• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Hukum terhadap Pihak Ketiga yang berkepentingan

Sama halnya dengan perkawinan, penetapan pengesahan perkawinan adat Tionghoa juga memberikan dampak bukan hanya kepada suami isteri yang bersangkutan saja, namun juga kepada anak-anaknya, orang tua, keluarga dan masyarakat pada umumnya. Setiap orang yang merasa dirugikan oleh penetapan itu, dapat mengajukan gugatan atau perlawanan terhadapnya.

Selain daripada itu, penetapan pengesahan perkawinan adat Tionghoa juga memberi akibat-akibat bagi pihak ketiga yang berkepentingan, seperti orang yang memiliki piutang terhadap pasangan suami isteri yang bersangkutan, juga tentunya harus memperhatikan adanya penetapan yang dikeluarkan pengadilan/hakim tersebut, yakni terutama dalam hal menagih hutangnya apabila yang berhutang (suami atau isteri tersebut) telah meninggal dunia karena ahli waris sah yang ditinggalkan oleh pewaris bergantung kepada penetapan pengesahan perkawinan tersebut, yakni dengan disahkannya perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut, isteri dan anak-anak menjadi ahli waris yang sah menurut hukum/Undang-Undang dan karena mereka yang mendapat warisan dari yang berhutang maka kepada merekalah dapat dilakukan penagihan hutang tersebut.

Berkaitan dengan dampak hukum penetapan pengesahan perkawinan adat Tionghoa terhadap pihak ketiga, Djauman Situngkir menyebutkan bahwa :

“berkaitan dengan pengesahan perkawinan ini sangat rentan dengan adanya konflik, salah satunya misalnya dapat berupa munculnya suami dan/atau isteri yang sah yang ternyata telah dicatatkan, ataupun ketika pengesahan perkawinan ini dimohonkan, ternyata ada suami dan/atau isteri yang lain lagi

yang juga tidak dicatatkan. Pihak-pihak tersebutlah merupakan pihak-pihak yang dirugikan dengan dikeluarkannya penetapan pengesahan perkawinan bersangkutan.”133

Oleh sebab itu, menurutnya pihak ketiga hanya dapat mengajukan pembatalan terhadap pengesahan perkawinan dalam hal apabila dapat dibuktikannya bahwa perkawinan tersebut tidak pernah terjadi atau adanya bukti-bukti lain yang menunjukkan keadaan yang bertentangan. Adapun upaya hukum yang dapat ditempuh dan dilakukan oleh orang yang berkepentingan atau pihak ketiga atas penetapan pengesahan perkawinan adalah sebagai berikut:

1. Mengajukan perlawanan terhadap permohonan selama proses pemeriksaan berlangsung

Landasan upaya perlawanan terhadap permohonan yang merugikan kepentingan orang lain, merujuk secara analogis kepada pasal 378 Rv, atau pasal 195 ayat (6) HIR. Perlawanan itu sangat bermanfaat untuk menghindari terbitnya penetapan yang keliru. Dengan demikian, memberi hak kepada orang yang merasa dirugikan kepentingannya untuk :

a. Mengajukan perlawanan pihak ketiga selama proses pemeriksaan permohonan berlangsung;

b. Pihak yang merasa dirugikan tersebut bertindak sebagai pelawan, sedangkan pemohon dalam permohonan dimaksud, ditarik sebagai terlawan;

133

Hasil wawancara dengan Bapak Djauman Situngkir, pensiunan Panitera Pengadilan Negeri Medan, tanggal 5 Juli 2011.

c. Dasar perlawanan, ditujukan kepada pengajuan permohonan gugatan voluntair

tersebut;

d. Pelawan meminta agar permohonan ditolak serta perkara diselesaikan secara

contradictoir.

Tindakan dan upaya perlawanan yang disebut diatas dapat dilakukan pihak yang merasa dirugikan, apabila ia mengetahui adanya permohonan yang sedang berlangsung proses pemeriksaannya.

2. Mengajukan gugatan perdata

Apabila isi penetapan mengabulkan permohonan dan pihak yang merasa dirugikan baru mengetahui setelah pengadilan menjatuhkan penetapan tersebut, yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan perdata biasa. Dalam hal ini:

a. Pihak yang merasa dirugikan bertindak sebagai penggugat dan pemohon ditarik sebagai tergugat,

b. Dalil gugatan bertitik tolak dari hubungan hukum yang terjalin antara diri penggugat dengan permasalahan yang diajukan pemohon dalam permohonan.

3. Mengajukan upaya hukum kasasi

Permohonan kasasi dalam perkara perdata disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan

Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon.134 Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak berperkara, maka pihak yang berperkara dianggap telah menerima putusan.135

Upaya hukum kasasi dimaksud hanya dapat diajukan apabila permohonan penetapan pengesahan perkawinan tersebut diajukan dalam lingkungan peradilan yang tidak berwenang, penetapan pengesahan perkawinan tersebut salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku dan lalai memenuhi syarat yang ditentukan peraturan perundang-undangan, yang lebih lanjut dapat dilihat dalam ketentuan pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yakni :

“Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena: a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;

b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;

c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.”136

4. Mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)

Upaya peninjauan kembali dapat juga ditempuh untuk mengoreksi dan meluruskan kekeliruan atas permohonan dengan menggunakan putusan Peninjauan

134

Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

135

Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

136

Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Kembali No.1 PK/Ag/1990 tertanggal 22 Januari 1991 sebagai pedoman preseden. Dalam kasus ini, Pengadilan Agama Pandeglang telah mengabulkan status ahli waris dan pembagian harta warisan melalui permohonan secara sepihak. Terhadap penetapan tersebut, pihak yang dirugikan mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Ternyata Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali tersebut dan bersamaan dengan itu, Mahkamah Agung membatalkan penetapan Pengadilan Agama dimaksud.

Upaya hukum peninjauan kembali terhadap putusan dan/atau penetapan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan, namun hanya sebatas berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:137

a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu; b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang

bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;

c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;

d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;

e. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;

f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

137

Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 adalah 180 (seratus delapan puluh) hari untuk :138

a. yang disebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;

b. yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;

c. yang disebut pada huruf c, d, dan f sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara; d. yang tersebut pada huruf e sejak sejak putusan yang terakhir dan

bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara.

138

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN