• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Hukum Perkawinan dalam Adat Tionghoa

BAB II. PROBLEMATIKA PENCATATAN PERKAWINAN

A. Perkawinan Menurut Hukum Adat Tionghoa

5. Akibat Hukum Perkawinan dalam Adat Tionghoa

Setiap perkawinan pasti akan menimbulkan akibat-akibat hukum kepada pihak-pihak yang melaksanakannya. Demikian juga halnya dengan perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan hukum adat Tionghoa pasti akan menimbulkan akibat- akibat hukum. Namun perlu diketahui bahwa akibat-akibat hukum yang timbul dari suatu perkawinan menurut hukum adat Tionghoa akan sangat berbeda dengan akibat- akibat hukum yang timbul dari suatu perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perbedaan yang paling

41

Wawancara dengan Bapak Drs. Rasmadi, Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Medan, tanggal 22 Nopember 2009, di Medan.

jelas adalah mengenai kepastian hukumnya. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan suatu peraturan tertulis yang berlaku bagi seluruh lapisan masyarakat dimana di dalam undang-undang tersebut dengan jelas mengatur secara tegas tentang akibat-akibat hukum yang timbul dari suatu perkawinan, baik hak dan kewajiban suami, isteri dan anak, serta harta benda perkawinan, yang lebih menjamin kepastian hukum demi terjaganya kepentingan dari para anggota keluarga. Akibat- akibat hukum yang timbul dari suatu perkawinan menurut hukum adat Tionghoa Iebih cendrung kepada pertanggungjawaban moral, karena tidak adanya hukum tertulis yang mengatur masalah ini secara tegas. Jadi mengenai hak dan kewajiban suami, isteri dan anak, serta harta benda perkawinan semuanya dilaksanakan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan dalam adat-istiadat Tionghoa.

Perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum adat Tionghoa akan menimbulkan akibat-akibat hukum sebagai berikut:

a. Terhadap suami dan isteri

Menurut hukum adat Tionghoa, seorang suami merupakan kepala keluarga dan kepala rumah tangga, serta sebagai pengambil keputusan mutlak dalam keluarga. Kedudukan seorang suami lebih tinggi dari seorang isteri. Hal ini sebagai pengaruh sistem kekeluargaan partrilinal yang dianut oleh masyarakat Tionghoa, yang mengutamakan garis keturunan dari pihak laki-laki sebagai kepala keluarga, kepala rumah tangga serta sebagai penerus marga atau nama keluarga.

Suami berkewajiban untuk memberikan nafkah lahir dan batin kepada isteri, termasuk juga memenuhi segala keperluan isteri berdasarkan kemampuan ekonominya. Demikian juga sebaliknya, isteri juga berkewajiban untuk memenuhi

nafkah lahir dan batin dari suaminya, terutama dapat memberikan keturunan/ anak dalam hal ini anak laki-laki, karena apabila tidak ada anak laki-laki, maka tidak akan ada penerus marga atau nama keluarga dari suami, sehingga marga atau nama keluarga akan terhenti pada saat suami meninggal dunia. Dalam hal kewajiban isteri dalam memberikan keturunan/anak, maka kemandulan dari isteri dapat menjadi alasan yang sah dari suami untuk menikah lagi. Hal ini tentu saja sangat merugikan dan tidak mencerminkan rasa keadilan bagi seorang isteri. Posisi isteri yang lebih rendah membawa dampak yang negatif dan sering tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan tersebut di atas.

b. Terhadap anak

Menurut hukum adat Tionghoa, anak yang lahir dalam suatu perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum adat, maka anak-anak yang lahir tersebut dianggap sebagai anak sah. Orangtua berkewajiban semaksimal mungkin untuk memberi penghidupan yang tayak kepada anak-anaknya, termasuk juga pendidikannya. Namun semuanya kembali kepada tingkat kehidupan dan ekonomi keluarganya.

Dalam hak-hak dan kedudukan anak dalam keluarga Tionghoa, dibedakan antara anak laki-laki dengan anak perempuan, dimana kedudukan dan hak anak laki- laki lebih istimewa dibandingkan dengan anak perempuan. Terutama anak laki-laki paling tua. Menurut adat-istiadat Tionghoa, cucu laki-laki tertua (anak laki-laki tertua dari anak laki-laki tertua kakeknya) dipersamakan kedudukan dengan anak laki-laki paling kecil di dalam keluarga bapaknya. Dengan kata lain, cucu laki-laki tertua mempunyai kedudukan dan hak yang sederajat dengan bapak dan pamannya. Dalam

hal ini, kedudukan cucu tertua tidak lagi sebagai cucu, tetapi kedudukannya sebagai “anak”. Hal ini sesuai dengan prinsip yang dianut dalam adat-istiadat masyarakat Tionghoa, yaitu ”Tua Sun Teng Bol Kia”, yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang mempunyai arti cucu laki-laki tertua dianggap sebagai anak laki-laki terkecil (bungsu) dalam keluarga kakeknya.

Demikian juga halnya dalam kedudukan dan untuk mewarisi warisan dari orangtuanya, hanya anak laki-laki yang berhak untuk mewarisi segala warisan dari orangtuanya, sedangkan anak perempuan tidak mempunyai hak untuk mewarisi warisan dari orangtuanya, karena anak perempuan yang sudah menikah dianggap sudah keluar dari rumah mengikuti serta masuk dalam keluarga suaminya. Terutama rumah peninggalan leluhur dari keluarga yang sudah diwarisi secara turun-temurun. Anak laki-laki, terutama anak laki-laki paling tua yang mengurusi dan menguasai secara bersama-sama dengan anak laki-laki yang lain. Selain itu, dalam setiap acara adat dan keluarga, maka pengambilan sebuah keputusan harus didasarkan pada keputusan dan kata sepakat dari para anak laki-laki.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa anak yang lahir dari suatu perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum adat istiadat Tionghoa adalah menjadi bagian terpenting, terutama anak laki-laki. Anak laki-laki mendapat tempat yang lebih diistimewakan dari orangtua. Tempat yang istimewa yang dimaksud disini bukan terfokus pada perlakuan manja dan lebih disayang, tetapi memang karena kedudukan dan haknya di dalam keluarga. Hal ini timbul karena sistem kekeluargaan patrilinial yang mendukung timbulnya hal ini.

c. Terhadap harta

Salah satu akibat hukum yang timbul dari suatu perkawinan adalah terhadap harta, baik harta bawaan masing-masing, maupun harta benda yang didapat selama perkawinan. Demikian juga halnya dengan perkawinan yang dilaksanakan menurut adat-istiadat Tionghoa juga menimbulkan akibat-akibat hukum terhadap harta.

Berdasarkan hasil penelitian awal yang dilakukan dengan wawancara beberapa narasumber dari kalangan etnis Tionghoa yang ada di Kota Medan, dalam hukum adat-istiadat Tionghoa, mengenal akibat hukum terhadap harta dapat diuraikan sebagai berikut:

a) Untuk harta bawaan suami yang telah ada sebelum berlangsungnya perkawinan tetap berada dalam penguasaan dan sepenuhnya menjadi hak suami.

b) Untuk harta bawaan isteri yang telah ada sebelum berlangsungnya perkawinan tetap berada dalam penguasaan dan sepenuhnya menjadi hak isteri.

c) Untuk harta benda yang didapat setelah dan selama berlangsungnya perkawinan menjadi hak suami dan isteri yang digunakan sepenuhnya untuk kebutuhan sehari- hari suami, isteri serta anak-anak.

B. Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan