• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKAR MASALAH KORUPSI PBJ

Dalam dokumen Report Kajian Pengadaan Barang dan Jasa (Halaman 41-74)

3.1 KORUPSI DAN TINDAK P IDANA KORUPSI TERKAIT PBJ

Mendefinisikan korupsi tidak cukup hanya dari satu perspektif saja. Butuh beragam perspektif untuk mendefinisikan korupsi, berikut beberapa perspektif korupsi:

KORUPSI PERSPEKTIF UMUM

Korupsi secara istilah berasal dari bahasa latin yaitu corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok), kebejatan, ketidakjujuran, tidak bermoral.

Bibit Samad Rianto, dalam Bukunya 'Koruptor Go To Hell' (2009), mendefinisikan korupsi sebagai Perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan publik yang merugikan negara atau masyarakat.

Perbuatan korupsi haruslah memenuhi 4 unsur : 1). Niat melakukan korupsi (desire to act),

2). Kemampuan untuk berbuat korupsi (ability to act),

3). Peluang atau kesempatan untuk melakukan korupsi (opportunity to do corruption), 4). Target atau adanya sasaran untuk dikorupsi (suitable target).

Menurut Transparency International Korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

KORUPSI PERSPEKTIF EKONOMI

25

Beragam ekonom menjelaskan model-model untuk menjelaskan korupsi. Beberapa dari model tersebut diantaranya:

Model 1: Korupsi, Diskresi, Monopoli dan Akuntabilitas

Klitgaard menggambarkan bahwa korupsi akan semakin besar pada suatu organisasi jika discretionary meningkat, monopoli menguat, tanpa diikuti dengan adanya akuntabilitas.26 Hubungan tersebut dapat dijabarkan dengan formula sebagai berikut:

Corruption = Discretionary + Monopoly – Accountability C = D + M - A

Korupsi meningkat jika diskresi, yaitu keleluasaan mengambil keputusan, semakin besar. Dalam konteks ini, pemerintahan otoriter merupakan contoh pemerintahan dengan diskresi yang terlalu besar, sehingga korupsi

25 Disarikan dari konsep SIN (Sistem Integritas Nasional), KPK 2014

41

pun cenderung meningkat. Pandangan Lord Acton bahwa power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely merupakan frasa yang menjelaskan fenomena ini dengan tepat.27

Monopoli meningkatkan posisi tawar suatu kelompok, apakah itu kelompok yang berjuang untuk kepentingan ekonomi, politik atau ideologi. Ketiadaan kompetisi membuat mereka lebih leluasa untuk memanipulasi keadaan demi kepentingan kelompoknya. Instansi pemerintah, bahkan negara bisa digiring untuk bergerak sesuai dengan keinginan mereka.

Akuntabilitas terkait dengan kemampuan suatu organisasi untuk menuntut tanggung jawab atas setiap perbuatan pimpinan dan anggota organisasi bersangkutan. Tanpa adanya akuntabilitas, tidak bisa diketahui siapa yang berbuat salah dan siapa yang berprestasi. Kondisi ini menimbulkan agency problem, dimana agen akan memaksimalkan setiap keputusan dan aktifitas untuk kepentingan dirinya.28

Corruption = [Discretionary + Monopoly – Accountability] / Values C = [D + M - A] / V

Gabor Peteri (2008) memodifikasi formula Klitgaard dengan memasukkan unsur values atau nilai-nilai, mengingat masing-masing negara mempunyai nilai-nilai yang berbeda. Perbedaan nilai ini menyebabkan masing-masing bangsa mempunyai cara pandang dan sikap yang berbeda terkait dengan isu anti korupsi. Misalnya, konsep monopoli, diskresi dan akuntabilitas di negara barat tidak bisa disamakan dengan konsep di negara Asia seperti Indonesia.29 Data empirik menunjukkan bahwa unsur budaya memegang peran penting, bahkan sekitar 75% dari variasi yang terdapat pada skor CPI sangat terkait erat dengan faktor budaya dan nilai-nilai.30

Model 2: Cost and Benefit Analysis (Analisa Biaya dan Manfaat)

Dalam model ini koruptor melihat korupsi sebagai tindakan yang rasional dan terukur. Mereka melakukan kalkulasi sebelum memutuskan langkah. Dalam konteks ini, konsep cost and benefit analysis relevan untuk dipergunakan. Jika manfaat korupsi (benefit) dianggap menarik setelah memperhitungkan biaya dan risiko (cost), maka koruptor akan melakukan korupsi31.

Untuk menekan tingkat korupsi, maka cost harus ditingkatkan, salah satunya dengan memperbaiki sistem sehingga semakin tinggi kemungkinan koruptor tertangkap, dalam kata lain meningkatkan akuntabilitas organisasi. Memperberat hukuman bagi koruptor yang tertangkap merupakan upaya yang dapat berfungsi sebagai deterrent effect (mencegah) serta menimbulkan efek jera.

Upaya meningkatkan pendapatan staf dirasa berperan32, paling tidak ini berperan untuk petty corruption (korupsi kecil) atau corruption by needs (korupsi karena kebutuhan). Tetapi, untuk grand corruption (korupsi besar) dan corruption by greed (korupsi karena keserakahan), upaya menaikkan gaji tidaklah relevan, mengingat gaji tidak seberapa dibandingkan besarnya nilai korupsi yang akan didapat. Dalam konteks ini

27 http://www.acton.org/research/lord-acton-quote-archive

28 Ni o Groe e dijk, A Principal-Agent Model of Corruption, Crime, Law & Social Change, 27:207–229, 1997.

29 Gabor Peteri, Finding the Money, Open Society Institute, Center for Policy Studies, CEU, Hungary, 2008

30“ta dholz W da ‘. Tageepera, Corruptio , Culture & Co u is , I ter atio al ‘e ie of “o iology, Vol o , , dala Korupsi Mengorupsi Indonesia

31 Wijayanto “a iri , Fighti g Corruptio i I do esia: The Need of Ne Approa hes to E sure that Progress Co ti ue ,

42

sebuah studi membuktikan tidak ada indikasi yang kuat bahwa menaikan gaji saja akan mampu menurunkan tingkat korupsi.33 Diperlukan faktor lain.

Secara ringkas fenomena tersebut dapat digambarkan sebagaiberikut: Gambar 1: Cost & Benefit Model

Sebagai makluk sosial, hukuman sosial oleh masyarakat dianggap berperan dalam menekan tingkat korupsi. Sayangnya masyarakat kita masih cenderung permisif. Para koruptor tetap diterima dengan tangan terbuka setelah keluar dari penjara. Membangun kesadaran masyarakat melalui berbagai pendekatan budaya dan pendidikan sudah saatnya diupayakan dengan serius.

Model 3: Supply dan Demand (Produksi dan Konsumsi)

Dalam konteks supply dan demand, korupsi berperilaku seperti jasa yang dapat diperjual-belikan. Supplier adalah pejabat pemerintah atau pengambil kebijakan dimana consumer adalah mereka yang hidupnya tergantung dari kebijakan tersebut, bisa jadi ia adalah kelompok bisnis, investor atau masyarakat biasa. Dinamika di masyarakat akan menyebabkan garis supply dan demand bertemu di titik keseimbangan E, dimana terjadi Q korupsi dengan rata-rata harga P untuk tiap korupsi. Dalam kondisi ini, bangsa dirugikan sebesar segi empat OQEP.

Jika upaya pemberantasan dilaksanakan dengan menekan supply, misalnya dengan mengetatkan proses bisnis di instansi pemerintah, maka yang terjadi adalah penurunan supply korupsi tetapi pada saat yang bersamaan harga jasa korupsi meningkat akibat risiko yang bertambah. Terjadi titik keseimbangan baru E2, dimana harga korupsi naik menjadi P2 dan kuantitas turun menjadi Q2, tetapi kerugian bangsa tidak terlalu berubah, yaitu menjadi segi empat OQ2E2P2.

Prinsip supply dan demand menunjukkan, bahwa kerugian bangsa akibat korupsi hanya akan turun signifikan jika ada upaya menurunkan supply sekaligus demand pada saat yang bersamaan. Akibat upaya tersebut maka kuantitas korupsi berada pada Q3, dengan harga P3. Kondisi ini akan memperkecil kerugian bangsa menjadi OQ3E3P3; dan OQ3E3P3 <OQ2E2P2 < OQEP.

33Da iel Treis a , The Cause of Corruptio : A Cross-Natio al “tuy , Jour al of Public Economics 2000, 76:3, hlm 399-457; Dan Rauch, Peter E a s, Beuro rati “tru turea d Beuro rati Perfor a e i Less De eloped Cou try , Jour al of Pu li E o o i s, : , hlm

43

Gambar 2: Diagram Supply & Demand

Selain ketiga model tersebut, ada beberapa model yang menarik untuk dipahami prinsip dasarnya, diantaranya model willingness & opportunity (keinginan dan kesempatan) yang menggambarkan bahwa korupsi akan terjadi jika ada keinginan dan kesempatan. Keinginan merupakan representasi dari integritas dan kualitas moral individu, sedangkan kesempatan merupakan situasi yang terbangun oleh lingkungan dan sistem yang ada di dalam dan di sekeliling instansi pemerintah. Kedua faktor tersebut harus dibangung secara paralel. Mengandalkan kualitas moral saja kita tidak cukup karena manusia bisa berubah. Mengandalkan sistem saja sering gagal, mengingat manusia bisa mengakalinya.

KORUPSI PERSPEKTIF POLITIK

Dalam konteks politik, korupsi dijelaskan oleh beberapa pakar berikut ini:

Menurut Joseph S. Nye, korupsi adalah ...behavior which deviates from the formal duties of a public role because of private-regarding (personal, close family, private clique) pecuniary or state gains; or violates rules against the exercise of certain types of private-regardi g i flue e”

Sedangkan Carl J. Friedrich mengatakan bahwa, Corruption is a kind of behavior which deviates from the norm actually prevalent or believed to prevail in a given context, such as the political. It is deviant behavior associated with a particular motivation, namely that of private gain at public expense. But whether this was the motivation or not, it is the fact that private gain was secured at public expense that matters. Such private

gai ay e a o etary o e, a d i the i ds of the ge eral pu li it usually is, ut it ay take other for s” Menurut Mark Philip, korupsi politik adalah where people break the rules, and do so knowingly, while subverting the public interest in the search for private gain and the benefit of a third party, in ways which runs directly counter to the accepted standards of practices within the political culture”.

44

Public procurement is a business process embedded within a political system. Government are increasingly judged on the quality of governance provided, in particular on how transparency, integrity and accountability are ensured in the public procurement process.34

Kesimpulan tersebut diambil oleh Elodie Beth dari workshop OECD yang dihadiri oleh tiga unsur stakeholder utama dalam PBJ yaitu elected official, public procurement officer, and contractors. Bah a terdapat grey area dalam PBJ pemerintah yang sangat dipengaruhi oleh sistem politik di negara tersebut.

Sehingga Korupsi politik adalah penyalahgunaan kewenangan atau jabatan publik untuk kepentingan atau keuntungan diri sendiri.

KORUPSI PERSPEKTIF SOSIAL

Alatas mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Kepercayaan yang disalahgunakan dalam korupsi diletakkan dalam konteks pemisahan barang public dan barang privat. Terdapat tiga bentuk korupsi menurut Alatas yaitu pemerasan, nepotisme, dan penyogokan. Alatas memandang persoalan korupsi sebagai persoalan relasi kekuasan dan hal ini harus dipahami menurut konteks dimana terjadinya korupsi.35

Selain Alatas, tidak ada lagi sosiolog yang membahas tentang konsep sosiologi korupsi. Tulisan sosiolog yang ada hanya menganalisa kasus tertentu, dan bukan dalam rangka mempermasalahkan konsep. Namun terdapat beberapa teori dan konsep sosiologis yang sudah ada yang dapat digunakan dalam menganalisa korupsi yaitu: Hukum dan struktur sosial. Dalam sosiologi hukum, hukum merupakan satu jenis dari berbagai jenis norma yang ada dalam masyarakat. Hukum , sebagai bentuk dari control sosial dilihat dari hubungannya dengan norma lain. Menilai suatu aturan hukum, bukan dari rumusannya itu sendiri melainkan dari konteks norma-norma lain. Hukum seringkali tidak imbang menguntungkan kelompok atau beberapa kelompok tertentu. Menurut Cribb, hukum tidak mungkin mengakomodasi semua kepentingan secara sama rata. Karena itu penting melihat kemampuan negara dan masyarakat mendorong perbaikan sistem hukum secara terus menerus. 36

Norma merupakan konsep dasar sosiologi. Studi sosiologis terhadap korupsi melihat sebagai penyimpangan norma tertentu. Bagi sosiolog, norma lebih banyak dilihat sebagai kekuatan eksternal dimana individu atau kelompok menyikapinya, apakah mematuhi atau mengabaikan. Keterbatasan dari penggunaan konsep ini adalah korupsi sering tidak sekedar melanggar norma, melainkan diikuti dengan strategi untuk mengakali norma itu sendiri. Analisis lain adalah tentang jaringan, yaitu terhubungnya sejumlah orang atau oganisasi dalam mencapai tujuan tertentu dimana masing-masing mempunyai kedudukan dan peran. Jaringan berkembang karena keputusan untuk mengembangkan hubungan diluar yang telah ditetapkan dalam suatu organisasi. Banyak kasus korupsi yang dilakukan karena adanya kerjasama semacam ini, baik melalui pendefinisian kembali hubungan yang sudah ada secara resmi/diakui atau membangun hubungan baru.37

34 Beth, Elodie. 2005. Mai Fi di g of The Foru Workshop o I pro i g Tra spare y i Pu li Pro ure e t. OECD Publishing (Fighting Corruption and Promoting Integrity in Public Procurement). Hal: 46

35 Rochman, Mutia Gani dan Achwan. 2015. Sosiologi Korupsi. UI Press. Jakarta. Hal. 30

36 Ibid. Hal. 31

45

TINDAK PIDANA KORUPSI

Korupsi dalam kajian menggunakan perspektif lebih luas, tidak hanya berdasarkan perspektif Hukum normatif yang berlaku di Indonesia, juga dikaitkan dengan korupsi pada perspektif ekonomi, politik, dan sosial. Hal ini mengingat, korupsi tidak bisa dilihat hanya dari satu perspektif. Namun, untuk menelaah akar masalah korupsi pada PBJ, kajian ini diawali dengan pengambilan data empirik kasus tindak pidana korupsi PBJ yang ditangani KPK dan telah berstatus inkracht (ketetapan hukum).

Dalam UU no. 31 tahun 1999 jo. UU no. 20 tahun 2001, tindak pidana korupsi dibagi menjadi 7 delik yaitu:

TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PBJ

OECD dalam bukunya Fighting corruption and promoting integrity in public procurement menyebutkan bahwa Korupsi pada PBJ biasanya melibatkan pejabat publik yang bertanggungjawab mengambil keputusan pengadaan dan perusahaan swasta yang menjadi vendor dalam pengadaan tersebut. Beberapa bentuk korupsi yang biasanya terjadi adalah:

1. Suap atau janji yang diberikan pihak swasta kepada pejabat publik untuk mempengaruhi kebijakannya. Pejabat publik melakukan pelanggaran dengan cara: membatasi perusahaan yang diundang untuk mengikuti tender dengan cara mengeluarkan aturan yang membatasi, memecah

Korupsi

perspektif

Hukum

Perspektif Politik Perspektif Sosial Perspektif ekonomi

46

paket menjadi sehingga tidak perlu lelang terbuka (menghindari publikasi tender) agar dapat memilih vendor tertentu.

2. Auto-corruption; pejabat publik melakukan korupsi untuk keuntungan dirinya sendiri atau asosiasi tempatnya bernaung. Pejabat publik menggunakan perusahaan boneka untuk menjalankan tindakan korupsinya atau menggunakan perusahaan tertentu yang dapat diajak bekerjasama.

Selain itu, terdapat juga korupsi yang bukan terkait dengan persekongkolan, tetapi murni dilakukan oleh pihak swasta. Misalnya; kolusi antar peserta tender, penetapan harga, kartel atau praktik yang tidak kompetitif lainnya yang dilakukan oleh peserta tender. Hal ini mengakibatkan pemerintah tidak mendapatkan keuntungan maksimal dari pengadaan yang dilakukan38.

Kemudian, buku ini juga mengulas mengapa tindak pidana korupsi lebih banyak terjadi pada PBJ Pemerintah dibandingkan dengan PBJ di pihak swasta. Berikut beberapa alasannya:

1. Pengadaan publik cenderung melibatkan pekerjaan yang lebih besar dan lebih terlihat (rumah sakit misalnya, kereta api, pesawat, jembatan, pembangkit listrik) ddibandingkan dengan pengadaan di swasta. Jadi, bahkan jika frekuensi korupsi di PBJ pemerintah dan PBJ swasta adalah sama namun secara keuangan pada PBJ pemerintah besaran nilainya.

2. Pemerintah memiliki 'fungsi tujuan' yang lebih kompleks dibanding pihak swasta saat pemberian kontrak melalui proses tender. Pemerintah daerah, misalnya, mungkin sangat sensitif terhadap isu-isu politis seperti tenaga kerja lokal, promosi perusahaan daerah, mendistribusikan pekerjaan secara merata di antara pemasok lokal, dst yang pemilihannya seringkali tidak didasarkan pada pertimbangan teknis atau efisiensi pada saat proses lelang. Akibatnya, pengadaan pemerintah sering terlihat kurang transparan dibandingkan dengan pengadaan swasta.

3. Ada kecurigaan, di beberapa negara, bahwa rendahnya pendapatan PNS dapat mendorong mereka untuk lebih sering terlibat dalam praktek korupsi untuk mencapai tingkat pendapatan yang sama dengan sektor swasta.

4. Di banyak negara ada perhatian khusus tentang kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh pemegang jabatan publik. Di negara-negara ini, pasar pengadaan publik diawasi dengan lebih seksama dibandingkan pasar pengadaan swasta. Akibatnya, dengan tingkat korupsi yang sama di kedua jenis pasar, pada pengadaan public akan lebih banyak ditemukan kasus korupsi.

5. Di banyak negara kemampuan partai politik (dan pejabat terpilih) untuk mengumpulkan dana politik sangat terbatas meskipun ada indikasi jelas bahwa kemampuan untuk bertahan hidup tantangan politik krusial tergantung pada sumber dari partai politik. Dengan demikian, ada bentuk khusus dari tekanan pada pemegang jabatan untuk menggunakan pemberian kontrak pemerintah untuk mengamankan sumber-sumber ekonomi (misalnya transportasi, iklan, donasi moneter, pembangunan fasilitas seperti kolam renang, tempat parkir, dll) untuk mempertahankan posisi pejabat tersebut. 6. Terakhir, pemerintah memiliki tanggung jawab khusus untuk membasmi praktek-praktek di pasar

pengadaan publik. Mereka memiliki kemampuan untuk melakukannya melalui kebijakan publik berarti seperti diberlakukannya aturan dan prosedur tertentu untuk desain pasar pengadaan publik sedangkan sedikit sekali pengaturan untuk pengadaan swasta.

Mantan penyidik KPK, Roberthus Yohanes De Deo dalam tulisan nya yang dibuat berdasarkan pengalaman bersama Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menangani perkara tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa pemerintah, dapat diidentifikasi bahwa permasalahan pengadaan barang dan jasa untuk kepentingan pemerintah, antara lain karena banyaknya penyimpangan dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pengawasan/pertanggungjawaban pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Karakteristik tindak pidana korupsi yang umumnya terjadi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah yang selama ini ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi antara lain adalah :

47

1. Barang/jasa yang diadakan sesungguhnya tidak dibutuhkan atau tidak sesuai dengan kebutuhan, namun merupakan pesa a da titipa dari atas pi pi a serta pihak – pihak yang berkepentingan, bukan direncanakan berdasarkan kebutuhan yang nyata.

2. Spesifikasi barang dan jasa serta Harga Perkiraan Sendiri yang seharusnya dibuat panitia pengadaan sesungguhnya adalah spesifikasi yang diarahkan pada merk tertentu dengan harga yang diatur dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam kondisi inilah muncul penggelembungan harga (mark up) atau penyusutan harga (mark down) sebagai wujud scenario yang dilakukan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.

3. Lelang yang seharusnya fair, terbuka dan berdasarkan kompetensi, nyatanya hanya proforma, arisan bahkan pesertanya diatur sesuai scenario untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.

4. Penerimaan sejumlah uang atau barang sebagai imbalan (Kick Back), dari penyedia barang kepada sponsor, makelar proyek (broker), maupun pejabat tertentu, yang menyebabkan harga barang/jasa semakin membengkak

5. Pemberian sejumlah uang atau barang sebagai setoran atau upeti, dengan prosentase tertentu sesuai nilai proyek pengadaan barang dan jasa yang harus disetor oleh panitia pengadaan dan PPK (Pimpro) kepada atasan, dengan dalih sebagai dana taktis atau dana operasional untuk keperluan belanja organisasi.

Menurut Sutedi, korupsi pada pengadaan barang dan jasa diawali dengan adanya keterbatasan atau pelarangan akses mendapatkan informasi, penyalahgunaan system penunjukkan langsung atau tender tertutup, keterbatasan atau tidak efisiennya pengawasan dan pemantauan selama proses tender dilakukan, bahkan dalam tahap pelaksanaan dilapangan serta kurang nya transparansi dalam tahap penghitungan anggaran.

Panduan Mencegah Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa Publik, TII, 2006:

Penyuapan vs Uang Pelicin. Biasanya, kasus penyuapan dalam jumlah yang besar diberikan kapada pejabat senior pemerintah (pembuat keputusan) untuk menghasilkan keputusan menguntungkan si penyuap.

Sedangkan Uang Pelicin, biasanya berupa pemberian uang dalam jumlah yang lebih kecil, yang pada umumnya diberikan kepada pegawai rendahan dengan maksud untuk mempercepat atau mempermudah masalah terutama yang terkait persoalan hukum (tau uang pelicin untuk memperlancar pembayaran akibat keterlambatan pembayaran, misalnya pembayaran pajak.

Supply vs Demand. Biasanya, praktik penyuapan dapat dilakukan apabila ada pertemuan antara si pemberi suap dengan si penerima suap; kasus terakhir (juga disebut sebagai pemerasan) seringkali diartikan sebagai korupsi pasif , aka tetapi arti istilah i i e jadi salah pe gertia kare a pelaku pe erasa aka mampu

elakuka apa saja ke uali ersikap pasif.

Kartel atau Kolusi. Kartel biasanya sering terbentuk oleh para peserta tender dengan tujuan untuk

memanipulasi pemenang tender, yang menguntungkan salah satu anggota kartel tersebut. Praktik yang juga digolongkan sebagai korupsi ini dapat dilakukan dengan atau tanpa adanya keterlibatan pejabat negara didalamnya. Sementara, kolusi biasanya merupakan bentuk kesepakatan dari peserta tender untuk menetapkan giliran pemenang tender atau kesepakatan pembayaran kompensasi kepada pihak yang kalah dalam tender karena memasukan penawaran yang lebih tinggi.

Struktur vs Situasional. Korupsi dala ko teks is is seri g er e tuk struktural , ya g erarti telah direncanakan dan dipersiapkan secara matang serta dijalankan secara sistematik. Seringkalinya untuk korupsi

48

seseorang mengemudi kendaraan dibawah pengaruh minuman keras dan kemudian tertangkap oleh petugas polisi, orang tersebut akan menawarkan uang suap kepada petugas tersebut dengan tujuan membujuknya agar tidak memberikan surat tilang.

1. Belanja mendesak di akhir tahun anggaran;

o Di banyak lembaga publik, banyak dana yang tidak terbelanjakan hingga akhir tahun anggaran sehingga mendorong pejabat di lembaga tersebut untuk segera menghabiskannya untuk sesuatu yang sebenarnya tidak diperlukan. Biasanya mekanismenya melalui

penunjukan langsung.

2. Masa tanggap darurat saat bencana alam atau bencana lainnya;

o Pada masa bencana, ada dana yang sangat besar dan harus dibelanjakan secara cepat untuk menanggulangi masalah kemanusiaan. Ditambah lagi sulitnya melakukan proses pengadaan barang dan jasa.

3. Kurangnya akses informasi;

o Korupsi secara diam-diam telah berkembang dengan pesat. Meski pemerintah secara pro aktif telah mengeluarkan kebijakan mengenai kebebasan atas informasi, namun penerapan yang lemah telah menyebabkan peluang untuk memanipulasi informasi tetap terjadi. 4. Standarisasi dokumen tender;

o Tidak adanya standarisasi dokumen menimbulkan adanya upaya manipulasi yang menyebabkan kerancuan dalam pengambilan keputusan.

5. Penetapan peserta tender;

o Kecenderungan untuk menentukan peserta tender tertentu (tidak mengikuti aturan penetapan peserta tender).

6. Keikutsertaan Perusahaan Milik Pejabat Publik;

o Kecenderungan untuk memberikan perlakuan isteimewa kepada perusahaan milik pejabat publik

7. Keikutsertaa Perusahaa Bo eka

o Perusahaan boneka biasanya berbadan hukum resmi, namun tidak beroperasi secara aktif dan hanya dibuat untuk membantu menyembunyikan identitas pemiliknya.

OECD, 2005:

OECD dibantu lembaga Bassel, mengidentifikasi tahapan penting dalam proses pengadaan berikut:

1. Pemilihan konsultan. Seringnya harga kontrak konsultasi jauh di bawah penawaran yang kompetitif, sehi gga ko sulta ya g dapat di egosiasi ya g dapat dipilih.

Dalam dokumen Report Kajian Pengadaan Barang dan Jasa (Halaman 41-74)

Dokumen terkait