• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL SETELAH

C. Akibat Hukum yang Timbul Setelah Ditetapkan Fatwa

Setelah membedah perdebatan ulama fikih tentang aborsi dari berbagai mazhab yang terangkum dalam bab sebelumnya, menunjukkan bahwa aborsi adalah suatu permasalahan serius yang harus disikapi dengan penuh kehati-hatian dan kebijakan. Karena itu persoalan aborsi adalah persoalan yang mempunyai akibat kompleks bagi yang melakukannya yang bukan hanya berhubungan dengan nyawa, tetapi juga dengan kondisi kejiwaan dan keberlangsungan hidup masa depan.203

Adanya perdebatan yang terjadi di kalangan ulama adalah hal biasa dalam menentukan suatu pandangan termasuk di dalamnya persoalan fikih aborsi. Karena setiap ulama mewakili kondisi dan ruang dimana mereka hidup, yang tentu saja akan berpengaruh pada metode dan hasil dari mereka kaji. Kecendrungan ulama dalam memandang persoalan aborsi berpangkal dari kapan dimulainya suatu kehidupan manusia di dalam rahim, memang masih menjadi persoalan hingga sekarang.204 Sebelum membicarakan akibat hukum setelah dikeluarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) nomor 4 tahun 2005, maka yang perlu diketahuin bahwa yang pertama, bagi umat Islam harus menaati fatwa itu, artinya ketaatan kita pada Allah, kepada Rasul, kepada ulama dan termasuk ketaatan pada fatwa itu. Karena fatwa itu adalah hasil dari pemahaman terhadap dalil-dalil dan dipahami oleh para ulama dan akhirnya keluarlah suatu keputusan. Maka dalam hal ini perlulah umat Islam memberikan perhatian. Artinya fatwa itu memang harus menjadi perhatian oleh para

203Maria Ulfah Anshor,Op. Cit., hal. 110 204Ibid.

umat Islam.205Dan yang kedua, bahwa fatwa ini mengikat bagi yang bertanya. Itu lah sifat fatwa. Misalnya, si Ali bertanya kepada seorang ulama atau ke majelis ulama tentang suatu perkara maka perkara itu otomatis mengikat kepada dia. Apabila hal yang sama dan substansi yang sama menimpa pada orang lain, maka ia juga dapat di analogikan walaupun tidak mesti kemudian itu menjadi suatu pegangan dan boleh jadi permasalahannya sama tetapi keputusan fatwanya berbeda.206

Sampai saat ini pelayanan aborsi yang aman belum pernah diakomodir secara tuntas, sementara itu angka-angka perempuan yang melakukan aborsi sangat tinggi. Kalau dilihat diperkirakan dari hasil survei dan penelitian pada tahun 2005, tingkat aborsi di Indonesia masih cukup tinggi hingga mencapai 30%.207 Atau mencapai dua juta orang/tahun, 600 ribu orang dari kalangan remaja. Menurut World Health

Organization (WHO) tahun 2006 tingkat kasus aborsi di Indonesia tercatat yang

tertinggi di Asia Tenggara mencapai dua juta kasus dari jumlah kasus yang terjadi di negara-negaraAssociation Of South East Asian Nation(ASEAN) sekitar 4,2 juta kasus pertahun.208 Tahun 2010 Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat 2,4 juta pertahun. Dan pada tahun 2011 selain remaja, aborsi juga bisa dilakukan oleh wanita menikah yang mengalami kehamilan tak diinginkan. Berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional tahun

205Hasil Wawancara Oleh Dr. H. Ardiansyah, Lc, MA., Sekretaris Komisi Fatwa Majelis

Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sumatera Utara tanggal 27 Juni 2012.

206Ibid.

207Albrado,http://trend-sekolahan.blogspot.com/2012/03/aborsi-dan-pergaulan-bebas- remaja-yang.html,diakses tanggal 1 Juli 2012, Jam 09.00 WIB.

208Gunandar Azikin,http://kebidanan-kti.blogspot.com/2011/12/gambaran-kejadian-abortus-

2011, ada sekitar 9% dari 45 juta juta pasangan menikah di Indonesia yang ingin mengikuti KB namun terkendala berbagai hal sehingga tidak mendapatkan alat kontrasepsi.209

Dari data-data tersebut di atas, maka bisa dilihat bahwa setiap tahun kasus aborsi semakin naik angkanya. Di dalam segi hukum Islam akibat hukum apabila dokter, bidan, dukun bayi, atau siapa saja yang terlibat dalam pelaksanaan aborsi harus ikut bertanggung jawab membayar sebagian dari jumlah diyat dan berpuasa selama 2 bulan berturut-turut.210 Ibnu Qudamah menyatakan apabila wanita yang menggugurkan janin akibat perbuatan tangannya sendiri, maka ia harus menanggungnya dengan membayar diyat berupa ghurrah. Andai kata pelaku aborsi adalah ayah janin maka pelakunya harus membayardiyatdankafarat.211

Menurut hukum yang berlaku di Indonesia, aborsi termasuk kejahatan. Adapun yang menerima hukuman bagi pelaku aborsi yaitu :212

1. Ibu yang melakukan aborsi

2. Dokter ataubidan atau dukun yang membantu melakukan aborsi 3. Orang-orang yang mendukung terlaksananya aborsi

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat dalam Pasal 229 :

209Putro Agus Harnowo,

http://health.detik.com/read/2012/05/30/124811/1928339/775/remaja-putri-pelaku-aborsi-paling- banyak-di-indonesi, diakses tanggal 1 Juli 2012, Jam 09.05 WIB.

210Zuhroni, dkk,Op. Cit., hal. 176. 211

Adil Yusuf al-Izazy,Op. Cit., hal. 78.

212

Pangupodit,http://www.pangupodit.com/2012/06/hukum-aborsi-atau-menggugurkan- kandungan-di-indonesia, Diakses tanggal 07 Agustus 2012, Jam 21.00 WIB.

1. Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.

2. Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.

3. Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut, dalam menjalani pencarian maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.

Di dalam Undang-Undang Kesehatan Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, praktik aborsi yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana disebut di atas merupakan aborsi ilegal. Sanksi pidana bagi pelaku aborsi ilegal diatur dalam Pasal 194 UU Kesehatan yang berbunyi : “setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat 2 dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 1 miliar”. Pasal 194 UU Kesehatan tersebut dapat menjerat pihak dokter dan/atau tenaga kesehatan yang dengan

sengaja melakukan aorsi ilegal, maupun pihak perempuan yang dengan sengaja

melakukannya.213

Pada tahun 2005 Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa tentang aborsi, tetapi dilihat dari tahun ke tahun aborsi di Indonesia terus merajalela. Jadi bila

213Diana Kusumasari,http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl840/ancaman-pidana- terhadap-pelaku-aborsi-ilegal,Diakses tanggal 07 Agustus 2012, Jam 21.00 WIB.

ditanya dalam suatu permasalahn yang sedang hangat dibicarakan, maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan menjawabnya. Istilahnya dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) pasif. Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak memiliki wewenang untuk

memaksakan itu. Berbeda dia dengan aparatur negara atau seperti undang-undang.214

Fatwa bagi umat Islam adalah mengikat, tetapi bagi para ahli (ulama mujtahid) tidak

mengikat.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam hal ini tidak mengetahui dengan pasti apakah masih banyak yang melakukan tindakan aborsi apa tidak setelah keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) nomor 4 tahun 2005. Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak dalam tahapan itu dan tidak memiliki wewenang untuk mengukur dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga tidak memiliki kewenangan untuk memaksakan. Jadi jalur Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan rekomendasi, lalu mengirimkan hasil fatwa itu ke Menteri Agama dan kemudian Menteri Agama akan memasukkan kepada anggota dewan selanjutnya dan mereka menjadikan suatu pertimbangan. Dan sering sekali fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi bahan pertimbangan utama bagi anggota dewan

dalam meumtuskan Rancangan Undang-undang, seperti sekarang ada masalah

Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal (JPH). Mekanismenya tidak langsung Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke bawah (masyarakat) diterapkan karena Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menyadari bahwa negara ini bukan semuanya pemeluk

agama Islam.215

214Hasil Wawancara oleh Dr. H. Ardiansyah, Lc, MA., Sekretaris Komisi Fatwa Majelis

Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sumatera Utara, tanggal 27 Juni 2012.

Dokumen terkait