• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi PBJ di Indonesia

Dalam dokumen Report Kajian Pengadaan Barang dan Jasa (Halaman 28-41)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.3 Kondisi PBJ di Indonesia

PELAJARAN PENTING DARI BENCHMARK SISTEM PBJ

No. Hal Benchmark Sistem PBJ

1 Regulasi Regulasi terkait PBJ bersifat sentralisasi, hanya ada 1 regulasi saja (setingkat UU beserta turunan peraturan pelaksananya)

2 Prinsip PBJ o Value for money, o Monitoring publik,

o Perlakuan yang sama untuk pemasok atau vendor

3 Kelembagaan o Kementerian Keuangan bertanggungjawab terhadap Lembaga Pengadaan Barang dan Jasa sebagai pos pengeluaran belanja negara.

o Filipina memisahkan antara lembaga regulator dan implementator 4 Pelaksanaan o E- Procurement menjadi andalan utama dalam menciptakan PBJ yang

transparan, akuntabel, dan mengurangi fraud dan korupsi. o Sentralisasi Pengadaan-pengadaan yang bersifat strategis.

2.3 KONDISI PBJ DI INDONESIA

REGULASI PBJ DI INDONESIA24

Pengaturan tentang Pengadaan Barang dan Jasa memiliki peran yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara. Setidaknya ada lima alasan;

1) Dibutuhkan untuk memastikan bahwa pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah mencapai tujuan agar mendapatkan barang dan jasa dalam harga yang kompetitif dengan kualitas yang tinggi. Pengaturan ini menjadi panduan bagi para penyelenggara yang memiliki tugas melakukan pengadaan barang dan jasa.

2) Agar ada pengaturan yang relative seragam ketika berbagai instansi publik melakukan pengadaan barang dan jasa. Keseragaman dibutuhkan untuk memudahkan melakukan proses PBJ dan pemantauan.

3) Agar instansi public dan penyedia barang dan jasa dapat mengetahui secara akurat proses dan prosedur serta berbagai persyaratan dalam PBJ oleh instansi publik.

4) Agar dapat dicegah tindakan yang bersifat kolutif dan koruptif, termasuk prosedur yang benar dan salah.

5) Dapat menjadi panduan bagi auditor untuk memastikan bahwa syarat, proses, dan prosedur telah diikuti.

Sejak tahun 1973, Indonesia telah memiliki aturan terkait pengadaan barang dan jasa namun masih disisipkan dalam Keppres mengenai Pedoman Pelaksanaan APBN. Keppres pertama yang dikeluarkan terkait pengadaan barang dan jasa adalah Keppres nomor 11 tahun 1973 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN. Setelah Keppres no.11 tahun 1973 lahir, hampir setiap tahun secara berturut-turut lahir keppres baru sebagai penyempurnaan pengaturan pelaksanaan APBN. Barulah setelah tahun 2000 lahir keppres yang secara khusus mengatur pengadaan barang dan jasa.

28

Keputusan/peraturan presiden yang terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah adalah: 1. Keppres No. 11 tahun 1973 tentang Pedoman pelaksanaan APBN

2. Keppres No. 17 tahun 1974 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 1974/1975 (Keppres no. 17/1974)

3. Keppres No. 7 tahun 1975 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 1975/1976 (Keppres No. 7/1975)

4. Keppres No. 14 tahun 1976 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 176/1977 (Keppres No. 14/1976)

5. Keppres No. 12 tahun 1977 tentang Pelaksanaan APBN (Keppres No. 12/1977) 6. Keppres No. 14 tahun 1979 tentang Pelaksanaan APBN (Keppres No. 14/1979) 7. Keppres No. 14 A tahun 1980 tentang Pelaksanaan APBN (Keppres No. 14A/1980)

8. Keppres No. 18 tahun 1981 tentang Penyempurnaan Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 tentang Pelaksanaan APBN (Keppres No. 18/1981)

9. Keppres No. 29 tahun 1984 tentang Pelaksanaan APBN (Keppres No. 19/1984) 10. Keppres No. 16 tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBN (Keppres No. 16/1994)

11. Keppres No. 24 tahun 1995 tentang Perubahan Atas Keppres No. 16/1994 tentang Pelaksanaan APBN (Keppres No. 24/1995)

12. Keppres No. 6 tahun 1999 tentang Penyempurnaan Keppres No. 16/1994 sebagaimana telah diubah dengan Keppres No. 24/1995 tentang APBN (Keppres No. 6/1999)

13. Keppres No. 17 tahun 2000 tentang Pelaksanaan APBN (Keppres No. 17/2000)

14. Keppres No. 18 tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah (Keppres No. 18/2000)

15. Keppres No. 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Keppres No. 80/2003)

16. Keppres No. 61 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Keppres No. 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Keppres No. 61/2004)

17. Keppres No. 32 tahun 2005 tentang Perubahan Kedua Atas Keppres No. 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Keppres No. 32/2005)

18. Keppres No. 70 tahun 2005 tentang Perubahan Ketiga Atas Keppres No. 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Keppres No. 70/2005)

19. Perpres No. 8 tahun 2006 tentang Perubahan Keempat Atas Keppres No. 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres No. 8/2006)

20. Perpres No. 79 tahun 2006 tentang Perubahan Kelima Atas Keppres No. 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres No. 79/2006)

21. Perpres No. 85 tahun 2006 tentang Perubahan Keenam Atas Keppres No. 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres No. 85/2006)

22. Perpres No. 95 tahun 2007 tentang Perubahan Ketujuh Atas Keppres No. 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres No. 95/2007)

23. Perpres No. 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 54/2010)

24. Perpres No. 35 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Perpres 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 35/2011)

25. Perpres No. 70 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Perpres 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 70/2012)

26. Perpres No. 172 tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Perpres 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 172/2014)

29

27. Perpres No. 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Perpres 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 4/2015)

Dilihat dari sejarahnya, Perpres tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah merupakan peraturan pelaksanaan lebih lanjut dari Undang-undang tentang APBN. Sebelum terbit UU no. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU no. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, keppres atau perpres mengacu kepada UU no. 9 tahun 1968 dan undang-undang Dasar 1945 khususnya Pasal 23 ayat (1) yang mengatur tentang keuangan.

Beberapa poin penting dalam regulasi pada periode 1973 – 2000:

• Prinsip pengeluaran adalah penghematan dan efisiensi, pengarahan dan pengendalian yang sesuai dengan fungsi masing-masing departemen, koodinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi, tidak bergaya mewah.

• Tahun 1975 ada keharusan mengutamakan produksi dalam negeri dalam PBJ. Pelaksanaan pengeluaran anggaran sejauh mungkin diusahakan standarisasi.

• Tahun 1980 memuat partisipasi golongan ekonomi lemah dalam PBJ (sekurang-kurangnya 50% modal perusahaan milik pribumi, lebih dari separo Dewan Komisaris dan Direksi adalah pribumi, dan jumlah modal dan kekayaan bersih dibawah 25 juta untuk bidang usaha perdagangan jasa dan dibawah 100 juta untuk industri dan konstruksi.)  pemerataan kesejahteraan.

• S.d Tahun 1984 pelelangan berkembang menjadi 4 jenis; pelelangan umum, pelelangan terbatas, penunjukan langsung, dan pengadaan langsung.

• Tahun 1984 melarang perumusan klausula sanksi ganti rugi bagi pemerintah dalam perjanjian, hanya untuk rekanan.

Beberapa poin penting pada regulasi setelah tahun 2000:

• Adanya ratifikasi dari WTO (uu no. 7 tahun 1994), isu utama pada keppres: transparansi dan anti diskriminasi. Keppres 18 tahun 2000 merupakan regulasi pertama di Indonesia yang khusus mengatur PBJ. Prinsip pengadaan: efisien, efektif, bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif, dan bertanggungjawab.

• Keppres juga menetapkan etika pengadaan bagi pengguna dan penyedia barang dan jasa (kewajiban dan larangan).

• Jenis metode pengadaan disesuaikan dengan jenis objek pengadaannya. Mengharuskan adanya pendapat hukum dari ahli hukum kontrak (diatas 50M). Kontrak dibatalkan jika ada KKN. Sanksi bagi kedua belah pihak. Aturan bersifat teknis diatur dalam lampiran kepres 80/2003.

• Mensyaratkan adanya sertifikat keahlian atas kompetensi dan kemampuan profesi di bidang pengadaan barang dan jasa.

30

E-PROCUREMENT DI INDONESIA

III.1.1 Lembaga yang Melaksanakan E-Procurement di Indonesia

Hingga tahun ini e-procurement di Indonesia sudah terlaksana selama 8 tahun (2008-2011). E-Procurement di Indonesia dimulai pada tahun 2008 dengan keluarnya Keppres nomor 80 tahun 2003 yang mengatur tentang pengadaan barang/jasa pemerintah. Secara eksplisit keppres tersebut mengijinkan proses pengadaan melalui e-procurement.

Untuk mengakomodasi e-procurement di Indonesia, pemerintah dengan berlandaskan beberapa hal mendirikan lembaga yang mengakomodasi layanan pengadaan tersebut yang dinamakan LPSE (Lembaga Pengadaan Secara Elektronik). LPSE sebenarnya merupakan unit kerja yang dibentuk oleh Kementerian/Lembaga/Perguruan Tinggi/BUMN dan Pemerintah Daerah untuk melayani Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang akan melaksanakan pengadaan secara elektronik. Bagi ULP atau instansi yang tidak membentuk LPSE maka dapat melaksanakan pengadaan secara elektronik dengan menjadi pengguna dari LPSE terdekat.

Sumber: http://www.lkpp.go.id

Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) dikembangkan oleh Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang/jasa – Bappenas pada tahun 2006 sesuai dengan instruksi Presiden no 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. E-procurement menjadi salah satu dari 7 flagship Dewan Teknologi Informasi Nasional (Detiknas) dan di bawah koordinasi Bappenas. Pada tahun 2007 telah dilakukan pelelangan secara elektronik melalui LPSE oleh Bappenas dan Departemen Pendidikan Nasional. Pada waktu itu baru terdapat satu server LPSE yang berada di Jakarta dengan alamat www.pengadaannasional-bappenas.go.id yang dikelola oleh Bappenas.

Pada bulan Desember 2007, Presiden mengeluarkan Keppres nomor 106 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Le aga i i erupaka pe ekara Pusat Pe gadaa ya g sebelumnya berada di Bappenas. Dengan adanya Keppres ini, seluruh tugas menyangkut kebijakan pengadaan

31

barang dan jasa pemerintah menjadi tanggung jawab LKPP, termasuk di dalamya pengembangan dan implementasi ELECTRONIC GOVERNMENT PROCUREMENT.

Peran LKPP adalah membantu pemerintah dalam menyusun dan merumuskan strategi, penentuan kebijakan dan standar prosedur pengadaan barang/jasa pemerintah, termasuk pembinaan sumber daya manusia. LKPP juga diberi tugas untuk mengembangkan sistem informasi serta melakukan pengawasan penyelenggaraan pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik. Selain itu, LKPP juga diberi tugas untuk melakukan bimbingan teknis, advokasi dan bantuan hukum.

Pada tahun 2008, instansi pemerintah pusat dan daerah mulai menerapkan e-procurement di pemerintahnya. Pada kuartal 2 tahun 2008, Departemen Keuangan meluncurkan lelang e-proc perdana. Sementara itu, Departemen Pendidikan Nasional juga meluncurkan lelang perdana melalui LPSE pada Desember 2008. Sejak diberlakukannya Perpres 54 tahun 2012, LPSE berkembang jauh lebih cepat dari sebelumnya.

Tabel 3 Transaksi melalui LPSE

Per Oktober 2015

No. Deskripsi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Total 1. Jumlah Lelang 33 1.724 6.397 24.475 91.356 131.908 136.097 151.289 543.279 2. Nilai Pagu (Juta Rp) 52.500 3.372.032 13.424.756 53.286.540 151.286.703 249.394.629 310.050.601 316.205.646 1.097.073.407 3. Jumlah Lelang Selesai 33 1.720 6.370 24.076 88.308 122.505 129.681 128.792 501.485 4. Nilai Pagu Selesai (Juta Rp) 42.898 3.137.595 12.971.803 38.163.399 145.724.645 214.286.561 213.869.090 241.799.630 869.995.620 5. Nilai Hasil Lelang (Juta Rp) 36.286 2.618.650 11.585.138 33.688.791 128.966.245 192.490.242 195.884.370 218.548.017 783.817.738 6. Selisih Pagu dan Hasil Lelang (Juta Rp) 6.612 518.945 1.386.665 4.474.608 16.758.400 21.796.319 17.984.721 23.251.613 86.177.883 7. Selisih Pagu dan Hasil Lelang (%) 15,41 16,54 10,69 11,72 11,50 10,17 8,41 9,62 9,91 8. Selisih HPS dan Hasil Lelang (Juta Rp) - - - - - 14.995.465 11.460.013 12.195.956 38.651.434 9. Selisih HPS dan Hasil Lelang (%) - - - - - 7,00 5,36 5,04 4,44 (Sumber: LKPP 2015)

32 Tabel 4

Jumlah LPSE di Indonesia Per Oktober 2015

Deskripsi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

LPSE System Provider 11 30 98 273 501 547 597 620

LPSE Service Provider 0 3 39 42 42 55 19 15

Jumlah LPSE 11 33 137 315 543 602 616 635

Provinsi terlayani 9 18 28 31 33 33 34 34

Instansi terlayani 11 41 254 613 731 731 731 731

(Sumber: LKPP 2015)

Pada tahun 2010, LKPP mengembangkan sistem Otoritas Sertifikat Digital (OSD) bekerja sama dengan Lembaga Sandi Negara. Sistem ini merupakan perwujudan konsep PUBLIK KEY INFRASTRUKTUR/INFRASTRUKTUR KUNCI PUBLIK/IKP. Pengembangan telah dimulai sejak 2009 dan diharapkan dapat diterapkan secara bertahap pada tahun 2010. Melalui penerapan OSD ini, setiap penyedia barang/jasa akan memiliki satu sertifikat digital yang dapat digunakan untuk melakukan pengamanan dokumen penawaran.

LKPP juga sedang merancang sistem e-purchasing seperti diamanatkan draf perpres pengadaan barang/jasa. Sistem e-purchasing ini diharapkan dapat selesai segera setelah Perpres Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ditetapkan oleh Presiden.

Implementasi LPSE yang tersebar membawa konsekuensi bahwa setiap LPSE INDEPENDEN satu dengan lainnya. Penyedia harus mendaftar di setiap LPSE untuk mengikuti lelang di LPSE tersebut. Di Jakarta misalnya, seorang penyedia akan mendaftar dan melakukan verifikasi di LPSE Kem. Keuangan, LPSE Kem. Pendidikan Nasional, LPSE Kepolisian RI, dan LPSE Kem. Kesehatan. Pada tahun 2010 ini LKPP akan mengembangkan sistem AGREGRASI MELALUI INAPROC yang memungkinkan penyedia cukup mendaftar & verifikasi hanya di satu LPSE untuk dapat mengikuti lelang di seluruh LPSE. Implementasi sistem agregrasi ini akan dilakukan secara bertahap dimulai dari LPSE Kota Yogyakarta dan LPSE Prov. Daerah Istimewa Yogyakarta.

Struktur Organisasi LPSE

Lembaga Pengadaan Secara Elektronik memiliki struktur organisasi sebagai berikut: Struktur Organisasi LPSE

Sumber: http://lkpp.go.id/eproc/app?service=page/PublicStrukturOrganisasi .com)

33

ORGANISASI PENGADAAN DI INDONESIA

Dalam Peraturan Presiden RI nomor 54 tahun 2010 (perpres 54 tahun 2010) tentang Pengadaan Barang Jasa Pemerintah, yaitu dalam BAB III PARA PIHAK DALAM PENGADAAN BARANG/JASA, Bagian Pertama Organisasi Pengadaan, Pasal 7 disebutkan bahwa Organisasi Pengadaan Barang/Jasa untuk Pengadaan melalui Penyedia Barang/Jasa terdiri atas:

a. PA/KPA; b. PPK;

c. ULP/Pejabat Pengadaan; dan

d. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan.

PA yang merupakan singkatan dari Pengguna Anggaran adalah Pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Pejabat yang

disamakan pada Institusi lain Pengguna APBN/APBD yang mempunyai tugas dan wewenang: a. menetapkan Rencana Umum Pengadaan;

b. mengumumkan secara luas Rencana Umum Pengadaan Pengadaan Barang Jasa paling kurang di website K/L/D/I;

c. menetapkan PPK;

d. menetapkan Pejabat Pengadaan Barang Jasa;

e. menetapkan Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan;

f. menetapkan hasil pemilihan penyedia untuk nilai paket diatas 100 milyar untuk non konsultansi dan 50 milyar untuk konsultansi

34

Pejabat Pembuat Komitmen atau sering disingkat dengan PPK adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, PPK memiliki tugas pokok dan kewenangan sebagai berikut:

a. menetapkan rencana pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa yang meliputi: 1) spesifikasi teknis Barang/Jasa;

2) Harga Perkiraan Sendiri (HPS); dan 3) rancangan Kontrak.

b. menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa; c. menandatangani Kontrak;

d. melaksanakan Kontrak dengan Penyedia Barang/Jasa; e. mengendalikan pelaksanaan Kontrak;

f. melaporkan pelaksanaan/penyelesaian Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA;

g. menyerahkan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA dengan Berita Acara Penyerahan; h. melaporkan kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran dan hambatan pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA setiap triwulan; dan

i. menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.

Jika dibandingkan dengan Kepres 80 Tahun 2003, berikut struktur pada kepres tahun 2003:

Kelemahan struktur organisasi pengadaan pada Kepres 80 tahun 2003:

1. Hirarkies dan berjenjang; petugas pertama memilih petugas kedua, petugas kedua memilih petugas ketiga. Pola kontrol hanya dari atasan ke bawahan.

2. Petugas kedua sangat dominan; merencanakan pengadaan, menetapkan pemenang hingga 50 miliar, menandatangani kontrak dengan penyedia terpilih, menyatakan bahwa barang/jasa telah diterima dengan baik dari penyedia.

 Peluang penyimpangan tinggi.

Meskipun kedua kelemahan tersebut telah diperbaiki pada perpres 54 tahun 2010, namun masih terdapat kelemahan:

1. PA/KPA masih memiliki kuasa yang tertinggi untuk mengintervensi proses pengadaan yang berjalan, mengingat ULP, PPK, dan PPHP masih berada di bawah PA/KPA. Jika internal whistle blower tidak dibangun.

2. Sanggah yang diajukan oleh penyedia dijawab oleh ULP sebagai penyelenggara lelang. Tidak ada lembaga independen dalam menjawab sanggah dan menyelesaikan sengketa PBJ.

35

Sedangkan ULP atau Unit Layanan Pengadaan adalah unit organisasi pemerintah yang berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa di K/L/D/I yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada.

PERMASALAHAN DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA

Menurut Sutedi, permasalahan umum pengadaan barang dan jasa adalah karena inefisinesi (harga yang diperoleh melalui proses pengadaan barang dan jasa cenderung lebih tiggi dibandingkan pembelian langsung/harga pasar), lemahnya daya saing nasional dan pendekatan yang protektif. Penyebab atas permasalahan tersebut karena;

1. Legal framework; ketentuan perundang-undangan yang ada sering kali tidak konsisten, tumpang tindih, tidak mengatur secara sama sehingga saling bertabrakan. Selain itu, ketentuan dan pedoman yang ada kurang memberi ruang untuk melaksanakan proses pengadaan barang dan jasa dengan sederhana.

2. Kapasitas sumber daya manusia; pengelola pengadaan barang dan jasa yang ada umumnya tidak memiliki kapasitas pengadaan barang dan jasa sesuai dengan ketentuan. Pengelola pengadaan barang dan jasa belum dipandangan sebagai profesi yang menuntut kualifikasi tertentu

3. Kelembagaan yang mengembangkan kebijakan pengadaan barang dan jasa; Diberbagai Negara, pedoman pengadaan barang dan jasa merupakan produk yang selalu diperbaharui secara terus

36

menerus dievaluasi oleh suatu institusi yang lintas sektoral mengingat cakupannya yang luas. Di Indonesia institusi ini belum dibentuk, sehingga pengembangan kebijakan pengadaan barang dan jasa masih cenderung dilakukan secara ad-hoc. Dampak yang ditimbulkan dengan system pengadaan barang dan jasa yang tidak sehat selama ini antara lain ;

1. Profesionalisme pengusaha pengadaan barang dan jasa (kontrak) tidak berkembang, pengusaha tidak memaknai setiap pekerjaan yang dilaksanakan sebagai proses capacity building dalam rangka peningkatan profesionalisme. Penyebabnya adalah karena rata-rata pekerjaan yang didapatkan tidak lewat kompetisi yang murni, (hacking, praktik calon proyek, atau penjatahan/bagi-bagi proyek)

2. Mutu pekerjaan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan harapan rata-rata pekerjaan yang telah selesai dilaksanakan tidak mempunyai umur yang panjang, terutama pada sector konstruksi. 3. Tingkat korupsi cukup tinggi pada sector pengadaan barang dan jasa

Menurut Marbun, R, 2010 mengatakan bahwa masalah utama pengadaan barang dan jasa di Indonesia , terletak pada harga yang dinaikkan (mark up), kuitansi ganda, tender bisa diatur, tidak transparan dan akuntabel, etika pegawai rendah (banyak menerima suap), serta pemahaman tentang aturan PBJ belum merata.

Purwanto, dkk mengatakan bahwa secara konvensional, persoalan- persoalan yang muncul dalam pengadaan barang dan jasa disebabkan oleh 6 hal yaitu (1) Minimnya monitoring; (2) Penyalahgunaan wewenang; (3) Penyimpangan Kontrak; (4) Kolusi antara Pejabat Publik dan Rekanan; (5) Manipulasi dan Tidak Transparan; (6) Kelemahan SDM.

Menurut Hayie Muhammad, permasalahan PBJ di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam beberapa tema/isu, sebagaimana gambar dibawah ini:

Kelemahan Kerangka Hukum:

a) Tidak diatur dalam aturan yang lebih tinggi, setingkat UU (trend negara di dunia sudah UU) b) Tumpang tindih dengan aturan lain yang statusnya lebih tinggi

c) Aturan PBJ hanya bersifat prosedur administrative

d) Peraturan yang tidak jelas dan multitafsir dan banyak menimbulkan celah e) Tidak memiliki mekanisme sanksi yang ketat dan tegas jika terjadi pelanggaran f) Tidak ada mekanisme perlindungan terhadap penyelenggara pengadaan

g) Tidak ada mekanisme perlindungan terhadap penyedia barang dan jasa dari perlakuan diskriminatif dan tidak adil dalam proses pengadaan

37 Kelemahan Pengawasan:

a) Kurang berperannya sistem pengawasan yang efektif, baik level internal maupun eksternal; b) Tiadanya system pengawasan ketat dan terpadu dalam pelaksanaan kontrak hingga penyerahan

barang dan jasa

c) Tidak membuka ruang public untuk melakukan control dalam proses pengadaan dan pelaksanaan pengadaan

d) Pengaturan sanggah dan sanggah banding yang belum transparan, jujur dan adil, serta penyelesaiannya.

e) Harus membayar uang jaminan yang sangat besar (1%) untuk melakukan sanggah banding, yang dapat dianggap sabagai upaya mencegah penyedia untuk melakukan sanggah banding/kontrol f) Banyak celah dan peluang terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang

Kelemahan Birokrasi:

a) Mencari-cari celah kelemahan aturan atau mengakali aturan

b) Lalai menegakan aturan terhadap penyedia barang dan jasa yang melakukan pelanggaran (blacklist) c) Bekerja Tertutup dan Tidak transparan

d) Tidak terbuka, cenderung tidak mau dipantau atau diawasi e) Tidak efisien, cenderung boros

f) Tidak efektif, cenderung berlarut-larut (bisa >6 bulan)

g) Tidak menciptakan kompetitif, cenderung berpihak, Bersikap diskriminasi dan tidak adil Kelemahan SDM Pengadaan:

a) Kurang memahami sistem, mekanisme dan prosedur pengadaan secara baik dan benar. b) Kurang Mampu Menyusun Harga Perkiraan Sendiri (Owner Estimate)

c) Kurang mampu menyusun Spesifikasi Teknis,

d) Tidak merencanakan pengadaan secara baik dan benar, termasuk penganggarannya; e) Tidak membuat dan mengumumkan Rencana Umum Pengadaan

f) Rendahnya kualitas kompetensi penyelenggara pengadaan di berbagai level pemerintahan g) Sistem HPS terbuka membuka peluang berbagai penyimpangan

h) Terjadi obral atau banting harga oleh penyedia untuk mendapatkan atau memenangkan lelang (HPS terbuka)

Pengaruh intervensi/kekuasaan:

1) Menunjuk Penyelenggara Lelang Yang Mudah Diatur dan Diarahkan

2) Mengatur, Mengarahkan Lelang Untuk memenangkan Perusahaan tertentu; 3) Mempengaruhi dan Mengintervensi Kerja Kelompok Kerja

Kelemahan Penegakan Hukum

1) Hampir Tidak Ada Resiko Sanksi Dari Lembaga 2) Sanksi Atau Hukuman Terlalu Ringan

3) Aparat Penegak Hukum Rawan Intervensi 4) Aparat Penegak Hukum Rawan Disuap Kelemahan Perusahaan:

a) Banyak Perusahaan Tidak Punya Kemampuan (Profesional) b) Banyak Perusahaan "PALUGADA"

38 d) Banyak Perusahaan Hasil Sewaan.

e) Banyak Perusahaan Tidak Berani Berkompetisi Secara Adil f) Banyak Kartel, Mafia, Broker

g) Persekongkolan antar vendor, Tender Arisan, Pengaturan Harga, Blokade Wilayah h) Peran Asosiasi Mengatur Lelang Anggotanya

Menurut Agus Rahardjo, permasalahan PBJ yang terjadi hari ini tidak terlepas dari warisan masa lalu dan lingkungan strategis yang tidak mendukung.

Warisan Masa Lalu:

 Di masa lalu hampir semua pengadaan diatur pemenangnya. Sampai hari ini sebagian besar pengelola pengadaan masih mempunyai MIND SET, Proses Pengadaan hanya Formalitas (Sebelum Proses Pemenang Sudah diTentukan);

 Sistem Birokrasi yg Korup (Under Paid, Recruitment yg tidak mencari keunggulan, dll);  Tidak ada Regulasi dan tata-kelola yang baik;

 Tidak ada instansi yang menangani secara khusus (baru ada LKPP th 2008);

 Dunia usaha juga diarahkan untuk tidak mewujudkan persaingan yg sehat (zaman Orde Baru KADIN hanya 1, 1 Asosiai Kontruksi utk menengah kecil (Gapensi), 1 Asosiasi untuk Konstruksi Besar (AKI), 1 Asosiasi Non Konstruksi (ARDIN);

Lingkungan Strategis Belum Mendukung:

 Menjadi Pejabat Publik memerlukan Biaya Mahal;

 Reformasi Birokrasi yg belum menunjukkan keberhasilannya;

 Issue Pengadaan belum menjadi perhatian yang penting, yg sering muncul adalah kenapa

menghambat penyerapan anggaran, bukan bagaimana mencegah terjadinya korupsi di pengadaan;  Kurang transparannya bagian Siklus yg lain dari PFM (budget planning , budget allocation,

procurement planning, contract execution, auditing)

 Belum ada aturan yang kuat setingkat UU yang mengatur Pengadaan;

Menurut Prof. Sogar SImamora, permasalahan PBJ adalah:

• Akar korupsi dapat dikaji dari sisi politik, ekonomi, sosbud, hukum dan agama

• Politik: Korupsi oleh DPR saat penyusunan anggaran, Money Politic saat pemilu

• Ekonomi: Orientasi keuntungan sebanyak-banyaknya dari pengusaha sementara belum ada instrumen hukum yang mumpuni; seperti hukum distribusi, keagenan, dst

• Agama: Keserakahan manusia dan tidak takut akan dosa atau hukuman

• Hukum: Terdapat celah dalam sistem (hukum) pengadaan yang dimanfaatkan para pelaku. Aturan hukum dalam pengadaan sangat kompleks, banyak terlibat dimensi hukum. Misalnya hukum kontrak, hukum perseroan, hukum persaingan, hukum konstruksi, dst. Selin itu, prinsip kompetisi sebagai pondasi aturan pengadaan banyak tergerus oleh praktik kolusi, baik vertikal maupun horizontal. Karakteristik tindak pidana korupsi yang umumnya terjadi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah yang selama ini ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi antara lain adalah :

1. Barang/jasa yang diadakan sesungguhnya tidak dibutuhkan atau tidak sesuai dengan kebutuhan, a u erupaka pesa a da titipa dari atas pi pi a serta pihak – pihak yang

berkepentingan, bukan direncanakan berdasarkan kebutuhan yang nyata.

2. Spesifikasi barang dan jasa serta Harga Perkiraan Sendiri yang seharusnya dibuat panitia pengadaan

Dalam dokumen Report Kajian Pengadaan Barang dan Jasa (Halaman 28-41)

Dokumen terkait