• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi deskripsi konsep diri korban gempa yang menjadi penderita paraplegia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi deskripsi konsep diri korban gempa yang menjadi penderita paraplegia."

Copied!
188
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk menggambarkan konsep diri korban gempa bumi di Yogyakarta, tanggal 27 Mei 2006, yang menjadi penderita paraplegia. Gempa bumi merupakan salah satu bentuk bencana pada suatu daerah yang mengakibatkan kerugian dan penderitaan bagi manusia dan lingkungan atau ekologi. Paraplegia adalah kecacatan fisik yang disebabkan oleh kerusakan sumsum tulang belakang, sehingga penderitanya akan mengalami kelumpuhan pada kaki dan bagian bawah tubuhnya. Konsep diri adalah pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri, yang diperoleh dari pengalaman berinteraksi dengan orang lain yang memiliki arti penting dalam kehidupan orang tersebut.

Penelitian ini mengambil 4 (empat) orang responden, yang terdiri dari dua orang laki-laki dan dua orang perempuan. Metode pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, observasi dan tes grafis (tes BAUM, DAP dan HTP). Teknik wawancara dilakukan dengan tidak terstruktur dengan menggunakan pedoman wawancara. Teknik observasi dilakukan oleh dua orang observer dengan cara anecdotal. Analisis data penelitian bersifat deskriptif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa korban gempa yang menjadi penderita paraplegia memiliki konsep diri negatif. Subyek belum mampu menerima kondisi kelumpuhannya sehingga sering mengeluhkan akibat fisik yang ditimbulkan. Subyek juga merasa pesimis untuk kembali mampu bekerja. Kondisi paraplegia mengakibatkan gangguan fungsi seksual sehingga para subyek merasa tidak percaya diri dan rendah diri terhadap pasangan mereka. Subyek masih mengalami trauma terhadap gempa sebagai salah satu gejala Acute Stress Disorder (ASD).

Kata kunci : konsep diri, gempa, paraplegia .

(2)

ABSTRACT

The aim of this qualitative research is describing self concept of an earthquake victims at Yogyakarta, on May 27th, 2006. Subjects of this research is focused on an earthquake victims which become a paraplegia sufferer. Earthquake is kind of disasters which cause some detriment and suffers for human and environment or ecology. Paraplegia is physical defect which is caused by spinal cord injure, and the sufferers will have some paralysis on the bottom area of their body or on their legs. Self concept is defined as people’s look frame of their self (how people describe their self), which are gotten from interaction with others who have an important means in their life.

Subjects of this research are four respondent, two paraplegia men and two paraplegia women. Method of research used some technical of interview, observation, and graphic test (Draw A Tree, Draw A Person, and House-Tree-Person). Interview technique didn’t structured with some interview guide. Instead, observation technique were done by two observer with anecdotal technique. Data analysis is descriptively.

Research’s result showed that an earthquake victims which become a paraplegia sufferers have negative self concepts. Subjects haven’t been accepted their paralysis condition yet, and often complains sickness which are raised. Subjects also felt pesimist to work back. Paraplegia condition caused some sexual function disorder, and they felt unconfident to be with their couple. Subjects still have some earthquake’s trauma as one of Acute Stress Disorder (ASD) symptom.

Key words: self concept, eartquake, paraplegia

(3)

STUDI DESKRI PTI F KONSEP DI RI KORBAN GEM PA

YANG M ENJADI PENDERI TA PARAPLEGI A

S k r i p s i

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Nama : Cyrillus Harry Setyawan

NIM : 029114126

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2008

(4)
(5)
(6)

á

<<<

á

ha la m a n pe rse m ba ha n

dedicated to:

Bp. A.L Supardi

Ibu A. Mujiwati

Astrida Padma

(7)

M OT T O

Life is beautiful

H id u p la h s e ka ra n g u n tu k m a s a ya n g a ka n d a ta n g,

bu ka n u n tu k m a s a la lu

(8)
(9)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, Maret 2008 Penulis

Cyrillus Harry Setyawan

(10)

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk menggambarkan konsep diri korban gempa bumi di Yogyakarta, tanggal 27 Mei 2006, yang menjadi penderita paraplegia. Gempa bumi merupakan salah satu bentuk bencana pada suatu daerah yang mengakibatkan kerugian dan penderitaan bagi manusia dan lingkungan atau ekologi. Paraplegia adalah kecacatan fisik yang disebabkan oleh kerusakan sumsum tulang belakang, sehingga penderitanya akan mengalami kelumpuhan pada kaki dan bagian bawah tubuhnya. Konsep diri adalah pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri, yang diperoleh dari pengalaman berinteraksi dengan orang lain yang memiliki arti penting dalam kehidupan orang tersebut.

Penelitian ini mengambil 4 (empat) orang responden, yang terdiri dari dua orang laki-laki dan dua orang perempuan. Metode pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, observasi dan tes grafis (tes BAUM, DAP dan HTP). Teknik wawancara dilakukan dengan tidak terstruktur dengan menggunakan pedoman wawancara. Teknik observasi dilakukan oleh dua orang observer dengan cara anecdotal. Analisis data penelitian bersifat deskriptif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa korban gempa yang menjadi penderita paraplegia memiliki konsep diri negatif. Subyek belum mampu menerima kondisi kelumpuhannya sehingga sering mengeluhkan akibat fisik yang ditimbulkan. Subyek juga merasa pesimis untuk kembali mampu bekerja. Kondisi paraplegia mengakibatkan gangguan fungsi seksual sehingga para subyek merasa tidak percaya diri dan rendah diri terhadap pasangan mereka. Subyek masih mengalami trauma terhadap gempa sebagai salah satu gejala Acute Stress Disorder (ASD).

Kata kunci : konsep diri, gempa, paraplegia .

(11)

ABSTRACT

The aim of this qualitative research is describing self concept of an earthquake victims at Yogyakarta, on May 27th, 2006. Subjects of this research is focused on an earthquake victims which become a paraplegia sufferer. Earthquake is kind of disasters which cause some detriment and suffers for human and environment or ecology. Paraplegia is physical defect which is caused by spinal cord injure, and the sufferers will have some paralysis on the bottom area of their body or on their legs. Self concept is defined as people’s look frame of their self (how people describe their self), which are gotten from interaction with others who have an important means in their life.

Subjects of this research are four respondent, two paraplegia men and two paraplegia women. Method of research used some technical of interview, observation, and graphic test (Draw A Tree, Draw A Person, and House-Tree-Person). Interview technique didn’t structured with some interview guide. Instead, observation technique were done by two observer with anecdotal technique. Data analysis is descriptively.

Research’s result showed that an earthquake victims which become a paraplegia sufferers have negative self concepts. Subjects haven’t been accepted their paralysis condition yet, and often complains sickness which are raised. Subjects also felt pesimist to work back. Paraplegia condition caused some sexual function disorder, and they felt unconfident to be with their couple. Subjects still have some earthquake’s trauma as one of Acute Stress Disorder (ASD) symptom.

Key words: self concept, eartquake, paraplegia

(12)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan kemuliaan sepanjang masa penulis haturkan kepada Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus atas segenap penyertaannya dalam sepanjang perjalanan hidup ini, teristimewa atas bimbingannya sehingga penulis mampu menyelesaikan karya tulis ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang turut serta memiliki andil sehingga terealisasikannya karya tulis ini, yaitu:

1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing dan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, terima kasih atas bimbingan dan motivasinya.

2. Agustinus Vembrianta, S.Psi., peranmu sungguh besar sahabat. Tak akan kulupa sepanjang hidupku.

3. Ibu Agnes Indar Etikawati, S.Psi., Psi., MSi., yang telah membantu dalam analisis tes grafis.

4. Bu Yuni, Pak Supardi, Mas Hari, Bu Haryani. Matur nuwun atas keterbukaan dan waktunya.

5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, atas segenap transfer ilmu selama masa pendidikan. Secara khusus saya haturkan terima kasih kepada Ibu A. Tanti Arini, M.Si. dan Bpk. YB. Cahyo Widiyanto, S.Psi. sebagai dosen penguji.

6. Eka, mo kasih yo boleh pinjem komputernyo.

(13)

7. Teman-teman di Pusat Rehabilitasi Yakkum Yogyakarta : Mbak Tia, Lia Alva, Mbak Lia, Lisna, Bona, Aan, Wawan, Vinsen. Juga yang sudah di tempat lain: Ike dan Pati.

8. Teman-teman yang turut memberi masukan dan motivasi: Sius, Hani, Obeth, Devy, Dody (Wake up friend, everything is not perfect).

9. Seluruh anggota komunitas Lektor Kotabaru, terutama Pijé,  Tata, Bertus, Viranty, Herman,dll terima kasih atas segenap perhatian dan motivasinya.

Penulis menyadari sepenuhnya atas segala kelemahan dan kekurangan dalam karya tulis ini.Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang embangun dari para pembaca.

Akhir kata penulis berharap semoga karya tulis ini bermanfaat bagi banyak pihak yang membutuhkan informasi yang serupa. Terima kasih.

Yogyakarta, Maret 2008 Penulis

Cyrillus Harry Setyawan

(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………..i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………ii

HALAMAN PENGESAHAN………..iii

HALAMAN PERSEMBAHAN………...iv

HALAMAN MOTTO………v

LEMBAR PERNYATAAN KESEDIAAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH…………vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………..vii

ABSTRAK...…..………viii

ABSTRACT………...ix

KATA PENGANTAR………..….x

DAFTAR ISI………...…xii

DAFTAR TABEL………...xv

DAFTAR LAMPIRAN...xvi

BAB I. PENDAHULUAN………1

A. Latar Belakang Permasalahan………....…..1

B. Rumusan Masalah………6

C. Tujuan Penelitian……….6

D. Manfaat Penelitian………...…6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...……….8

A. Konsep Diri……….……….8

(15)

1. Pengertian Konsep Diri……….8

2. Terbentuknya Konsep Diri………..………11

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Perkembangan Konsep Diri………..13

4. Jenis-jenis Konsep Diri………....18

5. Aspek-aspek Konsep Diri………....21

B. Paraplegia………...………21

1. Definisi Paraplegia………...………...21

2. Tingkat atau Level Paraplegia……….………23

3. Jenis-jenis Paraplegia……….………….24

4. Akibat Paraplegia………25

C. Bencana Gempa……….30

1. Pengertian Bencana………...………..30

2. Dampak Bencana……….………31

D. Konsep Diri Korban Gempa yang Menjadi Penderita Paraplegia……...34

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN………..39

A. Jenis Penelitian………...39

B. Identifikasi Variabel………...39

C. Subyek Penelitian………..40

D. Metode Pengumpulan Data………41

E. Keabsahan Data Penelitian………48

F. Metode Analisis Data………49

(16)

G. Prosedur Penelitian………...……….52

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………..55

A. HASIL PENELITIAN………...55

B. PEMBAHASAN……….…130

1. Aspek Fisik………130

2. Aspek Psikis………...…...132

3. Aspek Sosial………..136

4. Aspek Moral………...………...139

5. Dinamika Akhir Konsep Diri Korban Gempa yang Menjadi Penderita Paraplegia……….….140

BAB V. PENUTUP DAN SARAN……….………146

A. PENUTUP………...146

B. SARAN………148

DAFTAR PUSTAKA………150

LAMPIRAN………...…...151

(17)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel III.1. Pedoman Wawancara………..……….42 Tabel III.2. Pedoman Observasi…….……….46 Tabel III.3. Kode dalam Wawancara………..51

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Tes Grafis...153 Surat Penelitian...169

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Permasalahan

Bencana alam membawa berbagai dampak atau akibat yang sifatnya merugikan bagi para korban dan lingkungannya. Beberapa organisasi dunia, yaitu UNHCR, WHO dan Badan Koordinasi Nasional PBB, mengungkapkan bahwa bencana adalah suatu peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerugian dan penderitaan bagi manusia dan lingkungan atau ekologi (Crisis Center Fakultas Psikologi UGM, 2006). Peristiwa gempa pada tanggal 27 Mei 2006 merupakan salah satu bencana yang terjadi di wilayah Indonesia ini, yaitu dengan pusat gempa di daerah Bantul, DI Yogyakarta (Kompas, 28 Mei 2006). Berdasarkan data dari Satuan Koordinasi Pelaksana Bencana DI Yogyakarta pada tanggal 24 Juni 2006 menunjukkan bahwa terdapat korban meninggal 5.778 jiwa serta luka-luka ringan dan berat mencapai 37.903 jiwa yang berada dalam wilayah DI Yogyakarta dan Jawa Tengah, sedangkan bangunan rusak berat dan roboh mencapai lebih dari 134.588 bangunan (Satkorlak Bencana, 2006). Crisis Center Fakultas psikologi UGM (2006) menjelaskan bahwa bencana akan membawa dampak secara fisik, sosial, ekonomi dan psikologis.

(20)

Pemerintah DI Yogyakarta mencatat bahwa ada lebih dari 500 korban gempa mengalami kelumpuhan di wilayah Bantul (Kedaulatan Rakyat, 19 Juli 2007). Sedangkan Dr. dr. Sunartini, SPA (2007) dari Fakultas Kedokteran UGM mengungkapkan bahwa dari lebih 1500 korban gempa yang mengalami kecacatan terdapat sekitar 300 orang mengalami kecacatan permanen. Para korban mengalami cacat tubuh akibat tertimpa runtuhan bangunan ketika ingin menyelamatkan diri pada saat gempa terjadi.

Penyandang cacat tubuh atau fisik yang mengalami kelumpuhan disebut juga penderita paraplegia. Penderita paraplegia akan mengalami kelumpuhan atau kelayuan (plegia) pada kedua belah tungkainya sebagai akibat dari adanya trauma pada medulla spinalis (sumsum tulang belakang) karena berbagai penyebab, seperti jatuh dari pohon, tertimpa benda keras, tabrakan atau karena pengalaman-pengalaman traumatik lainnya (Balai Penelitian dan Peninjauan Sosial, 1970). Korban gempa yang menjadi penderita paraplegia umumnya mengalami patah tulang belakang akibat tertimpa runtuhan bangunan. Penderita paraplegia akan mengalami kelumpuhan tubuh pada bagian bawah (Noback, 1982 dan Mardjono, 1997).

(21)

mengalami tekanan secara psikis atau pada jiwa mereka. Hal ini terjadi karena para korban berhadapan dengan adanya kematian, perpisahan, pengisoliran, dan kehilangan yang lainnya. Kondisi ini tentu akan lebih berat bagi para korban yang mengalamai kecacatan, apalagi hingga lumpuh. Kondisi fisik atau tubuh yang tidak lagi mampu untuk berdiri tegak dan berjalan dengan kakinya tentu akan membawa beban psikologis yang makin memberatkan. Secara sosial bencana akan membawa para korban pada pola hubungan sosial yang berubah dan juga membawa dampak ekonomi karena banyak individu yang kehilangan status sosial, posisi, dan peran dalam masyarakat.

Para penderita paraplegia, seperti para penderita cacat yang lainnya, tentu akan mempunyai masalah ketika berhadapan sebagai bagian suatu masyarakat. Penderita paraplegia tentu akan mengalami masalah-masalah baru dan bahkan lebih kompleks jika dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami kelumpuhan. Secara umum penderita permasalahan yang dihadapi oleh penderita paraplegia meliputi masalah pribadi yang berhubungan dengan jasmani dan rohani, masalah sosial yang menyangkut keluarga, pekerjaan, ekonomi dan kesejahteraan, serta beberapa permasalahan lainnya (Balai Penelitian dan Peninjauan Sosial, 1970).

(22)

para penderitanya, dan perubahan tersebut berupa permasalahan yang sangat kompleks dalam kehidupan sehari-hari. Penderita paraplegia akan menjalani kehidupannya dalam suatu rutinitas, dimana ada banyak hal yang harus dilakukan dalam waktu-waktu tertentu seperti waktu buang air besar dan air kecil, yang kemungkinan besar akan membuat bosan dan tertekan. Hal yang jelas adalah menyangkut mobilitas dan akses yang makin terbatas bagi penderita paraplegia. Para penderita paraplegia akan mengalami kesulitan dalam bergerak dan melakukan aktivitas sehari-hari.

Secara sosial para penderita juga akan mengalami hambatan-hambatan Mobilitas yang terbatas akan membawa pada keterbatasan penderita paraplegia dalam mencari nafkah. Hal ini mempengaruhi pada produktivitas pada penderita paraplegia, terutama dalam rangka pemenuhan kebutuhan pribadi dan atau bagi yang telah berkeluarga untuk kebutuhan keluarga. Ada kecenderungan penderita paraplegia memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap keluarga atau lingkungan sekitarnya karena keterbatasannya tersebut.

(23)

menstruasinya sehingga bisa saja datang lebih awal atau terlambat, bahkan kemungkinan besar tidak dapat merasakan sensasi ketika melakukan hubungan seks. Sedangkan pada laki-laki kemungkinan besar juga tidak mampu lagi untuk ereksi.

(24)

seseorang mengendalikan dan mengintegrasikan tingkah lakunya. Maka konsep diri juga menjadi penentu yang paling penting dari respon terhadap lingkungannya

Korban gempa yang menjadi penderita paraplegia telah mengalami perubahan secara fisik yang bersifat permanen dan terjadi dalam suatu peristiwa yang tidak terduga. Pada awalnya, sebelum gempa terjadi, seluruh bagian tubuh dapat bekerja secara baik tapi setelah gempa terjadi dan mengalami patah tulang belakang mengakibatkan bagian tubuh bagian bawah tidak dapat digerakkan dan mengalami kelumpuhan sehingga berakibat pula ada perubahan fisik lainnya seperti tersebut di atas. Kondisi ini tentu akan berpengaruh secara psikologis, yang menyangkut pikiran, perasaaan,emosi, harga diri, kepercayaan diri, dan lain-lainnya. Para penderita paraplegia korban gempa mengalami perubahan fisik dan sosial ke arah negatif sebab terjadinya kelumpuhan tersebut. Hal tersebut tentu akan berpengaruh pada perkembangan konsep dirinya karena banyaknya hambatan dan keterbatasan yang dialaminya.

B. Rumusan Masalah

(25)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk menggambarkan konsep diri para korban gempa yang menjadi penderita paraplegia

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan, khususnya pada bidang psikologi yaitu psikoterapi dan psikologi kepribadian

2. Manfaat praktis

a. Untuk Praktisi Psikologi

Memberi gambaran tentang diri penderita paraplegia akibat gempa sehingga dapat berperan lebih baik dalam proses pendampingan psikologis bagi mereka b. Untuk Umum

Memberi gambaran tentang diri penderita paraplegia, secara khusus akibat gempa, terutama berbagai hal yang memberi hambatan dan gangguan sehingga dapat turut serta memberi peran dalam proses pengembangan diri mereka

c. Untuk Korban Gempa yang Menderita Paraplegia

(26)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Diri

1. Pengertian Konsep Diri

Hurlock (1992) mengungkapkan bahwa konsep diri adalah gambaran yang dimiliki seseorang mengenai dirinya sendiri. Gambaran tersebut sebagai suatu kesatuan yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri yang mencakup citra fisik diri dan citra psikologi diri. Citra fisik terbentuk berkaitan dengan penampilan fisik seseorang, daya tariknya, dan kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan jenis kelaminnya dan berbagai bagian tubuh untuk perilaku dan harga diri seseorang di hadapan orang lain. Sedangkan citra psikologis adalah perasaan, pikiran dan emosi yang terdiri atas kualitas dan kemampuan yang mempengaruhi penyesuaian pada kehidupan, seperti kejujuran, keberanian, kemandirian, kepercayaan diri dan berbagai jenis aspirasi serta kemampuan.

Burns (Metcalfe dalam Pudjijogyanti, 1985) juga mengungkapkan bahwa konsep diri adalah hubungan sikap dan keyakinan tentang diri kita sendiri. Pada bagian lain Cawagas (dalam Pudjijogyanti, 1985) berpendapat bahwa konsep diri mencakup seluruh pandangan individu akan dimensi, karakteristik

(27)

Penjelasan Brooks (dalam Rakhmat, 1999) tentang konsep diri adalah keseluruhan pandangan individu terhadap keadaan fisik, sosial dan psikologis yang diperoleh dari pengalaman interaksi dengan orang lain. Jadi konsep diri merupakan pandangan dan sikap individu terhadap dirinya sendiri.

Konsep diri dapat pula didefinisikan sebagai persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri (Grinder dalam Rakhmat, 1999). Persepsi tersebut terbentuk melalui penarikan kesimpulan dari pengalamannya dan secara khusus dipengaruhi oleh reward dan punishment yang berarti dalam kehidupan orang yang bersangkutan. Seorang individu akan memandang diri dirinya meliputi fisik, jenis kelamin, kognisi sosial, pekerjaan, motivasi, tujuan atau emosi dalam rangka melakukan persepi tersebut.

(28)

Konsep diri seseorang terbentuk tidak lepas pengalamannya selama hidup. Menurut Shavelson (dalam Pikunas, 1976) konsep diri terbentuk dari pengalaman dengan lingkungan, interaksi dengan orang-orang yang memiliki arti dan atribusi perilaku seseorang. Konsep diri menurut Grinder dapat digunakan sebagai bukti atau dasar dalam melakukan tindakan oleh orang yang bersangkutan.

Menurut Mead (dalam Burns, 1999) konsep diri merupakan hasil perhatian individu yang berupa perkiraan-perkiraan mengenai lingkungan dan bagaimana orang lain bereaksi terhadap yang bersangkutan. Seseorang dapat mengantisipasi agar perilakunya sesuai dengan yang diharapkan oleh lingkungan bila memahami lingkungannya. Maka konsep diri juga menjadi penentu yang paling penting dari respon terhadap lingkungannya. Hal tersebut juga sesuai dengan pendapat Rogers (dalam Burns, 1999) bahwa konsep diri selain menunjuk pada bagaimana cara seseorang memandang dan merasakan dirinya juga mengarah pada bagaimana seseorang mengendalikan dan mengintegrasikan tingkah lakunya.

Berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri, yang diperoleh dari pengalaman berinteraksi dengan orang lain yang memiliki arti penting dalam

(29)

melakukan evaluasi persepsi terhadap dirinya sendiri dan sebagai sarana untuk mengembangkan hubungan dengan orang lain.

2. Terbentuknya Konsep Diri

Konsep diri tumbuh melalui proses internalisasi pengalaman psikologis. Individu akan melakukan eksplorasi terhadap lingkungannya dan refleksi terhadap dirinya sendiri atas reaksi dan perilaku orang lain yang berpengaruh sehingga membentuk pengalaman tersebut. Konsep diri timbul dari interaksi sosial dengan orang-orang lain dan konsep tentang diri pun menuntun bagi individu untuk bertingkah laku. Maka konsep diri merupakan hasil pengalaman belajar dan bukan pembawaan sejak lahir sehingga akan berkembang secara bertahap sebagai hasil pemahaman tentang dirinya dan orang lain yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman (Burns, 1993).

Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Raimy (dalam Burns, 1993), dimana konsep diri sebagai sesuatu yang dipelajari. Konsep diri seseorang merupakan keterlibatan yang memiliki pola dan bersifat gestalt, sebagai suatu percampuran-percampuran konsep-konsep tersendiri mengenai individu yang bersangkutan. Konsep diri seseorang ini merupakan dirinya sendiri dari titik pandangnya sendiri.

Individu mulai belajar mengenal berbagai perasaan, sikap dan nilai-nilai

(30)

sebaya, dan sanak saudara (Hurlock, 1992). Konsep-konsep positif tentang dirinya akan dikembangkan oleh individu jika kebutuhan dasarnya terpenuhi dan pengalaman-pengalaman awal terbebas dari tekanan traumatik. Namun hal yang sebaliknya akan terjadi, yaitu pengembangan konsep-konsep negatif tentang diri, apabila terjadi penolakan dan diremehkan sehingga mengakibatkan munculnya perasaaan kurang dihargai, tidak menyenangkan dan tidak berguna. Dengan demikian, konsep diri positif atau negatif tidak terbentuk secara otomatis, melainkan melalui pengalaman-pengalaman belajar.

(31)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Perkembangan Konsep Diri Konsep diri individu berkembang dengan dipengaruhi banyak faktor tertentu. Menurut Hurlock (1992) perkembangan konsep diri dipengaruhi beberapa faktor, antara lain : cacat tubuh, bentuk tubuh, nama, julukan, emosi, status sosial keluarga, emosi, intelegensi, jenis sekolah dan teman bergaul atau tokoh “signifikan” dalam hidup (significant others), dan lain-lain. Pengaruh masing-masing faktor tergantung dari perasaan yang dialami oleh individu yang bersangkutan sesuai dengan faktor yang dimilikinya. Apabila individu yang bersangkutan memiliki perasaan bangga atau senang maka faktor tersebut membawa pengaruh positif bagi individu tersebut.

Fitts mengemukakan lima faktor yang dapat mempengaruhi terbentuknya perkembangan konsep diri. Faktor-faktor tersebut sebagai berikut:

a. Diri Fisik (Physical Self)

(32)

dirinya sendiri maupun dari orang lain, akan sangat membantu perkembangan konsep diri ke arah positif. Penilaian positif akan menumbuhkan rasa puas terhadap diri sehingga individu mampu menerima dirinya sendiri dan meningkatkan harga dirinya. Harga diri merupakan nilai yang diberikan oleh individu terhadap dirinya. Sedangkan pandangan negatif terhadap fisik akan mengakibatkan individu sulit untuk menerima dirinya, minder atau rendah diri dan kurang percaya diri. Kepercayaan diri adalah perasaan yakin yang dimiliki individu terhadap kemampuan dan segala sesuatu yang terdapat dalam dirinya, termasuk daya tarik fisik.

b. Diri Pribadi

(33)

penghargaan sehingga individu akan menghormati, menerima dan menghargai diri sendiri sehingga akan membantu perkembangan konsep diri ke arah positif. Hal yang sebaliknya akan terjadi, yaitu individu akan merasa tertekan, tidak akan menyenangi, tidak dapat menghargai dan tidak menerima dirinya sendiri apabila memiliki penilaian negatif terhadap dirinya sendiri akibat menerima ejekan, cemoohan, kritikan dan telalu banyak menuntut sehingga perkembangan konsep dirinya akan cenderung negatif.

c. Diri Keluarga (Family Self)

(34)

diri yang negatif. Hasil interaksi antara individu dengan keluarga akan memberi pengalaman kepada anak tentang bagaimana keberadaannya di dalam keluarga, bagaimana hubungannya dengan anggota keluarga. d. Diri Etika Moral (Moral Ethical Self)

Moral ethical self adalah perasaan mengenai hubungan individu dengan

Tuhan, tentang bagaimana pandangan hidup dan penilaian terhadap benar dan salah serta baik dan buruk. Hurlock (1992) mengemukakan bahwa individu yang memiliki etika moral yang matang akan mudah dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya sehingga bila tidak memenuhi harapan sosial maka individu tersebut tidak akan merasa bersalah terhadap perilakunya, mampu memilih dan menentukan perilaku yang diinginkan. Sebaliknya, individu akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian dirinya terhadap standar-standar moral yang telah ditetapkan oleh lingkungan dan penerimaan dirinya menjadi rendah apabila tidak memiliki etika moral yang matang

e. Lingkungan Sosial (Social Self)

(35)

sosial yang rendah akan memiliki konsep diri yang rendah. Konsep diri juga dipengaruh oleh kelompok, ras, atau golongan. Terdapat asumsi bahwa kelompok minoritas akan memiliki konsep diri yang rendah. Prasangka sosial yang terdapat dalam masyarakat yang menganggap bahwa kelompok minoritas sebagai kelompok individu yang memiliki kemampuan yang rendah mempengaruhi asumsi tersebut (Rosenberg dalam Pudjijogyanti, 1985). Faktor lingkungan, yaitu bagaimana reaksi orang lain terhadap diri seorang individu atau terhadap tingkah lakunya, bagaimana pujian-pujian atas prestasi yang dicapai atau pun berbagai hukuman atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan akan membentuk konsep tentang dirinya.

Sedangkan Calhoun dan Acocella (dalam Mathilda, 2004) mengemukakan bahwa konsep diri dipengaruhi beberapa faktor berikut:

a. Perluasan perasaan diri, yaitu pengembangan yang dilakukan individu terhadap seluruh kemampuan yang dimiliki, baik kognitif, afektif, dan perilaku

b. Hubungan interpersonal, yaitu interaksi yang dilakukan oleh individu terhadap orang-orang dan lingkungan sekitarnya

(36)

d. Pandangan realistik, penilaian yang dilakukan secara efektif oleh individu terhadap suatu permasalahan

e. Keterampilan dan tugas, yaitu kemampuan yang dimiliki individu dalam menyelesaikan pekerjaan atau tanggung jawab yang dibebankan kepada dirinya

f. Pemahaman diri, yaitu kesadaran yang dimiliki individu akan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki dirinya dan mengenal dirinya yang sebenarnya

g. Tujuan jangka panjang, yaitu harapan atau cita-cita individu yang ingin dicapai dalam jangka waktu tertentu

4. Jenis-jenis Konsep Diri

Konsep diri pada umumnya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu konsep diri positif dan negatif, atau dapat disebut juga sebagai konsep diri tinggi dan rendah. Pada dasarnya keduanya memiliki prinsip yang sama.

a. Konsep diri positif

Identifikasi individu dengan konsep diri yang positif menurut Brooks dan Emmert (dalam Rukyat, 1999) sebagai berikut:

1) yakin mampu untuk mengatasi masalah 2) merasa setara dengn orang lain

(37)

4) menerima pujian tanpa rasa malu

5) menyadari bahwa setiap individu memiliki berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat sekitar

Adler dan kawan-kawan (dalam Trefina, 1990) juga melakukan identifikasi terhadap kedua jenis konsep diri tersebut. Beberapa elemen yang terdapat dalam konsep diri positif adalah:

1) rasa aman, bentuk kepercayaan yang kuat terhadap suatu kebenaran perbuatan dan nilai-nilai yang dimiliki individu,kepercayaan tersebut berhubungan dengan kepercayaan yang relatif kebal terhadap penilaian orang lain

2) penerimaan diri, yaitu seorang individu yang mampu utuk menerima segala sesuatu yang ada dalam dirinya, pada umumnya dapat mengubah pandangan mereka sehingga menjadi lebih mudah untuk menerima pendapat dan perasaan orang lain serta lebih terbuka

3) harga diri, individu yang memiliki harga diri yang tinggi biasanya mempunyai popularitas, tidak nervous, tidak inferior, dan mempunyai rasa percaya diri yang kuat

b. Konsep diri negatif

(38)

1) responsif sekali terhadap pujian 2) peka terhadap kritik

3) cenderung merasa tidak disenangi orang lain dan bersikap pesimis terhadap kompetisi, yang terungkap dalam keengganannya untuk bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi

Sedangkan elemen yang terdapat dalam konsep diri negatif menurut Adler kawan-kawan (dalam Trefina, 1990) adalah sebagai berikut:

1) adanya perasaan tidak aman karena tidak memiliki kepercayaan diri sehingga selalu khawatir terhadap penilaian orang lain terhadap dirinya 2) kurangnya penerimaan diri, individu yang harga dirinya rendah

biasanya tidak popular, nervous, inferior dan tidak percaya diri

(39)

5. Aspek-aspek Konsep Diri

Individu dapat melakukan penilaian terhadap “diri”nya untuk mengerti konsep diri yang dimilikinya (Berzonsky, 1983). Penilaian tersebut meliputi beberapa aspek sebagai berikut:

a. Aspek fisik, meliputi penilaian individu terhadap segala sesuatu yang dimilikinya seperti tubuh, pakaian,benda miliknya.

b. Aspek psikis, meliputi pikiran, perasaan dan sikap yang dimiliki individu terhadap dirinya sendiri, misal: saya merasa yakin dengan kemampuan yang saya miliki.

c. Aspek sosial, meliputi bagaimana peranan sosial yang dimainkan individu dan penilaian individu terhadap peranan tersebut, misal: saya sering membantu teman-teman dalam mengerjakan tugas.

d. Aspek moral, meliputi nilai dan prinsip yang memberi arti dan arah bagi kehidupan individu, misal: menegakkan kebenaran dan keadilan adalah kewajiban setiap manusia.

B. Paraplegia

1. Definisi Paraplegia

(40)

paraplegia adalah orang yang kakinya dan bagian batang tubuhnya lumpuh sebagai akibat dari kerusakan atau penyakit sumsum tulang belakang. Fallon (1985) juga menjelaskan bahwa paraplegia berarti bahwa sumsum tulang belakang lumpuh di bawah leher. Hal tersebut mengakibatkan gangguan pada informasi yang dikirimkan melalui syaraf-syaraf, baik untuk gerakan maupun untuk perasaan, bahkan gangguan tersebut mungkin penuh (informasi terhenti).

Balai Penelitian dan Penunjauan Sosial (1970) juga memberi pengertian tentang paraplegia, yaitu bahwa panderita paraplegia adalah penderita cacat tubuh yang mengalami kelumpuhan atau kelayuan (plegia) pada kedua belah tungkainya yang disebabkan karena adanya trauma pada medulla spinalis (sumsum tulang belakang) yang dapat terjadi karena bermacam-macam sebab, misalnya jatuh dari pohon, tertimpa benda keras, tabrakan atau karena pengalaman-pengalaman traumatik lainnya. Sedangkan Noback (1982) mengungkapkan bahwa paraplegia adalah keadaan dengan kelumpuhan anggota badan bawah. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Mardjono (1987) yang mengatakan paraplegia adalah kelumpuhan yang melanda bagian bawah tubuh.

(41)

mengakibatkan terganggunya pengiriman informasi melalui yaraf, baik gerakan maupun perasaan, bahkan informasi tersebut dapat terhenti sama sekali.

2. Tingkat atau Level Paraplegia

Werner (1999) mengatakan bahwa tingkat atau level kerusakan sumsum tulang belakang akan menimbulkan seberapa besar bagian tubuh yang terpengaruh. Kerusakan sumsum tulang belakang dapat menimbulkan berbagai macam kelumpuhan pada bagian-bagian tubuh tertentu, dari tingkat kelumpuhan yang ringan hingga tingkat kelumpuhan yang berat. Tingkat keparahan kelumpuhan tersebut tergantung dari letak kerusakan sumsum tulang belakang yang dialami.

Tingkat atau level menunjuk pada letak kerusakan yang terjadi pada sumsum tulang belakang. Menurut Fallon (1985) tingkat atau level menunjuk pada bagian mana dari sumsum tulang belakang yang paling rendah yang masih utuh. Dengan demikian tulang belakang yang berada dibawahnya dipastikan mengalami gangguan atau kerusakan sehingga bagian-bagian tubuh tertentu mengalami kelumpuhan.

(42)

belakang yang dialami maka gangguan yang dialami makin luas dan berat. Sebaliknya, semakin rendah kerusakan tulang belakang maka gangguan yang diakibatkan juga semakin ringan. Sebagai contoh adalah luka dibawah T12 (thoracic 12) mengakibatkan otot-otot kaki dan usus besar serta kendung kencing akan mengalami kelumpuhan sebagaian atau seluruhnya, sementara otot-otot perut dan otot-otot dada serta lengan dan tangan tidakakan terpengaruh (Fallon, 1985).

3. Jenis-jenis Paraplegia

Paraplegia dapat dikelompokkan menjadi dua jenis berdasarkan keadaan kelumpuhan yang dialami (Werner,1999), yaitu:

a. Paraplegia complete, yaitu paraplegia yang terjadi karena kerusakan secara menyeluruh pada tulang belakang, dimana pesan atau informasi tidak dapat dikirimkan melalui syaraf sama sekali sehingga perasaan dan kontrol dari gerakan di bawah tingkat kerusakan sumsum tulang belakang akan hilang secara permanen dan menyeluruh.

(43)

sedikit pada beberapa bagian tubuhnya jika dibandingkan bagin lain. Berdasarkan Laporan Penelitian Sosial (1970) diungkapkan bahwa penderita paraplegia incomplete kadang masih mampu berjalan sendiri dengan bantuan kruek, brace atau tongkat. Sensasi tidak hilang, hanya kadang-kadang sensitivitasnya agak berkurang.

4. Akibat Paraplegia a. Akibat Fisik

Paraplegia merupakan kecacatan fisik yang terjadi pada anggota tubuh tapi biasanya tidak menyerang pada bagian daerah kepala sehingga kondisi otak penderita paraplegia tetap dalam kondisi yang baik. Hal ini sesuai dengan penjelasan Fallon (1985) bahwa secara biologis fungsi otak penderita paraplegia masih normal dan tidak mengalami gangguan.

(44)

mengakibatkan terjadinya kelumpuhan tersebut. Hal ini tentu berakibat pada penilaian penderita pada dirinya sendiri

Fallon (1985) juga menjelaskan bahwa koordinasi syaraf-syaraf yang terputus tersebut juga mengakibatkan bagian tubuh yang mengalami kelumpuhan menjadi tidak dapat merasakan sensasi dan tekanan. Meskipun penderita paraplegia dapat merasakan tekanan tetapi penderita kemungkinan besar tidak mampu untuk menggerakkan anggota tubuhnya tersebut. Demikian pula aliran darah yang dibutuhkan untuk nutrisi bagi kulit penderita akan sangat kurang atau menurun. Hal tersebut berbahaya untuk kulit sehingga tumpuan tekanan pada kulit harus diubah-ubah dengan membalik penderita paraplegia setiap dua hingga tiga jam. Selain itu penderita paraplegia juga tidak akan dapat merasakan bilamana kandung kemihnya telah penuh dan tidak dapat mengosongkannya. Begitu juga pada usus besar, dimana sensasinya juga tidakdapat dirasakan oleh penderita paraplegia.

Werner (1999) mengungkapkan bahwa akibat yang akan ditimbulkan oleh kerusakan sumsum tulang belakang, yaitu:

a. kehilangan kontrol gerak dan perasaan

(45)

c. kemungkinan mempengaruhi pinggul dan beberapa bagian tubuh (level yang lebih tinggi mengakibatkan daerah kelumpuhan juga makin/lebih meluas)

d. kemungkinan akan mengalami kejang otot atau kaki yang terkulai

Secara seksualitas juga terjadi perubahan yang cukup berarti pada paraplegia. Penderita paraplegia dengan jenis kelamin perempuan akan mengalami berhentinya siklus menstruasi untuk suatu waktu tertentu, tetapi menstruasi tersebut akan datang lagi cepat atau lambat secara normal. Hal yang juga penting adalah bahwa kemungkinan besar perempuan tidak dapat merasakan sensasi-sensasi ketika berhubungan seks sehingga akan mempengaruhi kenikmatan dari sensasi seks tersebut. Sedangkan pada penderita paraplegia yang laki-laki kemungkinan akan mendapati dirinya tidak dapat ereksi lagi, meskipun pada beberapa kasus kemampuan ini dapat pulih kembali. Berhubungan dengan ereksi ini, Fallon (1985) menjelaskan bahwa pada laki-laki penderita paraplegia akan kesulitan mengalami kesulitan ereksi psychogenic dan reflexogenic. Ereksi psychogenic adalah ereksi yang ditimbulkan oleh pikiran-pikiran yang merangsang melalui penglihatan-penglihatan, bau atau suara, khayalan dan ingatan. Ereksi ini terganggu karena informasi dari otak terhenti pada level kelumpuhan. Sedangkan ereksi reflexogenic adalah ereki yang ditimbulkan oleh rangsangan langsung pada

(46)

juga terganggu karena daerah tersebut tidak dapat merasakan sensai apapun. Laki-laki penderita paraplegia kemungkinan akan mengalami ereksi spastic secara spontan, dimana ereksi tersebut terjadi begitu saja dan nampaknya tidak disebabkan oleh apa-apa tetapi hal itu tidak dapat dikontrol kapan dan dimana keadaan tersebut mungkin terjadi. Meskipun demikian laki-laki penderita paraplegia kemungkinan besar tidak mampu untuk orgasme atau memancarkan maninya. Hal ini terjadi karena terputusnya atau lumpuhnya jaringan syaraf yang mengaturnya. Keadaan ini mengakibatkan laki-laki penderita paraplegia memiliki kemungkinan kecil untuk mempunyai anak. Oleh karena itu, tidak heran apabila seorang laki-laki penderita paraplegia awalnya akan dipenuhi pikiran akan ketidakmampuan dalam melakukan hubungan seks, sehingga akan menimbulkan perasaan takut dan cemas terhadap kemampuan untuk berhubungan seks tersebut.

b. Akibat Sosial

(47)

aksesbilitas bagi semua orang, termasuk penyandang cacat, sehingga tercipta lingkungan yang bebas hambatan.

Peran keluarga juga sangat diperlukan untuk mendampingi dan merawat penderita paraplegia, terutama penderita awal. Fallon (1985) menjelaskan bahwa perlunya penderita paraplegia untuk mampu kembali ke kemandiriannya, namun kemandiriannya ini tidak dapat berlaku cepat karena membutuhkan proses melalui latihan yang biasanya dalam bentuk occupational therapy. Kemandirian panderita paraplegia pun bersifat terbatas

karena tergantung dari kondisi aksesbilitas lingkungannya.

(48)

Permasalahan seksual kemungkinan juga akan membawa dampak sosial menyangkut pandangan penderita paraplegia terhadap hubungan lawan jenis. c. Akibat Psikologis

Akibat psikologis yang muncul tidak dapat dilepaskan oleh adanya akibat fisik dan sosial yang timbul. Secara psikologis kemungkinan besar individu penderita paraplegia akan mengalami perasaan sedih, bingung, takut, cemas, tertekan (stress) bahkan depresi (Fallon, 1985). Depresi ini kemungkinan timbul karena kebosanan-kebosanan yang dialaminya sebagai akibat aktivitas sehari-hari yang dilakukannya bersifat rutin dan tidak menyenangkan, misalnya saja tidur telentang untuk beberapa bulan dan penderita akan membutuhkan banyak waktu untuk menyesali diri sendiri. Hal ini menyebabkan perlunya dukungan secara emosional bagi penderita paraplegia oleh lingkungannya.

C. Bencana Gempa

1. Pengertian Bencana

(49)

UNHCR (dalam Crisis Center Fakultas Psikologi UGM, 2006) mendefinisikan bencana sebagai peristiwa atau kejadian berbahaya pada suatu daerah yang mengakibatkan kerugian dan penderitaan manusia serta kerugian material yang hebat.

Pengertian lain menurut Bakornas PBB bahwa bencana adalah suatu kejadian yang terjadi secara alami ataupun disebabkan oleh ulah manusia yang terjadi secara mendadak maupun berangsur-angsur dan menimbulkan akibat yang merugikan sehingga masyarakat dipaksa untuk melakukan tindakan penganggulangan (dalam Crisis Center Fakultas Psikologi UGM, 2006).

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa bencana adalah suatu peristiwa atau kejadian pada suatu daerah, baik yang terjadi secara alamiah maupun akibat tindakan manusia, yang mengakibatkan kerugian dan penderitaan bagi manusia dan lingkungan atau ekologi. Oleh karena itu, gempa bumi termasuk salah satu bentuk bencana yang terjadi secara alami.

2. Dampak Bencana a. Dampak Fisik

(50)

tersebut. Dampak fisik lainnya yang timbul adalah terjadinya perpisahan, pengisoliran dan kehilangan lainnya. Bencana juga akan merusak lingkungan atau ekologi sehingga membawa kerugian secara material (Crisis Center Fakultas Psikologi UGM, 2006).

b. Dampak Sosial

Dampak sosial yang ditimbulkan oleh bencana tidak dapat dipisahkan oleh adanya dampak fisik. Secara sosial akan terjadi perubahan pada pola hubungan karena adanya kematian, perpisahan, pengisoliran dan kehilangan lainnya. Hancurnya keluarga dan komunitas, kerusakan pada nilai-nilai moral dan hancurnya fasilitas dan pelayanan sosial merupakan beberapa contoh dampak sosial tersebut, bahkan ada pula yang kehilangan status sosial, posisi dan peran dalam mayarakat. (Crisis Center Fakultas Psikologi UGM, 2006). c. Dampak Ekonomi

Dampak ekonomi timbul berhubungan erat dengan dampak sosial karena banyak individu yang menjadi korban kehilangan materi. Selain itu banyak juga yang kehilangan kemampuan untuk mencari nafkah akibat cedera atau terluka. (Crisis Center Fakultas Psikologi UGM, 2006).

d. Dampak Psikologis

Center for Mental Health Services, Crisis Counseling Asssitance and Training Workshop Manual,Emmisburg, MD (1994) menjelaskan bahwa

(51)

1) Dampak jangka pendek, gejalanya muncul pada periode 1 bulan setelah terjadinya bencana atau disebut juga Acute Stress Disorder (ASD). Gejala-gejala yang muncul yaitu:

a) Reaksi emosional: merasa shock, takut, marah, benci, berduka, merasa bersalah, malu, tidak berdaya, mengalami depresi.

b) Reaksi kognitif: kebingungan orientasi, ragu-ragu, sulit membuat keputusan, khawatir, tidak dapat memusatkan perhatian, sulit berkonsentrasi, lupa, mimpi buruk, flashback, memiliki pandangan negatif tentang diri dan dunia.

c) Reaksi fisik: tegang, cepat merasa lelah, sulit tidur, nyeri pada tubuh atau kepala, mudah terkejut, jantung berdebar-debar, mula dan pusing, selera makan menurun dan penurunan gairah seksual.

d) Reaksi perilaku: menghindari dan menjauhi situasi dan tempat yang mengingatkan pada trauma

e) Reaksi interpersonal dalam hubungan dengan keluarga, sulit mempercayai orang lain, mudah terlibat dalam konflik, menarik diri, merasa ditolak atau ditinggalkan dan menjauhi orang lain.

(52)

a) Mengalami diasosiasi (merasa keluar dari diri, seperti hidup dalam mimpi, mengalami kondisi blank dalam hidup sehari-hari dan tidak dapat mengingat apa yang terjadi pada periode sebelum blank tersebut).

b) Merasa mengalami kembali peristiwa traumatis tersebut (ingatan mengerikan, mipi buruk, flashback).

c) Berusaha keras untuk menghindari ingatan mengenai peristiwa atau pengalaman traumatis.

d) Tidak dapat merasakan emosi apapun atau merasa kosong.

e) Mengalami serangan panik, kemarahan yang luar biasa, tidak dapat berdiam diri.

f) Kecemasan yang berlebihan (merasa amat tidak berdaya, terobsesi pada sesuatu dan melakukan sesuatu hal berulang-ulang).

g) Depresi yang parah (kehilangan harapan, merasa tidak berharga, kehilangan motivasi dan tujuan hidup).

D. Konsep Diri Korban Gempa yang menjadi Penderita Paraplegia

(53)

dan fisik tetapi juga berdampak pada kehidupan ekonomi, sosial dan psikologis pada individu yang mengalami atau tertimpa bencana gempa bumi tersebut. Rasa tertekan, takut, dan duka yang dialami para korban tentu sangat berpengaruh terhadap kehidupan mereka selanjutnya (Crisis Center Fakultas Psikologi UGM, 2006).

Korban yang muncul menjadi perhatian tersendiri. Peneliti memiliki ketertarikan terhadap banyaknya penderita paraplegia akibat bencana gempa bumi tersebut. Paraplegia adalah kondisi cacat fisik berupa kelumpuhan yang diakibatkan patahnya tulang belakang (Fallon, 1985). Penderita paraplegia akan mengalami kelumpuhan atau kelayuan (plegia) pada kedua belah tungkainya sebagai akibat dari adanya trauma pada medulla spinalis atau sumsum tulang belakang (Balai Penelitian dan Peninjauan Sosial, 1970). Penderita paraplegia korban gempa bumi umumnya diakibatkan oleh tertimpa runtuhan bangunan

(54)

besar kehilangan kemampuan ereksi (Fallon, 1985). Kondisi ini tentu akan menggangu aktivitas seksual penderita paraplegia.

Akibat fisik tersebut tentu akan mempengaruhi secara sosial. Penderita paraplegia cenderung memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap lingkungannya (Fallon, 1985). Hal ini menyangkut aksesbilitas yang terdapat di lingkungannya. Interaksi sosial pun akan semakin terbatas. Kelumpuhan yang dialami juga mempengaruhi kemampuan untuk mencari nafkah (Crisis Center Fakultas Psikologi UGM, 2006). Termasuk di dalamnya juga keterbatasan dalam aktivitas keagamaan. Selain itu pandangan sebagian masyarakat bahwa penyandang cacat, termasuk penderita paraplegia, harus dikasihani bahkan atau tidak mampu berbuat apa-apa merupakan dampak sosial lainnya.

(55)

dianggap tidak mampu dan tingkat ketergantungan dengan orang lain sangat tinggi. Ketiadaan dukungan secara emosional dan sosial dari lingkungan akan turut mempengaruhi kondisi psikologis penderita paraplegia. Penolakan merupakan hal yang umumnya terjadi pada para penderita paraplegia karena belum mampu untuk menerima kondisi tersebut yang dapat menimbulkan kecemasan, stress bahkan depresi (Fallon, 1985).

Setiap individu, termasuk penderita paraplegia tersebut, tentu memiliki keyakinan akan nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai diri tersebut yang menjadi prinsip dan mengarahkan setiap individu dalam berperilaku. Nilai dan prinsip tersebut tentu akan kembali dipertanyakan, masihkah mampu bertahan dengan kondisi kelumpuhan dan mengalami berbagai keterbatasan tersebut?

Korban gempa bumi yang menjadi penderita paraplegia mengalami berbagai konflik-konflik yang akan mempengaruhi konsep dirinya seperti tersebut dia atas. Apabila melihat konflik yang dialami tersebut maka akan terjadi perubahan perkembangan konsep diri pada penderita paraplegia korban gempa. Kondisi kelumpuhan (plegia) tersebut membawa akibat-akibat secara fisik, sosial dan psikologis, dimana ketiganya saling terkait dan mempengaruhi.

(56)
(57)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 1989) adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau pelaku yang dapat diamati. Penjelasan tersebut sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat (dalam Devi, 2003) bahwa metode analisis kualitatif merupakan analisis tentang sesuatu yang hasilnya disajikan dalam bentuk uraian atau paparan yang menggambarkan objek penelitian sehingga data tidak diuraikan dalam bentuk angka-angka tetapi dalam kategori-kategori.

B. Identifikasi Variabel

(58)

Dinamika konsep diri korban gempa yang menjadi penderita paraplegia akan dilihat berdasarkan teori Berzonsky (1983), dimana konsep diri dipandang berdasarkan penilaian diri subjek terhadap empat aspek berikut, yaitu:

1. Aspek fisik, merupakan penilaian individu tentang segala seuatu yang dimilikinya seperti, pakaian, dan benda yang dimilikinya

2. Aspek psikis, meliputi pikiran, perasaan, dan sikap individu terhadap dirinya sendiri

3. Aspek sosial, berhubungan dengan peranan social yang diperankan individu dan penilaian individu terhadap peranannya tersebut

4. Aspek moral, merupakan nilai dan prinsip yang memberi arti dan arah bagi kehidupan individu

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian merupakan korban gempa bumi yang berpusat di Bantul, D.I Yogyakarta. Korban gempa tersebut mengalami kelumpuhan atau disebut juga penderita paraplegia.

(59)

yang dihubungi atau telah diwawancarai sebelumnya. Penentuan subjek juga didasarkan pada kesediaan untuk berpartisipasi dan bekerja sama dalam penelitian ini. Teknik ini digunakan berdasarkan pertimbangan bahwa tidak semua korban gempa yang menjadi penderita paraplegia dapat berpartisipasi secara aktif dan koopertaif dalam penelitian ini, dimana subjek diharapkan untuk bercerita dan mengungkapkan secara terbuka tentang kehidupannya yang bersifat pribadi.

D. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dan informasi mengenai konsep diri subjek dalam penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode wawancara dan data hasil observasi subjek.

1. Wawancara

Nasution (dalam Devi, 2003) menjelaskan bahwa wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal atau semacam percakapan yang bertujuan untuk memperoleh informasi. Seorang interviewer akan menggali informasi yang terdalam mengenai diri subjek, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan, melalui wawancara yang dilakukannya.

(60)

akan dibicarakan sesuai dengan tujuan wawancara (Nasution dalam Devi, 2003). Hal-hal yang akan digali dalam wawancara tersebut meliputi:

a. Pengalaman terhadap diri fisik b. Pengalaman terhadap diri psikis c. Pengalaman terhadap diri sosial d. Pengalaman terhadap diri moral

Tabel III.1

Pedoman Wawancara

No Aspek Pertanyaan

1 Aspek Fisik - Bagaimana penilaian Anda terhadap perubahan kondisi fisik Anda?

- Bagaimana Anda menilai tubuh dan penampilan Anda?

- Bagaimana penilaian Anda terhadap kondisi kaki Anda?

- Bagaimana penilaian Anda terhadap benda-benda atau harta yang saat ini Anda miliki?

(61)

2 Aspek Psikis - Bagaimana penilaian Anda terhadap emosi Anda? - Bagaimana penilaian Anda terhadap perasaan

Anda?

- Bagaimana penilaian Anda terhadap berbagai upaya Anda untuk menjadi mandiri?

- Apakah Anda merasakan kecemasan terhadap masa depan Anda?

- Apakah Anda merasa trauma?

- Bagaimana penilaian Anda terhadap kesedihan-kesedihan dan kecemasan yang dialami?

- Apakah Anda merasa rendah diri dan putus asa? 3 Aspek Sosial - Apakah Anda telah siap kembali berhadapan

dengan masyarakat?

- Bagaimana penilaian Anda terhadap kehidupan bermasyarakat?

- Bagaimana penilaian Anda terhadap sikap masyarakat terhadap Anda?

- Bagaimana pandangan Anda terhadap hubungan lawan jenis?

(62)

Anda yang sependeritaan?

- Bagaimana hubungan Anda dengan teman atau tetangga yang tidak menderita paraplegia?

4 Aspek Moral - Apakah Anda telah menjalankan aktivitas religius/agama dengan baik?

- Bagaimana penilaian Anda terhadap nilai-nilai kehidupan yang Anda anut?

- Bagaimana penilaian Anda terhadap Tuhan sehubungan dengan kondisi Anda saat ini?

2. Observasi

Observasi adalah kata lain dari pengamatan yang berarti kegiatan memperhatikan secara akurat, mencacat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antaraspek dalam fenomena tersebut, dengan tujuan mendapat data tentang suatu masalah, sehingga diperoleh pemahaman atau sebagai alat re-checking atau pembuktian terhadap informasi / keterangan yang diperoleh sebelumnya (Ardiardani, Tristiadi & Tri Rahayu Iin; 2004)

(63)

a. Peneliti akan mendapatkn pemahaman lebih baik tentang konteks dalam hal yang diteliti dan atau terjadi.

b. Observasi memungkinkan peneliti untuk bersikap terbuka, lebih berorientasi pada penemuan daripada pembuktian, dan mempertahankan pilihan untuk mendekati masalah secara induktif.

c. Observasi memungkinkan peneliti melihat hal-hal yang kurang disadari oleh partisipan atau subjek penelitian karena ada kemungkinan seorang individu mengalami kesulitan dalam merefleksikan pemikiran tentang pengalamannya.

d. Observasi memungkinkan peneliti memperoleh data yang tidak diungkapkan secara terbuka oleh partisipan atau subjek penelitian dalam wawancara karena berbagai alasan atau sebab.

e. Observasi memungkinkan peneliti bergerak lebih jauhn dari persepsi selektif yang ditampilkan oleh subjek penelitian.

(64)

dan istemewa sesuai dengan kejadian yang ingin diungkap dalam penelitian ini (Ardiardani, Tristiadi & Tri Rahayu Iin, 2004). Hal-hal yang ingin diamati dalam penelitian ini meliputi : reaksi fisik subjek, reaksi psikis subjek, rekasi subjek terhadap anggota keluarga dan orang disekitarnya, reaksi terhadap

kebiasaan/ritual keagamaan. Observasi dilakukan oleh dua orang pengamat untuk mengurangi kelemahan observasi yang dilakukan oleh satu orang yaitu

ketidakobyektifan (Ardiardani, Tristiadi & Tri Rahayu Iin; 2004).

Tabel III.2

Pedoman Observasi

No Aspek Hal yang harus diamati

1. Fisik Reaksi fisik subjek yang sering nampak dalam satu hari 2 Psikis Reaksi emosi subjek yang tampak dalam satu hari

Sosial Reaksi subjek terhadap perilaku anggota keluarga atau orang lain di luar keluarga,misalnya tetangga

4 Moral Reaksi atau perilaku yang ditampakan subjek, terhadap ritual keagamaan atau prinsip hidup

3. Tes Grafis

(65)

a Person/DAP) serta tes menggambar rumah,pohon dan manusia (tes House

Tree Person/HTP). Tes grafis merupakan salah satu bentuk tes proyektif.

a. Tes menggambar pohon (tes BAUM)

Menurut Emil Jucher, gambar pohon yang dibuat seseorang sebagai pernyataan “the being of person”. Sejak semula diungkapkan ada hubungan antara bentuk pohon dan bentuk manusia, yaitu menanam kehidupan dalam pohon seperti dalam suatu patung yang berdiri,mencapai kemiripan paling tinggi dengan kemanusiaan (humanity) dan bahwa pertemuan dengan pohon adalah pertemuan dengan diri sendiri (Herman Hiltbrunner).

b. Tes menggambar manusia (tes DAP)

Menurut Levy, melalui tes DAP subjek memungkinkan untuk memproyeksikan beberapa hal, yaitu:

1) gambar orang tersebut merupakan poyeksi dari konsep diri 2) proyeksi dari sikap individu terhadap lingkungan/masyarakat 3) proyeksi yang berhubungan dengan self image

4) DAP sebagai suatu hasil pengamatan individu terhadap lingkungannya 5) sebagai ekspresi terhadap kebiasan dalam hidupnya

(66)

c. Tes menggambar rumah, pohon dan manusia (tes HTP)

Menurut Jhon Buck melalui tes ini akan diperoleh gambaran sebagai berikut:

1) rumah menggambarkan kehidupan sosial terutama mengenai hubungan atau asosiasi pada subjek dalam hubungannya dengan orang lain

2) pohon menggambarkan kehidupan vital atau peranan hidup dari subjek yang bersangkutan dalamhubungannya dengan kemampuan yang dimilikinya

3) manusia menggambarkan bagaimana hubungan interpersonal subjek, baik secara umum maupun secara spesifik

E. Keabsahan Data Penelitian

Pemeriksaan keabsahan data penelitian ini menggunakan teknik triangulasi. Teknik triangulasi adalah suatu teknik untuk menyelidiki validitas dan realibitas pada penelitian kualitatif. Triangulasi adalah menarik kembali rangkaian yang masuk akal dari rancangan program untuk pengerjaan hasil sementara, untuk memperoleh hasil akhir, mencoba untuk bisa mendapatkan lebih dari satu ukuran dari lebih dari satu sumber untuk setiap kaitan dalam rangkaian (Miles & Huberman, 1992). Triangulasi juga diartikan sebagai teknik check and recheck (Bagoes Mantra, 2004). Menurut Denzin (dalam Muhadjir; 1998)

(67)

menggunakan metode ganda, menggunakan peneliti ganda, dan menggunakan teori yang berbeda-beda.

Teknik triangulasi yang akan digunakan oleh peneliti adalah dengan menggunakan metode ganda, yaitu wawancara, observasi dan tes grafis (tes BAUM, DAP dan HTP). Penelitian ini juga memanfaatkan pengamat lain dalam melakukan observasi. Pemanfaatan pengamat lainnya membantu mengurangi kemencengan dalam pengumpulan data. Proses interpetasi tes grafis sendiri dilakukan oleh tiga peneliti, yaitu peneliti dan dua interpreter professional. Pada dasarnya penggunaan suatu tim penelitian dapat direalisasikan dilihat dari segi teknik ini. Cara lain ialah membandingkan hasil pekerjaan seorang analisis dengan analis lainnya, dalam hal ini metode observasi. (Moleong, 2002).

F. Metode Analisis Data

(68)

Langkah-langkah analisis isi adalah sebagai berikut: 1. Organisasi Data

Tahap awal dari pengolahan dan analisis data adalah organisasi data. Organisasi dilakukan agar peneliti memperoleh kualitas data yang baik, dapat mendokumentasikan analisis yang dilakukan serta dapat menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian ini. Data yang diorganisir adalah data mentah berupa verbatim hasil wawancara, yang pada awalnya berupa kaset rekaman, dan hasil pencacatan observasi atau pengamatan terhadap subjek, serta data hasil tes grafis yang telah dianalisis tiga interpreter termasuk peneliti. Data yang diorganisir juga termasuk data yang sudah dikoding dan telah dikategorikan. Data-data tersebut diorganisir sesuai dengan masing-masing subjek dan disesuaikan dengan urutan pengambilan data.

2. Pengkodean Data

(69)

Proses koding dan analisis untuk data verbatim ini diawali dengan menyusun data verbatim dalam kolom, dimana di samping kanan data diberi kolong kosong yang akan digunakan untuk pengkodean. Berikutnya masing-masing baris akan diberi nomor untuk memudahkan proses pengkodean.

Peneliti selanjutnya akan melakukan analisis tematik, setelah data verbatim siap dalam kolom. Analisis ini digunakan untuk mencari pola dari data yang ada. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi atau data yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema atau indikator kompleks, kualifikasi yang biasanya terlihat dengan itu atau hal-hal diantara/gabungan dari yang telah disebutkan. Tema diharapkan dapat mendeskripsikan fenomena dari data hasil penelitian ini, maupun digunakan untuk menginterpretasi data hasil penelitian ini (Poerwandari, 2001).

Tabel III.3

Kode dalam Wawancara

No Aspek Kode Sub Aspek Kode

1 Fisik F Tubuh dan kesehatan Harta benda

t h

2 Psikis E Emosi

Kecemasan/trauma

e c

3 Sosial S Keluarga

Teman lawan jenis

(70)

Lingkungan sekitar dan orang tidak paraplegia

Orang paraplegia

n

p

4 Moral M Agama

Prinsip

a i

3. Interpretasi

Interpretasi dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan tema-tema yang muncul dalam data verbatim hasil wawancara setelah diperkuat dengan data hasil observasi dan data hasil tes grafis. Interpretasi dilakukan supaya diperoleh gambaran data yang lebih mendalam. Klave (dalam Poerwandari, 2001) menjelaskan bahwa interpretasi dilakukan sebagai upaya untuk memahami data dengan lebih ekstensif sekaligus mendalam.

G. Prosedur Penelitian

Prosedur atau langkah-langkah peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah sebelum berikut:

1. Persiapan penelitian

(71)

Setelah dasar teori terbentuk, maka peneliti menyiapkan panduan wawancara yang disesuaikan dengan aspek-aspek yang akan diungkap dalam penelitian ini dan dengan tujuan penelitian sehingga hasil penelitian yang diperoleh sesuai dengan apa yang ingin diungkap atau sesuai dengan tujuan dari penelitian ini. 2. Perijinan penelitian

Langkah selanjutnya adalah peneliti mengurus perijinan untuk melakukan penelitian. Ijin penelitian diperoleh dari sekretariat Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang ditandatangani Dekan Fakultas Psikologi yang ditujukan kepada masing-masing subjek. Sebelumnya peneliti juga akan membuat surat bukti kesediaan dari masing-masing subjek untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.

3. Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di kediaman masing-masing subjek yang berada di wilayah kabupaten Bantul, Yogyakarta dan kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Penelitian dilakukan setelah peneliti memperoleh kesediaan dan ijin dari subjek untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.

4. Pelaksanaan penelitian

(72)
(73)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian “ Konsep Diri Korban Gempa yang Menjadi Penderita Paraplegia” ini bertujuan untuk mengambarkan konsep diri para korban gempa yang menjadi penderita paraplegia. Dinamika konsep diri yang akan dipaparkan berdasarkan empat aspek konsep diri menurut Berzonsky (dalam Kusumawati, 2002), yaitu: aspek fisik, aspek psikis, aspek sosial, dan aspek moral. Namun, sebelum lebih jauh membahas keseluruhan subjek, baik jika kita lihat dinamika tiap subjek di bawah ini :

A. HASIL PENELITIAN

1. SUBJEK I

a. Identitas Subjek

Nama : Y

Usia : 34 tahun

Alamat : Segoroyoso, Pleret, Bantul Jenis Kelamin : Perempuan

b. Hasil Wawancara

(74)

Jelas tersiksa ya! Dulu bisa ke mana-mana sendiri sekarang pakai bantuan ga bisa sendiri gitu.

Subjek menilai tubuh dan penampilannya semakin menghambat aktivitasnya sehingga merasa terganggu dan risih (Ft : 7-12)

penampilan menurut saya mengganggu karena aktivitas ke mana-mana pakai kursi roda ini sedikit terhambat gitulah, untuk mau ke mana-mana kita harus jalannya sudah rata itu udah berani. mungkin agak risih.

Penilaian subjek terhadap kondisi kaki, subjek mengalami rasa sakit di bagian kakinya bahkan subjek menangis jika tidak mampu menahan rasa sakitnya. Subjek melakukan terapi sendiri dengan digerak-gerakkan untuk mengurangi rasa sakit yang dirasakan (Ft : 15-25)

Kaki memang terasa sakit teruskan, panas, gringingen, sakit kalo sudah mulai kumat bisanya cuma nangis.

kadang saya gerak-gerakin kaki, model diterapi sendiri. Diem, paling tahu-tahu air mata keluar gitu, paling-paling megang-megang bantal nahan sakit, ngremes gitu.

Penilaian subjek terhadap benda dan harta yang dimiliki adalah subjek merasa kebutuhan tidak berubah, hanya mengganti kebutuhan yang paling penting untuk mendukung kemandiriannya. Subjek juga merasa kemandirian penting sehingga dapat membantunya dalam memenuhi kebutuhannya karena apabila tergantung orang lain pemenuhan kebutuhan seringkali tidak sesuai (Fh : 38-54)

(75)

bisa ke mana-mana sendiri. itu cuma nyuruh orang suka ga pas sama kemauan kita, kadang juga jengkel. kalo motor karena dulu saya juga punya motor, karena emang saya kerja dulu, karena saya begini, saya pikir belum butuh sekali, saya ganti yang saya bener-bener akhire yang saya bisa mandiri, kayak mesin cuci, untuk yang ngliwet, biar bisa akses tanpa butuh bantuan orang seminimal mungkin untuk mempermudahkan saya mobilisasi aktivitas.

Penilaian terhadap ketidakmampuan dan keterbatasan fisiknya adalah subjek merasa menjadi tidak mampu beraktivitas seperti sebelum

mengalami paraplegia. Hal tersebut mempengaruhi secara emosional sehingga subjek memiliki perasaan marah, jengkel, putus asa, ingin

bunuh diri, dan merasa tidak berguna (Ft : 57-63)

jelas emosi, marah, biasanya, aku itu marketing. marketing itu khan mobilingnya bisa dibilang besar, setelah begini, ya pernah juga trauma, mangkel, pernah putus asa mau bunuh diri, pernah aku punya pikiran kayak gitu, karena merasa ga berguna

Penilaian subjek terhadap emosinya adalah adanya perasaan sedih. Subjek akan menangis bila merasa sendiri atau teringat situasi atau aktivitas sebelum mengalami paraplegia, seperti jalan-jalan. Hal ini memicu timbulnya perasaan jengkel atau marah, trauma, bahkan pernah ingin bunuh diri (Ee: 59-61, 64-76)

(76)

yang tak pilih biasanya berita, apa film-film, tapi emang aku jarang nonton tv semenjak ini.

Penilaian subjek terhadap perasaannya dianggap stabil karena memiliki motivator dan kontrol dalam figur seorang anaknya. Subjek merasa kasihan kepada anaknya bila perasaannya labil. Penilaian orang lain juga mengatakan bahwa subjek stabil (Ee : 78-84)

kalo saya bisa dibilang stabil soale punya motivasi, anak. Kalo aku susah terus, nanti anakku piye? Kalo aku diliat dari orang-orang yang pada ngomong, stabil.

Penilaian subjek untuk menjadi kemandirian bahwa dirinya belum sepenuhnya bisa mandiri untuk hal-hal tertentu, tetapi subjek berusaha untuk mampu mandiri agar tidak membebani orang lain (e : 87-100)

Mandiri secara full belumlah, masih perlu bantu bantuan juga kayake, tapi memang aku berusaha mandiri untuk diri aku sebisa mungkin caranya, tidak terlalu membebani orang gitulah, kayak mencuci baju sudah bisa sendiri, mencuci piring sudah bisa sendiri, masak, masak nasi, mandi sudah bisa sendiri tapi untuk transfer saya masih butuh bantuan. Keluar pun karena akses belum bagus, jalanannya masih belum rata, masih perlu bantuan juga

(77)

sebab belum memperoleh pasar yang pasti terhadap produk-produk kerajinannya tersebut walaupun sudah menghubungi pihak-pihak tertentu yang memungkinkan. Subjek merasa terkurangi bebannya jika sudah mendapatkan pasar untuk kerajinannya. (Ec : 111-141)

karena saya singel parent, nanti kedepannya anak saya membutuhkan lebih banyak lagi biaya. emang saya kerja, tapi hasilnya cuma untuk makan, untuk nanti anakku bagaimana yang tak pikir, apa aku bisa menyekolahkan anakku sampai tinggi, minimal SMA, bisa ga?

sampai sekarang ini masih berjuang di pekerjaanku itu PMI memberikan kegiatan kerajinan, aku sudah menggebu-gebu pengen sekali, tiba-tiba mereka marketnya belum ada gimana ya? Aduh trus mundur lagi aku. jadi masih masih masih maju mundur, pengen maju tapi kalo kayak aku gimana caranya cari market? kemarin aku juga berusaha cari market, jadi aku telpon temenku kantor, sampai sekarang ga ada kabar. Aku di sini juga berusaha gitu untuk kontak. kerajinannya seperti itu boneka-boneka, tas, dompet.

Subjek menilai bahwa dirinya masih merasa sangat trauma terhadap gempa, terutama jika ada kondisi yang mirip dengan gempa seperti truk berat lewat. Subjek biasanya akan merasa detak jantung bertambah kencang dan terdiam. Namun demikian subjek akan berzikir untuk mengurangi rasa takut kemudian akan minum jika sudah tenang (Ee : 143-52)

(78)

Penilaian subjek terhadap kesedihan dan kecemasan yang dialami yakni subjek merasa punya kesedihan dan kecemasan akibat kondisi kelumpuhan yang dialaminya. Subjek berusaha mengantisipasi perasaan tersebut dengan menjalin relasi dengan teman-teman melalui handphone agar tidak kesepian dan membaca komik (Ee:154–166)

Kesedihan, kecemasan antisipasinya mungkin sekarang jaman modern ada telpon, sms, ngonteks yang lain-lain.

ketimbang ininya ga punya omongan gitu lho ga ngomong pake mulut tapi ngomong pake [ketawa] sama aja khan? paling-paling suka baca-baca buku atau komik-komik

Pengalaman subjek terhadap perasaan rendah diri dan putus asa yakni subjek merasa sebelum masuk ke Pusat Rehabilitasi Yakkum memiliki perasaan rendah diri dan putus asa hingga ingin bunuh diri. Tetapi setelah dirawat di Pusat Rehabilitasi Yakkum, subjek merasa tidak sendirian sebagai korban gempa yang mengalami paraplegia dan merasa lebih percaya diri dan pasrah dengan kondisinya. (Ee : 168-188)

sebelum masuk Yakkum aku putus asa, gini gini [mengeluh, putus asa]. Setelah masuk Yakkum aku merasa ga ndeweni [merasa sendiri], banyak yang begitu juga. mereka dari keterampilannya biasa gitu, kenapa aku pake gitu...setelah dari Yakkum aku merasa timbul percaya diri...

Gambar

Tabel III.1. Pedoman Wawancara…………………………..………………………….42
Tabel III.1
Tabel III.2
Tabel III.3
+2

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) jenis gaya bahasa yang digunakan pada sepuluh puisi terbaik dalam ajang Grand Prix Poésie RATP tahun 2018 dan (2)

Potensi pendanaan pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya pada APBD Kabupaten Klungkung dan. Provinsi lima tahun terakhir menunjukan fluktuasi perkembangan baik

Peneliti berusaha untuk mengkaji bagaimana strategi marketing politik yang dilakukan oleh calon pasangan gubernur dan wakil gubernur, Ganjar Pranowo-Taj Yasin Maimun Zubair guna

Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa sumbangan relatif antara kecerdasan emosi dengan stres kerja adalah 34% pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Banda Aceh dan

di internet yang menerima permintaan dari jaringan lokal akan me ngenali paket datang ngenali paket datang menggunakan alamat IP gateway, yang biasanya mempunyai satu

Masih banyak faktor yang harus dipahami, seperti hubungan antara risiko dan return yang mungkin timbul seperti, faktor psikologis investor (apakah termasuk ke dalam risk

Berdasarkan uraian di atas, dengan melihat potensi Sulawesi tenggara sebagai provinsi dengan berbagai gugusan pulau, dimana keberadaan bahan baku seperti kakao dan

Hasil menunjukkan bahwa sikap terhadap perubahan, uang, daya saing, kewirausahaan, dukungan lingkungan, hambatan lingkungan dan lingkungan sekolah memiliki hubungan