• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hidup bagai impian, kenyataan bukan impian

Dalam dokumen Pedang Amarah (CERITA SILAT ) (Halaman 43-53)

“Aaah, ternyata kalian bertiga” seru Ong Siau-sik kepada Beng Khong-khong, Phang Ceng dan Thiau Lian-thian, seakan bertemu tiga orang rekan lama, tambahnya, “lukamu tidak berat bukan? Untunglah tidak sampai parah”

Yang dia tanya adalah Phang Ceng, sebab tangannya masih mengucurkan darah.

Ternyata tangannya tidak terluka, darah itu bukan meleleh dari tangannya melainkan mengucur dari balik bajunya.

Namun bajunya pun tidak robek, sedikit robekan pun tak ada. Hanya anehnya darah masih meleleh tiada hentinya, atau dengan perkataan lain, lengannya telah terluka.

Tadi Ong Siau-sik menggunakan golok, tentu luka yang diderita Phang Ceng pun luka sabetan golok.

--- Tapi, golok itu sama sekali tidak merobek pakaiannya, kenapa lengan itu bisa terluka? Jangan lagi orang lain, bahkan dua orang jago golok yang berada disamping Phang Ceng: Beng Khong-khong dan Thiau Lian-thian pun tidak habis mengerti.

Bukan hanya mereka tak mengerti, Phang Ceng sendiripun tak jelas apa yang telah terjadi. Saat ini Phang Ceng benar-benar merasa ngeri, terkesiap, ketakutan setengah mati.

Dia termasuk orang yang tahu diri, disamping diapun orang yang amat percaya diri, kalau bukan begitu, mustahil dia bisa menjadi jagoan lihay yang menonjol dalam Perguruan Ngo-hou-phang-bun.

Selain itu, sejak awal dia pun dapat melihat dengan jelas semua kelemahan dan kekurangan dari permainan Toan-hun-to keluarga Phang, karena itu banyak perbaikan dan perubahan yang telah ia lakukan, bahkan membuat ilmu tersebut lebih berjaya.

Phang Ceng pun tahu, bicara soal ilmu silat, dia masih bukan tandingan dari Lui Sun, So Bong-seng maupun Kwan Jit sekalian, tapi bicara soal ilmu golok, apalagi diseputar wilayah kotaraja, dia yakin kemampuannya sudah masuk dalam jajaran paling top, bahkan dalam dunia persilatan pun kemampuan ilmu goloknya tak bisa dipandang enteng.

Perawakan tubuhnya memang pendek, kecil, tapi orangnya sangat tenang, jarang bicara, apa yang diucapkan selalu dilaksanakan, apa yang dikatakan selalu betul, kalau sedang tidak menyerang, ia bersikap alim, tapi begitu goloknya dicabut, pasti ada batok kepala yang bergelindingan. Dalam setahun terakhir, baru dua kali dia menderita kekalahan.

Bagi seorang jago golok yang hidup demi golok, kekalahan merupakan sebuah aib yang luar biasa. Tapi dalam dua kali kekalahan yang dideritanya, Phang Ceng merasa amat puas dan takluk, kalah dengan ikhlas.

Pertama kali terjadi pada setahun berselang, dalam kedai arak ditengah hujan badai, ia bertemu Thian-he-tee-jit (nomor tujuh di kolong langit).

Waktu itu dia terluka ditangan Thian-he-tee-jit, malah hingga kini belum jelas senjata apa yang telah melukainya.

Biar begitu, dalam gempuran Thian-he-Tee-jit ternyata dia sanggup mempertahankan nyawanya, malahan sempat selamatkan rekannya, Thiau Lian-thian dari ancaman maut Thian-he-tee-jit.

--- Meski dia kalah dalam pertarungan itu, namun peristiwa tersebut justru melambungkan nama besarnya.

--- Dan hari ini merupakan kali ke dua.

Dia menggunakan golok, Ong Siau-sik pun menggunakan golok. Tapi dalam kenyataan dia keok diujung golok Ong Siau-sik.

Padahal dia selalu mengincar dulu dengan hati hati, menyerang setelah yakin pasti berhasil. Tadi Beng Khong-khong menyerang ke arah Pui Heng-sau, Thiau Lian-thiang mengincar Thio Tan, sementara dia mengincar Tong Po-gou.

Kenyataannya, Beng Khong-khong gagal menahan Pui Heng-sau, tapi berhasil melukainya. Biarpun Thiau Lian-thian gagal membunuh Thio Tan, namun cukup membuatnya berdarah darah. Sedang dia sendiri, sebetulnya dia berencana membunuh Tong Po-gou.

Selama ini dia selalu menganggap Tong Po-gou satu komplotan dengan Thian-he-Tee-jit, sebab malam itu, disaat mereka hendak turun tangan membunuh Thio Tan, Tong Po-gou muncul bersama anak buahnya Thian-he-tee-jit, langsung menyerbu masuk ke dalam kedai.

Coba kalau Thian-he-tee-jit bukan muncul disaat tersebut, serangan itu pasti akan membuahkan hasil, dia pasti dapat “melaksanakan perintah” dengan membunuh Thio Tan dan Tong Po-gou.

Selamanya Phang Ceng tak suka melakukan pekerjaan yang tidak membuahkan hasil, diapun tak suka membuat pekerjaan terbengkalai setengah jalan.

Dia selalu merasa, tidak dapat menyelesaikan suatu pekerjaan sama artinya dengan sebuah penghinaan, sebuah kejadian yang sangat memalukan.

Oleh karena itu dia ingin menggunakan kesempatan kali ini untuk sekalian menghabisi nyawa Thio Tan dan Tong Po-gou.

Tapi sayang, belum sempat melihat jelas golok seperti apa yang digunakan Ong Siau-sik, ia sudah terluka duluan.

Menderita luka yang hingga kini masih belum diketahui penyebabnya dan berasal dari mana. Kemudian Ong Siau-sik masih mengajukan pertanyaan seperti itu kepadanya.

Mereka berdua seolah dua orang yang berasal dari desa yang sama, bertemu secara tak sengaja di kota besar dan saling menanyakan keadaan.

Untuk sesaat Phang Ceng tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.

Dalam pada itu Ong Siau-sik telah berkata yang lain, kepada Thio Tan ujarnya dengan lembut: “Aku tak mau pergi, lebih baik kau masuk saja, mari kita minum teh bersama!”

Thio Tan meraba ketiaknya sejenak, darah segar telah menodai pakaiannya, sambil angkat bahu ujarnya:

“Kalau dalam kedaimu tersedia beras, bukan air teh, aku pasti akan masuk ke dalam” “Kenapa kau harus bersantap nasi?” tegur Pui Heng-sau sambil berpaling.

Mimik muka Thio Tan tak ubahnya seperti seorang kanak kanak:

“Karena aku kehilangan banyak darah, kalau tidak makan nasi, bagaimana mungkin bisa menambah darahku yang telah hilang?”

Pui Heng-sau meraba bahu sendiri, gumpalan darah pun menodai bahunya: “Kau bisa minum teh, air teh pun dapat menambah darah”

“Minum teh hanya jadi air kencing, tak dapat menambah darah” kata Thio Tan, “masa urusan beginipun tidak kau pahami? Tak heran kalau kau tak sanggup mengalahkan Ong Siau-sik”

“Hei, cara bicaramu betul betul tak tahu adat, persis seperti kebo yang sedang berkubang” teriak Pui Heng-sau dengan kening berkerut, “apa sangkut pautnya urusan ini dengan ketidak mampuan mengalahkan Ong Siau-sik?”

Ternyata dengan begitu santainya mereka berdebat sendiri, seolah olah sudah lupa kalau masih ada tiga orang jago golok yang sedang mengancam di tempat itu.

Thiau Lian-thian sudah tak sanggup menahan diri lagi, dia siap melancarkan serangan. Tapi Beng Khong-khong justru bertanya lagi dengan nada sungkan:

“Masih ada satu urusan lagi mohon petunjuk dari kalian” “Katakan saja, akan kujawab” sahut Tong Po-gou.

“Apakah sejak awal kalian sudah tahu kalau kami bertiga bersembunyi dalam kereta?” tanya Beng Khong-khong dengan nada tulus.

“Sama sekali tidak tahu”

“Ooh? Kalau begitu, aku jadi semakin tak mengerti”

“Memang masih banyak urusan yang tak bakal diketahui oleh manusia macam kalian” potong Tong Po-gou kasar.

Ternyata Beng Khong-lhong sama sekali tak menjadi marah, kembali ujarnya:

“Kalau memang begitu, darimana kalian bisa tahu kalau kami berada dalam kereta, bahkan dapat turun tangan secara serempak?”

Sambil mencibirkan bibirnya yang lebar, Tong Po-gou menunjuk ke arah Thio Tan dan berkata: “Dialah yang mengatakan”

“Dia yang mengatakan?” tanya Beng Khong-khong tertegun.

“Betul, dia mengatakannya persis dihadapan kalian, masa kau tidak mendengar?” tanya Tong Po-gou lebih bangga lagi.

Sementara Beng Khong-kong masih bertukar pandangan dengan Thiau Lian-thian, terdengar Thio Tan berkata pula:

“Benar, tadi aku telah berkata begini: saking lelahnya, sekarang aku hanya ingin mencari sebuah gua, peduli gua itu mau tembus sampai dimana, siapa yang tahan kalau musti hidup setiap hari macam begini? Tak bisa menahan napsu ingin berkelana diluar, tapi tak ingin pula setelah jatuh ke tangan orang, harus duduk menyesal menghadap tembok. Manusia hidup itu dari tak ada menjadi ada, mau musuh atau teman, semuanya sama saja”

Setelah berhenti sejenak, terusnya: “Masa kau sudah lupa?”

“Ehmm, betul, kau memang berkata begitu” Beng Khong-khong mengangguk.

“Coba kau gabungkan kata pertama dan kata terakhir dari kalimat pertama, kata pertama dari kalimat ke dua, kata terakhir dari kalimat ke tiga, kata pertama dari kalimat ke empat, kata terakhir dari kalimat ke lima, kata pertama dari kalimat ke enam, kata terakhir dari kalimat ke tujuh dan kata pertama dari kalimat ke delapan” timbrung Pui Heng-sau tiba tiba.

“Kecuali kata terakhir dari kalimat pertama, semua kata pada posisi genap digabungkan kata terakhir maka kami pun segera menemukan serangkaian kalimat yang luar biasa. Hahaha... inilah cara rahasia kami berlima untuk melakukan komunikasi”

Beng Khong-kong termenung sambil mencoba merangkaian kata kata tersebut, akhirnya ia berteriak keras:

“Aaah... kalau dirangkai, perkataan itu adalah: Jalan darahku tertotok, dibelakangku ada musuh... tak heran kalau kemudian dia menambahkan lagi dengan perkataan: toako, jiko, samko jangan marah. Kita pernah bersua di rumah makan, ternyata Thio Tan bisa menggunakan cara ini untuk menunjukkan siapa yang mengancamnya secara diam diam, hebat, luar biasa”

“Maaf, maaaf” sahut Tong Po-gou cepat.

Begitu pula dengan Pui Heng-sau, wajah mereka tetap hambar, sama sekali tak terbesit rasa menyesal.

Thio Tan ikut tertawa, katanya:

“Inilah kode rahasia yang biasa dipergunakan di wilayah Ci dan Siang, anggap saja menambah pengetahuan kalian”

“Betul, terima kasih” Beng Khong-Khong mengangguk.

Justru wajah Ong Siau-sik yang terlintas perasaan tercengang bercampur keheranan.

Dalam bentrokannya melawan Phang Ceng tadi, meski kemenangan seolah diperoleh secara gampang, padahal dibalik bacokan goloknya itu, Phang Ceng telah melancarkan tiga kali serangan balik, masing masing mengancam ujung golok, mata golok dan tubuh golok Ong Siau-sik sebelum akhirnya ia berhasil melukai lawannya.

Seorang jago golok yang sesungguhnya, ia mampu melukai lawan baik dengan goloknya, gagangnya, sarungnya maupun kain pembungkusnya.

Hanya saja, untuk melukai Phang Ceng memang bukan satu pekerjaan yang gampang. Tapi Ong Siau-sik harus berhasil melukainya.

Dalam pertarungannya tadi, dia telah mempertaruhkan segalanya, sebab bila dia gagal melukai Phang Ceng berarti bakal mati diujung golok lawan.

Menghadapi musuh tangguh semacam Phang Ceng, biarpun Ong Siau-sik hanya bertarung satu gebrakan saja, namun sudah timbul perasaan sayang dihatinya, kesan inipun tertanam sangat mendalam terhadap Beng Khong-khong, sekalipun Ong Siau-sik belum sempat bertarung melawannya.

Ia merasa Beng Khong-khong sangat rendah hati, pandai menahan diri, dalam situasi tertentu, dia pandai sekali memanfaatkan peluang dan kesempatan.

Bahkan daya ingatan orang itu luar biasa hebatnya.

Buktinya ucapan Thio Tan yang aneh dan kacau, ternyata dapat dia hapalkan diluar kepala bahkan sejak awal telah mencermatinya.

Terdengar Beng Khong-khong bertanya:

“Kami sengaja menyandera saudara hiotan, sudah jelas sasarannya adalah dirimu, kini kau telah mengetahui rahasia kami, kenapa tidak bertanya apa maksud kedatangan kami bertiga?”

“Kenapa aku harus bertanya?” Ong Siau-sik balik bertanya sambil tertawa. Lagi lagi Beng Khong-khong tertegun.

“Bila kalian datang untuk mencariku, silahkan saja datang berkunjung ke Jau-sik-cay milikku, datang secara terang terangan dan tak usah memakai tipu muslihat seperti ini, sebab permainan seperti itu tak ada gunanya, sia sia saja. Aku tak bakalan pergi, pun sama sekali tak tertarik”

Setelah berhenti sejenak, lanjutnya:

“Kalau memang begitu, buat apa aku musti tahu maksud kedatangan kalian dan siapa yang memerintahkan kalian datang kemari?”

Sesudah tertawa dan garuk kepala, imbuhnya: “Begitu saja, maaf tidak kuhantar”

Selesai berkata, dia membalikkan badan masuk ke dalam toko.

Gara gara kejadian ini, banyak orang dijalanan yang datang mengerubung, suasana jadi ramai. Thiau Lian-thian segera merasa kehilangan muka, tiba tiba bentaknya:

“Manusia she-Ong, berhenti kamu!”

Ong Siau-sik segera berhenti, tegurnya lembut: “Ada apa?”

“Hei, kau ini, orang suruh kau berhenti langsung saja berhenti, memangnya kau anjing? Coba aku, kalau ada orang suruh aku berhenti, aku sengaja tetap berjalan, orang suruh aku pergi, aku sengaja malah berhenti”

“Aaa, mengerti aku sekarang” seru Thio Tan. “Mengerti apa?” tanya Tong Po-gou keheranan.

“Kau bukan anjing, ternyata bukan anjing” kata Thio Tan seolah baru mengerti, “rupanya kau seekor kebo, benar benar seekor kebo dungu!”

Melihat kedua orang itu masih niat bergurau dalam situasi seperti ini, dengan penuh amarah Thiau Lian-thian meloloskan goloknya.

“Hahaha... ada apa?” ejek Tong Po-gou sambil tertawa tergelak, “kau berani membantai orang ditengah jalan?”

“Akan kubunuh dirimu lebih dulu” teriak Thiau Lian-thian sambil mengayunkan goloknya, selapis bianglala berwarna warni bagaikan sebuah jala langsung mengurung tubuh Tong Po-gou.

“Bagus” sahut Tong Po-gou sambil menyongsong datangnya ancaman itu, “sudah lama locu tak pernah berkelahi sampai puas”

Tiba tiba Thio Tan menyikut tubuh Tong Po-gou hingga bergeser ke samping, serunya: “Bacokan golok ini sangat lihay, biar aku saja yang menghadapinya”

Belum sempat ia menyelesaikan perkataannya, ia sudah ditendang oleh Pui Heng-sau hingga minggir ke samping.

Terdengar Pui Heng-sau dengan menggoyangkan kipasnya berkata: “Kau tak bakalan mampu menerima bacokan ini, biar aku...”

Tiba tiba bayangan manusia berkelebat lewat, Ong Siau-sik telah menerima bacokan itu. Dia hanya menyambut datangnya serangan, sama sekali tidak melukai korbannya.

Mau tak mau dia harus menerima serangan itu, sebab dia telah melihat dengan jelas gaya serangan dari Thiau Lian-thian.

Bila Pui Heng-sau yang menyambut serangan itu, mungkin Thiau Lian-thian tak bisa hidup lebih lanjut.

Karena bacokan golok dari Thiau Lian-thian termasuk semacam ilmu golok “kalau bukan kau yang mati, akulah yang mampus”.

Oleh sebab itu serangan semacam ini tak boleh dihadapi dengan kekerasan. Sama seperti impian, bila terbangun karena kaget, impian pasti sudah buyar.

Mungkin saja menangkis bacokan itu bukan satu pekerjaan yang sulit, ilmu pedang Keng-bong-to milik Thiau Lian-thian kelewat banyak kembangan dan kurang daya serang sesungguhnya, tapi untuk memunahkan serangan tersebut tanpa melukainya benar-benar merupakan satu pekerjaan yang amat sulit.

Sama seperti impian, mana gampang mendusin dari impian tanpa membuyarkan impian itu sendiri?

Kecuali impian adalah kenyataan, kenyataan adalah impian.

Sayangnya, kehidupan manusia bisa saja bagaikan impian, mana mungkin kenyataan merupakan impian?

Bila ingin mengubah impian jadi kenyataan, maka dirimu seharusnya hanya sebuah ilusi.

Sambil busungkan dada Ong Siau-sik menyongsong datangnya bacokan itu, sebab dia yakin dengan menggunakan kelenturan dan kelembutan dari ilmu golok kerinduan, mungkin saja ia dapat menghantar pergi sang impian, namun tidak mengusiknya. Membuyarkan datangnya ancaman tanpa melukai Thiau Lian-thian.

Antara dia dengan Thiau Lian-thian tak pernah terikat dendam sakit hati, buat apa dia harus melukai orang, bahkan membunuhnya?

Apalagi banyak penonton yang mengikuti jalannya peristiwa itu, bila Pui Heng-sau sekalian sampai melakukan pembunuhan, sudah jelas pihak kejaksaan akan mengutus orang untuk melakukan pemeriksaan.

Tentu saja Ong Siau-sik tidak berharap peristiwa semacam itu terjadi. Karena itulah dia menyambut datangnya bacokan itu.

Dengan menyambut datangnya bacokan itu, sama artinya Ong Siau-sik telah menerima seluruh kesulitan yang bakal terjadi.

Tiba tiba terdengar Thiau Lian-thian menjerit kesakitan, tubuhnya terjengkang ke belakang, darah segar menyembur keluar dari dadanya bagaikan semburan mata air.

Menyusul jeritan lengking Phang Ceng, Beng Khong-khong ikut menjerit kaget: “Kau si pembunuh keji...”

Terjadi kegaduhan dan kegemparan ditengah kerumunan orang banyak, untuk sesaat Ong Siau-sik jadi kelabakan, saking bingungnya, bahkan dia sampai lupa menarik kembali goloknya.

“Heran, kenapa bacokan golokku bisa...”

Baru saja Ong Siau-sik akan melakukan pemeriksaan, sambil meloloskan pedangnya Beng Khong-khong telah membentak nyaring:

“Tega benar kau celakai dia”

Belum lagi Ong Siau-sik menyangkal, tiba tiba tampak serombongan manusia telah meluruk tiba, mereka semua berdandan opas, ada yang menggembol golok, ada yang membawa tongkat.

Seorang opas yang nampaknya sebagai pimpinan segera membentak nyaring:

“Kurangajar benar, berani amat membunuh orang ditengah jalan, petugas! Seret dia ke kantor pengadilan”

“Aaah, korbannya saja belum mati, mana boleh kau tuduh orang melakukan pembunuhan?” sela Pui Heng-sau cepat.

Opas itu mempunyai perawakan tubuh kurus kecil, tapi tampangnya bersih dan cerdik, biar usianya paling muda namun pangkatnya kelihatan paling tinggi.

Dengan mata mendelik besar segera teriaknya kepada Pui Heng-sau: “Darimana kau tahu kalau dia belum mati?”

“Kau sendiripun belum melakukan pemeriksaan, darimana bisa tahu kalau dia sudah mati?” balas Pui Heng-sau sambil mencibir.

Opas itu segera menarik muka, tiba tiba bentaknya dengan suara dalam: “Coba kalian lakukan pemeriksaan”

Dua orang opas dibelakangnya segera menyahut dan maju ke depan untuk memeriksa keadaan luka Thiau Lian-thian.

Dengan mata yang tajam opas muda itu tetap mengawasi wajah Pui Heng-sau, tegurnya lagi dengan nada menyeramkan:

“Siapa kau? Siapa namamu?”

“Kurangajar, manusia macam apa dirimu itu? Toaya sedang melaksanakan tugas resmi, dalam pertarungan dan keributan tadipun kau turut ambil bagian. Hei petugas, seret dulu bajingan ini balik ke kantor”

Pui Heng-sau tertawa dingin, belum sempat ia bereaksi, Tong Po-gou telah menghadang dihadapannya, dari tampang orang ini, tampaknya ia sudah bersiap siap berkelahi lebih dulu.

“Tunggu sebentar” tiba tiba Ong Siau-sik menyela, “akulah yang melukai orang itu, aku pula yang membuat keonaran disini, bila ingin tahu duduknya perkara, bawa aku kembali ke kantor, jangan kalian usik orang orang yang tak bersalah”

“Ooh begitu?” opas itu membalikkan badan, ditatapnya Ong Siau-sik sekejap, lalu ejeknya, “memangnya kau bersedia ikut aku kembali ke kantor?”

Ong Siau-sik manggut-manggut.

“Sekalipun aku bersedia ikut kalian, sayang ada semacam benda yang menolak” sahutnya dingin. Hawa permusuhan segera terpancar dari balik mata opas muda itu, sambil meraba gagang goloknya dia berteriak:

“Bagus, aku sudah tahu, aku sudah tahu...”

“Apa yang kau ketahui?” tukas Ong Siau-sik dengan nada mengejek. “Aku tahu, kau minta aku bertanya dulu kepadanya”

“Bertanya kepadanya?”

“Kalau bukan golokmu, tentu pedang milikmu!”

“Salah!” tukas Ong Siau-sik tegas, sambil membuka baju bagian dadanya ia berseru, “lencana bebas dari kematian berada disini, barangsiapa berani menyentuhku, tanya dulu kepadanya”

Opas itu terperanjat, begitu melihat lencana itu, buru buru ia jatuhkan diri berlutut.

Dalam waktu singkat bukan Cuma anak buahnya saja, bahkan semua orang yang hadir disana ikut berlutut.

Dalam dokumen Pedang Amarah (CERITA SILAT ) (Halaman 43-53)

Dokumen terkait