• Tidak ada hasil yang ditemukan

Munculnya bebek timpang

Dalam dokumen Pedang Amarah (CERITA SILAT ) (Halaman 25-41)

Nyaris semua umpatan dan kata makian yang bisa dipergunakan telah dipakai Ong Siau-sik untuk mengumpat.

Dia telah kehilangan tabiatnya yang baik, terlebih kehilangan sifat sabarnya.

Un Ji bilang dia akan datang ke tokonya untuk membantu. Sesungguhnya dia tak terlalu repot, tapi begitu Un Ji datang, diapun benar benar jadi repot, karena dalam waktu setengah jam saja Un Ji sudah dua kali menumpahkan tinta baknya, mengotori tiga lembar lukisan, merobek selembar saputangan, memecahkan tiga botol obat, satu botol porselen dan dua botol kaleng.

Bahkan Un Ji telah salah menyerahkan resep obat kepada penderita sakit yang berbeda, coba kalau tidak segera ketahuan, mungkin akan terjadi kasus pembunuhan.

Sementara Un Ji memang memiliki kelebihan yang lain, pada saat yang bersamaan ia dapat menginjak seekor kucing tua yang ada dikedai Ong Siau-sik hingga menjerit kesakitan, lalu menginjak seorang pasien yang tempurung kakinya sedang di gips, bahkan ditengah jeritan keras sang kucing, ia telah menumbuk seorang wanita hamil sepuluh bulan yang sedang minum obat.

Ong Siau-sik nyaris membentak dan mengumpatnya berulang kali. Tentu saja hanya "nyaris" dan belum dilakukan.

Biar begitu, Un Ji sudah moncongkan bibirnya sambil berkerut kening, hampir meledak isak tangisnya.

Akibatnya Ong Siau-sik semakin repot, pada hakekatnya dia begitu repot hingga kehabisan daya. "Kau jangan menangis, kenapa musti menangis? Jangan menangis, mau bukan? Kalau kau menangis, orang akan menyangka aku telah menganiaya diri mu"

Sambil memberi penjelasan kepada Un Ji, diapun minta maaf kepada tamu tamunya bahkan terburu buru mengambilkan kain untuk menyeka pakaian wanita hamil yang basah oleh obat.

"Kau maki orang?"

"Tidak, aku tidak memaki" buru buru Ong Siau-sik membantah, karena dari luar pintu telah berjalan masuk seorang pasien lagi yang sendi tangannya lepas, "aku belum sempat memaki..."

"Tapi kau.... kau... kau..." Un Ji menangis tersedu sedu, "sikapmu terhadapku telah berubah,..."

Isak tangis seorang gadis paling cepat mengundang perhatian orang, khususnya para tamu yang baru masuk dan tak tahu permasalahannya, beramai ramai mereka menegur kekasaran Ong Siau-sik.

Dalam keadaan begini, mau tak mau terpaksa Ong Siau-sik harus merendahkan nada sambil menahan rasa mendongkolnya, dengan lembut dia mencoba membujuk:

"Sudah, jangan menangis lagi"

Bukannya berhenti menangis, isak tangis Un Ji malah semakin menjadi, terpaksa Ong Siau-sik harus menghampirinya sambil memohon:

"Kumohon, bersediakah kau untuk tidak menangis lagi?"

Mendadak terdengar suara orang tertawa cekikikan, dari menangis kini Un Ji malah tertawa cekikikan, wajahnya yang masih basah dengan air mata tampak semakin menarik dalam keadaan seperti ini, untuk sesaat Ong Siau-sik hanya bisa berdiri tertegun.

"Hmm, akan kulihat apakah kau berani jahat lagi kepadaku?" ejek Un Ji sambil tertawa. "Aku akan lebih bersyukur kalau kau tidak menggangguku" gumam Ong Siau-sik lirih. "Apa kau bilang?" hardik Un Ji dengan kening berkerut.

"Aaah, tidak, aku tidak bicara apa apa" jawab Ong Siau-sik tergagap.

Un Ji berpaling mengawasinya lekat lekat, tatapan tajam yang membuat sekujur badan Ong Siau-sik merasa panas dingin dan sangat tidak leluasa.

"Sungguh!" "Tidak bohong?"

"Tapi jangan kau tatap aku dengan cara begitu" "Kenapa? Aku tak boleh menatapmu?"

"Bukannya tak boleh..." Ong Siau-sik tidak melanjutkan, dia hanya menghela napas panjang. "Lantas kenapa?" desak Un Ji lebih jauh.

"Tahukah, kau adalah seorang anak gadis?" terpaksa

"Kenapa dengan anak gadis?memangnya kalau anak gadis lantas tak boleh melihat orang?"

"Tahukah kau, tampangmu..." Ong Siau-sik benar benar merasa dirinya seakan sedang diinterogasi.

"Tampangku?" Un Ji mengulang sekali lagi, suara tertawanya mirip jeritan siluman rase, sambil bergendong tangan tanyanya:

"Kenapa dengan tampangku?"

Pada saat itu kembali ada seorang pasien patah tulang tangan kiri berjalan masuk, seakan bertemu bintang penolong, buru buru Ong Siau-sik pergi menemui pasiennya.

Un Ji sepertinya tak rela, kembali dia meluruk maju, setelah bosan melihat kesana kemari akhirnya dia menepuk bahu pemuda itu sambil menegur:

"Hey batu kecil, tahukah kau bagaimana keadaan A-hui ketika aku bermain dengannya kemarin?" "Ooh, kemarin kau pergi mencarinya?" sahut Ong Siau-sik dengan nada lirih.

"Ehmm.!" Lagi lagi Un Ji tidak mendengar jelas, sambil tertawa dia maju menghampiri.

Ong Siau-sik segera mengendus bau harum semerbak dari tubuh si nona yang membuat perasaannya segar kembali, maka sahutnya:

"Ooh, tidak apa apa"

"Kenapa sih caramu bicara seperti setan makan lumpur, tak pernah jelas" omel Un Ji mendongkol. Sedikit kurang hati hati, Ong Siau-sik turun tangan kelewat keras membuat sang pasien mendengus tertahan, mungkin saking sakitnya hingga tak sanggup bersuara. Buru buru pemuda itu minta maaf:

"Bukankah dia pun berkata yang sama dengan mu?"

Kembali Ong Siau-sik konsentrasi membetulkan tulang pasiennya yang terlepas. "Hmm, manusia yang bisa terbang itu... dia... hmmmm!"

"Apa yang dia katakan?"

"Dia bilang..." bicara sampai disini, seakan jengkel sekali Un Ji menggigit bibirnya keras keras, "tahukah kau apa yang dia katakan kemarin? Dia minta aku jangan memandangnya secara begitu, dia pun bilang, dia bisa memakan aku. Aku rasa dia sudah gila karena kelaparan, tiap hari hanya sibuk dan sibuk diatas loteng, persis sama seperti kau, sedikit pun tak punya perasaan sebagai manusia"

"Hmm, memangnya tidak kau lihat, aku pun sedang sibuk sekali" dengus Ong Siau-sik.

Kebetulan masuk lagi seorang pasien yang tengkuknya terluka, biar terluka orang itu sama sekali tak mengeluh, sekilas pandang pun dapat diketahui kalau dia adalah seorang jagoan kangou yang terluka gara gara berkelahi.

"Hmm, kalian semua pada sibuk, hanya aku sendiri yang menganggur, tak ada pekerjaan" keluh Un Ji cemberut.

"Kalau begitu carilah jiko dan ajak dia bermain"

"Huuh, aku mah gak sudi cari dia, tampang sok mikirin negeri itu persis merupakan pasangan ideal buat toako yang saban hari murung, mereka lebih suka membaca setumpukan laporan sambil bicara taktik perang daripada memikirkan urusan lain. Manusia macam begitu mana tahu mencari kesenangan"

Bicara sampai disini kembali Un Ji jadi riang, terusnya:

"Masih mending nona mu yang jauh lebih pintar, cari kesenangan dikala masih bisa" Ong Siau-sik berusaha menahan gelak tertawanya.

"Kenapa kau tidak mencari nona Lui dan mengajaknya bermain?" "Dia?" bisik Un Ji kuatir, "sejak malam itu..."

Tiba tiba ia menutup mulut sendiri dengan kedua belah tangan, wajahnya agak takut, seakan kuatir kalau ditegur orang.

"Ada apa?" tanya Ong Siau-sik dengan kening berkerut.

Ong Siau-sik pun tidak mengambil perhatian lagi.

Kini perhatiannya sedang tertuju pada pasiennya yang muncul makin lama semakin banyak, bahkan hampir sebagian besar pasiennya menderita luka lepas tulang, luka terkilir dan lain sebagainya.

Kalau dilihat dari keadaan para pasien, jelas luka mereka bukan akibat kurang berhati hati, melainkan sengaja ada orang yang melukai orang orang tersebut.

Walau begitu, tidak susah untuk menyembuhkan luka semacam ini, apalagi ilmu sangkal putung yang dimiliki Ong Siau-sik memang termasuk sangat hebat.

Para pasien bisa menahan sakit, diapun mengobati dengan cara yang tidak terlalu berat. Tapi mengapa secara tiba tiba bisa muncul orang terluka sebanyak ini? Apa yang telah terjadi? Dilihat sepintas, orang orang itu jelas merupakan para jagoan dunia persilatan, atau jangan jangan di kotaraja telah terjadi bentrok antar partai atau perkumpulan?

Sementara dia masih berpikir dengan sangsi, tiba tiba tampak seorang sastrawan berwajah bersih dan cerah berjalan masuk dengan santainya, ia berjalan masuk sambil menggoyangkan kipasnya, dari gerak gerik orang itu, bisa disimpulkan ia datang untuk berpesiar, bukan sebagai pasien.

Sambil melangkah masuk segera teriaknya:

"Enghiong takut penyakit, orang pintar takut sakit, mana tabibnya? Aku datang untuk memeriksa sakit"

Begitu orang itu berjalan masuk, sebagian besar 'pasien' segera menundukkan kepalanya dan beranjak pergi dari situ dengan sorot mata takut bercampur gusar.

Ong Siau-sik segera menemukan kalau sebagian 'pasien' yang pergi itu tak lain adalah para korban luka patah tulang.

Diapun menjumpai kalau air muka pemuda itu tampak amat segar, jangankan tidak membawa luka, mungkin sakit perutpun tak mungkin menyerangnya.

Selain itu, diapun menjumpai sastrawan itu melirik wajah Un Ji berulang kali sewaktu berjalan masuk ke dalam ruangan, sementara Un Ji membalasnya dengan anggukan kepala dan tersenyum manis.

Berkobar api amarah Ong Siau-sik, setengahnya karena cemburu.

Dia sendiri tak tahu mengapa begitu, tiba tiba saja ia merasa tak sanggup mengendalikan hawa amarahnya. Ia sangat mendongkol, teramat sangat mendongkol.

Sementara itu sang sastrawan telah bergerak menuju tepi dinding dan menikmati setiap lukisan dengan penuh perhatian, seolah dia adalah seorang ahli lukisan saja.

“Ehmmm, lukisan bagus, lukisan bagus!” puji sastrawan itu tak habisnya, “gaya tutulisannya bagus dan menawan, seakan orang setengah mabuk sedang memetik khiem, dari balik guratan huruf terselip jiwa yang kuat”

“Ketajaman mata yang luar biasa, ketajaman mata yang luar biasa!” dengus Ong Siau-sik.

“Terima kasih” kembali sastrawan itu berpaling seraya menjura, “sayang itu bukan tulisan dari Ji-khong, melainkan gaya dari Ciong Yau, gaya tulisannya ibarat burung yang terbang di angkasa, seperti bianglala yang menghiasi garis lautan, sungguh indah dan ternama”

“Aaai, sayang pandanganmu kurang tepat” sela Ong Siau-sik menimpali, “hanya gaya tulisan yang kau lihat tapi bukan lukisannya, kritikanmu memang terhitung lumayan, hanya sayang belum kau perhatikan tulisan nama penulisnya”

“Hahaha... ternyata gaya tulisan Ciong Yau, makin lama gaya tulisannya makin mirip dengan Ji Khong, hahaha... gaya tulisan seindah ini, kenapa musti digantung ditempat yang gelap? Ibarat sekuntum bunga mawar ditancapkan diatas gundukan tahi kebo, keterlaluan, sungguh keterlaluan”

“Mau apa kau datang kemari?” tegur Ong Siau-sik dengan wajah dingin. “Apa kerjamu disini?”

“Aku seorang tabib” sahut Ong Siau-sik, kemudian sambil menunjuk lukisan diatas dinding, lanjutnya, “setelah jiko ku meninggalkan usaha toko lukisannya, aku pun menggantikan posisinya”

“Akan kau jual lukisan dari Ciong Yau itu? Aku rasa hanya lukisan itu yang berharga” Ong Siau-sik tertawa.

“Tidak, tak satu lukisanpun yang akan kujual” katanya, “tak kusangka kau begitu pandang rendah Ong Si-ci”

“Apa? Aku pandang rendah Ong Si-ci?” teriak sastrawan itu sambil menuding hidung sendiri, “gaya tulisannya gagah dan kuat ibarat naga menembusi pintu surga, seperti harimau mendekam dalam gua, semua orang memujanya, tapi kau seperti sentimen denganku?”

“Bukan aku sentimen, justru karena kau hanya menghargai Ciong Yau dan tidak menghargai Ong Si-ci”

Kemudian sambil menuding ke arah lain, lanjutnya:

“Lihat tuh, disamping kanan lukisan Ciong thaysu adalah lukisan dari Ong Si-ci”

Kali ini sang sastrawan tidak membantah lagi, agaknya dia ingin menggunakan kesempatan itu untuk meredakan suasana.

Kali inipun Ong Siau-sik tidak mendesaknya lagi.

“Kedatanganmu kali ini untuk membeli lukisan, atau untuk periksa penyakit?” tanyanya kemudian.

Sastrawan itu tertawa, tersenyum sambil memperlihatkan bibirnya yang merah dengan sebaris giginya yang putih.

“Sebenarnya ingin membeli lukisan, sayang lukisan indah tak kau jual, sementara lukisan kelas kambing aku ogah membelinya, terpaksa aku datang untuk periksa badan”

“Jadi kau sakit?”

“Hahaha... aneh, Tabibnya kau, malah aku yang musti menjawab pertanyaanmu” Ong Siau-sik duduk sambil persilahkan tamunya ikut duduk.

“Coba julurkan lidahmu” perintahnya.

“Julurkan lidah? “ sastrawan itu melengak, “kau sangka lidahku berwarna biru?”

“Pernah dengar kalau periksa penyakit lewat lidah? Baiklah, kalau tidak biarkan aku periksa, akan kubukakan resep cuci perut saja, sampai waktunya, jangan salahkan aku”

“Baik, baiklah, apa takutnya perlihatkan lidahku”

Ong Siau-sik periksa lidahnya, kemudian memeriksa denyut nadi tangannya, baru keningnya berkerut, tiba tiba terdengar suara tertawa ringan, begitu berpaling, dilihatnya sastrawan itu sedang bermain mata dengan Un-ji.

Kontan saja timbul api cemburu dalam dada Ong Siau-sik, pikirnya: “Sialan, orang ini sudah jelas datang untuk menggaet Un-ji...”

Belum hilang pikiran tersebut, mendadak tampak sastrawan itu membalikkan tangannya berganti mencengkeram urat nadi ditangannya.

Baru saja Ong Siau-sik akan berdiri, lagi lagi sastrawan itu menginjak sepasang kakinya kuat kuat, membuatnya tak sanggup berdiri.

Kejadian ini kontan menyulut api kemarahan Ong Siau-sik, tak terbendung semua kegusarannya meluap.

Pada dasarnya dia sudah amat mendongkol, ditambah lagi kena bokongan sastrawan itu, meski tahu jika dia melakukan perlawanan dengan sepenuh tenaga maka akibatnya sepasang pergelangan

kakinya bakal lepas sendi seperti apa yang dialami para korban lainnya, namun tanpa berusaha melepaskan diri, jelas badannya bakal mati kutu.

Baru saja sastrawan itu bersiap menginjak kakinya sekuat tenaga, cepat Ong Siau-sik menekan sikutnya ke bawah, menghajar permukaan meja, begitu meja tersebut retak lalu hancur, lengan Ong Siau-sik lurus ke bawah sementara tangan kanannya ikut membetot.

Tidak mengira tindakan lawan, cengkeraman sastrawan itu jadi lepas dan gagal menahan tindakan lawan, langsung saja tinju Ong Siau-sik menghajar lutut kiri sastrawan itu.

Terdengar sastrawan tersebut menjerit kesakitan, begitu keras jotosan tersebut membuat ia kesakitan setengah mati, bukan hanya ingusnya yang meleleh, air mata pun ikut membasahi matanya.

Menggunakan kesempatan ini, lagi lagi Ong Siau-sik menggerakkan sepasang tangannya mencengkeram bahu lawan, hardiknya:

“Bocah keparat, kau berani membokong orang lain!”

Cengkeraman itu jelas mengancam bahu kanan sastrawan tersebut, siapa sangka pandangan mata terasa kabur, tahu tahu orang itu sudah lolos dari ancamannya selincah ikan belut.

Gagal dengan serangan bokongannya membuat sastrawan itu kena hajaran, kejadian ini sebetulnya membuat Ong Siau-sik pandang enteng musuhnya, ia baru tertegun setelah menyaksikan keindahan gerakan tubuh lawan.

Untung sastrawan itu sudah termakan pukulan yang membuatnya kesakitan setengah mati dan tak mampu bergerak cepat, dengan satu tendangan cepat Ong Siau-sik menghajar bangku bambu yang semula diduduki orang itu hingga meluncur ke depan.

Kuatir bangku itu melukai kembali tempurung kakinya, cepat sastrawan itu menyongsong datangnya ancaman dengan tangan.

Terasa segulung tenaga besar menggulung tiba, begitu kuat tenaga dorongannya membuat ia sedikit sempoyongan.

Kembali Ong Siau-sik membentak keras, satu pukulan sekali lagi dilontarkan ke muka. Buru buru sastrawan itu menangkis datangnya ancaman dengan kursi bambu.

“Praaaak...!” terdengar suara bambu retak dan remuk, diiringi teriakan keras sastrawan itu: “Jangan... jangan... jangan...”

Lagi lagi segulung tenaga besar menggulung tiba, ia tak mampu berdiri tegak lagi, badannya mencelat sejauh tujuh langkah, punggungnya menumbuk diatas dinding, berapa lukisan yang tergantung disana pun jatuh berguguran.

Dengan satu loncatan cepat Ong Siau-sik merangsek ke muka, lagi lagi ia cengkeram bahu kanan orang itu.

“Kau lukai banyak orang hingga patah tulang, akan kupatahkan juga tulangmu biar tahu rasa” ancamnya.

“Hei batu kecil, kau benar benar akan melakukannya?” tiba tiba terdengar Un-ji berteriak keras. “Siapa bilang bukan sungguhan?”

Tiba tiba terdengar sastrawan itu menjerit:

“Kalau berani melukai aku, akan kurobek lukisan ini!”

Ong Siau-sik betul betul dibuat tertegun, mau marah tak bisa mau menangis pun enggan. Ternyata gagal meloloskan diri dari cengkeramannya, sastrawan itu segera menyambar lukisan Ciong Yau dari atas dinding kemudian mengancam akan merobeknya.

Bukan bertambah marah, ulah orang itu justru membuat hawa amarah Ong Siau-sik sedikit mereda, ancamnya:

“Kau berani merobek lukisanku, akan kupatahkan tulang tengkukmu, biar kau hidup lemas sepanjang hari, persis seperti keadaan Ti Hui-keng dimasa lalu”

Tiba tiba bayangan hitam berkelebat lewat, lalu terdengar seseorang berteriak nyaring: “Hey batu besar, berani kau lukai dirinya, akan kubakar tokomu!”

Begitu berpaling, Ong Siau-sik segera menjumpai Tong Po-gou yang tinggi kekar telah berdiri dihadapannya, dengan keheranan dia lepaskan cengkeraman dari tubuh lawan, kemudian sambil bertepuk tangan tegurnya:

“Sebenarnya siapakah orang ini? Kenapa kalian semua membelanya?”

Mendadak satu ingatan melintas lewat, membayangkan keindahan gerak tubuh lawan meski lututnya sedang terluka, ia segera teringat akan seseorang:

“Hahh... gerakanmu tadi jelas gerakan tubuh kuda putih melintasi perbatasan, jadi kau... kau adalah Pui Heng-sau?”

Masih berjongkok sambil memijat lututnya yang terluka, gumam sastrawan itu:

“Oooh Mama... untungnya aku adalah Pui Heng-sau beneran, hanya sayang aku orang she-Pui kenapa hanya punya dua kaki...”

“Apa yang sebenarnya telah terjadi? Mana Thio Tan?”

Sementara itu Un-ji sudah tertawa terpingkal pingkal begitu melihat ulah Pui Heng-sau yang kesakitan, saking gelinya sampai untuk sesaat dia tak mampu menjawab pertanyaan Ong Siau-sik.

Dengan jengkel Pui Heng-sau melotot sekejap kearah gadis itu, protesnya: “Kau masih bisanya tertawa, semua ini gara gara ulahmu”

Un-ji tertawa cekikikan.

“Aku mana tahu kalau kemampuanmu begitu jelek, huuh, masih bilang kalau tak mampu mengalahkannya, kau akan andalkan ilmu meringankan tubuhmu yang hebat untuk kabur... hahaha... coba lihat keadaanmu sekarang... hahaha...”

“Kenapa?” teriak Pui Heng-sau.

Un-ji tidak menjawab, dia malah membisikkan sesuatu ke sisi telinga Tong Po-gou. “Apa dia bilang?” desak Pui Heng-sau.

Sambil tertawa tergelak sahut Tong Po-gou:

“Hahahaha... dia bilang kau mirip sekali dengan bebek timpang”

Sebagaimana diketahui, Tong Po-gou dan Pui Heng-sau adalah saudara angkat dalam kelompok lima perompak, dalam keseharian mereka selalu ribut dan bergurau, tak ada urusan kecil atau besar yang bisa dilewatkan dalam keadaan damai, tapi begitu menghadapi urusan mati hidup, mereka akan bertarung bahu membahu dan membela rekannya hingga titik darah penghabisan.

Sudah sejak lama Tong Po-gou maupun Pui Heng-sau kenal dengan Un-ji. Bisa dibayangkan bagaimana onarnya dunia ketika si nona yang lembut tapi bertemperamen tinggi berkolabulasi dengan Tong Po-gou yang suka bikin onar, Pui Heng-sau yang suka membuat gara gara ditambah Thio Tan yang besar rasa ingin tahunya dan suka mencampuri urusan orang lain.

Antara Tong Po-gou, Thio Tan dengan Ong Siau-sik sudah lama terjamin persahabatan, sementara Pui Heng-sau hanya pernah mendengar nama Ong Siau-sik namun belum pernah menjumpainya, ketika mendengar Un-ji begitu memuji kebaikan hatinya, Tong Po-gou memuji akan kesetiakawanannya dan Thio Tan memuji akan keakraban persahabatan mereka, Pui Heng-sau merasa sangat tidak puas, dia bertekad ingin menguji kehebatan orang itu.

“Aaah, apa hebatnya Ong Siau-sik” begitu dia sesumbar, “coba dia tidak menggunakan golok kerinduan, pedang pembetot sukma, cukup andalkan kelima jariku pun sudah dapat kubekuk dirinya”

“Hahaha.. jangan kau sangka dia tak berkemampuan, biar umurnya masih muda, kungfu maupun ilmu pengetahuannya sangat hebat. Kalau So Bong-seng dan Lui Sun hanya tahu mempertahankan kekuasaannya habis habisan, Pek jau-hui dan Ti Hui-heng hanya punya ambisi besar, pada awalnya terangsang oleh ambisi tapi pada akhirnya diperbudak oleh ambisnya juga, tidak seperti Ong Siau-sik, dia bisa menerima kelebihan, bisa juga melepaskannya, tahu mundur setelah berhasil, bahkan sekarang menjadi tabib di kotaraja membantu orang banyak, menjual lukisan sambil hidup santai, lebih baik kau tak usah mencari penyakit”

Meledak amarah Pui Heng-sau sesudah mendengar perkataan itu, teriaknya:

“Ketika berjalan di air tidak menghindari terkaman sang naga, itulah keberanian seorang nelayan, berjalan di darat tidak kabur sergapan harimau, itu lah keberanian seorang pemburu. Aku ingin coba menimbang kemampuan Ong Siau-sik, ingin tahu berapa bobot badannya dan membuktikan sampai dimana keberanianku”

“Bagus, bagus” seru Un-ji sambil bertepuk tangan gembira, “kalau begitu menyamarlah sebagai

Dalam dokumen Pedang Amarah (CERITA SILAT ) (Halaman 25-41)

Dokumen terkait