• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II FAKTOR-FAKTOR PEMBENARAN ABORSI

C. Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dalam

Fatwa adalah sebuah nasihat keagamaan yang diberikan oleh mufti (orang yang memberikan fatwa) atas dasar permintaan dari seseorang atau sekelompok orang Islam. Oleh karena itu, maka sebuah fatwa pada umumnya merupakan gambaran dari berbagai isu dan topik yang banyak menyita perhatian kaum muslimin.160

159Ibid., hal. 123.

160Aunur Rohim Faqih, dkk,HKI, Hukum Islam. Dan Fatwa MUI, Graha Ilmu, Yogyakarta,

Pembuatan fatwa sebagai dasar pijakan memproduksi fatwa pertama kali di buat pada tahun 1975. Majelis Ulama Indonesia pusat memberikan fatwa terhadap masalah keagamaan yang bersifat umum dan berkaitan dengan masyarakat Islam Indonesia secara umum. Masalah keagamaan yang relevan dengan wilayah tertentu dapat di selesaikan di wilayah, khusus untuk wilayah propinsi. Sementara masalah agama yang sifatnya lokal dan kedaerahan, harus di konsultasikan dengan MUI pusat dan komisi Fatwa, Daerah dapat memberikan fatwa yang sifatnya kedaerahan.161

Di Indonesia, fatwa-fatwa hukum Islam dikeluarkan oleh Mejelis Ulama Indonesia (MUI). Pedoman fatwa Majelis Ulama Indonesia ditetapkan dalam Surat Keputusan Nomor: U-596/MUI/X/1997. Dalam surat ini terdapat tiga bagian proses dalam menentukan fatwa, yaitu dasar hukum penetapan fatwa, prosedur fatwa, teknik serta kewenangan organisasi dalam menetapkan fatwa.162

Adapun yang menjadi dasar-dasar menetapkan fatwa terdapat pada Pasal 2 dalam pedoman penetapan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) nomor U- 596/MUI/X/1997, yaitu :163

1. Setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar Al-Quran dan sunnah rasul yang Mu’tarabah, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan ummat

161Muhammad Syaeful Abdulloh,

http://muhammadsyaefulabdulloh.blogspot.com/2012/04/materi-masailul-fiqh-prosedur-fatwa- mui.html,diakses tanggal 18 Juni 2012, Jam 08.00 WIB.

162Muhlis, http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/fatwa%20dalam%20islam.pdf, Diakses

tangga; 18 Juni 2012, Jam 08. 30 WIB.

163http://jacksite.files.wordpress.com/2007/08/pedoman-penetapan-fatwa-majelis-ulama-

2. Jika tidak terdapat di dalam Al Quran dan sunnah Rasul, sebagaimana ditentukan pada pasal 2 ayat 1, maka Keputusan Fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ‘ijma, Qiyas yang Mu’tabar dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti Istihsan, Mashilah al Mursalah, dan Saddu az-Zari’ah.

3. Sebelum pengambilan keputusan fatwa hendaklah ditinjau pendapat -pendapat para dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.

4. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya dipertimbangkan.

Di dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ada beberapa yang menjadi pertimbangan diantaranya bahwa akhir-akhir ini semakin banyak terjadi tindakan aborsi yang dilakukan oleh masyarakat tanpa memperhatikan tuntunan agama, aborsi tersebut banyak dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki kompetensi sehingga menimbulkan bahaya bagi ibu yang mengandungnya dan bagi masyarakat umumnya, aborsi tersebut telah menimbulkan pertanyaan masyarakat tentang hukum melakukan aborsi apakah haram secara mutlak ataukah boleh dalam kondisi-kondisi tertentu, dan oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum aborsi untuk dijadikan pedoman.

Sebelumnya di dalam keputusan fatwa musyawarah nasional VI Majelis Ulama Indonesia (MUI) nomor : I/MUNAS VI/MUI/2000 juga menimbang bahwa akhir-akhir di tengah-tengah masyarakat timbul pro dan kontra tentang hukum melakukan aborsi yaitu pengguguran kandungan (janin) tanpa alasan medis, sebelum

nafkhur ruh, sehingga mereka mempertanyakan kembali tentang masalah tersebut dan oleh karena itu Majelis Ulama Indonesia (MUI) dipandang perlu untuk menetapkan fatwa tentang hukum aborsi untuk dijadikan pedoman.

Dasar pemikiran fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) nomor 4 tahun 2005 adalah bahwa manusia itu proses terjadinya berawal dari nuthfah (air mani), kemudianalaqah (segumpal darah), dan mudghah (segumpal daging). Ketika sudah memiliki kehidupan maka sang janin berhak untuk hidup dan tidak boleh dihilangkan nyawanya. Hak hidup adalah hak yang diberikan oleh Allah SWT dan itu dilindungi oleh hukum Islam. Ketika sang janin dihilangkan hak hidupnya berarti membunuh dalam bahasa berarti orang yang melakukan pengguguran kandungan (aborsi) itu telah membunuh dan menghilangkan hak-hak sang janin untuk hidup.164

Dasar pertimbangan dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia ada beberapa ayat dalam Al-Quran yaitu :

1. QS. Al-Mu’minun [23] : 12-14 yang menyatakan :

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari saripati yang

(berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami balut dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Mahasucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik”

2. QS. Al-Isra’ 17 :31

164Hasil wawancara oleh Dr. H. Ardiansyah, Lc, MA., Sekretaris Komisi Fatwa Majelis

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa besar”

3. QS. Al-Hajj 22 : 5

“Hai Manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh- tumbuhan yang indah.”

Dan di dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 4 Tahun 2005 tentang aborsi terdapat juga riwayat hadis Imam al-Bukhari dari `Abdullah :

“Seseorang dari kamu ditempatkan penciptaannya di dalam perut ibunya selama empat puluh hari, kemudian menjadi `alaqah selama itu pula (40 hari), kemudian menjadi mudhghah selama itu pula (40 hari); kemudian Allah mengutus seorang malaikat lalu diperintahkan empat kalimat (hal), dan dikatakan kepadanya: Tulislah amal, rizki dan ajalnya, serta celaka atau bahagia-(nya); kemudian ditiupkan ruh padanya.”

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 4 Tahun 2005 tentang aborsi menyatakan bahwa aborsi haram hukumnya, tetapi dalam keadaan tertentu, aborsi dapat dilakukan seperti yang terdapat pada Pasal 2 ayat 2 huruf b menyebutkan

Kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh Tim yang berwenang yang didalamnya terdapat antara lain keluarga korban, dokter, dan ulama.

Dalam hukum Islam, perkosaan dipandang sebagai salah satu kejahatan. Pelakunya berdosa dan harus dijatuhi hukuman berat, yaitu hukuman perbuatan zina dan hukuman ta’zir. Hukuman ta’zir adalah hukuman yang ditetapkan berdasarkan kebijaksanaan hakim, yang berat dan ringannya tergantung pada jenis kejahatan yang dilakukan.165Bagi perempuan yang diperkosa (dipaksa membuat zina) tidak dianggap berdosa karena dia tidak berdaya dan tidak melakukan pelanggaran dengan disengaja. Pemerkosaan tidak termasuk dalam kategori zina. Kategori zina itu ada unsur suka sama suka.166 Karena itu, bagi perempuan yang diperkosa menurut jumhur ulama, tidak dikenakan hukuman, berdasarkan dalam Surah An-Nur ayat 33 :

Dan janganlah kamu paksa budak-budak perempuan untuk melakukan

pelacuran, sedang mereka sendiri mengigini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi, dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu” (QS An-Nur : 33)

Pada zaman Rasullah SAW, ada perempuan yang dipaksa untuk zina, tetapi Nabi membebaskan dari hukuman zina. Selanjutnya, Abdul Qadir Audah mengatakan bahwa jika ada seorang laki-laki hendak memperkosa perempuan sedangkan untuk mempertahankan dirinya tidak ada jalan lain kecuali membunuhnya, maka

165Huzaemah Tahido Yanggo,Loc. Cit.

166Hasil Wawancara Dengan Dr. H. Ardiansyah, Lc, MA., Sekretaris Komisi Fatwa Majelis

perempuan tersebut wajib membunuhnya. Sayyid Sabiq dalam kitabnya, Fiqh Al- Sunnah, mengatakan bahwa jika pembunuh mengaku membunuh si korban demi mempertahankan dirinya atau kehormatan atau harta bendanya, bila ia dapat mengemukakan bukti yang membenarkan pengakuannya, maka pengakuannya itu dapat diterima dan gugurlah qhisash serta diyat (pembayaran seratus ekor unta atau seharga itu oleh si pelaku pembunuhan) darinya, tetapi bilamana ia tidak dapat mengemukakan bukti yang membenarkan pengakuannya, maka pengakuannya tidak bisa diterima dan perkaranya diserahkan kepada wali si korban.167

Hal demikian sesuai pula dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 4 Tahun 2005, bahwa kehidupan dalam konsep Islam adalah suatu proses yang sudah dimulai sejak terjadinya pembuahan, oleh sebab itu pengguguran sejak terjadinya pembuahan adalah haram hukumnya. Oleh karena itu, makin besar kandungan, makin besar pula jinayahnya (tindak pidananya) karena setiap anak lahir dalam keadaan suci (tidak berdosa).168 Selanjutnya, mengenai aborsi yang dilakukan karena dalam keadaan benar-benar terpaksa, yaitu demi menyelamatkan nyawa si ibu, maka Islam membolehkan. Hukum tersebut dapat pula berlaku bagi perempuan hasil korban pemerkosaan yang mengakibatkan stress berat, kalau tidak digugurkan kandungannya, maka ia akan sakit jiwa atau gila. Meskipun ia tidak berdosa karena tidak ada kesengajaan, akibatnya ia stress berat atau sakit jiwa, maka dalam hal ini

167Huzaemah Tahido Yanggo,Op. Cit., hal. 30. 168Ibid., hal 33.

dibolehkan baginya aborsi, begitu ketahauan bahwa ia positif hamil dan tidak boleh dari 40 hari dari kehamilannya.169

Selain aborsi karena akibat pemerkosaan yang difatwakan dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 4 Tahun 2005, fikih kontemporer Wabah Al-Zuhaily menegaskan pendapatnya berkenaan dengan aborsi karena darurat sebagai berikut :170

“Saya juga memandang rajah pendapat yang tidak membolehkan aborsi sejak permulaan pembentukan janin, kecuali karena sudah ada kehidupan (hayat) dan permulaan pembentukan janin, kecuali karena dharurat seperti penyakit lumpuh, atau penyakit menular seperti TBC atau kanker, atau karena uzur seperti terhentinya air susu ibu setelah tampak kehamilan, dan dia mempunyai seorang anak, sedang ayahnya tidak mampu memberikan upah kepada perempuan yang menyusuinya dan dikhawatirkan jika tidak disusui anaknya ibu akan meninggal sesungguhnya saya menguatkan pendapat ini cenderung kepada pendapat Al-Ghazaly yang memandang bahwa dikatakan aborsi, meskipun sejak hari pertamakehamilan sepertipembunuhan adalah jinayah terhadap calon manusia”.

169Ibid., hal. 35. 170Ibid., hal. 36.

Dokumen terkait