• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat memasuki Jau-sik-cay

Dalam dokumen Pedang Amarah (CERITA SILAT ) (Halaman 53-63)

Buru buru Ong Siau-sik menutup kembali pakaiannya seraya berseru:

“Jangan berlutut terus, aku hanya bergurau, jangan membuat rakyat ketakutan” Saat itulah sang opas baru berani bangkit berdiri, omelnya dengan jengkel:

“Karena kau punya lencana bebas dari kematian yang diberi Kaisar, tentu saja aku tak berani mengusik dirimu...”

“Hehehe... makanya” sela Pui Heng-sau setengah menyindir, “karena lencana bebas kematian berada disini, biar jaksa agung si gendut Si datang sendiripun, belum tentu dia mampu memboyong pergi batu kerikil itu”

Kelihatannya opas itu masih merasa tidak puas, katanya: “Setahuku, lencana semacam itu hanya ada lima biji” Sekali lagi Pui Heng-sau menyela:

“Sekeping ada ditangan Ibu suri, satu lagi berada ditangan Pui siau hoya, dua keping lainnya satu untuk Coa thaysu yang menguasai seluruh pemerintahan sipil, satu lagi ditangan Cukat sianseng yang mengepalai bidang kemiliteran, masih ada satu lagi...”

Bicara sampai disini tiba tiba ia berpaling ke arah Ong Siau-sik sambil bertanya: “Bukankah yang sekeping lagi milik So Bong-seng, So locu?”

“Tepat sekali” jawab Ong Siau-sik. Kembali opas itu mendengus dingin.

“So kongcu rela menyerahkan lencana bebas kematian yang lebih berharga daripada nyawa sendiri kepadamu, hal ini menunjukkan kalau dia sangat mempercayaimu, tak heran kau pun begitu setia dan taat kepada dirinya”

Ong Siau-sik menjengek dingin.

“Aku bukan anak buah Mo Pak-sin, akupun tidak punya payung, kepalaku selalu berambut, diatas rambut selalu ada langit...”

“Hmm, kau melukai orang hingga mampus tapi tak pernah mau menjalani hukuman, inikah yang kau sebut membela hukum?” sindir opas itu tertawa dingin.

“Eei, nanti dulu, siapa yang telah kulukai?” tiba tiba Ong Siau-sik balik bertanya. Opas itu melengak, sambil menuding ke arah Thiau Liau-thian yang berdarah serunya: “Kau taruh ke mana matamu?”

“Mata dia? Tentu saja ditempatnya” seseorang menyahut secara tiba tiba dari balik kerumunan orang banyak.

Entah sedari kapan, Thio Tan telah menyelinap ke balik kerumunan orang banyak dan bergerak menghampiri tempat dimana Thiau Liau-thian berbaring, begitu bersuara, kedua jari tangannya langsung ditusukkan ke arah sepasang mata orang itu.

Perubahan ini terjadi sangat mendadak, waktu itu Beng Khong-khong sedang pusatkan konsentrasi untuk menghadapi Ong Siau-sik, Phang Ceng terluka, sedang kawanan opas itupun tak sempat menghalangi Thio Tan, ingin menolong tak bisa, mau mencegah pun tak sempat.

Tampaknya sepasang mata Thiau Liau-thian segera akan tertusuk oleh Thio Tan...

Tiba tiba Thiau Lian-thian meraung keras, badannya melambung ke udara, sabetan goloknya bagaikan gumpalan awan langsung balas membabat Thio Tan.

Sambil berteriak keras Thio Tan mundur ke belakang, jeritnya: “Nah, tidak salah lagi, sekarang kalian sudah melihatnya bukan?”

Begitu melihat thiau Lian-thian mencabut goloknya sambil melancarkan serangan, paras muka opas itu seketika berubah hebat, dia seperti merasa malu.

“Hahaha... ternyata luka yang dideritanya tidak seberapa parah” kata Ong Siau-sik pula.

“Perduli bagaimana keadaan lukanya, mau parah mau ringan, berkelahi ditengah jalan jelas merupakan pelanggaran hukum” teriak opas itu sambil menarik muka.

“Bukankah bukan hanya aku seorang yang berkelahi? Kenapa tidak kau gusur pula orang orang itu?” protes Ong Siau-sik.

Opas itu tertawa dingin.

“Darimana kau tahu kalau aku tak akan menangkap mereka? Sebetulnya aku berencana membekukmu lebih dulu, aku yakin tak seorangpun diantara mereka yang mampu kabur dari sini”

“Boleh tahu siapa namamu?” tiba tiba Ong Siau-sik bertanya. “Aku dari marga Liong”

“Ooh, jadi kau adalah Liong Jui-jui?” tanya Ong Siau-sik lagi sambil angkat alis matanya. Terlintas rasa girang diwajah opas itu.

“Aaah, tak nyana kaupun pernah mendengar nama kecilku” Dengan wajah bersungguh sungguh ujar Ong Siau-sik lagi:

“Nama besar empat opas sudah tersohor diseantero jagad, nama besar empat opas kecil pun sangat termashur, Kwik Sang-him, Le Su-ji, Su Ci-siu, Liong Jui-jui merupakan opas opas kenamaan yang baru muncul bahkan aku dengar kau adalah anggota termuka yang paling menonjol”

“Mungkin dikarenakan sebab inilah, hingga sekarang aku belum sampai mampus” jawab opas muda itu dengan nada sedikit bangga.

Empat opas kecil terdiri dari Kwik, Le, Su, Liong yang tergabung menjadi “empat kecil”, tapi sayang Kwik Sang-him tewas dalam kasus “Pertarungan besar”, Le Su-ji tewas ditangan Bok Kiu-peng dalam kasus Benteng Lian-im-cay, sedang Su Ci-siu tewas dalam kasus “Penghianatan” (semua kasus itu dapat dibaca dalam serial 4 opas).

Kini dari ke empat opas kecil yang sangat tersohor itu, tersisa dia seorang yang masih hidup, tak heran opas itu nampak bangga ketika diungkit Ong Siau-sik.

“Urusan mati hidup ada sangkut pautnya dengan kemampuan, soal usia malah tidak seberapa penting, kalau tidak, bukankah empat opas yang sesungguhnya sudah mati sejak berapa puluh tahun berselang?” kata Ong Siau-sik, “mungkin masalah hidup mati berhasil atau gagal ada sangkut paut yang sangat erat dengan nasib dan kemujuran seseorang”

Setelah berhenti sejenak, dengan wajah serius tiba tiba tambahnya:

“Sekalipun kau termasuk salah satu dari empat opas kecil, memangnya berani kau abaikan lencana bebas kematian?”

Dengan perasaan jengkel Liong Jui-jui menghentakkan kakinya ke atas tanah, lalu teriaknya: “Kita pergi!”

Rombongan kaum opas itu segera menyahut dan mundur dari situ dengan perasaan tak puas, tampaknya mereka bakal melampiaskan perasaan kesalnya terhadap rakyat kecil yang tak berdosa.

Sambil mengawasi bayangan orang orang itu, kembali Ong Siau-sik menghela napas panjang. “Aaai, bukankah kalian semua telah datang? Kenapa tidak segera menampakkan diri?” “Hahahah.. ternyata tak bisa mengelabuhi dirimu” kata Beng Khong-khong sambil tertawa.

“Kalian ada yang datang secara terang ada juga datang secara gelap, cara lembek cara kekerasan digunakan semuanya. Aku lihat sepertinya kalian ingin paksa aku harus pergi bersama kalian”

Dari belakang Beng Khong-khong segera bermunculan lima orang.

Begitu ke lima orang itu munculkan diri, kerumunan orang yang menonton keramaian pun segera bubar, bahkan pergi dengan begitu cepat dan bersih dalam waktu singkat.

Alasannya sederhana sekali:

Sebelum kemunculan ke lima orang itu, orang berdatangan untuk nonton keramaian.

Dimana terjadi berkelahian biasanya akan banyak orang berdatangan, karena perkelahian selalu dianggap kebanyakan orang sebagai suatu “keramaian”.

Orang memang senang nonton keramaian.

Tapi dengan kemunculan ke lima orang itu maka suasana pun jadi berubah, tak ada keramaian lagi yang bisa ditonton, sebaliknya yang tersisa hanya hawa pembunuhan yang menggidikkan.

Biasanya hanya jago jago lihay yang pandai membunuh orang baru dapat merasakan hawa pembunuhan dari lawannya.

Semakin tinggi ilmu silat seseorang, semakin pekat hawa pembunuhannya.

Namun apabila ilmu silat seseorang telah mencapai tingkatan yang luar biasa, biasanya malahan tak memiliki hawa pembunuhan lagi.

Hawa pembunuhan itu berasal dari tubuh ke lima orang itu, bahkan rakyat kota Kay-hong yang belum pernah berlatih silat atau orang yang belum pernah berkelahi pun dapat merasakannya.

Hawa napsu membunuh yang menyayat kulit, membelah dada, membacok wajah, menusuk tulang, merasuk tulang... seolah-olah terdapat sebilah pisau tanpa wujud yang menghujam di tenggorokan mereka.

Dalam keadaan begini, terpaksa mereka harus menyingkir secepatnya, mereka tak ingin keluarganya harus menangisi tubuh mereka yang terkapar bersimbah darah.

Oo0oo oo0oo

Beng Khong-khong masih berkata dengan nada sopan dan lembut:

“Kalau memang begitu, sudah tahu harus pergi juga, mengapa tidak ikuti kami saja pergi sejenak ke sana”

“Padahal asal kalian ada urusan, cukup kirim pemberitahuan kepadaku, tak mungkin aku tak akan melayaninya” kata Ong Siau-sik, “tapi sayang aku paling tak suka dengan cara yang kalian gunakan, mula mula menyandera teman, kemudian menggerakkan kaum opas untuk membuat keonaran...”

Semenjak aktingnya berpura pura mati terbongkar, thiau Lian-thian sudah ingin sekali turun tangan, segera teriaknya:

“Kami mengundang secara baik baik, kau malah menolak, itu namanuya diberi arak kehormatan tak mau, malah memilih arak hukuman. Hmm, jangan salahkan lagi kalau kami bertindak keji”

Ong Siau-sik tertawa.

“Benar, andaikata aku terbunuh ditangan kalian, siapa pun tak ada yang menyalahkan kamu semua, siapa suruh aku tidak mengikuti para opas itu untuk bertandang di kantor pengadilan, disana tak bakalan ada orang yang mengungkit tentang lencana bebas mati, sedang aku paling mati dibacok banyak orang, kematian yang tak ada hubungannya dengan pihak pemerintah, tak akan menyalahkan kaum opas, sebaliknya bila mati ditangan kalian, aku hanya bisa menyalahkan langit, menyalahkan bumi, menyalahkan rembulan, matahari, tapi tak dapat menyalahkan kalian”

“Tepat sekali perkataanmu itu, kau memang pintar” puji Beng Khong-khong sambil tertawa. “Bagaimana seandainya aku yang berhasil membunuh kalian?” tiba tiba Ong Siau-sik bertanya sambil tertawa.

“Hahahaha.... memangnya kau sanggup membunuh kami?” jengek Thiau Lian-thian sambil tertawa nyaring, kini nyali dan keberaniannya semakin berkobar, “kau anggap delapan raja golok dari kotaraja dapat dibunuh seenaknya?”

Ong Siau-sik segera menarik kembali senyumannya, sambil meraba gagang golok lengkungnya, ia berkata dengan nada berat:

“Aku memang ingin menjajal kemampuanmu”

Begitu ucapan tersebut diutarakan, ke lima orang jago golok itu serentak mencabut keluar senjatanya.

Thiau Lian-thian langsung melancarkan serangan lebih dahulu, selama ini goloknya memang selalu berada dalam genggaman.

Ia tahu, asal serangan dilancarkan, niscaya ke lima orang jago golok yang berdiri di belakangnya serentak akan menyerang pula dan menopang dirinya.

Beng Khong-khong telah meloloskan pula goloknya.

Sudah tidak banyak urusan yang bisa memaksa mereka berdelapan mencabut goloknya bersama sama, apalagi memaksa mereka berdelapan mencabut goloknya hanya gara gara untuk menghadapi seseorang, kejadian semacam ini nyaris sudah tinggal legenda.

Tapi hari ini, didepan gedung Jau-sik-cay, delapan golok telah diloloskan bersama, dan sasaran yang harus mereka hadapi pun hanya seorang, Ong Siau-sik.

Lima orang jagoan yang datang belakangan mempunyai nama besar jauh diatas kehebatan Thiau Lian-thian.

Salah seorang diantaranya, manusia bermarga Biau justru memiliki golok yang mirip besi rongsok, badan goloknya sudah berkarat, mulut golok gumpil, biar begitu, belum pernah ada orang yang berani pandang enteng kemampuan orang ini, khususnya pedang yang berada dalam genggamannya.

Golok miliknya memang jelek, tak sedap dipandang, apalagi tampang wajahnya, amat jelek, membuat perut siapa pun jadi mual bila melihatnya.

Tapi sayang golok miliknya bukan sebilah senjata tontotan, bukan senjata yang hanya bisa dipandang.

Jurus golok miliknya yang paling ternama adalah jurus Pat-hong-ciong-to-si (gaya sembunyi golok di delapan penjuru), kehebatan jurus tersebut konon bisa mengalahkan jago pedang nomor wahid saat itu, memaksa dia bunuh diri didalam markasnya, apalagi dia bermarga Biau.

Nama besar Biau Pat-hong sudah menggetarkan delapan penjuru, tapi jago golok lainnya, Coa Siau-tau justru sejak kecil hidup dipedalaman, sejak digali bakatnya oleh Pui Ing-gan, belum pernah ia tinggalkan tempat tinggalnya barang selangkah pun.

Namun Biau Pat-hong tak pernah berani mengandalkan ilmu Ciong-liong-to (golok naga sembunyi) miliknya untuk menantang duel golok Leng-ting-to milik Coa Siau-tau.

Terkecuali Siau Sat.

Hanya ilmu golok toa-kay-thian (membuka langit lebar) dan Siau-pit-te milik Siau Sat yang dapat mengendalikan ilmu golok milik Coa Siau-tau.

Ilmu golok milik Siau Sat bukan hanya bagus, bukan hanya menakutkan, bukan hanya lihay, bahkan sangat mematikan.

Setiap bacokan goloknya pasti membawa kematian, bila bacokan pertama tidak membawa hasil, bacokan berikut pasti dapat menghabisi lawannya.

Ilmu golok milik Siau Pek justru merupakan kebalikannya. Siau Pek dari Siangyang adalah kakak sulung Siau Sat.

Ilmu golok yang dimiliki dua bersaudara ini sama sekali berbeda, masing masing berasal dari perguruan yang berbeda. Ilmu golok andalan Siau Pek disebut Jit-cap-it-ke-jin (tujuh puluh satu famili).

Namanya memang kedengaran lembut, lembut dan hangat hingga sama sekali tak pantas dipakai sebagai nama sebuah ilmu golok.

Tapi bagian yang paling menakutkan dari ilmu golok itu justru karena kelembutan dan kehangatannya.

Dia dapat merenggut nyawamu dalam kelembutan dan kehangatan, dapat memenggal batok kepalamu tanpa kau sadari apa sebenarnya yang telah terjadi.

Hanya saja, baik Coa Siau-tau maupun Biau Pat-hong, Siau Sat serta Siau Pek, mereka semua sangat takluk dan kagum terhadap dua orang jago golok lainnya.

Yang satu tentu saja Beng Khong-khong. Sementara yang lain adalah Yau Lan-yong. Yau Lan-yong adalah seorang wanita.

Dia adalah keturunan dari raja golok Yau Ciu-si, sejak kekalahannya dalam pertarungan dibukit Go-bi melawan pendekar besar Siau Ciu-sui (lihat serial pendekar setia), Yau Lan-yong tidak lagi mencari nama dengan mengandalkan golok mestika, tapi meraihnya dengan berlatih tekun ilmu golok miliknya.

Ia berhasil menciptakan serangkai ilmu golok yang disebutnya sebagai Tin-yu-ji-pwee (barisan hujan dua puluh delapan).

Konon setelah dia ciptakan ilmu golok tersebut, selama tiga tahun, tak seorang manusiapun dalam dunia persilatan yang berani menciptakan ilmu golok macam apa pun, sebab sama sekali tak ada gunanya.

Semua orang mengatakan, raja golok wanita Yau Lan-yong telah mengasah ilmu goloknya hingga puncak yang paling top.

Dan sekarang, ahli waris dari ilmu golok keluarga Biau, Biau Pat-hong bersama Coa Siau-tau dari perguruan Leng-teng-to, dua bersaudara Siau dengan ilmu golok keras dan lembeknya, Thiau Lian-thian ahli waris ilmu golok penghancur impian dari perkampungan keluarga Thiau, Phang Ceng si jago paling tangguh dari Ngo-hau-phang-bun, ditambah lagi keturunan si raja golok Yau Lan-yong dan ahli waris golok mestika pertemuan Beng Khong-khong semuanya berkumpul disatu tempat, delapan bilah golok siap menjagal nyawa Ong Siau-sik secara bersama sama.

Ada berapa banyak nyawa yang dimiliki Ong Siau-sik sehingga dia mampu membendung golok golok maut yang semuanya cukup menggetarkan sungai tenaga dan sulit dilawan itu?

Ong Siau-sik pun memiliki golok, goloknya adalah golok kerinduan. Golok kerinduan dengan ilmu golok kerinduan.

Ketika mempelajari ilmu golok kerinduan, Ong Siau-sik pun mempunyai pengalaman yang unik. Tentu saja ilmu goloknya berasal dari ajaran Thian-ie Kiesu, tapi bisa juga dikatakan sama sekali bukan. Kenapa bisa dikatakan begitu?

Pertama, karena cara Thian-ie Kiesu mewariskan ilmu silatnya bukan diutamakan dengan mengajar, tapi memberi petunjuk, dia tak ingin muridnya ikut lambat bila ia lambat, ikut cepat bila ia cepat, tapi berkembanglah sesuai dengan kodratmu.

Kedua, karena Ong Siau-sik memiliki bakat alam yang luar biasa, setiap kali mempelajari sesuatu, ia dapat memusatkan seluruh perhatiannya untuk berkonsentrasi, dalam waktu yang paling cepat membentuk pondasi yang kuat, kemudian mengembangkan menurut daya kemampuan sendiri. Bila ia gagal mencapai suatu tingkatan yang luar biasa maka ia rela berhenti untuk beralih mempelajari ilmu yang lain.

Dibawah bimbingan guru yang bijaksana ditambah sang muridpun memiliki kecerdasan yang luar biasa, tentu saja kepandaian silat yang dimiliki Ong Siau-sik dapat mencapai tingkatan yang luar biasa, karena pada dasarnya kungfu yang dimiliki Thian-ie kiesu memang kelewat hebat.

Thian-ie kiesu sendiri bersama Cukat sianseng, Lan-jan thaysu dan Goan-si-sam-heng sesungguhnya merupakan empat opas tua, dimana pada masa tuanya masing masing hidup secara terpisah.

Lan-jan thaysu adalah toa-suheng, sebelum jadi pendeta ia bernama Yap Ai-sian, kemudian lantaran melakukan pelanggaran besar maka diapun mencukur rambut jadi pendeta dan hidup mengasingkan diri sebagai seorang padri.

Thian-ie Kiesu adalah ji-suheng, pandai ilmu pertabiban, ilmu perbintangan, pandai main khiem, catur, kaligrafi maupun lukisan, dia pun menguasahi ilmu siasat dan ilmu sakti lainnya, kehebatannya mengatur strategi perang jauh diatas kemampuan sam sutenya, Cukat sianseng, bicara soal ilmu silat, mungkin Lan-jan thaysu sendiri pun tak dapat menandingi.

Sayangnya, Thian-ie kiesu memiliki perawakan serta kondisi badan yang terbatas, dia lemah, kurus, kecil dan penyakitan, oleh karena itu ilmu silatnya tak dapat dikembangkan lebih jauh.

Didalam hal ini, diapun ketinggalan jauh bila dibandingkan kemampuan Cukat sianseng.

Sebagai orang yang tak senang mencampuri urusan dunia, Thian-ie kiesu hidup jauh dari keramaian dunia, dia pusatkan seluruh kekuatan dan perhatiannya untuk mewariskan semua kepandaian yang dimilikinya kepada sang ahli waris.

Berbeda dengan saudara seperguruan lainnya, hubungan antara Cukat sianseng dengan sute ke empatnya Goan Capsa-heng justru saling berseberangan.

Sebagai seorang menteri yang membidangi politik, Cukat sianseng selalu berdiri berseberangan dengan sang perdana menteri Coa Keng (Jay Cin), karena itu Coa Keng menggunakan Goan Capsa-heng untuk menghadapinya.

Maka pertikaian dan persaingan yang berlangsung dalam pemerintahan pun merembet hingga ke dalam dunia persilatan.

Selama ini Cukat sianseng selalu menjalankan peranannya dengan prinsip “mengatasi setiap masalah sesuai dengan keadaan”, dia selalu tegas terhadap kaum laknat, melindungi kaum ksatria.

Tapi sayang kekuatan Coa Keng sangat hebat, dia membagi setiap distrik dengan satu pimpinan yang membawahi dua puluh laksa tentara, kekuasaan militer yang begitu besar membuat gerak gerik Cukat sianseng jadi terbelenggu.

Dalam keadan begini, ke empat muridnya yakni empat opas hanya bisa berjuang mati matian untuk mendobrak dan menegakkan keadilan ditengah pengaruh perdana menteri yang lalim dan busuk.

Semenjak kedatangan Ong Siau-sik ke kotaraja, hingga kini dia belum sempat bertemu Cukat sianseng, tidak pula menyambangi Goan Capsa-heng, baginya, orang orang tersebut merupakan tokoh tokoh sakti dalam cerita dongeng.

Dan sekarang, dia sendiripun sudah menjadi salah satu bagian dari tokoh dalam dongeng itu. Ketika Thian-ie Kiesu mengajarkan ilmu golok kerinduan kepadanya, iapun berlatih dengan sungguh hati, suatu ketika Thian-ie Kiesu berkata demikian kepadanya:

“Aku adalah golok kerinduan kecil, kaulah golok kerinduan besar”

“Masa kerinduanpun dibedakan besar dan kecil?” tanya Ong Siau-sik keheranan.

“Ada” jawab Thian-ie kiesu sambil tersenyum, “kerinduan kecil hanya gejolak perasaan seseorang, hanya berada dihati seseorang, sedih, senang, berhasil, gagal, semua itu sudah merupakan masalah besar. Tapi sedih gembira gagal berhasilnya umat manusia dalam jagad inilah merupakan kerinduan besar yang sesungguhnya, bila kau memikirkan hal itu maka ilmu silatmu baru akan mencapai tingkatan yang luar biasa”

Ilmu golok semacam inilah yang dilatih Ong Siau-sik, dengan ilmu golok semacam inilah sekarang dia harus menghadapi delapan orang jago golok terhebat dikolong langit, dapatkah ia menaklukkan lawan lawannya? Dapatkah dia meraih kemenangan?

Pat-toa-to-ong atau delapan raja golok merupakan delapan pengawal paling andalan dari Siau-ho-ya Pui Eng-gan, bahkan Goan Capsa-heng sendiripun pernah berkata begini:

“Bila delapan golok bersatu padu, tiada musuh yang dapat menandingi”

Dengan mengandalkan goloknya, mampukah Ong Siau-sik menghadapi mereka?

Dengan sebilah golok, sanggupkah dia menghadapi delapan bilah golok? Dapatkah membendung delapan bilah golok yang nama besarnya telah menggetarkan sungai telaga?

Jawabannya adalah: tidak tahu.

Sebelum mengeluarkan pedangnya, ia mundur lebih dulu, mundur dengan cepat. Delapan bilah golok segera mengejar dan menempel dengan ketatnya.

Kini golok mereka telah diayunkan ke muka, kekuatan serangan yang ditimbulkan dahsyat bagaikan gulungan ombak ditengah samudra, kekuatan yang sukar dibendung, kedahsyatan yang sukar dipecahkan.

Mereka mengejar dan merangsek terus, mendesak semakin ke depan.

“Bila golok telah diayunkan, musuh harus terbabat mati diujung senjata, tak boleh meleset!” Mimpi pun mereka tidak menyangka Ong Siau-sik berani seorang diri menghadapi serbuah delapan bilah golok.

Mereka terlebih tak menyangka kalau senjata yang dicabut Ong Siau-sik adalah sebilah pedang, bukan sebilah golok.

Dalam dokumen Pedang Amarah (CERITA SILAT ) (Halaman 53-63)

Dokumen terkait