• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya yang dapat Dilakukan terhadap Perkawinan yang

Dicatatkan

Tujuan pencatatan perkawinan tidak lain semata-mata untuk memperoleh kepastian hukum. Dalam hal ini, K. Wantjik Saleh berpendapat sebagai berikut :

“Kiranya dapatlah dikatakan bahwa pencatatan perkawinan itu bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang lain dan masyarakat karena dapat dibaca dalam suatu surat yang resmi dan termuat dalam suatu daftar, dapat dipergunakan dimana perlu terutama sebagai suatu alat bukti yang otentik. Dengan adanya surat bukti ini dapatlah dibenarkan atau dicegah suatu perbuatan lain.”93

Untuk memperoleh kepastian hukum mengenai status perdata seseorang, ada 5 (lima) peristiwa hukum yang perlu dilakukan pencatatan, yaitu94:

a. Perkawinan, menentukan status hukum seseorang sebagai suami atau isteri dalam ikatan perkawinan menurut hukum.

b. Kelahiran, menentukan status hukum seseorang sebagai subjek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban.

c. Perceraian, menentukan status hukum seseorang sebagai janda atau duda yang bebas dari ikatan perkawinan.

d. Kematian, menentukan status hukum seseorang sebagai ahli waris, sebagai janda atau duda dari almarhum / almarhumah.

e. Penggantian nama, menentukan status hukum seseorang dengan identitas tertentu dalam hubungan perdata.

93

K. Wantjik Saleh,Uraian Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta : Ikhtiar Baru, 1995), hal. 16.

94

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 48.

Peristiwa hukum perkawinan, seperti juga peristiwa-peristiwa hukum yang lain dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian, perceraian dan penggantian nama diperlukan pencatatan di Kantor Catatan Sipil untuk memperoleh kepastian hukum bahwa telah terjadi suatu perkawinan. Kepastian hukum sangat penting artinya dalam setiap perbuatan hukum, menentukan hak dan kewajiban yang sah antara pihak-pihak yang berhubungan hukum tersebut.

Untuk menjaga serta melindungi kepentingan dan kedudukan isteri dan anak-anak beserta keturunannya dalam perkawinan yang tidak dicatatkan dari berbagai akibat hukum yang tidak diinginkan dapat melakukan penyelesaian secara kekeluargaan atau musyawarah untuk mufakat maupun dengan menempuh jalur hukum.

1. Penyelesaian secara kekeluargaan atau musyawarah untuk mufakat

Penyelesaian melalui jalur hukum seringkali menimbulkan biaya yang sangat besar serta memberi akibat hukum dan sosial yang terkadang bertolak belakang dengan apa yang diharapkan para pihak. Hal ini dapat memicu hancurnya hubungan baik yang telah terbina selama ini serta berpotensi menimbulkan permasalahan baru dikemudian hari. Untuk menghindari hal tersebut, adalah lebih baik penyelesaian dilakukan secara kekeluargaan atau musyawarah untuk mufakat, yakni dengan adanya kesepakatan, itikad baik dan pertanggungjawaban moral dari para pihak sehingga diharapkan dapat mencapai hasil akhir yang memuaskan dan sesuai harapan para pihak.

Masalah yang paling sering timbul dan banyak dihadapi dalam perkawinan adalah mengenai warisan dan hal-hal yang berkaitan dengan itu. Hubungan baik dan kesadaran masing-masing pihak adalah solusi yang paling baik dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul tersebut, yakni orang tua kandung atau saudara-saudara kandung sebagai ahli waris sah berdasarkan Undang-Undang menyadari sepenuhnya dan mengakui bahwa isteri dan/atau anak-anak beserta keturunannya adalah ahli waris yang paling berhak atas harta warisan sang suami/ayahnya yang telah meninggal dunia, meskipun perkawinan yang telah dilangsungkan tersebut tidak dan/atau lalai dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karenanya mereka dapat memperjanjikan bahwa mereka akan memberikan atau menghibahkan seluruh warisan yang seharusnya mereka peroleh berdasarkan Undang-Undang kepada isteri dan/atau anak-anak beserta keturunannya sebagai ahli waris yang paling berhak. Hal ini dimungkinkan karena menurut Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya.95

2. Penyelesaian melalui jalur hukum

Adanya suatu perkawinan tak dapat dibuktikan dengan cara lain, melainkan dengan akta perlangsungan perkawinan itu, yang telah dibukukan dalam register-

95

Hukumonline.com, Tanya Jawab Hukum Waris dan Anak, (Ciputat : Kataelha, 2010), hal.50.

register catatan sipil96, kecuali apabila ternyata bahwa register-register itu tidak pernah ada, atau telah hilang, atau pula akta perkawinan itu tidak terdapat di dalamnya, maka penilaian tentang cukup tidaknya bukti-bukti tentang adanya perkawinan diserahkan kepada hakim, asalkan kelihatan jelas adanya hubungan selaku suami-isteri.97

Tidak menjadi masalah ketika pasangan suami isteri yang tidak mencatatkan perkawinannya masih hidup dan kemudian sadar untuk mencatatkan perkawinannya, yang harus mereka lakukan adalah mencatatkan perkawinan yang telah melampaui batas waktu tersebut ke Kantor Catatan Sipil dan/atau Dinas Kependudukan. Timbul permasalahan ketika salah satu dari suami / isteri tersebut telah meninggal dunia, sedangkan perkawinan antara mereka lalai dicatatkan.

Guna menghindari akibat hukum yang merugikan kepentingan isteri dan/atau anak-anak yang lahir dari suatu perkawinan yang tidak dicatatkan, maka berdasarkan pasal 101 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata masih terbuka kemungkinan untuk melakukan pembuktian kepada hakim/pengadilan tentang adanya suatu perkawinan yang telah berlangsung namun belum dicatatkan di Dinas Kependudukan setempat dengan menyertakan bukti-bukti maupun saksi-saksi.

Untuk pengajuan pembuktian adanya perkawinan dimaksud dapat mengajukan bukti-bukti berupa Kartu Keluarga, Kutipan Akta Kelahiran, Surat Keterangan dari kelurahan setempat dan Surat Keterangan Perkawinan dari Vihara

96

Pasal 100 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

97

atau Gereja, selain itu dapat juga mengajukan saksi-saksi yang mengetahui secara langsung dan pasti telah dilaksanakannya perkawinan dimaksud secara adat dan/atau agamanya, baik itu saksi dari keluarga, sanak saudara maupun tetangga rumah yang menyaksikan secara langsung berlangsungnya perkawinan dimaksud.

Ketentuan tersebut membuka peluang bagi perkawinan yang telah dilangsungkan menurut adat dan/atau agama namun tidak atau lalai dicatatkan ke Pegawai Pencatat Perkawinan tersebut untuk dapat memintakan pengabsahan perkawinan tersebut kepada hakim/pengadilan yang kemudian akan mempertimbangkannya berdasarkan bukti dan saksi yang ada tentang benar suatu perkawinan telah dilangsungkan.

Machfud M.D., (Ketua Mahkamah Kontitusi) menyatakan bahwa Perkawinan yang tidak dicatatkan tidaklah melanggar konstitusi, karena dijalankan sesuai akidah agama yang dilindungi Undang-undang Dasar 1945.98 Untuk itu, guna melindungi kepentingan dan menghindari kerugian diderita oleh isteri dan anak-anak dari dampak-dampak hukum perkawinan tidak dicatatkan yang tidak diinginkan serta untuk mencapai rasa keadilan dalam masyarakat, negara dalam hal ini pemerintah memberikan suatu solusi melalui kompensasi terhadap perkawinan adat masyarakat Tionghoa yang lalai dicatatkan untuk dimohonkan penetapan pengesahan perkawinan kepada pengadilan/hakim.

98

Zulfadli Ibnu Fauzi,Perkawinan yang Tidak Dicatatkan : Sah Menurut Pakar Hukum dan Yurisprudensi, diakses dari http://hukum.kompasiana.com/2011/06/10/perkawinan-yang-tidak- dicatatkan-sah-menurut-pakar-hukum-dan-yurisprudensi/, pada tanggal 25 Juni 2011.

Terhadap penetapan pengesahan perkawinan adat, Harifin Andi Tumpa (Ketua Mahkamah Agung) berpandangan sebagai berikut, ”Perkawinan yang tidak dicatatkan merupakan gejala umum dan didasarkan atas itikad baik atau ada faktor darurat, maka hakim harus mempertimbangkan”.99

Posisi isteri dan anak-anak beserta keturunannya dalam hal ini sangat lemah dan riskan karena posisinya sebagai ahli waris sepenuhnya tergantung kepada pertimbangan-pertimbangan dan keyakinan hukum hakim. Dalam hal menurut pertimbangan dan keyakinan hukum hakim bahwa bukti-bukti serta saksi-saksi yang diajukan belum cukup untuk membuktikan adanya suatu perkawinan, maka penetapan atau putusan penolakan permohonan penetapan pengesahan perkawinan yang diberikan hakim akan berdampak isteri dan anak-anak beserta keturunannya tersebut tidak mempunyai hubungan hukum apapun dengan suami/ayah dan tidak dapat menjadi ahli waris yang sah dari suami/ayah tersebut.

Akibat-akibat hukum yang tidak diinginkan tersebut dapat dihindari apabila sejak dini masyarakat memiliki kesadaran untuk mencatatkan perkawinan yang telah dilangsungkan menurut adat maupun agama ke Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana dikehendaki Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan itu.

99 Ibid.

Upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Tionghoa untuk melakukan pencatatan perkawinan dapat dilakukan melalui beberapa cara, yakni : a. Mensosialisasikan kembali Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan kepada seluruh rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Tionghoa.

b. Menentukan peraturan yang memberikan kemudahan dalam pencatatan perkawinan, khususnya bagi masyarakat Tionghoa.

c. Memberikan pelayanan yang memuaskan dan tidak berbelit-belit dalam pencatatan perkawinan oleh Pemerintah / Pegawai Pencatat Nikah.

d. Memberikan pendidikan mengenai pentingnya pencatatan perkawinan bagi diri dan keluarga.

e. Memberikan bimbingan serta pembinaan bagi masyarakat Tionghoa terutama mengenai Hukum Perkawinan dan administrasi perkawinan yang berlaku di Indonesia.