• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Hukum Perkawinan Yang Putus Karena Perceraian A. Akibat Hukum Terhadap Anak

Dalam kodratnya, perjalanan hidup manusia dimulai dari lahir menjadi bayi kemudian menjadi anak65 kecil, remaja dan berkembang menjadi dewasa. Dalam perjalanan hidup tersebut sangat diperlukan bimbingan dan pengarahan terutama dalam masa transisi (memasuki masa dewasa). Seorang anak memerlukan bantuan serta bimbingan dari orangtuanya atau walinya bahkan dari anggota masyarakat itu sendiri, agar mereka tidak mengambil jalan yang salah dalam menghadapi persoalan bathin dan sekaligus menghindari dari hal-hal yang menjurus kepada hal negatif atau perbuatan yang tidak berguna di tengah-tengah masyarakat. Tugas dan tanggung jawab baru ada setelah lahir anaknya yaitu tanggung jawab memelihara anak seperti pengawasan dan perhatian serta pencukupan kebutuhan-kebutuhan hidup serta pendidikan anak dengan sebaik-baiknya yang terus-menerus dari kedua orang tua sampai anak itu mencapai umur sebagai orang dewasa yang telah mampu berdiri sendiri. Ada kalanya tanggung jawab pemeliharaan anak ini beralih atau berpindah kepada orang

Elissa Mudya Yunus, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

136

lain, pemeliharaan ini disebut dengan kekuasaan perwalian. Hal ini disebabkan:

1. Karena dicabutnya kekuasaan orangtuanya atas diri anak

2. Karena disebabkan meninggalnya kedua orang tua si anak

3. Karena perceraian.

Jika kekuasaan orang tua atas diri anak telah dicabut tidaklah berarti membebaskan orang tua si anak tersebut dari kewajiban untuk memberikan tunjangan kehidupan jasmani terhadap si anak yang belum dewasa yang disesuaikan dengan pendapatan orang tua tersebut. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia jika kedua orang tua tidak ada lagi, anak yang ditinggalkan yang belum dewasa langsung jatuh di bawah pemeliharaan kerabat laki-laki pada masyarakat patrilineal, pada kerabat si ibu pada masyarakat matrilineal atau pada salah satu kerabat orang tua pada masyarakat parental. Berkaitan dengan hal di atas, jika seorang anak ditinggal mati oleh kedua orangtuanya otomatis si anak tersebut jatuh di bawah pengawasan kaum kerabat, pemeliharaan seperti ini dapat membawa dampak negatif dalam pelaksanaan pengurusan harta kekayaan anak. Hal ini dikarenakan tidak adanya perhitungan dan pertanggungjawaban yang seharusnya dilakukan oleh seorang wali atau kerabat yang memelihara si anak.

Elissa Mudya Yunus, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

137

Dalam menjamin keselamatan harta benda dan pemeliharaan diri pribadi si anak, peraturan membuat suatu ketentuan khusus di dalam UUP yaitu tentang peraturan mengenai masalah perwalian yang diatur dalam Bab ke-XI dari undang-undang tersebut. Yang berada di bawah kekuasaan perwalian adalah mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua mereka berada di bawah kekuasaan perwalian yang terdiri dari :

1. Anak sah yang kedua orangtuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua.

2. Anak sah yang kedua orangtuanya telah bercerai.

3. Anak yang lahir di luar perkawinan (naturlijk ind).

4. Anak yang ditinggal mati oleh kedua orangtuanya.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan yang berlaku sejak 1 Oktober 1975 yang sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita kesatuan dan persatuan nasional di segala bidang, termasuk kesatuan hukum tentang perkawinan yang berlaku untuk semua warga negara. Dengan adanya Undang-Undang Perkawinan ini maka tercapailah apa yang dicita-citakan selama ini mengenai kodifikasi dan unifikasi hukum, walaupun dalam hal ini hanya mengenai perkawinan saja.

Dalam perkawinan, masalah umur sangatlah penting untuk menentukan seseorang itu apakah sudah cakap untuk melakukan tindakan

Elissa Mudya Yunus, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

138

hukum atau belum karena tindakan melakukan perkawinan adalah termasuk tindakan hukum. Jika diperhatikan ketentuan yang terdapat di dalam UUP tersebut, tidak ada suatu ketegasan yang menyatakan umur berapakah seseorang itu dikatakan sudah dewasa atau belum. Ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 47 UUP yang mana apabila diperhatikan isi Pasal 6 ayat (2) tersebut bahwa anak yang sudah berumur 21 tahun dianggap sudah dewasa dan tidak perlu lagi mendapat izin dari kedua orangtuanya dalam melangsungkan perkawinan. Bila ditafsirkan secara umum, isi Pasal 6 Ayat (2) tersebut maka terhadap anak yang belum berumur 21 tahun jika akan melangsungkan perkawinan harus mendapat izin dari kedua orangtuanya karena belum dewasa dan belum dapat menentukan kehendaknya sendiri tanpa campur tangan dari orangtuanya.

Menurut Pasal 47 UUP Ayat (1) menyatakan bahwa Anak yang belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orangtuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaannya . Sedangkan menurut Ayat (2) bahwa Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam maupun di luar pengadilan . Jika dilakukan penafsiran terhadap Pasal 47 UUP ini maka anak yang telah berumur 18 tahun atau yang belum berumur 18 tahun tapi sudah kawin dapat dianggap :

Elissa Mudya Yunus, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

139

2. Cakap melakukan tindakan hukum di dalam maupun di luar pengadilan tanpa diwakili oleh orang tua.

3. Sudah mampu dan berhak mengurus harta bendanya dan kepentingan sendiri walaupun tanpa mendapat bantuan dari orangtuanya.

Kedua pasal tersebut di atas, jelas bahwa pembuat undang-undang membuat 2 (dua) macam kategori untuk menentukan seseorang tersebut sudah dewasa atau belum. Oleh sebab itu secara pasti tidak dapat ditentukan umur berapa seseorang itu sudah dianggap dewasa menurut undang-undang ini, kalau tidak terlebih dahulu dilihat peristiwa yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan.

Jika Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 47 UUP tersebut dibandingkan lagi dengan isi Pasal 7 UUP akan terdapat lagi perbedaan mengenai ketentuan umur untuk cakap melakukan tindakan hukum ini. Isi Pasal 7 UUP ayat (1) menyebutkan perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun . Selanjutnya ayat (2) menyebutkan dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat diminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orangtuaya pihak pria maupun pihak wanita .

Berdasarkan ketentuan di atas, berarti seorang anak yang telah mencapai umur 18 tahun bagi pria tidak dapat melangsungkan perkawinan kecuali ada dispensasi dari pengadilan, maka terlihat seakan-akan ada

Elissa Mudya Yunus, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

140

kerancuan bilamana Pasal 7 ini dibandingkan dengan Pasal 47, dimana yang satu menyatakan seseorang sudah dewasa apabila telah berumur 18 tahun dan sekaligus telah berwenang untuk bertindak dalam hukum, sedangkan di pihak lain menyatakan bahwa walaupun telah mencapai umur 18 tahun tetapi belum boleh kawin kecuali ada izin, maka di sini berarti berbeda umur dewasa dengan dewasa kawin. Maka berdasarkan ketentuan Undang-Undang Perkawinan tersebut tidak ada suatu kepastian tentang umur seseorang itu dianggap sudah dewasa atau belum, dimana menurut penjelasan UU No. 1/1974 bahwa umur dewasa adalah apabila si anak telah mencapai umur 21 tahun, kalau belum mencapai umur 21 tahun belum dewasa. Apabila dia tidak berada di bawah kekuasaan orangtuanya, maka anak berada di bawah kekuasaan perwalian.

Perceraian mempunyai akibat bahwa kekuasaan orang tua (ouderlijkemacht) berakhir dan berubah menjadi perwalian (voogdij). Perwalian (voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang di bawah umur, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh undang-undang. Dalam hal perceraian suami isteri melalui putusan pengadilan, dalam UUP tidak ada menyebutkan secara tegas bila ada anak, apakah anak itu akan berada dalam wali ibunya atau bapaknya. Dalam Pasal 41 butir (a) menyebutkan baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan si anak. Pasal ini tidak menyebutkan anak berada dalam wali ibu atau bapak. Jadi diserahkan

Elissa Mudya Yunus, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

141

kepada kesepakatan ibu maupun bapak tersebut. Bila tidak ada kesepakatan, maka pengadilan yang memberi keputusan si anak berada pada ibu atau bapak. Pasal 53 UUP menyebutkan wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang disebut dalam Pasal 49 UUP yaitu :

1. Wali sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak perwalian tersebut,

2. Wali berkelakuan buruk sebagai walinya.

B. Akibat Hukum Terhadap Harta Perkawinan

Apabila kekuasaan wali dicabut maka pengadilan menunjuk orang lain sebagai walinya (Pasal 53 Ayat (2) UUP). Dalam hal apabila wali menyebabkan kerugian pada si anak maka menurut ketentuan Pasal 54 UUP menyatakan, wali yang telah menyebabkan kerugian pada harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan putusan pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.

Dalam UUP telah dimasukkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon mempelai laki-laki dan perempuan dengan tujuan perkawinan itu benar-benar dapat mewujudkan terbinanya keluarga yang harmonis, bahagia dan sejahtera. Rumah tangga sebagai cikal bakal masyarakat yang lebih luas. Apabila tujuan perkawinan tidak tercapai bahkan perkawinan itu mendatangkan hal-hal yang tidak baik, bahkan

Elissa Mudya Yunus, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

142

tidak ditemukan jalan keluarnya, ibarat perkawinan merupakan suatu pintu untuk masuk, maka bagi pihak yang ingin keluar dari perkawinan tersebut terbuka juga pintu darurat yang dikenal dengan perceraian. Walaupun UUP memberikan pintu untuk melakukan perceraian tetapi perceraian itu merupakan alternatif terakhir untuk mengatasi suatu problema yang terjadi dalam suatu perkawinan.

UUP secara prinsip tidak menginginkan terjadinya perceraian, UUP menghindari terjadinya perceraian telah membuat suatu ketentuan bahwa perceraian baru boleh dilakukan setelah dipenuhi alasan-alasan limitatif dan perceraian inipun baru dianggap sah apabila dilakukan di depan sidang pengadilan yang berwenang.

Dengan adanya suatu perceraian di depan sidang pengadilan yang berwenang dan dilengkapi dengan alasan-alasan, di samping tertib administrasi juga diharapkan adanya kelangsungan hidup rumah tangga dapat dipertahankan, dan perceraian tidak akan terjadi dengan semena-mena oleh pihak suami. Hak dan kewajiban serta status isteri dan suami seimbang dalam perkawinan dan kepada isteri juga telah diberi kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum, maka UUP telah membuat suatu ketentuan hukum bahwa terjadinya perceraian bukan saja hak dominasi pihak suami, tetapi telah dibagi dengan peristilahan cerai talak dan cerai gugat. Cerai talaq adalah perceraian yang terjadi dengan inisiatif dari pihak suami sedangkan cerai gugat inisiatif dari pihak isteri

Elissa Mudya Yunus, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

143

adalah diberikannya hak untuk mengajukan cerai gugat kepada pihak isteri merupakan upaya jalan keluar dari hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya dalam kelalaian pihak suami tidak memberikan nafkah isteri, suami meninggalkan isteri dalam jangka waktu yang lama atau adanya tindakan suami yang menyakiti badan jasmani isteri dan lain-lain yang dapat menimbulkan kesengsaraan dan kerugian bagi pihak isteri. Walaupun UUP telah memberikan kewenangan kepada pihak isteri untuk mengajukan gugatan cerai ke pengadilan, tetapi gugatan yang diajukan ini haruslah memenuhi syarat-syarat dan alasan-alasan serta pertimbangan hakim pengadilan yang berwenang untuk mengadili seadil-adilnya. Rasa tanggung jawab dan keharmonisan merupakan dua hal pokok dalam membina rumah tangga dan perlu disadari para pihak (suami isteri) dalam suatu perkawinan. Dengan demikian sangat diperlukan adanya kematangan sikap, mental dan kemampuan calon suami isteri sebelum melangsungkan perkawinan sehingga diharapkan pemenuhan syarat-syarat untuk melangsungkan suatu perkawinan sebagaimana diatur dalam UUP janganlah hanya dipenuhi secara formalitas saja.

Sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, suami sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga, bersama-sama berusaha untuk menopang kehidupan rumah tangga mencapai kebahagiaan lahir dan bathin. Perwujudan kebahagiaan tersebut tentu dengan terpenuhinya kebutuhan material dan moral. Salah satunya adalah kecukupan ekonomi yaitu harta yang didapatkan sebagai hasil usaha

Elissa Mudya Yunus, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

144

bersama/sendiri oleh suami atau isteri dalam suatu perkawinan selanjutnya disebut harta bersama. Aktivitas yang dilakukan oleh suami isteri merupakan suatu tuntutan dan keharusan untuk menghindari kekurangan pemenuhan kebutuhan hidup. Dengan demikian pekerjaan yang akan mendatangkan kebahagiaan rumah tangga bukanlah semata-mata menjadi tugas suami tetapi turut dipikul oleh isteri. Perwujudan harta bersama dalam perkawinan merupakan manifestasi dari adanya usaha bersama dalam membina rumah tangga. Undang-Undang telah melegalisasi bahwa kedudukan wanita seimbang dengan kedudukan laki-laki dalam hukum dan pergaulan masyarakat, dengan demikian suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk mewujudkan rumah tangga yang sejahtera dan damai, oleh karena itu masing-masing suami isteri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang. Dengan adanya hak dan kedudukan yang seimbang serta keharusan masing-masing pihak untuk berusaha menopang kehidupan ekonomi rumah tangga sehingga harta yang didapat dalam masa perkawinan disebut harta bersama.

Perkawinan sangat erat kaitannya dengan harta benda baik yang ada sebelum perkawinan maupun yang ada setelah perkawinan. Secara umum asal usul harta yang dimiliki suami dan isteri dapat digolongkan menjadi 4 (empat) jenis, yaitu :

1. Harta yang diperoleh dari hibah atau harta warisan yang diperoleh salah seorang dari suai atau isteri.

Elissa Mudya Yunus, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

145

2. Harta hasil usaha sendiri sebelum perkawinan.

3. Harta yang diperoleh pada saat perkawinan.

4. Harta yang diperoleh selama perkawinan.

Harta yang bersumber dari hibah atau harta warisan, baik yang diterima sebelum perkawinan maupun selama perkawinan statusnya adalah tetap menjadi milik masing-masing suami isteri. Harta yang bersumber dari hasil usaha sendiri sebelum perkawinan tetap dikuasai oleh masing-masing suami isteri. Selanjutnya harta yang diperoleh pada saat perkawinan, ada yang menjadi milik isteri dan ada yang menjadi milik suami, sedangkan harta yang dihasilkan oleh suami isteri selama dalam perkawinan dikuasai bersama oleh suami dan isteri.

Di dalam UUP harta benda diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 UUP. Ada 2 (dua) macam harta benda dalam perkawinan menurut UUP yaitu :

1. Harta bersama

Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Asal dari mana harta itu diperoleh tidak dipersoalkan. Apakah harta itu didapat dari isteri atau dari suami, semuanya menjadi hak milik bersama suami isteri.

Elissa Mudya Yunus, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

146

Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing suami isteri kedalam perkawinannya, harta benda yang diperoleh masing-masing berada di bawah penguasaan masing- masing. Ketentuan mengenai harta bersama yang dituangkan dalam Pasal 35 Ayat (1) UUP dan Pasal 36 Ayat (1) UUP tersebut berasal dari hukum adat yang kemudian dilegalisasikan ke dalam hukum tertulis Indonesia.

Di samping ketentuan yang telah disebutkan dalam UUP Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 mengenai harta bersama, maka pengertian harta dalam perkawinan dapat dikembangkan kepada 3 (tiga) jenis harta yang dirinci sebagai berikut :

1. Harta bawaan, yang dimaksud ialah harta yang diperoleh suami isteri pada saat atau sebelum melakukan perkawinan, harta tersebut sebagai milik asli dari suami dan isteri. Pemilikan terhadap harta bawaan (harta pribadi) dijamin keberadaannya secara yuridis oleh hukum perkawinan.

2. Harta pribadi, yaitu harta yang diperoleh oleh suami atau isteri selama perkawinan berlangsung sebagai hadiah, hibah, wasiat atau warisan yang diperoleh secara pribadi terlepas dari soal perkawinan.

3. Harta bersama, yaitu harta yang diperoleh dalam masa perkawinan dalam kaitannya dengan hukum perkawinan, baik penerimaan itu lewat perantaraan isteri maupun lewat perantaraan suami.

Elissa Mudya Yunus, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

147

Mengenai terbentuknya harta bersama dalam perkawinan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 35 UUP Ayat (1) harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama . Ketentuan ini berarti terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak saat terjadinya perkawinan sampai ikatan perkawinan itu bubar (putus). Dengan demikian harta apa saja (berwujud atau tidak berwujud) yang diperoleh terhitung sejak saat dilangsungkan perkawinan sampai saat perkawinan terputus baik oleh karena salah satu pihak meninggal dunia maupun karena perceraian, maka seluruh harta tersebut dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama.

Subekti dalam buku Hukum Acara Perdata mengatakan sebagai berikut : “Sejak mulai perkawinan terjadi, suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan isteri (algehele gemeenschap van goederen), jikalau tidak diadakan perjanjian apa-apa. Keadaan yang demikian itu berlangsung seterusnya dan tidak dapat diubah lagi selama perkawinan. Jikalau orang ingin menyimpang dari peraturan umum itu, ia harus meletakkan keinginannya itu dalam suatu Perjanjian Perkawinan (huwelijkevoorwaarden). Perjanjian yang demikian ini harus diadakan sebelumnya pernikahan ditutup dan diletakkan dalam suatu akta notaris.”

Menurut Pasal 119 KUHPerdata dinyatakan, mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan isteri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain, persatuan itu sepanjang perkawinan tidak boleh atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan isteri. Jika orang ingin menyimpang dari ketentuan umum itu, ia harus

Elissa Mudya Yunus, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

148

menempuh jalan dengan membuat perjanjian kawin yang diatur dalam Pasal 139 sampai dengan 154 KUHPerdata. Perjanjian yang demikian harus diadakan sebelum berlangsungnya pernikahan, dan harus dicantumkan dalam suatu akta notaris. Pembuat undang-undang menghendaki supaya keadaan kekayaan di dalam suatu perkawinan itu tetap untuk melindungi kepentingan-kepentingan pihak ketiga. Selama perkawinan perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali dengan persetujuan kedua belah pihak dan perubahan itu tidak merugikan pihak ketiga. Dalam hal terjadi perceraian, maka hak atau kepentingan pihak ketiga dilindungi oleh undang-undang.

Undang-Undang hanya mengecualikan dalam satu hal, yaitu dalam hal melindungi si isteri terhadap kekuasaan si suami yang telah diberikan sangat luas atas kekayaan bersama yang di dalamnya termasuk kekayaan si isteri. Dalam hal ini undang-undang memberikan hak kepada si isteri untuk meminta kepada Hakim supaya diadakan pemisahan kekayaan dengan tetap berlangsungnya perkawinan. Pemisahan terhadap kekayaan itu dapat diminta oleh isteri dalam hal :

1. Apabila si suami dengan kelakuan yang nyata-nyata tidak baik, mengorbankan kekayaan bersama dan membahayakan keselamatan keluarga.

Elissa Mudya Yunus, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

149

2. Apabila si suami melakukan pengurusan yang buruk terhadap kekayaan si isteri, sehingga ada kekhawatiran bahwa kekayaa ini akan menjadi habis.

3. Apabila si suami mengobralkan kekayaan sendiri, sehingga si isteri akan kehilangan tanggungan yang oleh undang-undang diberikan kepadanya atas kekayaan tersebut karena pengurusan yang dilakukan oleh suami terhadap kekayaan isterinya. Penyelesaian pembagian harta perkawinan/harta bersama apabila terjadi perceraian diuraikan dalam Pasal 128 KUHPerdata yang menyatakan bahwa harta bersama ini dibagi dua antara suami dan isteri tanpa perlu memperhatikan dari pihak mana barang-barang itu dahulu diperoleh. Hanya pakaian-pakaian, perhiasan-perhiasan dan perkakas-perkakas yang sangat erat hubungannya dengan salah satu pihak dari suami isteri, dapat diberikan kepadanya dengan memperhitungkan harganya dalam pembagian.

Ketentuan yang ditetapkan dalam UUP menempatkan status isteri sama kedudukannya dengan status suami dalam perbuatan hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 31 UUP yaitu :

1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama-sama dalam masyarakat.

Elissa Mudya Yunus, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

150

3. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kedudukan suami serta isteri diberi hak melakukan perbuatan hukum serta status isteri sebagai ibu rumah tangga. Karena itu terhadap harta kekayaan masing-masing pribadi dijamin status kepemilikannya. Sebagaimana disebutkan dalam UUP dengan rumusan kewenangan masing-masing pihak. Di dalam UUP pengaturan tentang harta bersama tersebut diatur dalam Bab VII yang mengatur harta benda dalam perkawinan, terdiri dari tiga pasal, yaitu Pasal 35, Pasal 36 dan 37 UUP, ditambah dengan Pasal 65 ayat (1) huruf b dan c dalam Bab XIII. Berlainan dengan Pasal 119 KUHPerdata yang mengatur persatuan bulat antara harta kekayaan suami isteri demi hukum sejak berlangsungnya perkawinan. Sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain, maka UUP membedakan 2 (dua) jenis harta yang berada di tangan suami.

1. Harta bersama yang dimiliki dan dikuasai oleh suami isteri bersama-sama. Mengenai harta jenis ini, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah Pasal 36 ayat (1) UUP. Yang termasuk harta bersama ini harta yang diperoleh selama perkawinan suami isteri.

2. Harta yang dimiliki dan dikuasai oleh masing-masing suami isteri, sepanjang mereka berdua tidak menentukan lain. Harta ini berasal dari tiga sumber, yaitu :

Elissa Mudya Yunus, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

151

a. Harta yang sudah dipunyai suami isteri sebelum mereka melang

Dokumen terkait