• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

B. Paraplegia

4. Akibat Paraplegia

Paraplegia merupakan kecacatan fisik yang terjadi pada anggota tubuh tapi biasanya tidak menyerang pada bagian daerah kepala sehingga kondisi otak penderita paraplegia tetap dalam kondisi yang baik. Hal ini sesuai dengan penjelasan Fallon (1985) bahwa secara biologis fungsi otak penderita paraplegia masih normal dan tidak mengalami gangguan.

Penderita paraplegia juga tidak mengalami masalah fungsi motorik. Pusat motorik yang terdapat di otak tidak mengalami gangguan dan anggota- anggota geraknya juga normal (tidak ada kerusakan). Tetapi kerusakan sumsum tulang belakang mengakibatkan terganggunya koordinasi syaraf- syaraf bahkan dapat putus sama sekali. Koordinasi syaraf-syaraf yang terputus tersebut menyebabkan terhentinya perintah dari otak dan rangsang-rangsang dari bagian tubuh yang berada di bawah level kerusakan yang pada akhirnya

mengakibatkan terjadinya kelumpuhan tersebut. Hal ini tentu berakibat pada penilaian penderita pada dirinya sendiri

Fallon (1985) juga menjelaskan bahwa koordinasi syaraf-syaraf yang terputus tersebut juga mengakibatkan bagian tubuh yang mengalami kelumpuhan menjadi tidak dapat merasakan sensasi dan tekanan. Meskipun penderita paraplegia dapat merasakan tekanan tetapi penderita kemungkinan besar tidak mampu untuk menggerakkan anggota tubuhnya tersebut. Demikian pula aliran darah yang dibutuhkan untuk nutrisi bagi kulit penderita akan sangat kurang atau menurun. Hal tersebut berbahaya untuk kulit sehingga tumpuan tekanan pada kulit harus diubah-ubah dengan membalik penderita paraplegia setiap dua hingga tiga jam. Selain itu penderita paraplegia juga tidak akan dapat merasakan bilamana kandung kemihnya telah penuh dan tidak dapat mengosongkannya. Begitu juga pada usus besar, dimana sensasinya juga tidakdapat dirasakan oleh penderita paraplegia.

Werner (1999) mengungkapkan bahwa akibat yang akan ditimbulkan oleh kerusakan sumsum tulang belakang, yaitu:

a. kehilangan kontrol gerak dan perasaan

b. kemungkinan kehilangan secara menyeluruh atau sebagian terhadap kontrol buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK)

c. kemungkinan mempengaruhi pinggul dan beberapa bagian tubuh (level yang lebih tinggi mengakibatkan daerah kelumpuhan juga makin/lebih meluas)

d. kemungkinan akan mengalami kejang otot atau kaki yang terkulai

Secara seksualitas juga terjadi perubahan yang cukup berarti pada paraplegia. Penderita paraplegia dengan jenis kelamin perempuan akan mengalami berhentinya siklus menstruasi untuk suatu waktu tertentu, tetapi menstruasi tersebut akan datang lagi cepat atau lambat secara normal. Hal yang juga penting adalah bahwa kemungkinan besar perempuan tidak dapat merasakan sensasi-sensasi ketika berhubungan seks sehingga akan mempengaruhi kenikmatan dari sensasi seks tersebut. Sedangkan pada penderita paraplegia yang laki-laki kemungkinan akan mendapati dirinya tidak dapat ereksi lagi, meskipun pada beberapa kasus kemampuan ini dapat pulih kembali. Berhubungan dengan ereksi ini, Fallon (1985) menjelaskan bahwa pada laki-laki penderita paraplegia akan kesulitan mengalami kesulitan ereksi psychogenic dan reflexogenic. Ereksi psychogenic adalah ereksi yang ditimbulkan oleh pikiran-pikiran yang merangsang melalui penglihatan- penglihatan, bau atau suara, khayalan dan ingatan. Ereksi ini terganggu karena informasi dari otak terhenti pada level kelumpuhan. Sedangkan ereksi reflexogenic adalah ereki yang ditimbulkan oleh rangsangan langsung pada daerah kemaluan (mencakup buah zakar dan kantung kemaluan). Ereksi ini

juga terganggu karena daerah tersebut tidak dapat merasakan sensai apapun. Laki-laki penderita paraplegia kemungkinan akan mengalami ereksi spastic secara spontan, dimana ereksi tersebut terjadi begitu saja dan nampaknya tidak disebabkan oleh apa-apa tetapi hal itu tidak dapat dikontrol kapan dan dimana keadaan tersebut mungkin terjadi. Meskipun demikian laki-laki penderita paraplegia kemungkinan besar tidak mampu untuk orgasme atau memancarkan maninya. Hal ini terjadi karena terputusnya atau lumpuhnya jaringan syaraf yang mengaturnya. Keadaan ini mengakibatkan laki-laki penderita paraplegia memiliki kemungkinan kecil untuk mempunyai anak. Oleh karena itu, tidak heran apabila seorang laki-laki penderita paraplegia awalnya akan dipenuhi pikiran akan ketidakmampuan dalam melakukan hubungan seks, sehingga akan menimbulkan perasaan takut dan cemas terhadap kemampuan untuk berhubungan seks tersebut.

b. Akibat Sosial

Secara sosial penderita paraplegia akan mengalami keterbatasan ruang gerak dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya. Selain karena keterbatasan karena harus duduk di kursi roda, penderita paraplegia akan berhadapan dengan lingkungan yang kemungkinan juga kurang bahkan tidak akses. Handicap International (2005) menjelaskan bahwa perlunya untuk menciptakan sarana, ruang publik atau bangunan pribadi yang memiliki

aksesbilitas bagi semua orang, termasuk penyandang cacat, sehingga tercipta lingkungan yang bebas hambatan.

Peran keluarga juga sangat diperlukan untuk mendampingi dan merawat penderita paraplegia, terutama penderita awal. Fallon (1985) menjelaskan bahwa perlunya penderita paraplegia untuk mampu kembali ke kemandiriannya, namun kemandiriannya ini tidak dapat berlaku cepat karena membutuhkan proses melalui latihan yang biasanya dalam bentuk occupational therapy. Kemandirian panderita paraplegia pun bersifat terbatas karena tergantung dari kondisi aksesbilitas lingkungannya.

Penderita juga akan mengalami permasalahan dalam hal upaya untuk mencari nafkah. Dampak sosial yang sering muncul adalah kehilangan kemampuan untuk mencari nafkah (Center Crisis Fakultas Psikologi UGM, 2006). Keterbatasan yang dialami menyebabkan penderita paraplegia kemungkinan besar tidak dapat kembali ke pekerjaan semula dan terbatasnya bidang kerja yang dapat dilakukan. Mobilitas yang terbatas akan membawa pada keterbatasan penderita paraplegia dalam mencari nafkah. Termasuk di dalamnya juga keterbatasan dalam aktivitas keagamaan. Selain itu pandangan sebagian masyarakat bahwa penyandang cacat, termasuk penderita paraplegia, harus dikasihani bahkan atau tidak mampu berbuat apa-apa merupakan dampak sosial lainnya.

Permasalahan seksual kemungkinan juga akan membawa dampak sosial menyangkut pandangan penderita paraplegia terhadap hubungan lawan jenis. c. Akibat Psikologis

Akibat psikologis yang muncul tidak dapat dilepaskan oleh adanya akibat fisik dan sosial yang timbul. Secara psikologis kemungkinan besar individu penderita paraplegia akan mengalami perasaan sedih, bingung, takut, cemas, tertekan (stress) bahkan depresi (Fallon, 1985). Depresi ini kemungkinan timbul karena kebosanan-kebosanan yang dialaminya sebagai akibat aktivitas sehari-hari yang dilakukannya bersifat rutin dan tidak menyenangkan, misalnya saja tidur telentang untuk beberapa bulan dan penderita akan membutuhkan banyak waktu untuk menyesali diri sendiri. Hal ini menyebabkan perlunya dukungan secara emosional bagi penderita paraplegia oleh lingkungannya.

Dokumen terkait