• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PENGATURAN PEMBERIAN KUASA DIREKSI DALAM

F. Akibat Hukum Pemberian Kuasa Pada Umumnya

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pemberian kuasa merupakan suatu perjanjian dimana seorang memberikan kuasa kepada orang lain yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Dengan

112

Pasal 1802 KUHPerdata 113Pasal 1803 KUHPerdata 114Pasal 1807 KUHPerdata 115Pasal 1809 KUHPerdata

demikian, pemberian kuasa juga harus memenuhi ketentuan-ketentuan umum mengenai perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata.

Pengaturan tentang perjanjian dapat ditemui dalam Buku III Bab II KUHPerdata. Dalam pasal 1313 KUHPerdata disebutkan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

Menurut Abdulkadir Muhammad, pengertian Perjanjian dalam pasal 1313 KUHPerdata tersebut kurang tepat, karena ada beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi, antara lain:116

1. Hanya menyangkut sepihak saja

Hal ini dapat diketahui dari rumusan kata kerja “mengikatkan diri”, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri” jadi ada consensus antara dua pihak.

2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus.

Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatigedaad) yang tidak mengandung suatu consensus. Seharusnya dipakai istilah “persetujuan”.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas.

Pengertian perjanjian mencakup juga perjanjian kawin yang diatur dalam bidang hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur mengenai harta kekayaan. Perjanjian yang diatur dalam Buku III KUHPerdata sebenarnya hanya bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian (personal).

4. Tanpa menyebut tujuan.

Dalam rumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.

116 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 224-225.

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Mariam Darus Badrulzaman, dkk, yang menyatakan bahwa :

Para Sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan diatas adalah tidak lengkap, dan pula terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku III Perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang.117

Berdasarkan alasan yang dikemukakan di atas, beberapa sarjana hukum memberikan definisi baru perjanjian, antara lain:

a. R. Setiawan.

Persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.118

b. R. Subekti.

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.119

Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang dittapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang sah diakui dan diberi akibat hukum

117 Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan Dalam Rangka

Memperingati Memasuki Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 65.

118R. Setiawan,Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra A Bardin, Bandung, 1999, hal. 49. 119R. Subekti,Aneka Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung, 1982, hal. 1.

(legally concluded contract).120 Sebagai suatu perjanjian, maka pemberian kuasa harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian yakni:121

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Dua syarat pertama, dinamakan syarat-syarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif, karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.122

Dengan diperlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya “cacat” bagi perujudan kehendak tersebut.123

Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antara para pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).124

120Abdulkadir Muhammad,Op.Cit.,hal 228. 121

Pasal 1320 KUHPerdata 122

R. Subekti,Op.Cit.,hal. 17.

123Mariam Darus Badrulzaman, dkk.,Op.Cit.,hal. 73. 124Ibid., hal. 74.

Sehubungan dengan syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri dalam KUHPerdata dicantumkan beberapa hal yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut, antara lain:

1. Kekhilafan (Kesesatan) Pasal 1321 KUHPerdata :

Tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.

Pasal 1322 KUHPerdata:

Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan selainnya apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan.

Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu persetujuan, kecuali jika persetujuan itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.

Kekhilafan dibedakan dalam kekhilafan mengenai orangnya dinamakan error in persona, dan kesesatan mengenai hakikat barangnya dinamakan error in substantia.

Error in substantia maksudnya ialah bahwa kesesatan itu adalah mengenai sifat benda, yang merupakan alasan yang sesungguhnya bagi kedua belah pihak, untuk mengadakan perjanjian.125

Sedangkan dikatakan tidak ada kekhilafan apabila kehendak seseorang pada waktu membuat persetujuan tidak dipengaruhi kesan atau pendangan yang palsu. Kekhilafan harus sedemikian rupa sehingga seandainya tidak khilaf mengenai hal itu, ia tidak akan menyetujuinya.

2. Paksaan

Pasal 1323 KUHPerdata:

Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu persetujuan, merupakan alasan untuk batalnya persetujuan, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga, untuk kepentingan siapa persetujuan tersebut tidak telah dibuat.

Yang dimaksud dengan paksaan ialah kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka rahasia) dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia membuat perjanjian. Disini paksaan itu harus benar-benar menimbulkan suatu ketakutan bagi yang menerima paksaan.126

3. Penipuan

Pasal 1328 KUHPerdata :

125Ibid.,hal. 76. 126Ibid.

Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan persetujuan, apabila tipu- muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu-muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.

4. Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden)

Penyalahgunaan keadaan terjadi jika seseorang tergerak karena keadaan khusus (bijzondere omstandigheden) untuk melakukan tindakan hukum dan pihak lawan menyalahgunakan hal ini. KUHPerdata belum mengatur secara khusus mengenai penyalahgunaan keadaan. Namun, pengaturan tentang hal ini dapat ditemukan dalam yurisprudensi. Sebagaimana dinyatakan oleh Setiawan, Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja menyatakan bahwa penyalahgunaan keadaan adalah faktor yang membatasi atau mengganggu terbentuknya kehendak bebas yang dipersyaratkan bagi persetujuan antara kedua pihak sebagaimana disebutkan di dalam ketentuan Pasal 1320 butir 1 KUHPerd.127

Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian adalah kecakapan para pihak dalam melakukan tindakan hukum. Siapa yang dapat dan boleh bertindak dan mengikatkan diri adalah mereka yang cakap bertindak dan mampu untuk melakukan suatu tindakan hukum (handelingsbekwaam) yang membawa akibat hukum.128Dalam Pasal 1329 KUHPerdata dinyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, terkecuali ia oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap.

127Herlien Budiono,Op.Cit.,hal. 100. 128Ibid., hal 102.

Dengan kata lain, mereka yang tidak mempunyai kecakapan bertindak atau tidak cakap adalah orang yang secara umum tidak dapat melakukan tindakan hukum.129

Tidak cakap menurut hukum adalah mereka yang oleh undang-undang dilarang melakukan tindakan hukum, terlepas dari apakah secara faktual ia mampu memahami konsekuensi tindakan-tindakannya.130

Ketidakcakapan (handelingsonbekwaamheid) melakukan tindakan hukum haruslah dibedakan dengan ketidakwenangan melakukan tindakan hukum (handelingsonbevoegdheid). Tidak berwenang adalah mereka yang oleh undang- undang dilarang melakukan tindakan hukum tertentu.131

Perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak wenang galibnya batal demi hukum (nietig). Sedangkan perjanjian yang dilakukan oleh mereka yang tidak cakap tidakipso jurebatal, tetapi dapat dibatalkan (vernietigbaar).132

Penentuan ketidakcakapan dan ketidakwenangan seseorang untuk melakukan tindakan hukum, demi kepastian hukum, dikaitkan pada fakta eksternal yang mudah dipastikan dan dikenal batas-batasnya secara jelas, misalnya, akta kelahiran atau pernyataan umum lainnya (putusan pengadilan), surat/akta bukti pemilikan.133

Dalam suatu perjanjian terdapat objek perjanjian. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata, objek perjanjian disebut dengan “suatu hal tertentu”. Yang dimaksud

129Ibid.,hal. 102-103. 130 Ibid. 131Ibid ., hal. 105. 132Ibid.,hal. 107. 133Ibid.

dengan “suatu hal tertentu” tidak lain adalah apa yang menjadi kewajiban dari debitor dan apa yang menjadi hak dari kreditor.134

Syarat keempat untuk sahnya perjanjian adalah suatu sebab yang halal atau kausa yang halal. Menurut yurisprudensi yang ditafsirkan dengan kausa adalah isi atau maksud dari perjanjian.135

Ketentuan Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa “Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”. Hal ini berarti suatu perjanjian yang mengandung sebab- sebab demikian adalah batal demi hukum.

Lebih lanjut, Pasal 1336 KUHPerdata menyatakan bahwa “Jika tak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, atau pun jika ada suatu sebab lain dari pada yang dinyatakan, persetujuannya namun demikian adalah sah”. Ketentuan ini berbicara tentang suatu sebab yang tidak dinyatakan ataupun berbeda dari apa yang dinyatakan, tetapi tetap merupakan sebab yang halal. Dalam kasus demikian, perjanjian adalah sah.

Pasal 1337 KUHPerdata mengatur mengenai apa yang dimaksud dengan sebab terlarang yakni apabila sesuatu sebab itu dilarang oleh undang-undang, atau bertentangan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.

134Ibid., hal. 107-108.

Perjanjian pemberian kuasa (lastgeving) dapat dibuat dalam bentuk perjanjian sepihak (apabila tidak diperjanjikan upah) atau dalam bentuk perjanjian timbal balik (apabila diperjanjikan upah).136

Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang membebankan prestasi hanya pada satu pihak.137 Hal ini berarti bahwa suatu perjanjian pemberian kuasa merupakan perjanjian sepihak apabila pihak yang akan menerima prestasi hanya pihak pemberi kuasa, sedangkan pihak penerima kuasa tidak mendapat prestasi berupa apapun juga.

Sebaliknya apabila dalam suatu perjanjian pemberian kuasa diperjanjikan suatu upah kepada penerima kuasa maka perjanjian pemberian kuasa itu adalah perjanjian timbal-balik. Dikatakan sebagai perjanjian timbal balik karena kedua pihak sama-sama memperoleh prestasi dimana pemberi kuasa memperoleh prestasi berupa dilaksanakannya urusan yang berhubungan dengan kepentingannya oleh penerima kuasa dan penerima kuasa memperoleh upah yang telah diperjanjikan.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah akan menimbulkan akibat hukum. Demikian pula dengan perjanjian pemberian kuasa yang dibuat secara sah akan menimbulkan akibat hukum.

Akibat hukum dengan dibuatnya suatu perjanjian pemberian kuasa adalah bahwa para pihak terikat dengan kewajiban-kewajiban yang telah diatur dalam undang-undang.

136Herlien Budiono,Op.Cit.,hal. 57. 137Ibid.,hal. 55.

Ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penerima kuasa dapat ditemukan pengaturannya pada Pasal 1800 hingga Pasal 1806 KUHPerdata. Pasal 1800 KUHPerdata merupakan ketentuan dasar yang mengikat seorang penerima kuasa. Pasal tersebut secara tegas menyatakan bahwa dengan menerima suatu kuasa, seorang penerima kuasa telah mengikatkan dirinya untuk menyelesaikan kuasa tersebut, dan karenanya bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pemberi kuasa sebagai akibat tidak dilaksanakannya kuasa tersebut.

Pasal 1801 KUHPerdata mengatur mengenai tanggung jawab penerima kuasa. Luasnya tanggung jawab dari seorang penerima kuasa tidak hanya meliputi perbuatan-perbuatan yang disengaja olehnya melainkan juga terhadap setiap kelalaian yang dilakukan olehnya.

Pasal 1802 KUHPerdata mewajibkan penerima kuasa untuk memberikan laporan tentang segala sesuatu yang telah dilakukan oleh penerima kuasa tersebut, dan selanjutnya memberikan perhitungan kepada pemberi kuasa mengenai penerimaan yang telah dilakukannya, sesuai dengan kuasa yang telah diberikan kepadanya, termasuk segala sesuatu yang tidak seharusnya dibayar kepada pemberi kuasa.

Pasal 1805 KUHPerdata mengatur mengenai kewajiban penerima kuasa untuk membayar bunga atas uang-uang pokok yang diberikan oleh pemberi kuasa untuk melaksanakan kuasanya, yang dipakai oleh penerima kuasa guna keperluan pribadinya.

Pasal 1803 KUHPerdata mengatur mengenai penunjukan kuasa oleh penerima kuasa. Dalam pasal tersebut terdapat beberapa hal, antara lain:

1. Penerima kuasa bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan oleh orang yang ditunjuk olehnya sehubungan dengan pemberian kuasa apabila : a. Penerima kuasa tidak diberikan kekuasaan untuk menunjuk orang lain

sebagai penggantinya.

b. Dalam hal penerima kuasa diberikan kekuasaan untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya dan orang yang ditunjuk sebagai penggantinya itu ternyata tidak cakap atau tidak mampu dalam menyelesaikan kuasa yang telah diberikan.

2. Dalam hal kuasa diberikan untuk melakukan pengurusan benda-benda yang terletak di luar wilayah Indonesia atau di lain pulau daripada yang di tempat tinggal pemberi kuasa, maka setiap saat penerima kuasa berhak untuk menunjuk seorang lain melaksanakan kuasanya tersebut atas tanggungan pemberi kuasa.

3. Meskipun suatu penunjukkan seorang lain untuk melaksanakan kuasanya tersebut dilakukan oleh penerima kuasa, dengan atau tanpa persetujuan pemberi kuasa, pemberi kuasa adalah berwenang untuk setiap saat secara langsung menuntut orang yang ditunjuk lebih lanjut oleh penerima kuasa tersebut.

Pasal 1804 KUHPerdata mengatur mengenai pemberian kuasa kepada lebih dari satu orang. Dalam pasal tersebut diatur bahwa apabila dalam satu perjanjian

pemberian kuasa ditunjuk lebih dari satu orang penerima kuasa, maka terhadap para penerima kuasa tidak dibebankan tanggung jawab secara tanggung renteng, kecuali hal tersebut telah diatur secara tegas dalam perjanjian pemberian kuasa.

Pasal 1806 KUHPerdata mengatur bahwa penerima kuasa tidak bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi diluar dari batas kuasa yang telah dijalankannya, kecuali ia secara pribadi telah mengikatkan dirinya untuk itu.

Selanjutnya mengenai kewajiban pemberi kuasa diatur dalam Pasal 1807 hingga Pasal 1812 KUHPerdata. Pasal 1807 KUHPerdata mengatur mengenai akibat eksternal dari pelaksanaan kuasa yang telah dilakukan oleh penerima kuasa sesuai dengan kuasa yang diberikan kepadanya. Adapun akibat eksternal dari pelaksanaan kuasa tersebut adalah bahwa pemberi kuasa bertanggung jawab atas pemenuhan setiap perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa berdasarkan kuasa yang diberikan kepadanya. Namun, jika ada pelaksanaan kuasa yang menyimpang dari kuasa yang diberikan, pemberi kuasa adalah bebas untuk setiap saat mengukuhkan atau menyetujui pelaksanaan kuasa yang menyimpang tersebut. Dalam hal penyimpangan atau perbuatan di luar kuasa tersebut dikukuhkan atau disetujui, maka hal tersebut menjadi tanggung jawab pemberi kuasa.

Pasal 1808 KUHPerdata mengatur mengenai kewajiban pemberi kuasa dalam mengembalikan persekot-persekot dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan penerima kuasa untuk melaksanakan kuasanya, serta membayar upah penerima kuasa, jika hal upah tersebut telah diperjanjikan. Kewajiban tersebut adalah mutlak dan wajib dilakukan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa, selama dan sepanjang

penerima kuasa tidak melakukan kelalaian dalam melaksanakan kuasanya, terlepas dari selesai tidaknya kuasa tersebut dilaksanakan oleh penerima kuasa.

Pasal 1809 KUHPerdata mengatur mengenai kewajiban pemberi kuasa dalam memberikan ganti rugi kepada penerima kuasa atas kerugian-kerugian yang diderita penerima kuasa sewaktu menjalankan kuasanya, sepanjang penerima kuasa tidak telah lalai atau berbuat kurang hati-hati.

Pasal 1810 KUHPerdata mengatur mengenai kewajiban pemberi kuasa dalam membayar bunga atas persekot-persekot yang telah dikeluarkan oleh penerima kuasa sehubungan dengan pelaksanaan kuasa yang telah diberikan, terhitung sejak dikeluarkannya persekot-persekot itu oleh penerima kuasa.

Pasal 1811 KUHPerdata mengatur mengenai kewajiban tanggung menanggung dari beberapa orang pemberi kuasa yang memberikan kuasa kepada satu orang penerima kuasa untuk mewakili suatu urusan yang merupakan urusan para pemberi kuasa secara bersama-sama.

Pasal 1812 KUHPerdata mengatur mengenai hak retensi yang dimiliki oleh penerima kuasa untuk menahan milik pemberi kuasa yang berada ditangannya, untuk suatu waktu yang tidak ditentukan lamanya, hingga seluruh tuntutan penerima kuasa dari pemberi kuasa, sehubungan dengan pemberian kuasa telah dibayar lunas oleh pemberi kuasa.

Dokumen terkait