BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
B. Akibat Hukum Bagi PPAT Yang Melanggar Ketentuan UU
Bagi Pejabat PPAT/Notaris dan Pejabat Lelang Negara yang melanggar ketentuan pasal 24 dan pasal 25 akan dikenakan sanksi berdasarkan ketentuan pasal 26:
(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Pejabat lelang Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp. 7.500.000,00 ( tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
(2) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp. 250.000,00 ( dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.
(2a) Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2a), dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3), dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3a) Kepala Kantor Lelang Negara, yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sanksi atas pelanggaran ketentuan penandatanganan akta yang melanggar ketentuan penandatanganan akta dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar
commit to user
Rp 7.500.000 untuk setiap pelanggaran. Denda yang cukup besar jumlahnya ini dimaksudkan agar PPAT berhati-hati dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sehingga PPAT tidak menyimpang dari ketentuan UU BPHTB. Selain sanksi atas pelanggaran ketentuan penandatanganan akta, UU BPHTB juga mengatur sanksi terhadap PPAT yang melanggar ketentuan pelaporan. Adanya sanksi ini dimaksudkan agar pejabat yang berwewenang melaporkan setiap akta yang dibuatnya, yang akan digunakan oleh KPP Pratama untuk memeriksa kebenaran pemenuhan kewajiban pembayaran BPHTB terutang. Apabila PPAT tidak memenuhi ketentuan pembuatan dan penyampaiaan laporan akan dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp 250.000 untuk setiap pelanggaran tentang pelaporan.
Mengenai pemeberian sanksi administrasi dan denda dalam hal penandatanganan akta jual beli mendahului kewajiban pembayaran BPHTB tidak langsung diberikan. Karena realitinya dari pihak pegawai kantor pajak memberikan kelunakan pada PPAT dalam hal pengampunan. Tetapi hanya beberapa PPAT yang mendapatkan pelunakan dari pihak Kantor Pajak PPAT yang sudah sering bekerja sama pada kantor Pajak. Dan mereka kebanyakan PPAT yang sudah senior.
Dalam hal penyampaiaan laporan tentang pembuatan akta disertai copy SSB kepada KPP Pratama banyak PPAT yang memberikan laporan terlambat melebihi ketetntuan yang seharusnya diatur dalam UU BPHTB. Mereka memberikan laporan terlambat karena ada yang sibuk, dan ada yang belum jadi akta jual belinya. Dalam prakteknya dari pihak Kantor Pajak tidak langsung memberikan sanksi berupa ancaman denda. Kantor Pajak memberikan teguran tertulis dahulu, ada yang lewat telpon karena waktu lebih cepat. Mereka pihak Kantor Pajak memberi waktu tempo seminggu kepada PPAT untuk segera memberikan laporan.
Dalam skripsi ini maka penulis berkesimpulan bahwa fungsi PPAT dalam pelaksanaan UU NO 20 Tahun 2000 Tentang BPHTB antara teori dan prakteknya tidak bisa berjalan seimbang. Dalam hal ini PPAT seharusnya berfungsi sebagai pelayan masyarakat dalam pendaftaran tanah. Karena ketentuan UU NO 20 Tahun
commit to user
2000 Tentang BPHTB memberikan ketentuan bagi PPAT dalam pemenuhan pemungutan pajak. Seharusnya dalam hal pemungutan pajak adalah urusan pegawai Kantor Pajak.
commit to user BAB IV PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang “ Fungsi PPAT dalam pelaksanaan proses jual beli sesuai UU NO 20 Tahun 2000 di kota Surakarta”,maka penulis menyampaikan simpulan dan saran-saran sebagai berikut:
1. Fungsi PPAT menurut Undang-Undang No 20 Tahun 2000 dalam pasal 24 ayat satu menjelaskan PPAT hanya dapat menandatanagani akta pemindahan hak atas tanah dan bangunan pada saat wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak. Tetapi dalam prakteknya tidak terlaksana disebabkan akta jual beli telah ditandatangani terlebih dahulu penandatanganan akta jual beli telah mendahului dulu dari kewajiban membayar BPHTB dulu. Pihak pembeli dan penjual menginginkan pembuatan akta jual beli sekaligus dengan pembayaran BPHTB. Sehingga pencantuman tanggal akta jual beli berbeda dengan tanggal bukti pembayaran BPHTB. Dan ada juga PPAT yang mempertimbangkan demi menghindari kewajiban membayar denda yang mengancam dirinya, nomor dan tanggal akta yang dicantumkan dalam aktanya akan ditentukan setelah atau setidak-tidaknya sama dengan tanggal yang tercantum dalam bukti pembayaran pajak yang menjadi kewajiban penjual dan pembeli di bayarkan di Kantor Pajak Pratama.
2. Secara teoritis akibat hukum bagi PPAT yang melanggar ketentuan Undang- Undang No 20 Tahun 2000 tentang BPHTB. Apabila PPAT melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (1) dan (2), dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp. 7.500.000,00 untuk setiap pelanggaran dan PPAT yang melanngar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (1), dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp.250.000 untuk setiap laporan. Dalam prakteknya sanksi dan denda tersebut tidak lagsung diberikan. Tetapi dari pihak Dirjen Pajak karena ada kelunakan dalam pemberian sanksi ancaman denda maka diberikan sanksi teguran tertulis
commit to user
terlebih dahulu. Diberikan waktu tempo seminggu pada PPAT yang biasanya sudah sering kerja sama pada pegawai pajak. Dan kebyakan mereka PPAT yang sudah senior.
B. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta kesimpulan diatas, penulis memberikan saran-saran sebagai berikut :
1. Sebaiknya PPAT dalam melaksanakan ketentuan Undang-Undang BPHTB
harus tegas, artinya sebelum melaksanakan penandatanganan akta jual beli, jika tidak diserahkan bukti pembayaran BPHTB oleh pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, PPAT harus berani menolak atau menunda terlebih dahulu pelaksanaan penandatanganan akta sampai diserahkan bukti pembayaran BPHTB, tanpa harus takut kehilangan klien. Selain itu PPAT agar berhati-hati dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sehingga tidak menyimpang dari ketentuan Undang-undang BPHTB, jika tidak dikenakan denda yang cukup besar.
2. Pembayaran pajak hendaknya dapat lebih disosialisasikan kepada masyarakat sehingga masyarakat benar-benar memahami tata cara pembayaran pajak, bukan hanya memahami pembayaran PBB, tetapi dapat juga mengetahui pembayaran pajak lainnya seperti pembayaran PPh dan Pajak BPHTB yang sudah menjadi kewajiban dari wajib pajak tersebut untuk melakukan penyetoran atau pembayaran pajak sebelum melakukan perbuatan hukum akta jual beli dihadapan PPAT.
3. Dari sisi Direktorat Jenderal Pajak seharusnya dapat menetapkan NJOP PBB yang pasti dan adil sesuai dengan harga pasar atau setidak-tidaknya menyatakan kepada masyarakat bahwa nilai atau harga yang dipakai untuk segala transaksi atas tanah dan atau bangunan adalah Nilai Jual Objek Pajak PBB.