulit setiap tahun berdasarkan usia.
Usia (tahun)
Tahun Jumlah %
2012 2013 2014 2015 2016
n % n % n % n % n %
<30 - - 1 5,56 - - 3 16,67 2 11,11 6 39,33 30-39 - - 1 5,56 1 5,56 2 11,11 5 27,78 9 50
>40 - - 1 5,56 2 11,11 - - - - 3 16,67
Jumlah 0 0 3 16,67 3 16,67 5 27,78 7 38,89 18 100
Rata-rata usia penderita infeksi oportunistik pada kulit adalah 32,68 ± 7,37.
Sebagian penderita berusia 30-39 tahun yaitu sebanyak tujuh orang (43,75%), kemudian berusia di bawah 30 tahun sebanyak enam orang (37,5%) dan sisanya berusia di atas 39 tahun sebanyak tiga orang (18,75%).Rentang usia penderita terbanyak pada penelitian ini lebih besar dari dua penelitian sebelumnya di tempat yang sama, dimana pada masing-masing penelitian mendapat 99 pasien (Simbolon, 2011) dan 40 pasien (Tampubolon, 2012) dengan rentang usia terbanyak 21-30 tahun. Penelitian ini mendapat usia sampel lebih tua daripada penelitian sebelumnya di Nigeria, dengan rata-rata usia yaitu 31,6 tahun (Nnoruka et al, 2003).
4.2.2. Jenis Kelamin Subjek Penelitian
Tabel 4.2.Distribusi penderita infeksi oportunistik pada kulit setiap tahun berdasarkan jenis kelamin.
Jenis Kelamin
Tahun Jumlah %
2012 2013 2014 2015 2016
n % n % n % n % n %
Laki-laki - - 2 16,67 1 8,33 3 25 6 50 12 75
Perempuan - - 1 25 1 25 2 50 - 4 25
Jumlah 0 0 3 18,75 3 18,75 5 31,25 6 37,5 16 100%
Sebagian besar penderita infeksi oportunistik pada kulit adalah laki-laki, yaitu sebanyak 12 orang (75%) dan sisanya adalah perempuan, yaitu sebanyak empat orang (25%).Penelitian ini sejalan dengan penelitian serupa di Turki, dengan mayoritas responden berjenis kelamin laki-laki (84,9 %) (Aydin et al, 2015).Tingginya prevalensi HIV pada laki-laki dibandingkan pada perempuan dapat menjadi faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Sebaliknya, penelitian
yang dilakukan di Kamerun mendapatkan hasil yang bertentangan, dimana responden perempuan [236 (61,5%)] lebih banyak daripada responden laki-laki [148 (38,5%)] (Mbuagbaw et al, 2004).
4.2.3. Stadium Klinis Subjek Penelitian
Tabel 4.3.Distribusi penderita infeksi oportunistik pada kulit setiap tahun berdasarkan stadium linis infeksi HIV.
Stadium Tahun Jumlah %
2012 2013 2014 2015 2016
n % n % n % n % n %
I - - - -
II - - - 0 0
III - - 3 18,75 2 12,5 4 25 4 25 13 81,25
IV - - - - 1 6,25 2 12,5 3 18,75
Jumlah 0 0 3 18,73 2 12,5 5 31,25 7 43,75 16 100
Sebagian besar penderita infeksi oportunistik pada kulit berada pada kelompok stadium III, yaitu sebanyak 13 orang (81,25%), lalu diikuti oleh kelompok stadium IV dengan jumlah sebesar tiga orang (18,75%). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di India pada tahun, dimana kelompok stadium III terbanyak menderita infeksi kulit yaitu 203 kasus (48,21%). Sebuah penelitian di Nigeria pada tahun 2014 juga menunjukkan tingginya proporsi penderita HIV stadium III yang menderita penyakit kulit yaitu sebanyak 83 kasus (53,2%) dan mendapat hubungan yang signifikan antara kejadian kelainan kulit dengan stadium klinis HIV (p <0,05), sehingga penelitian tersebut menyatakan bahwa kelainan kulit dapat menjadi indikator perjalanan infeksi HIV menjadi AIDS (Oninla, 2014).
4.2.4. Hasil Hitung Sel T CD4+ Subjek Penelitian
Tabel 4.4. Distribusi penderita infeksi kulit setiap tahun berdasarkan hasil hitung sel T CD4+
CD4+
(sel/µL)
Tahun Jumlah %
2012 2013 2014 2015 2016
n % n % n % n % n %
<200 - - 3 18,75 1 6,25 3 18,75 4 25 11 68,75
≥200 - - - - 1 6,25 2 12,5 3 18,75 5 31,25 Jumlah 0 0 3 18,75 2 12,5 5 31,25 7 43,75 16 100
Rata-rata hasil hitung sel T CD4+ pada penderita infeksi oportunistik pada kulit adalah 162,13 ± 168,28. Sebagian besar pasien memiliki CD4+<200 sel/µL, yaitu sebanyak 11 orang (68,75%) dan 5 orang (31,25%) memiliki CD4+ ≥200 sel. Penelitian ini mendapat proporsi penderita yang lebih banyak daripada penelitian di Kamerun, dimana terdapat 300 pasien (57,47%) dengan CD4+ <200 sel/µL dan 154 pasien (29,5%) dengan CD4+ ≥200 sel/µL serta dapat disimpulkan bahwa penyakit kulit yang lebih berat terjadi pada CD4+ yang lebih rendah (Lahoti et al, 2017).
4.3. Deskripsi Pola Infeksi Kulit pada Penderita HIV/AIDS
Dari 27 pasien HIV/AIDS yang tercatat menderita kelainan kulit, hanya 18 pasien yang memenuhi kriteria inklusi, dengan 16 pasien (89%) penderita kelainan kulit infeksi dan non-infeksi serta dua pasien (11%) menderita hanya kelainan kulit non-infeksi. Pada penelitian ini terdapat infeksi multipel sehingga jumlah kelainan kulit menjadi 39 kasus, dengan 25 kasus (64,01%) kelainan kulit infeksi dan 14 kasus (35,89%) kelainan kulit non-infeksi. Kelainan kulit non- infeksi yang paling sering terjadi antara lain Papular Pruritic Eruption sebanyak tujuh kasus (17,94%), diikuti oleh dermatitis seboroik sebanyak dua kasus (5,12%), serta sisanya adalah dermatitis eksfoliata generalisata, prurigo nodularis, xerosis, ptiriasis sika dan akne vulgaris dengan jumlah masing-masing satu kasus (2,56%).
4.3.1. Distribusi Infeksi Kulit berdasarkan Tahun
Tabel 4.5.Distribusi infeksi oportunistik pada kulit periode tahun 2012-2016.
Penyakit infeksi Jumlah Persentase
Folikulitis Kondiloma akuminata
Herpes Zoster Herpes genitalis
3 5 2 1
12 20 8 4
Moluskum kontangiosum Veruka vulgaris
Kandidiasis Tinea korporis
Tinea kruris
1 2 8 1 2
4 8 32
4 8
Jumlah 25 100
Infeksi kulit yang paling sering terjadi yaitu kandidiasis [8 (32%]. Pada sebuah penelitian di Thailand, penyakit tersebut menjadi penyakit kulit kedua terbanyak pada penderita HIV/AIDS, dengan persentase sebesar 54,2% (Wiwanitkit, 2004).
Dermatofitosis (tinea korporis dan tinea kruris) merupakan infeksi yang cukup sering terjadi pada penelitian ini [3 (10,34%)], sejalan dengan penelitian di Nigeria dengan persentase sebesar 24,3% (Nnoruka et al, 2007).
Moluskum kontangiosum [1 (3,45%)] merupakan salah satu infeksi yang paling jarang terjadi pada penelitian ini. Hal ini sejalan dengan sebuah penelitian di Korea tahun 2004, dengan frekuensi hanya 1 kasus (1,44%) (Kim et al, 2004).
Herpes zoster [2 (6,89%)] menempati urutan kedua paling jarang terjadi. Hal serupa juga dikemukakan oleh Nnoruka (2007) dimana terdapat 14 kasus (8,8%) herpes zoster.
Tabel 4.6. Distribusi penyakit infeksi tahun 2013
Penyakit infeksi Jumlah Persentase
Kondiloma akuminata Kandidiasis Tinea korporis
2 1 1
50 25 25
Jumlah 4 100