• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat hukum putusan atas permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim (studi putusan nomor 208/Pdt.G/2010/PA.Kra)

ìì‹ÏÿxœÒOŠÎ=tæ

B. Akibat hukum putusan atas permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim (studi putusan nomor 208/Pdt.G/2010/PA.Kra)

Berdasarkan hasil penelitian yang Penulis laksanakan dengan mengkaji putusan Nomor: 208/Pdt.G/2010/PA.Kra. yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Karanganyar maka Penulis kemukakan terlebih dahulu mengenai perbedaan cerai talak yang diajukan oleh suami non-muslim dan suami muslim:

1. Alasan-alasan untuk dilakukannya perceraian talak oleh suami muslim dan non-muslim sama saja, seperti yang telah ditentukan dalam Dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 51 dan 116 Kompilasi Hukum Islam disebutkan mengenai alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian yang dapat dijadikan sebagai fundamentum petendi dalam permohonan. Alasan-alasan perceraian tersebut antara lain:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat

commit to user

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

g. Suami melanggar taklik talak.

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Dalam kasus cerai talak yang penulis teliti, yaitu cerai talak Nomor 208/Pdt.G/2010/PA.Kra., dalam permohonan yang dibuat oleh E.M alasan utama yang menyebabkan bercerai adalah perselingkuhan yang dilakukan termohon/ S.A dengan pria lain, sehingga hal ini menimbulkan perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Alasan ini sesuai dengan huruf f, dan menjadi alasan dapat diterimanya permohonan cerai talak tersebut karena alasan perceraian dalam permohonan merupakan salah satu dari alasan perceraian yang diatur dalam Pasal 51 KHI.

2. Rumusan diktum putusan antara permohonan cerai talak dengan pemohon muslim berbeda dengan pemohon non-muslim.

Apabila permohonan cerai talak oleh suami muslim dikabulkan oleh pengadilan, maka rumusan diktum penetapannya adalah sebagai berikut:

————————————MENETAPKAN ————————

1. Mengabulkan permohonan Pemohon ;- ———————————

2. Memberikan izin kepada Pemohon ... untuk mengucapkan ikrar talak atas Termohon ... di hadapan sidang Pengadilan Agama ... ; ——

commit to user

3. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara ini

sebesar ...; — Sedangkan untuk permohonan cerai talak oleh pemohon non-muslim diktum putusannya sebagai berikut:

———————————— MENETAPKAN————————

1. Mengabulkan permohonan Pemohon ;- ———————————

2. Memfasakh perkawinan Pemohon ... dan Termohon ... ; ————————

3. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara ini

sebesar ...; ——————— Atau

———————————— MENETAPKAN————————

1. Mengabulkan permohonan Pemohon ;- ———————————

2. Memutuskan menceraikan perkawinan antara Pemohon

... dengan Termohon ...dengan Talak Ba’in ; —————————————————————

3. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara ini

sebesar ...; ——————— Ada dua jenis putusan dalam cerai talak oleh pemohon non-muslim, yaitu Fasakh dan Talak Ba’in. Untuk putusan Fasakh ini dijatuhkan apabila alasan perceraian adalah riddah/ beralih agama, yang dahulu beragama Islam sewaktu terjadinya perkawinan, namun kemudian beralih agama menjadi non-muslim. Dalam Kitab Tanwirul Qulub disebutkan bahwa seseorang yang telah beralih agama dari Islam, maka batallah puasanya, tayamumnya dan nikahnya, baik qabla atau pun ba’da dhukul (sebelum atau sesudah hubungan intim). Dalam kitab Fiqhusunnah juz II halaman 314, apabila salah seorang diantara suami atau isteri murtad (keluar dari agama Islam) dan tidak kembali lagi menganut agam Islam, maka aqad (nikah) nya difasakhkan dengan sebab murtadnya dengan

tiba-commit to user

tiba tersebut. Namun jika alasan perceraian bukan karena pindah agama, maka Majelis Hakim akan memutus perkawinan para pihak dengan Talak Ba’in yaitu talak yang tidak memungkinkan suami rujuk kepada bekas istri, kecuali dengan melakukan akad nikah baru. Meskipun salah satu atau kedua pihak telah beralih agama menjadi non-muslim, tetapi pindah agamanya tersebut bukan menjadi penyebab perceraian.

Hal ini berbeda dengan diktum putusan cerai talak oleh pemohon muslim. Pada putusan cerai talak dengan pemohon muslim, Majelis Hakim hanya memberi izin kepada suami untuk mengucapkan ikrar talak di muka sidang pengadilan. Dalam hukum perkawinan Islam, suami dianggap sebagai pemengang tali perkawinan, sehingga apabila suami ingin mengakhiri tali perkawinan, maka suami cukup mengucapkan ikrar talak yaitu ucapan suami dengan lafaz thalaq yang berarti mengakhiri hubungan perkawinan yang terjadi selama ini.

Dalam kasus yang telah penulis teliti, yaitu cerai talak Nomor:

208/Pdt.G/2010/PA.Kra., diktum putusannya adalah memfasakh

perkawinan antara pemohon dan termohon. Hal ini berarti alasan perceraian tersebut adalah riddah/ beralih agama, yang dulunya beragama Islam sewaktu terjadinya perkawinan, namun kemudian beralih agama menjadi non-muslim. Dalam gugatannya memang pemohon mengaku telah beragama katolik dan termohon beragama Islam. Namun dalam duduk perkara gugatan tidak disebutkan bahwa alasan perceraiannya adalah karena salah satu telah pindah agama, melainkan karena perselingkuhan dan pertengkaran yang sudah tidak dapat dirukunkan kembali.

Dari alasan-alasan dalam permohonan, tidak satupun yang menyebutkan tentang peralihan agama yang dapat menyebabkan perceraian. Ini berarti putusan dari Majelis Hakim ini berbeda dengan teori hukum Islam yang ada. Perbedaan ini terjadi karena Majelis tetap berpendapat bahwa apapun alasan perceraian yang terjadi namun jika salah satu atau kedua pihak sudah riddah maka putusan tersebut adalah fasakh.

commit to user

Dalam praktek peradilan agama di Indonesia, terutama seperti yang tertuang dalam Buku Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung RI, cerai talak yang diajukan suami non-muslim yang sudah riddah produk hukumnya bukan memberikan ijin kepada suami untuk ikrar talak, melainkan talak dijatuhkan oleh Pengadilan Agama dalam bentuk putusan. Masih dalam buku yang sama, diatur juga mengenai keseragaman amar putusan cerai talak yang diajukan oleh suami non-muslim berbunyi:

“ Menjatuhkan talak satu bain shugra antara Pemohon

(...) dengan Termohon (...)”

(Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, 2009: 218). Talak Ba’in Shugra (Pasal 119 Kompilasi Hukum Islam) yaitu talak satu atau dua yang dijatuhkan kepada istri yang belum pernah dikumpuli, talak satu atau dua yang dijatuhkan atas permintaan istri dengan pembayaran uang tebusan (iwad) atau talak satu atau dua yang dijatuhkan kepada istri yang pernah dikumpuli bukan atas permintaannya dan tanpa pembayaran iwad setelah habis masa iddahnya, atau talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama

4. Akibat hukum dari putusan cerai talak.

Apabila putusan hakim adalah fasakh, maka akibat hukum yang timbul dari putusnya perkawinan karena fasakh adalah suami tidak boleh melakukan rujuk terhadap mantan istrinya. Apabila antara mantan suami dan isteri tersebut berkeinginan untuk hidup kembali sebagai suami-istri. Mereka harus melakukan akad nikah baru. Dengan memperhatikan syarat sahnya perkawinan yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 2, Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu serta Tiap-tiap perkawinan dicatat

commit to user

mengandung makna bahwa untuk melaksanakan perkawinan yang baru kedua pihak harus beragama sama, ini dimungkinkan jika suami kembali memeluk agama Islam, sehingga dapat dilakukan akad nikah yang baru secara Islam.

Apabila putusan hakim adalah Talak ba’in, maka tidak dimungkinkan suami rujuk kepada bekas istri, kecuali dengan melakukan akad nikah baru. Talak ba’in dibedakan menjadi dua macam yaitu:

a. Talak Ba’in Shugra (Pasal 119 Kompilasi Hukum Islam)

Yaitu talak satu atau dua yang dijatuhkan kepada istri yang belum pernah dikumpuli, talak satu atau dua yang dijatuhkan atas permintaan istri dengan pembayaran uang tebusan (iwad) atau talak satu atau dua yang dijatuhkan kepada istri yang pernah dikumpuli bukan atas permintaannya dan tanpa pembayaran iwad setelah habis masa iddahnya, atau talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.

b. Talak Ba’in Kubra (Pasal 120 Kompilasi Hukum Islam)

Yaitu talak yang telah dijatuhkan untuk ketiga kalinya.talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al dhukhul dan habis masa iddahnya.

Dalam kasus yang telah penulis teliti, yaitu cerai talak Nomor:

208/Pdt.G/2010/PA.Kra., diktum putusannya adalah memfasakh

perkawinan antara pemohon dan termohon. Dalam hal ini, perkawinan tersebut dianggap tidak memenuhi rukun dan syarat atau terdapat halangan perkawinan yang tidak membenarkan dilangsungkannya perkawinan tersebut maka perkawinan tersebut dinyatakan batal. Perkawinan tersebut menjadi batal karena salah satu atau kedua pihak murtad dari agama Islam

Batal adalah rusaknya hukum yang ditetapkan terhadap suatu amalan seseorang, karena tidak memenuhi syarat dan rukunnya yang telah

commit to user

ditetapkan oleh syarak. Batalnya perkawinan adalah rusak atau tidak sahnya perkawinan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau diharamkan oleh agama. Batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan diseebut juga dengan fasakh. Fasakh artinya putus Tu batal. Maksud dari fasakh nikah adalah memutuskan atau membatalkan hubungan antara suami isteri.

Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena ha;-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan.

1. Fasakh (batalnya perkawinan) karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada saat akad nikah :

a. Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa istrinya adalah saudara kandung atau saudara sesusuan pihak suami.

b. Suami isteri masih kecil, dan diadakannya akad nikah oleh selain ayah atau datuknya, kemudian setelah dewasa, ia berhak meneruskan ikatan perkawinannya yang dahulu atau mengakhirinya. Cara seperti ini disebut khiyar balig. Jika yang dipilih adalah mengakhiri ikatan suami isteri, maka hal ini disebut fasakh balig.

2. Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad :

a. Bila salah seorang suami atau isteri murtad atau keluar dari agama Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadan yang terjadi belakangan.

b. Jika suami, yang tadinya kafir kemudian masuk Islam namun isterinya masih tetap dalam kekafirannya, yaitu tetap musyrik, maka akadnya batal (fasakh). Hal ini berbeda jika si isteri adalah seorang ahli kitab, maka akadnya tetap sah seperti semula sebab perkawinannya diapandang sah sejak semula.

Pisahnya suami isteri karena fasakh berbeda dengan pisahnya karena talak, baik talak raj’i maupun talak ba’in. Talak raj’i tidak mengakhiri ikatan suami isteri dengan seketika, sedangkan talak ba’in

commit to user

mengakhiri ikatan suami isteri seketika itu juga. Adapaun fasakh, baik karena hal-hal yang terjadi belakangan maupun karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi, fasakh mengakhiri perkawinan seketika itu juga.

Selain itu, pisahnya suami isteri karena talak dapat mengurangi bilangan talak. Jika suami mentalak istrinya dengan talak raj’i, lalu rujuk lagi diwaktu iddahnya, maka perbuatannya dihitung satu kali talak dan ia masih ada kesempatan talak lagi. Jika karena fasakh, maka hal tersebut tidak berarti mengurangi sisa talak istri karena fasakh, misalnya apabila terjadinya fasakh karena khiyar balig, kemudian suami isteri tersebut kawin dengan akad baru lagi, maka suami tetap punya kesempataan tiga kali talak.

Sebab-sebab batalnya perkawinan dan permohonan pembatalan perkawinan di Indonesia, diatur dalam Kompilasi Hukum Islam secara rinci yaitu sebagai berikut :

Pasal 70

Perkawinan batal apabila:

a. suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raj‘i;

b. seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili‘annya;

c. seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba‘da ad-dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddah-nya;

d. perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda, dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:

1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;

2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya;

3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu atau ayah tiri;

4. berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan, dan bibi atau paman sesusuan;

e. istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya.

commit to user Pasal 72

(1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.

(2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri;

(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami-istri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Pasal 73

Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah: a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari

suami atau istri; b. suami atau istri;

c. pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undangundang;

d. para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundangundangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 67.

Pasal 74

(1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau tempat perkawinan dilangsungkan.

(2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

Pasal 75

Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:

a. perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau istri murtad; b. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

c. pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beriktikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Pasal 76

Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.

commit to user

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 149 disebutkan bahwa akibat talak ada empat yaitu:

a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla ad-dukhu;l

b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam

iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil;

c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya atau separuh apabila qabla ad-dukhul;

d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum

mencapai umur 21 tahun.

Dalam hal isteri menuntut, baik perceraian dengan suami muslim atau pun non-muslim berlaku akibat hukum yang sama seperti dalam Pasal tersebut. Namun ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa akibat hukum antara cerai talak dengan pemohon muslim berbeda dengan cerai talak dengan pemohon non muslim, terutama dalam hal penentuan saat kapan perkawinan menjadi putus.

a. Waktu Putusnya Perkawinan

1) Dalam perkara cerai talak dengan pemohon muslim, sekalipun putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap namun perkawinan belum putus secara otomatis. Putusnya perkawinan adalah setelah suami mengucapkan ikrar talak di muka sidang pengadilan. Selama suami belum mengucapkan ikrar talak maka perkawinan belum putus meskipun telah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Dalam pengucapan ikrar talak ini,

Majelis hakim Pengadilan Agama hanya mempunyai

kewenangan secara ex officio untuk memanggil pemohon dan termohon masing-masing satu kali. Apabila setelah panggilan ini yang dilakukan dengan sah dan patut pemohon tidak datang maka tidak ada kewajiban bagi Majelis untuk memanggil pemohon untuk kedua kalinya guna pengucapan ikrar talak.

commit to user

Pemohon yang tidak bisa hadir, dapat mengirimkan wakilnya untuk mengucapkan ikrar talak di hadapan sidang pengadilan sekalipun tidak dihadiri termohon atau wakilnya. Bila dalam waktu enam bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak, suami atau wakilnya tidak datang meskipun telah mendapat panggilan secara sah dan patut, maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama (Pasal 70 ayat (6) UU Nomor & tahun 1989).

Sejak diucapkannya ikrar talak itulah cerai talak dianggap telah terjadi dan perkawinan antara pemohon dan termohon telah putus dengan segala akibatnya. Jadi cerai talak belum sah bila baru berupa putusan hakim saja, yang mana ikatan perkawinan antara pemohon dan termohon secara hukum masih tetap utuh dan belum putus.

2) Untuk perkara cerai talak dengan pemohon non muslim, dalam amar putusan tidak dicantumkan perintah atau kata-kata untuk mengucapkan ikrar talak, yang ada hanyalah pernyataan bahwa perkawinan di fasakh ataupun pengadilan agama menjatuhkan putusan menceraikan perkawinan antara pemohon dan termohon dengan talak ba’in. Dalam hal pemohon terbukti bukan beragama Islam, maka pemohon tidak berhak mengucapkan ikrar talak. Hakim pun tidak berwenang memaksa pemohon untuk mengucapkan ikrar talak, yang merupakan salah satu ibadah menurut ajaran agama Islam. Jadi untuk perkara cerai talak dengan pemohon non-muslim, perkawinan putus seketika setelah adanya putusan Majelis hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap tanpa adanya pengucapan ikrar talak oleh suami.

commit to user

Masa iddah atau masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan dengan pria lain setelah terjadinya perceraian dengan suaminya dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berpikir bagi suami. Menurut Hartini dalam Jurnal berjudul Cerai Talak Suami Non-Muslim Di Pengadilan Agama, bahwa penghitungan masa iddah janda yang dicerai oleh suami muslim dan non muslim berbeda.

1) Untuk masa iddah bagi janda yang dicerai suami muslim, penghitungannya tidak dimulai ketika putusan berkekuatan hukum tetap, tetapi dihitung sejak suami mengucapkan ikrar talak.

2) Untuk masa iddah bagi janda yang dicerai suami non-muslim, masa iddahnya dihitung sejak putusan Majelis Hakim berkekuatan hukum tetap.

Dalam Pasal 155 Kompilasi Hukum Islam, diatur bahwa waktu iddah bagi janda yang perkawinannya putus karena khuluk, fasakh dan li’an berlaku iddah talak. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa masa iddah bagi janda yang dicerai oleh suami non-muslim dan muslim adalah sama, yaitu berlaku ketentuan masa iddah seperti iddah talak.

Dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksana dari UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam diatur bahwa lama masa tunggu bagi janda adalah sebagai berikut:

1) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari (Pasal 39 huruf b PP Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 153 ayat (2) huruf b KHI).

commit to user

2) Apabila perkawinan putus karena perceraian sedangkan janda tersebut dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan (Pasal 39 huruf c PP Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 153 ayat (2) huruf c KHI).

3) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinannya karena perceraian sedangkan janda tersebut dengan bekas suaminya qabla ad dhukul (belum melakukan hubungan suami istri) (Pasal 39 ayat (2) PP Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 153 ayat (1) KHI).

4) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, masa tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan perceraian oleh Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 39 ayat (3) PP Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 153 ayat (4) KHI.

commit to user

93 BAB IV PENUTUP

A. SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah Penulis kemukakan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Dasar kewenangan Pengadilan Agama dalam memutus permohonan

cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim.

Bahwa berdasarkan ketentuan penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Peradilan Agama, setiap orang atau badan hukum yang dengan sukarela menundukkan diri dengan Hukum Islam, maka ia juga tunduk pada Pengadilan Agama. Terkait dengan perkara perceraian di pengadilan agama, terutama cerai talak oleh suami non-muslim juga berlaku dalil yang sudah dijelaskan diatas. Pengadilan Agama tetap berwenang memutus permohonan cerai talak dengan pemohon non-muslim sepanjang para pihaknya dengan sukarela menundukkan diri pada Hukum Islam. Alasan lain adalah, menurut Yahya harahap, apabila pada perkawinannya menggunakan tatacara Islam, maka perceraiannya pun masih bisa dilaksanakan menurut Hukum Islam yaitu melalui Pengadilan Agama.

2. Akibat hukum permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon

non-muslim (studi putusan nomor 208/Pdt.G/2010/PA.Kra).

Akibat hukum antara cerai talak dengan pemohon muslim berbeda dengan cerai talak dengan pemohon non muslim, terutama dalam hal penentuan saat kapan perkawinan menjadi putus. Untuk perkara cerai

Dokumen terkait