• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Hukum Putusan Sengketa Bersifat Terakhir dan Mengikat

Sifat putusan sengketa di Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota yang bersifat terakhir dan mengikat (final and binding), melahirkan sejumlah akibat hukum

dalam penerapannya. Akibat hukum yang ditimbulkan oleh putusan Pengawas Pemilihan yang bersifat terakhir dan mengikat (final and binding) berdasarkan studi pustaka, dibagi ke dalam 2 (dua) garis besar, yaitu akibat hukum yang bermakna positif dan akibat hukum yang bermakna negatif.

Adapun akibat hukum dari putusan Pengawas Pemilihan bersifat terakhir dan mengikat (final and binding), yang bermakna positif, sebagai berikut :

a. Mengakhiri Suatu Sengketa Hukum Dalam Tahapan Pilkada

Putusan yang dihasilkan oleh pengawas pemiliahan (Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota) melalui putusannya yang bersifat terakhir dan mengikat (final and binding), menimbulkan akibat hukum yang berujung pada berakhirnya suatu sengketa pemilihan sedang berlangsung sehingga ada kepastian, kelanjutan proses dan tahapan yang akan dilaksanakan.

b. Menjaga Prinsip Checks and Controling

Putusan Pengawas Pemilihan (Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota) yang bersifat terakhir dan mengikat (final and binding) dapat membatalkan atau perintah merubah atau mengganti keputusan tata usaha negara (KTUN) yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yaitu KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang menimbulkan kerugian bagi seseorang atau badan hukum perdata dalam proses Pilkada. Putusan sengketa ini bertujuan untuk pemeriksaan (checking) dan pengawasan (controlling) atas tindakan hukum setelah keputusan administrasi pemerintahan keluar, yaitu pengawasan dalam bentuk a-posteriori.

Adapun akibat hukum yang ditimbulkan oleh putusan yang sifat terakhir dan mengikat (final and binding) Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota dalam sengketa pemilihan, sebaliknya juga memiliki makna negatif sebagai berikut:

a. Menutup Akses Upaya Hukum Bagi Pihak Termohon

Meski telah diketahui bahwa putusan sengketa bersifat terakhir dan mengikat (final and binding), bermakna tidak ada lagi ruang yang diberikan bagi pihak termohon (KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota) untuk menempuh upaya hukum terhadap putusan tersebut. Kendati demikian, selama ini dirasakan pula sejumlah permasalahan berkenaan dengan putusan-putusan yang dikeluarkan pengawas pemilihan yang kadang menjadi sorotan walau tidak terlalu banyak namun ada. Namun juga, pada Pilkada 2015 lalu, sebagaimana isi surat Mahkamah Agung Republik Indonesia154

“Keputusan Bawaslu Provinsi dan Keputusan Panwas Kabupaten/Kota mengenai sengketa pemilihan merupakan keputusan terakhir dan mengikat artinya Keputusan a quo mempunyai nilai eksekutorial yaitu secara hukum wajib dilaksanakan oleh para pihak yang bersengketa”.

perihal permohonan fatwa, pada poin 3, menyatakan :

Dengan demikian KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sebagai termohon tidak dapat mengajukan upaya hukum banding ataupun kasasi layaknya di peradilan murni atau peradilan umum. Sehingga kesan negatif ini menjadi kurang

154

Lihat isi surat Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 115/Tuaka.TUN/V/2015 tanggal 21 Mei 2015 yang ditujukan kepada Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum, poin 3, berbunyi : bahwa ketentuan pasal 144 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2015 junto UU No.8 Tahun 2015 harus diinterpretasikan secara menyeluruh (sistematik) terkait keseluruhan pasal pada Bagian Ketiga tentang Sengketa Antarpeserta Pemilihan dan Sengketa Antara Peserta Pemilihan dengan Penyelenggara Pemilihan (vide pasal 142 sampai dengan pasal 144). Sehingga Keputusan Bawaslu Provinsi dan Keputusan Panwas Kabupaten/Kota mengenai sengketa pemilihan merupakan keputusan terakhir dan mengikat artinya Keputusan a quo mempunyai nilai eksekutorial yaitu secara hukum wajib dilaksanakan oleh para pihak yang bersengketa. Dan tentunya hanya Keputusan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang merugikan pasangan calon peserta pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dapat diajukan gugatan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

relevan diungkapkan sebab interpretasinya sudah diperjelas oleh surat Mahkamah Agung tersebut.

b. Menimbulkan Kekosongan Hukum

Kekosongan hukum dapat terjadi apabila putusan Pengawas Pemilihan yang bersifat terakhir dan mengikat (final and binding) tidak dilaksanakan, sehingga putusan tersebut hanyalah putusan di atas kertas (law in book). Berkaca pada realitas yang mengiringi penerapan beberapa putusan Pengawas Pemilihan, tak jarang justru berakhir tidak implementatif. Dalam memutus perkara administrasi pencalonan, seringkali putusan pengawas pemilihan tidak segera ditindaklanjuti oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Bahkan lamban dan cenderung tidak mendapat merespon secara positif. Dapat dicontohkan pada perkara pencalonan di Panwas Kabupaten Aru Provinsi Maluku, KPU Kabupaten Aru lamban dan tidak segera menindaklanjuti putusan sengketa di Panwas Kabupaten Aru.155

Maka dari itu, perlu kiranya adanya norma aturan khusus yang mengatur mengenai pelaksanaan putusan sengketa yang diputus oleh pengawas pemilihan selaku majelis banding administrasi , hal ini sebagai langkah preventif terjadinya kekosongan hukum. Agar ke depannya, setiap putusan pengawas pemilihan yang bersifat terakhir dan mengikat (final and binding) tidaknya hanya sebatas putusan di Hal tersebut disebabkan, tidak adanya regulasi yang mengatur mengenai kekuatan eksekutorial atas putusan Pengawas Pemilihan.

155

http://ambonekspres.fajar.co.id/2015/09/14/bawaslu-kpu-wajib-laksanakan-putusan-panwaslu/:Bawaslu : “KPU Wajib Laksanakan Putusan Panwas”

atas kertas, namun juga dapat diterapkan (implementatif) oleh penyelenggara pemilihan.

3. Studi Putusan Sengketa Administrasi Pemilihan Nomor Register : 004/PS/PWSL.PTS.02.04/IX/2015 di Panwas Kota Pematangsiantar

Untuk memberi gambaran soal eksistensi pengawas pemilihan sebagai majelis banding administrasi (MBA) dan putusan sengketa administrasi pemilihan serta bagaimana implikasi (akibat) putusan sengketa pada implementasinya maka kita coba pelajari (studi) putusan adjudikasi sengketa pemilihan yang diperiksa dan diputus oleh Panwas Kota Pematangsiantar dengan nomor register 004/PS/PWSL.PTS.02.04/IX/2015 tanggal 12 Oktober 2015 antara Surfenov Sirait, S.Sos dan S.L. Parlindungan Sinaga sebagai pemohon melawan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Pematangsiantar sebagai termohon.

Sengketa administrasi pemilihan ini terjadi pada tahapan pencalonan dimana yang menjadi objek sengketa ini adalah Keputusan KPU Kota Pematangsiantar yang tidak meloloskan bakal pasangan calon walikota/wakil walikota pada tahapan pencalonan. Pengajuan permohonan adjudikasi sengketa perkara ini diajukan pada tanggal 27 September 2015, lalu Panwas Kota Pematangsiantar memeriksa dan memutus sengketa administrasi tersebut pada tanggal 12 Oktober 2015 dengan menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa yang diatur dalam Peraturan Bawaslu Nomor 8 tahun 2015 tentang tata cara penyelesaian sengketa pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, dengan isi putusan sengketa sebagai berikut156

1. Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk sebagian;

:

156

PanwasKota Pematangsiantar, Kutipan Salinan Putusan Sengketa Nomor : 004..,

2. Membatalkan Berita Acara KPU Kota Pematangsiantar Nomor : 1179/BA/KPU-Kota-002.656024/IX/2015 tertanggal 7 September 2015 tentang Pendaftaran Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Pematangsiantar Tahun 2015;

3. Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Kota Pematangsiantar untuk menerbitkan surat keputusan baru tentang penetapan pasangan calon peserta pemilihan yang di dalamnya tercantum nama Pemohon sebagai pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Siantar Tahun 2015;

4. Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Kota Pematangsiantar untuk menetapkan pasangan Surfenov Sirait, S.Sos dan S.L. Parlindungan Sinaga sebagai Pasangan Calon Walikota/Wakil Walikota Pematangsiantar dalam pemilihan Walikota/Wakil Walikota Kota Pematangsiantar Tahun 2015.

Terhadap putusan Panwas Kota Pematangsiantar tersebut, Komisi Pemiihan Umum (KPU) Kota Pematangsiantar selaku pihak Termohon dalam sengketa ini (a

quo) telah melaksanakannya dan selanjutnya telah menetapkan dan memasukkan

Pasangan Calon Surfenov Sirait, S.Sos dan S.L. Parlindungan Sinaga sebagai Pasangan Calon Walikota/Wakil Walikota Pematangsiantar pada pemilihan walikota dan wakil walikota tahun 2015 dan mendapat nomor urut calon nomor 5 (lima).

Atas adanya laporan pengaduan masyarakat yang mengadukan Panwas Kota Pematangsiantar, pada kenyataannya, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia (DKPP RI), pada tanggal 17 November 2015, DKPP RI dalam putusan perkara pelanggaran kode etik nomor 61/DKPP-PKE-IV/2015 memutuskan dan memerintahkan kepada Bawaslu Provinsi Sumatera Utara selaku atasan Panwas Kota Pematangsiantar untuk melakukan atau melaksanakan koreksi atau pembatalan atau dengan kata lain diperintahkan untuk menganulir putusan sengketa nomor register 004/PS/PWSL.PTS.02.04/IX/2015 tanggal 12 Oktober 2015 tersebut.157

157

DKPP RI menilai bahwa putusan Panwas Kota Pematangsiantar tidak didukung dasar hukum dan pembuktian yang benar.158

Perintah yang sama juga ditujukan kepada KPU Kota Pematangsiantar agar melaksanakan putusan DKPP RI ini. Atas perintah putusan DKPP RI ini, pada tanggal 23 dan 26 November 2015 Bawaslu Provinsi Sumatera Utara dengan suratnya Nomor : 002/2304/Bawaslu-SU/XI/2015 dan Nomor : 000/2621/Bawaslu-SU/XI/2015 melakukan koreksi terhadap Putusan Panwas Kota Pematangsiantar dengan mengeluarkan surat rekomendasi dan penegasan kepada KPU Kota Pematangsiantar yang pada inti koreksinya menyatakan bahwa Pasangan Calon Surfenov Sirait, S.Sos dan S.L. Parlindungan Sinaga, tidak memenuhi syarat (TMS). Selanjutnya KPU Kota Pematangsiantar mengumumkan pembatalan pasangan calon Surfenov Sirait, S.Sos dan S.L. Parlindungan Sinaga sebagai peserta pemilihan Walikota dan Wakil Walikota tahun 2015.

Atas pembatalan kepesertaan pasangan calon oleh KPU Kota Pematangsiantar ini, pada tanggal 30 November 2015, Pasangan Calon Surfenov Sirait, S.Sos dan S.L. Parlindungan Sinaga mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Medan (PTUN) dan dalam gugatannya meminta penundaan pelaksanaan keputusan pembatalan a quo sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan PTUN mengabulkan dalam putusan selanya. Atas putusan sela PTUN Medan ini, oleh KPU Kota Pematangsiantar, pelaksanaan pemungutan suara Pilkada Kota Pematangsiantar ditunda menunggu putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap.

158

Satu-satunya Pilkada di Indonesia tahun 2015 yang tertunda adalah di Pilkada Kota Pematangsiantar Provinsi Sumatera Utara. Hingga tesis ini disusun, PTUN Medan dalam putusannya mengabulkan gugatan Penggugat (in casu Surfenov Sirait, S.Sos dan S.L. Parlindungan Sinaga) untuk seluruhnya.159

Dalam konteks hukum tata negara kedudukan Panwas Kabupaten/Kota sebagai fungsi pemerintahan (menjalankan perintah undang-undang) dalam bidang penyelenggaraan pengawasan pemilihan. Namun perlu pula diketahui, selain menjalankan fungsi pengawasan (investigator) setiap tahapan pemilihan dan fungsi lain sebagai penyelesaian sengketa pemilihan (memeriksa dan pemutus) atau dapat dikatakan“pengadilan khusus”. Fungsi ini pelaksana pengawasan termasuk fungsi pelayanan publik yaitu menerima dan menindaklanjuti laporan atau pengaduan dugaan pelanggaran yang disampaikan oleh masyarakat dalam setiap tahapan penyelenggaran Pilkada. Jika melihat melihat kedua fungsi ini, terlihat ada dua fungsi yang diperankan yaitu fungsi administrasi/pelayanan (kekuasaan eksekutif) dan fungsi “mengadili” (kekuasaan yudikatif). Perihal ini memang, dalam perkembangan sistem hukum dan ketatanegaraan di Indonesia, telah ada beberapa lembaga atau institusi yang berfungsi campuran (mix function).

KPU Kota Pematangsiatar kalah dan hingga tesis ini disusun, masih menunggu putusan hukum di Pengadilan dan sikap para pihak yang bersengketa tersebut. Penulis mencoba melakukan studi atau mempelajari putusan sengketa adjudikasi di Panwas Kota Pematangsiantar ini karena sangat menarik untuk dikaji dari beberapa sisi/aspek hukumnya.

159

Perihal ini, disamping lembaga pengadilan khusus yang dalam undang-undang secara tegas dan resmi disebut sebagai pengadilan, dewasa ini juga banyak tumbuh dan berkembang adanya lembaga- lembaga yang meskipun tidak disebut eksplisit sebagai pengadilan, tetapi memiliki kewenangan dan makanisme kerja yang juga bersifat mengadili. 160

Karena itu, dapat dikatakan bahwa lembaga-lembaga yang bersifat ‘mengadili’ tetapi tidak disebut sebagai pengadilan itu merupakan bentuk quasi pengadilan atau semi pengadilan. Beberapa di antaranya berbentuk komisi-komisi negara, tetapi ada pula yang menggunakan istilah badan atau pun dewan. Sebagai contoh dapat dikemukakan beberapa di antaranya sebagai berikut:

Berdasarkan ketentuan undang-undang, lembaga- lembaga demikian ini diberikan kewenangan untuk memeriksa dan memutus sesuatu perselisihan ataupun perkara pelanggaran hukum, dan bahkan perkara pelanggaran etika tertentu dengan keputusan yang bersifat final dan mengikat (final and binding) sebagaimana putusan pengadilan yang bersifat “inkracht” pada umumnya. Semua ini dimaksudkan untuk memberikan keadilan bagi para pihak yang dirugikan oleh sesuatu sistem pengambilan keputusan yang mengatas-namakan kekuasaan negara.

1) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)161

2) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)

;

162

3) Komisi Informasi Pusat (KIP) dan Komisi Informasi Daerah (KID) ;

163

160

Jimly Asshiddiqie, Pengadilan Khusus, Makalah, Juli 2013, diakses

http://www.jimly.com/makalah/namafile/161/PENGADILAN_KHUSUS_02.pdf

;

161

Lembaga ini dibentuk berdasarkan UU No. 9 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persiangan Usaha Tidak Sehat

162

Komisi Penyiaran Indonesia dibentuk berdasarkan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran

4) Ombudsman Republik Indonesia (ORI)164

5) Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) ;

165

Menurut Sjahran Basah

; dan lain-lain.

166

1) Adanya hukum, terutama di lingkungan hukum administrasi negara yang dapat diterapkan dalam suatu persoalan;

, ciri suatu peradilan administrasi memiliki unsur-unsur :

2) Adanya sengketa yang konkrit, yang pada dasarnya disebabkan oleh ketetapan tertulis administrasi negara;

3) Minimal dua pihak, dan sekurang-kurangnya salahsatu pihak harus administrasi negara;

4) Adanya badan peradilan atau instansi yang berwenang memutuskan sengketa; dan

5) Adanya hukum formal dalam rangka menerapkan hukum, menemukan hukum “in concreto” untuk mempertahakan ditaatinya hukum materil.

Mengacu kepada ciri atau unsur-unsur yang diungkapkan diatas, apakah norma hukum penyelesaian sengketa yang dilakukan Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota in casu putusan sengketa administrasi di Panwas Kota

163

Komisi ini dibentuk berdasarkan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

164

Semula lembaga ini bernama Komisi Ombudsman Nasional (KON) dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 44 Tahun 2000. Pada tahun 2008, kedudukan lembaga ini ditingkatkan dan namanya diubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia (ORI) berdasarkan UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.

165

Bawaslu dibentuk berdasarkan UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.

166

Pematangsiantar dimaksudkan merupakan ciri peradilan administrasi. Untuk itu bisa dirinci dengan rincian sebagai berikut :

1) Adanya hukum (materil) yang dapat diterapkan; dalam hal ini adanya norma hukum perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 sebagaimana yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015, dalam pasal 142 sampai dengan pasal 144;

2) Adanya sengketa hukum yang konkrit; dalam hal ini sengketa hukum pasangan calon akibat keluarnya ketetapan tertulis dari pejabat administrasi negara yaitu KPU Kota Pematangsiantar;

3) Minimal dua pihak, dan sekurang-kurangnya salah satu pihak harus administrasi negara ; dalam hal ini para pihak adalah Surfenov Sirait, S.Sos dan S.L. Parlindungan Sinaga sebagai Pasangan Calon Walikota/Wakil Walikota Pematangsiantar pada pemilihan walikota dan wakil walikota tahun 2015 dan mendapat nomor urut calon nomor 5 (lima) dan pihak yang lain adalah KPU Kota Pematangsiantar merupakan Badan/Pejabat Administrasi Negara167

4) Adanya badan peradilan atau instansi yang berwenang memutuskan sengketa; dalam hal ini Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota merupakan badan atau instansi yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk memeriksa dan memutuskan sengketa pemilihan dalam Pilkada;

5) Adanya hukum formal dalam rangka menerapkan hukum, menemukan hukum “in concreto” untuk mempertahankan ditaatinya hukum materil; dalam hal ini

167

Lihat Pasal 1 angka 9 UU No.5 tahun 1986 (UU Peratun) junto pasal 87 UU No.30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan bandingkan dengan PTUN Medan, Salinan Putusan Reg.No.98…., Op.Cit,hal. 128

hukum formal yang digunakan atau diterapkan dalam penyelesaian sengketa adalah Peraturan Bawaslu Nomor 8 tahun 2015 tentang tata cara penyelesaian sengketa Gubernur, Bupati dan Walikota.

Dengan demikian, berdasarkan analisis tersebut, maka jelas bahwa fungsi penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh pengawas pemilihan (Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota) memenuhi unsur sebagai sistem peradilan administrasi. Peradilan administrasi disini adalah dalam pengertian luas yaitu peradilan administrasi murni (sesungguhnya) dan peradilan administrasi semu (tidak sesungguhnya) sebagaimana dikemukan Sjahran Basah168

Dari sistem hukum tata negara dan hukum administrasi, perihal fungsi peradilan administrasi oleh Panwas Kota Pematangsiantar ini dapat dianalisa dari aspek hukum antara lain kewenangan (authority), substansi (substance), prosedur (procedure), dimana ketiga aspek ini disebut aspek legalitas atau “rechtmatigheid”-nya, keempat dari aspek kemanfaatan atau kebijaksanaan atau “doelmatigheid”-nya dan yang pokok bagaimana eksistensi hukum putusan sengketa pemilihan itu.

. Maka jenis peradilan administrasi yang difungsikan atau dilaksanakan oleh Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota adalah jenis peradilan administrasi semu.

Menurut Philipus M. Hadjon,169

168

SF.Marbun, Op.Cit, hal. 58

“ wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Sementara menurut F.P.C.L. Tonner dalam

169

Philipus M. Hadjon, “tentang Wewenang”, YURIDIKA, No.5&6 Tahun XII, September – Desember , 1997 , hal.1

Ridwan HR170 berpendapat “Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevad als

het vermogen om positief recht vast te srellen en Aldus rechtsbetrekkingen tussen burgers onderling en tussen overhead en te scheppen” (kewenangan pemerintah

dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintahan dengan warga negara) dan menurut Ferrazi171

1) Pengaruh: ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk

mengendalikan perilaku subyek hukum.

mendefinisikan kewenangan sebagai hak untuk menjalankan satu atau lebih fungsi manajemen, yang meliputi pengaturan (regulasi dan standarisasi), pengurusan (administrasi) dan pengawasan (supervisi) atau suatu urusan tertentu. Dalam teori kewenangan, adapun unsur-unsur wewenang itu adalah sebagai berikut :

2) Dasar hukum: bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar

hukumnya, dan

3) Konformitas hukum: mengandung makna adanya standard wewenang, yaitu

standard umum (semua jenis wewenang) dan standard khusus (untuk jenis wewenang tertentu).

Sementara, adapun kewenangan itu diperoleh melalui 3 sumber yaitu :172

170

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, 2006, hal. 100

171

Ganjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, Ghalia Indonesia, 2007, hal.93

172

Philipus M. Hadjon, dkk, Hukum Administrasi Negara, Gadjah Mada University Press, 2005, hal.140

1) Atribusi: wewenang yang diberikan atau ditetapkan untuk jabatan tertentu. Dengan demikian wewenang atribusi merupakan wewenang yang melekat pada suatu jabatan.

2) Delegasi: wewenang yang bersumber dari pelimpahan suatu organ pemerintahan kepada organ lain dengan dasar peraturan perundang-undangan. 3) Mandat: wewenang yang bersumber dari proses atau prosedur pelimpahan dari

pejabat atau badan yang lebih tinggi kepada pejabat yang lebih rendah (atasan bawahan).

a. Segi Kewenangan Menyelesaikan Sengketa (authority)

Dengan mengacu kepada defenisi dan unsur wewenang, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang Pasal 1 angka 17 menyatakan bahwa Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut Panwas Kabupaten/Kota adalah panitia yang dibentuk oleh Bawaslu Provinsi yang bertugas untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilihan di wilayah Kabupaten/Kota. Maka dengan demikian lembaga panitia pengawas pemilihan (panwaslih) Kota Pematangsiantar memiliki

kedudukan sebagai lembaga hirarki bawahan dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dalam hal ini Bawaslu Provinsi Sumatera Utara sebagai hirarki atasannya.

Hal ini dipertegas lagi oleh ketentuan lex specialist yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 pasal 143 ayat (1) berbunyi : “Bawaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota

berwenang menyelesaikan sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142”. Maka

dengan demikian disimpulkan bahwa kewenangan menyelesaikan sengketa pemilihan pada Pilkada merupakan kewenangan atribusi dalam arti kewenangan yang melekat kepada jabatan panitia pengawas pemilihan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memberikan wewenang kepada Panwas Kabupaten/Kota untuk menyelesaikan sengketa pemilihan menurut cara-cara tertentu yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang pasal 22 A ayat (3) menyatakan bahwa Pengawasan penyelenggaraan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, serta pemilihan Walikota dan Wakil Walikota dilaksanakan oleh Panwas

Kabupaten/Kota dalam hal ini Panwas Kota Pematangsiantar sebagai pelaksana pengawasan pemilihan walikota dan wakil walikota di Kota Pematangsiantar.

Dengan demikian, pada Panitia Pengawas Pemilihan Kota Pematangsiantar (Panwas Kota Pematangsiantar) melekat kewenangan atributif (wewenang pada jabatannya) untuk memeriksa dan memutus penyelesaian sengketa pemilihan yang dimohonkan oleh peserta pemilihan dalam hal ini calon atau pasangan calon maupun partai politik pengusung pasangan calon kepadanya.173

b. Segi Prosedur Menyelesaikan Sengketa (Procedure) .

Dalam menjalankan kewenangannya itu, Panwas Kota Pematangsiantar telah memeriksa dan memutuskan sengketa adjudikasi administrasi pemilihan kepala daerah tahun 2015 menggunakan tata cara yang diatur dalam Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Perbawaslu) Nomor 8 tahun 2015 tentang tata cara penyelesaian sengketa pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Per-Bawaslu ini dibentuk atas perintah resmi dari Undang Nomor 1 tahun 2015 Jo Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015174

173

Bandingkan dan lihat : Panwas Kota Pematangsiantar, Salinan Putusan Sengketa

Nomor 004..,Op.Cit, hal. 2

. Walaupun baru, Peraturan Bawaslu ini merupakan standar yang ada dan digunakan oleh pengawas pemilihan dan juga Panwas Kota Pematangsiantar untuk memeriksa dan memutuskan permohonan banding administrasi yang diajukan oleh pemohon. Perbawaslu tentang tata cara penyelesaian sengketa pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil

174

Lihat ketentuan pasal 144 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015, berbunyi:

dst...3).Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian sengketa diatur dengan Peraturan Bawaslu.

walikota merupakan hukum acara (formil) yang diterapkan untuk memeriksa segi materil pokok sengketa hukum administrasi yang ada.

Adapun tata cara yang diatur dalam Perbawaslu ini, jika dirinci setidaknya ada terdiri dari 12 kluster (bagian) penting yaitu :

1. Ketentuan Umum

2. Jenis dan Objek Sengketa 3. Subjek Sengeta

4. Pemberi Keterangan dan Pihak Terkait 5. Kuasa Para Pihak

6. Batas Waktu Pengajuan dan Pemeriksaan

Dokumen terkait