• Tidak ada hasil yang ditemukan

Selama kurang-lebih 32 tahun, kita baru menyadari bahwa pembangunan bidang ekonomi lebih diutamakan namun dengan mengabaikan pembangunan hukumnya. Akibatnya, dalam pembangunan bidang ekonomi tersebut muncullah berbagai isu dan persoalan hukum berskala nasional. Isu dan persoalan hukum tadi merupakan ekses dari kebijakan politik (ekonomi) yang tidak mempunyai esensi substansi karena lebih mengedepankan tata langkah dan cara kerja hukumnya. Oleh karena itu, sewajarnya kita berbenah diri dalam menghadapi pertumbuhan dan perkembangan pembangunan ekonomi yang sedemikian pesatnya. Caranya dengan mengadakan penyesuaian dan perubahan seperlunya terhadap berbagai perangkat hukum dan perundang-undangan nasional yang mengatur bidang ekonomi.

Sesungguhnya untuk mengantisipasi hal demikian, sejak tahun 1988 pemerintah telah mengeluarkan serangkaian kebijakan paket deregulasi di bidang keuangan, moneter, dan perbankan. Sejak saat itu dunia perbankan semakin semarak, karena di mana-mana bank-bank baru muncul bagaikan jamur di musim hujan. Pada sisi lain, dunia perbankan tertimpa tragedi yang membuatnya kelam, dengan timbulnya masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi sebelumnya. Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan dan beberapa undang-undang di bidang perbankan lainnya yang berlaku sudah tidak memadai dan tidak

dapat mengikuti perkembangan perekonomian nasional maupun internasional. Oleh sebab itu, tatanan hukumnya perlu diperbarui dengan menyusun suatu undang-undang baru tentang perbankan. Dan undang-undang baru tersebut pada tanggal 25 Maret 1992 disahkan oleh Presiden menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dengan demikian, maka sejak itu, hukum perbankan telah mengalami

perubahan yang sangat mendasar.47

Selanjutnya, setelah enam tahun mulai dari berlakunya, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 mengalami perubahan untuk pertama kalinya. Perubahan tersebut merupakan salah satu program pelaksanaan reformasi perbankan, yakni menyempurnakan perangkat hukum di bidang perbankan dan pendirian lembaga dana penyangga simpanan, yang pada gilirannya akan memulihkan kepercayaan masyarakat domestik maupun internasional terhadap sistem perbankan kita. Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tersebut dituangkan di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang ini disahkan oleh Presiden

pada tanggal 10 Nopember 1998.48

Di penghujung tahun 1998 telah diundangkan Undang-Undang No. 10

perbankan (selanjutnya kedua-duanya disebut saja “Undang-Undang Perbankan”).

Undang-Undang No.10 Tahun 1998 mengubah/ mengganti/ menambah beberapa pasal dari Undang-Undang Perbankan yang lama No.7 Tahun 1992. Sehingga yang sekarang berlaku adalah bahwa baik undang-undang lama yaitu Undang-Undang

47

Gatot Supramono, Per bankan dan Masalah Kredit, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009, hal. 32

48

Rachmad Usman, Aspek Aspek Hukum Per bankann di Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001, hal. 1-2

No.7 Tahun 1992 yaitu terhadap pasal-pasalnya yang belum diubah, maupun undang-undang baru yaitu Undang-Undang No.10 Tahun 1998.

Undang-Undang Perbankan (yang lama maupun yang baru) tergolong singkat, hanya 61 pasal saja. Bandingkan misalnya dengan Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas (No.1 Tahun 1995) yang terdiri dari 129 pasal. Atau Undang-Undang tentang Pasar Modal (No. 8 Tahun 1995) yang terdiri dari 116 pasal.

Selain daripada itu, adalah merupakan suatu fakta historis bahwa proses pembentukan Undang-Undang Perbankan dilakukan pada masa-masa tidak normal, sehingga hal tersebut secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap materi dari undang-undang yang bersangkutan. Undang-undang yang lama (Undang-Undang No.7 Tahun 1992) dibuat pada saat bank-bank sedang berbulan madu dan berpesta pora dalam suasana alam liberalisasi moneter setelah deregulasi yang bersumber dari Pakto 1988. Maka, tidak khayal lagi bahwa suasana seperti ini sangat dalam mempengaruhi dan mewarnai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Perbankan tersebut. Sayangnya, suasana liberalisasi moneter tersebut, yang ujung-ujungnya memacu bank seperti jamur di musim hujan, hanyalah fenomena sesaat dan bukanlah merupakan keadaan yang representative terhadap dunia perbankan. Sebab, hakikat dari dunia perbankan adalah bahwa dunia tersebut haruslah diatur dan diawasi secara ketat, karena di dunia perbankan tersebut menyangkut dengan sekian banyak dana masyarakat bahkan tersangkut hidup matinya perekonomian negara. Sayangnya, pembentuk undang-undang kala itu tidak bisa berantisipasi jauh ke depan ke dunia perbankan yang sebenarnya, tetapi sangat terpaku pada era liberalisasi moneter versi Pakto 1998 yang hanya sesaat itu. Karena

itu, tidaklah terlalu mengherankan jika Undang-Undang Perbankan Tahun 1992 tersebut hanyalah sebagai kembang semusim saja, yang akan segera layu apabila

musim telah berganti.49

Pada ujung ekstrem yang lain, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 dibuat justru pada saat keadaan perbankan dalam keadaan benar-benar kacau balau, baik akibat jor-joran pemberian kredit, akibat kesemrawutan pemerintah di bidang perbankan, dan juga akibat krisis moneter yang menerjang perekonomian Indonesia, termasuk bisnis perbankan.

Pada tanggal 1 Nopember 1997 pemerintah RI mengumumkan likuidasi 16 (enam belas) bank swasta, sebenarnya tindakan tersebut hanya merupakan tindakan “cuci piring” setelah pesta pora perbankan zaman pakto 1988 tersebut. Suatu pesta dan cuci piring yang dicatat dengan tinta hitam dalam sejarah moneter Indonesia. Kewajiban cuci piring ini pula yang kemudian ramai-ramai bank masuk ke dalam BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional), untuk dirawat secara intensif.

Semula salah satu pertimbangan mengapa orang berduyun-duyun mendirikan bank adalah antara lain karena adanya kenyataan semakin mantapnya pertumbuhan kelas menengah masyarakat, yang umumnya terdiri dari para Yupies (young urban professiona l executive society) atau para DINK (double income no kids). Mereka ini sangat banking oriented.

Namun demikian, bagaimanapun juga, pola “pesta dan cuci piring” tersebut bukanlah pola yang tepat bagi suatu pembinaan sistem perbankan. Yang dibutuhkan

49

adalah perkembangan sistem perbankan yang konstan, dengan pengawasan yang ketat, yang dikenal dengan sebutan sistem “prudent banking.”50

Sekarang apa yang dimaksud dengan hukum perbankan itu? Secara sederhana hukum perbankan adalah hukum positif yang mengatur segala sesuatu yang menyangkut tentang bank. Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang fungsi utamanya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Ini berarti kita akan membicarakan hukum yang berlaku saat ini yang mengatur segala sesuatu yang menyangkut tentang bank. Walaupun demikian, ketentuan perbankan yang lama tetap dipelajari sebagai bahan sejarah perkembangan pembentukan hukum perbankan di negara kita. Dari sejarah pembentukan hukum perbankan itu, kita dapat membandingkan ketentuan hukum perbankan yang pernah berlaku di Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa pengertian hukum perbankan adalah serangkaian ketentuan hukum positif yang mengatur segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses pelaksanaan kegiatan

usahanya.51

Hukum yang mengatur masalah perbankan disebut dengan hukum perbankan (ba nking la w), yakni merupakan seperangkat kaidah hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, doktrin, sumber hukum lainnya, yang mengatur masalah-masalah perbankan sebagai lembaga, dan aspek kegiatannya sehari-hari, rambu-rambu yang harus dipenuhi oleh suatu bank, perilaku yang tersangkut dengan

50

Munir Fuady, Hukum Per bankan Modern, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001, hal. 1-.3

51

bisnis perbankan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh bank, eksistensi perbankan, dan lain-lain yang berkenaan dengan dunia perbankan tersebut.

Adapun yang merupakan ruang lingkup dari pengaturan hukum perbankan adalah sebagai berikut :

1. Asas-asas perbankan, seperti norma efisiensi, keefektifan, kesehatan bank, profesionalisme pelaku perbankan, maksud dan tujuan lembaga perbankan hubungan, hak dan kewajiban bank.

2. Para pelaku bidang perbankan, seperti dewan komisaris, direksi, dan karyawan, maupun pihak terafiliasi. Mengenai bentuk badan hukum pengelola, seperti PT Persero, Perusahaan Daerah, koperasi atau perseroan terbatas. Mengenai bentuk kepemilikan, seperti milik pemerintah, swasta, patungan dengan asing, atau bank asing.

3. Kaidah-kaidah perbankan yang khusus diperuntukkan untuk mengatur perlindungan kepentingan umum dari tindakan perbankan, seperti pencegahan persaingan yang tidak sehat, antitrust, perlindungan nasabah, dan lain-lain.

4. Yang menyangkut dengan struktur organisasi yang berhubungan dengan bidang perbankan, seperti eksistensi dari Dewan Moneter, Bank Sentral, dan lain-lain. 5. Yang mengarah kepada pengamanan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh

bisnisnya bank tersebut, seperti pengadilan, sanksi, insentif, pengawasan, prudent

ba nking, dan lain-lain.52

Mengenai asasnya ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perbankan 1998 menyebutkan, perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan

52

demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Yang dimaksud dengan “demokrasi ekonomi” adalah demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Sayang undang-undang tidak memberikan penjelasan tentang prinsip kehati-hatian, padahal kejelasan prinsip ini penting untuk mengetahui sampai sejauhmana batas kehati-hatian perbankan, agar antara kesengajaan dengan kealpaan mempunyai batas yang tegas. Kemudian fungsi utama perbankan Indonesia mempunyai fungsi utama sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Sejalan dengan fungsi utama dimaksud, tujuan perbankan Indonesia sebagaimana Pasal 4 Undang-Undang Perbankan 1998 adalah menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah

peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.53

Seperti pernah disinggung dalam uraian yang lalu, bahwa bank tidak cukup hanya menjalankan kegiatannya saja, yaitu menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, tetapi kegiatan tersebut mempunyai tujuan yang jelas demi kepentingan pembangunan nasional. Meningkatkan pemerataan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan stabilitas nasional merupakan sasaran perbankan dala m melakukan kegiatan sebagaimana fungsinya tersebut di atas. Keberhasilan perbankan dalam memainkan peranannya dalam pembangunan nasional tentu akan dapat

mewujudkan kehidupan rakyat yang lebih baik dari sebelumnya.54

53

Gatot Supramono. Op.Cit, hal. 40

54

Gatot Supramono, Per bankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta : PT. Djambatan, 1995, hal. 2-3

Ide penggunaan kartu kredit diawali pada tahun 1950-an secara kebetulan. Peristiwanya terjadi di Kota New York, Amerika Serikat pada sebuah restoran. Seorang pengusaha bernama Frank McNamara mengadakan perjamuan makan bagi rekan usahanya di restoran tersebut. Pada saat akan membayar, ia kebingungan dan malu karena ternyata lupa membawa uang tunai sama sekali. Satu-satu tindakan yang dapat dilakukannya hanyalah meninggalkan kartu identitas dengan maksud akan membayar kepada restoran tersebut setelah ia pulang untuk mengambil uang tunai dalam jumlah yang cukup. Kartu identitas tersebut berlaku sebagai semacam jaminan bahwa si pengusaha akan melunasi kewajibannya.

Kejadian yang sangat berkesan bagi Frank McNamara tersebut

mengilhaminya untuk terus memikirkan suatu sistem pembayaran tanpa penggunaan uang tunai secara langsung. Sistem pembayaran yang baru tersebut menggunakan kartu yang sekerang dikenal dengan Diners Club. Sistem baru ini relatif lebih aman dan praktis. Penggunaan kartu sebagai alat pembayaran kemudian semakin luas dan diikuti oleh penerbit kartu yang lain seperti Visa Card dan Master Card. Di negara -negara yang telah maju dan telah lama menggunakan kartu plastik dalam perekonomian, kegiatan perusahaan kartu diatur secara khusus dalam Undang-Undang. Pada tahun 1887 melalui buku yang berjudul Looking Backward, Edward Bellamy sebenarnya telah meramalkan adanya penggunaan kartu sebagai alat pembayaran. Bellamy meramalkan kartu akan menggantikan penggunaan uang tunai sebagai alat pembayaran pada tahun 2000.

Penggunaan kartu untuk transaksi keuangan mulai berkembang di Indonesia pada tahun 1980-an. Sejalan dengan adanya perkembangan luar biasa dari dunia

perbankan sebagai akibat adanya deregulasi ekonomi dan perbankan mulai awal tahun 1980-an, kartu plastik semakin luas digunakan sebagai alat untuk melakukan transaksi keuangan.

Perkenalan dan perkembangan kartu plastik di Indonesia tidak bisa lepas dari perkembangan dunia perbankan karena penerbit dan terutama pengelola kartu plastik di Indonesia adalah bank. Sebelum adanya iklim deregulasi dalam dunia perbankan, suasana persaingan antarbank tidak muncul di Indonesia. Tingkat bunga sudah ditentukan oleh bank sentral, bank-bank pemerintah memperoleh perlakuan khusus, pasar perbankan di monopoli oleh bank-bank pemerintah dan bank swasta tidak

dirangsang untuk tumbuh sehingga tidak ada suasana persaingan.55

Keadaan ini tidak kondusif bagi inovasi dan pengenalan produk-produk baru yang berkaitan dengan dunia perbankan, termasuk adanya kartu plastik. Ketika deregulasi mulai diterapkan, bank-bank mulai bersaing menghimpun dana dan menyalurkan dana sehingga mereka mulai memikirkan inovasi produk-produk baru di dunia perbankan.

Kartu plastik mulai diperkenalkan kepada masyarakat dan masyarakat sedikit demi sedikit mulai terbiasa dengan penggunaan kartu kredit dan kartu ATM. Citibank dan Bank Duta adalah bank-bank yang termasuk pelopor penggunaan kartu plastik di Indonesia melalui kerja samanya dengan Visa- International dan Mastercard International. Perkembangan kartu plastik semakin pesat dengan dibangunnya jaringan perbankan di seluruh Indonesia, dan nama-nama kartu yang lain mulai

55

diperkenalkan seperti Amex Card, BCA Card, Astra Card, Procard, Exim Smart, dan

lain-lain sesuai dengan fungsi dan keunggulannya masing-masing.56

Dewasa ini untuk melakukan transaksi dapat digunakan sebagai sarana pembayaran, mulai dari cara yang paling tradisionil sampai dengan yang paling modern. Pada awal mula sebelum dikenalnya uang sebagai alat pembayaran setiap transaksi dilakukan dilakukan melalui cara pertukaran, baik antara barang dengan barang atau barang dengan jasa atau jasa dengan jasa. Transaksi pada waktu ini dikenal dengan nama sistem barter.

Dalam perkembangan selanjutnya ditemukan cara yang paling efisien dan

efektif untuk melakukan transaksi yaitu dengan menggunakan “uang”. Dewasa ini

penggunaan uang sebagai alat untuk melakukan pembayaran sudah dikenal luas dan penggunaan uang sebagai sarana pembayaran sudah merupakan kebutuhan pokok hampir di setiap kegiatan masyarakat.

Namun, dalam perjalanannya penggunaan uang mengalami berbagai hambatan tertentu. Jika penggunaan dalam jumlah besar hambatannya adalah risiko membawa uang tunai sangat besar. Risiko yang timbul dan harus dihadapi adalah seperti risiko kehilangan, pemalsuan, atau terkena perampokan. Akibatnya kegiatan

uang tunai sebagai alat pembayaran mulai berkurang penggunaannya.57

Kartu plastik atau yang lebih dikenal dengan nama kartu kredit atau uang plastik mampu menggantikan fungsi uang sebagai alat pembayaran. Di samping itu, kartu plastik ini dapat pula digunakan untuk berbagai keperluan sehingga kegunaanya

56

Sigit Triandaru dan Totok Budisantoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta : PT. Salemba Empat, 2008 , hal. 256-257

57

menjadi multi fungsi. Risiko seperti di atas sedikit banyak dapat dieliminasi dengan penggunaan kartu plastik ini. Penggunaan kartu kredit dirasakan lebih aman dan praktis untuk segala keperluan seperti untuk bepergian, apalagi kartu kredit dewasa ini sudah dapat dipergunakan untuk segala kegiatan secara internasional seperti visa ca rd dan ma ster ca rd.

Kartu plastik merupakan kartu yang dikeluarkan oleh bank atau lembaga non bank. Kartu plastik diberikan kepada nasabah untuk dapat dipergunakan sebagai alat pembayaran di berbagai tempat seperti supermarket, pasar swalayan, hotel, restoran, tempat hiburan, dan tempat lain-lainnya. Di samping itu dengan kartu ini juga dapat diuangkan di berbagai tempat seperti di ATM (Automated Teller Machine). ATM biasanya tersebar di berbagai tempat yang strategis seperti di pusat perbelanjaan hiburan, dan perkantoran.

Penggunaan kartu plastic di Indonesia masih relatif baru yaitu sekitar tahun

delapan puluhan. Keluarnya Keputusan Menteri Keuangan Nomor

1251/KMK.013/1988 Tanggal 2 Desember telah mengubah peta penyebaran kartu plastik semakin luas. Berdasarkan surat keputusan tersebut bisnis kartu kredit digolongkan sebagai kelompok usaha jasa pembiayaan.

Pelopor pengembangan usaha kartu kredit di Indonesia dilakukan oleh Citibank dan Bank Duta. Dewasa ini jenis kartu kredit yang beredar semakin luas seperti Master Card, Visa BCA, Diners club, Kassa card, dan Amex card. Khusus untuk Diners dan Kassa card merupakan kartu kredit yang bukan dikeluarkan oleh

bank, tetapi oleh perusahaan pembiayaan seperti Dinners Jaya Indonesia untuk kartu

dinners dan PT Kassa Multi Finance untuk kartu kassa.58

Akibat hukum dari penerbitan kartu kredit dengan merujuk ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata, dapat disimpulkan :

a. Ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan kontraktual dari penerbitan

kartu kredit diatur berdasarkan perjanjian antar bank sebagai penerbit dengan pemohon. Ketentuan-ketentuan ini mengikat kedua belah pihak layaknya seperti undang-undang.

b. Isi perjanjian dalam penerbitan kartu kredit merupakan fasilitas kredit dengan

batas tarik/pagu atau plafond kredit dengan syarat tangguh atau condition of precedent yang harus ditaati oleh pemegang kartu kredit dalam penggunaannya.

c. Pengakhiran penggunaan kartu kredit sesuai dengan yang diperjanjikan, tetapi

tidak menutup kemungkinan dengan kondisi-kondisi khusus (event of default) Bank

dapat mengakhiri perjanjian ini.59

Penggunaan kartu kredit yang direkomendasikan oleh Bank ditentukan tenggang waktunya. Untuk pemegang kartu yang baru umumnya diberikan jangka waktu 12 (dua belas) bulan sedangkan bagi pemegang kartu lama yang telah diketahui kinerjanya dapat diberikan jangka waktu antara 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 60 (enam puluh) bulan. Dalam kartu kredit masa berlaku tertera dalam kolom “Good Thru”, menunjukkan masa berlaku kartu.

58

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009, hal. 337-339

59

Johannes Ibrahim, Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan, Bandung : PT.Refika Aditama, 2004, hal. 44

Persyaratan masa berlaku kartu dirumuskan dalam perjanjian penerbitan kartu kredit sebagai berikut :

1. Pemegang kartu dapat menggunakan kartu selama masa berlaku kartu baik di

dalam maupun di luar negeri.

2. Masa berlaku kartu akan berakhir pada hari terakhir pada bulan dan tahun

yang tercantum pada muka kartu, kecuali terjadi pembatalan oleh Bank atau atas permintaan pemegang kartu sendiri atau sebab lainnya.

3. Perpanjangan dilakukan secara otomatis, akan tetapi Bank berhak tidak

memperpanjang kartu karena pertimbangan-pertimbangan tertentu.

4. Bila pemegang kartu tidak ingin memperpanjang kartu harus memberitahu

Bank paling lambat 1 (satu) bulan sebelum masa kartu berakhir dan harus menyelesaikan seluruh tagihan.

Penggunaan kartu kredit untuk setiap pemegang kartu ditentukan oleh pihak Bank berdasarkan analisi atas kelayakan dari data yang diserahkan oleh calon pemegang kartu. Berdasarkan pertimbangan dari pihak Bank akan direkomendasikan jenis-jenis kartu, dapat berupa kartu classic (reguler), kartu gold atau kartu platinum di mana masing-masing kartu memiliki batas kredit atau pagu yang berbeda satu dan

lainnya.60

Persyaratan tentang batas kredit dirumuskan dalam perjanjian penerbitan kartu kredit sebagai berikut :

1. Bank akan memberikan batas kredit kepada pemegang kartu yang tidak boleh

digunakan melebihi batas kredit tanpa persetujuan bank terlebih dahulu.

60

2. Jika pemegang kartu menggunakan kartu melebihi batas kredit yang diberikan tanpa persetujuan terlebih dahulu dari bank, maka pemegang kartu harus segera melunasi kelebihan tersebut, dan atas kelebihan jumlah pemakaian tersebut akan dikenakan denda yang besarnya ditetapkan oleh bank.

3. Bank berhak merubah besarnya batas kredit tanpa pemberitahuan terlebih

dahulu kepada pemegang kartu.

Penggunaan kartu kredit untuk setiap pemegang kartu ditentukan oleh pihak bank berdasarkan analisis atas kelayakan dari data yang diserahkan oleh calon pemegang kartu. Berdasarkan pertimbangan dari pihak bank akan direkomendasikan jenis-jenis kartu, dapat berupa kartu classic (reguler), kartu gold atau kartu platinum di mana masing-masing kartu memiliki batas kredit atau pagu yang berbeda satu dan lainnya.

Persyaratan tentang batas kredit dirumuskan dalam perjanjian penerbitan kartu kredit sebagai berikut :

1. Bank akan memberikan batas kredit kepada pemegang kartu yang tidak boleh

digunakan melebihi batas kredit tanpa persetujuan bank terlebih dahulu.

2. Jika pemegang kartu menggunakan kartu melebihi batas kredit yang

diberikan tanpa persetujuan terlebih dahulu dari bank, maka pemegang kartu harus segera melunasi kelebihan tersebut, dan atas kelebihan jumlah pemakaian tersebut akan dikenakan denda yang besarnya ditetapkan oleh bank.

3. Bank berhak merubah besarnya batas kredit tanpa pemberitahuan terlebih

Indonesia termasuk negara tertinggal dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi informasi dalam merumuskan suatu perundang-undangan yang mengatur aktivitas di cyberspace. Di saat kesulitan dalam menyusun perundangan-undangan ini, penggunaan dan pemanfaatan dunia maya beserta pola kejahatan yang marak dilakukan, memunculkan pemikiran untuk menggunakan hukum positif yang ada

(the existing law).61

Penggunaan hukum positif yang ada untuk kejahatan atau perbuatan yang secara pragmatis memiliki perbedaan tentunya tidak membuat keberuntungan bagi berbagai pihak. Hukum positif yang ada memiliki paradigma sendiri yang melandasi pembuatan perundangan-undangan sesuai dengan kondisi jamannya. Konsep ruang dan waktu yang melandasi hukum positif telah didobrak dengan perkembangan internet. Pendobrakan terhadap konsep ruang dan waktu ini seharusnya diikuti dengan pendobrakan terhadap sistem hukum yang mendasari pada konsep itu. Meskipun demikian, membuat perundang-undangan (apalagi mengubah paradigma pemikiran dari para pembuatnya) tidaklah semudah membalik telapak tangan. Untuk hal itu membutuhkan proses dan proses itu tidak dapat dipastikan kapan berakhirnya, sehingga harapan untuk memiliki perundangan-undangan yang mengatur kegiatan di cyberspa ce masih membutuhkan waktu. Memberikan perlindungan kepada warga negara dengan harta bendanya merupakan kewajiban pemerintah. Meskipun undang-undang yang mengatur kegiatan di cyberspace belum ada, sedangkan sebagian warga negara yang ada telah menggunakan internet untuk berbagai keperluan, maka secara

Dokumen terkait