commit to user
TINJAUAN YURIDIS TENTANG
KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MEMUTUS PERMOHONAN CERAI TALAK DENGAN PEMOHON NON-MUSLIM
(Studi Kasus Permohonan Cerai Talak Di Pengadilan Agama Karanganyar Dengan Nomor Putusan 208/Pdt.G/2010/Pa.Kra)
Penulisan Hukum ( Skripsi )
Disusun dan diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
OLEH MUTMAINI NIM : E0006181
FAKULTAS HUKUM
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MEMUTUS PERMOHONAN
CERAI TALAK DENGAN PEMOHON NON-MUSLIM (Studi Kasus Permohonan Cerai Talak Di Pengadilan Agama Karanganyar Dengan Nomor Putusan 208/Pdt.G/2010/Pa.Kra)
OLEH MUTMAINI NIM : E0006181
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Oktober 2010
Pembimbing I
Soehartono, S.H, M.Hum NIP. 195604251985031002
Pembimbing II
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MEMUTUS PERMOHONAN
CERAI TALAK DENGAN PEMOHON NON-MUSLIM (Studi Kasus Permohonan Cerai Talak Di Pengadilan Agama Karanganyar Dengan Nomor Putusan 208/Pdt.G/2010/Pa.Kra)
Oleh Mutmaini NIM : E0006181
Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Selasa
Tanggal : 28 Desember 2010
DEWAN PENGUJI
1. Harjono, S.H., M.H : ………
NIP. 196101041986011001 Ketua
2. Syafrudin Yudowibowo, S.H., M.H : ………. NIP. 197511302005011001
Sekretaris
3. Edy Herdyanto, S.H., M.H : ……….
NIP. 195706291985031002 Anggota
Mengetahui, Dekan
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Mutmaini
NIM : E0006181
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul
TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA
DALAM MEMUTUS PERMOHONAN CERAI TALAK DENGAN PEMOHON
NON-MUSLIM (Studi Kasus Permohonan Cerai Talak Di Pengadilan Agama
Karanganyar Dengan Nomor Putusan 208/Pdt.G/2010/Pa.Kra) adalah betul-betul
karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini
diberi tanda citasi dan ditunjukan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari
terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi
akademik berupa pancabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya
peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, November 2010
Yang menyatakan
(Mutmaini)
commit to user
v ABSTRAK
Mutmaini, 2010, TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MEMUTUS PERMOHONAN CERAI TALAK DENGAN PEMOHON NON-MUSLIM (Studi Kasus Permohonan Cerai Talak Di Pengadilan Agama Karanganyar Dengan Nomor Putusan 208/Pdt.G/2010/Pa.Kra). Fakultas Hukum UNS.
Penelitian ini mengkaji mengenai dasar pertimbangan Pengadilan Agama dalam menerima dan memeriksa permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim, dan mengetahui akibat hukum dalam putusan Nomor: 208/Pdt.G/2010/PA.Kra yang telah dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Karanganyar atas permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim.
Dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan penelitian hukum yang bersifat preskriptif dan terapan, dimana penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penulis dalam penelitian ini ingin menemukan aturan hukum yang menjadi dasar yuridis Pengadilan Agama dalam memutus permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim dan akibat hukum cerai talak dengan pemohon non-muslim. Jenis bahan hukum yang penulis gunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang penulis gunakan adalah berupa putusan hakim nomor : Putusan Nomor 208/ Pdt.G/ 2010/ Pa.Kra tentang permohonan cerai talak oleh pemohon non muslim di Pengadilan Agama Karanganyar, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Adapun bahan hukum sekunder yang penulis gunakan adalah bahan kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah, literatur yang sesuai dengan obyek penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara identifikasi isi bahan hukum primer dan sekunder dari studi kepustakaan. Teknik analisis yang digunakan adalah pola berfikir deduktif dengan premis mayor dan premis minor yang kemudian dicapai suatu kesimpulan. Premis mayor yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, premis minornya adalah Putusan Nomor 208/ Pdt.G/ 2010/ Pa.Kra, kesimpulan yang didapat bahwa permohonan cerai talak dengan pemohon non-muslim tetap merupakan kewenangan Pengadilan Agama dalam memutus.
commit to user
vi
sekalipun salah satu atau kedua pihaknya telah berpindah agama menjadi non-muslim. Kedua, akibat hukum dalam putusan Nomor: 208/Pdt.G/2010/PA.Kra yang telah dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Karanganyar atas permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim. Dalam putusan tersebut memutus dengan fasakh, akibat hukum dari fasakh adalah Fasakh mengakhiri perkawinan seketika itu juga, Suami tidak boleh melakukan rujuk terhadap mantan istrinya apabila antara mantan suami dan isteri tersebut berkeinginan untuk hidup kembali sebagai suami-istri harus melakukan akad nikah baru, tidak mengurangi sisa talak istri, maksudnya jika terjadi fasakh kemudian dilakukan akad yang baru, fasakh tersebut tidak dihitung sebagai talak pertama, sehingga suami masih mempunyai tiga hitungan talak, Dalam hal pemohon terbukti bukan beragama Islam, maka pemohon tidak berhak mengucapkan ikrar talak, Untuk masa iddah bagi janda yang dicerai suami non-muslim, masa iddahnya dihitung sejak putusan Majelis Hakim berkekuatan hukum tetap.
commit to user
vii ABSTRACT
Mutmaini, 2010, A JURIDICAL REVIEW ON THE RELIGION COURT’S AUTHORITY IN DECIDING THE TALAK DIVORCE APPLICATION BY NON-MUSLIM APPLICANT (A Case Study on Talak Divorce Application in Karanganyar Religion Court in Decision Number 208/Pdt.G/2010/Pa.Kra). Law Faculty of UNS.
This research studies the rationale of Religion Court in accepting and examining the talak divorce application filed the non-muslim applicant and find out the legal consequence of decision Number 208/Pdt.G/2010/Pa.Kra published by Karanganyar Religion Court on the talak divorce application by non-Muslim applicant.
In this research, the writer employed the prescriptive and applied law research in which the law research is a process of finding legal rules, principles, and doctrines to answer the legal issue encountered. The writer wants to find the legal rule becoming the juridical foundation for the Religion Court in deciding the talak divorce application by non-Muslim applicant and legal consequence of talak divorce application by non-Muslim applicant. The types of law materials used was primary and secondary law materials. The primary materials used were the decision Number 208/Pdt.G/2010/Pa.Kra about the talak divorce application by non-Muslim applicant in Karanganyar Religion Court, Republic of Indonesia’s 1945 Constitution, Acts Number 48 of 2009 about the Power of Justice, 50 of 2009 about the Second Amendment of Act Number 7 of 1989 about Religion Judicature. The secondary law material used by the writer was literatures, documents, archive, article, paper, literature consistent with the research object. Technique of collecting law material was done by identifying the content of primary and secondary law materials from library research. Technique of analyzing data used was deductive mindset with major and minor premises that then arrived at a conclusion. Major premise used was Act Number 50 of 2009, while the minor one was Decision Number 208/Pdt.G/2010/Pa.Kra, and the conclusion obtained is that the talak divorce application by non-Muslim applicant remains to be the authority of religion court in deciding.
commit to user
viii
marriage contract, does not reduce the rest of wife’s talak, it means that if there is fasakh in the future, the new marriage agreement should be made, fasakh is not counted as the first talak, so that husband still have three talak counts, in the case of applicant is non-Muslim, the applicant has no right to utter the talak pledge, in the term of iddah period for the widow divorced by non-muslim husband, it is calculated from the date when the decision of Judge Chambers has fixed legal power.
commit to user
ix MOTTO
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, dia telah menciptakan manusia dari alaq, Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,
Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (Q.S Al-Alaq:1-5)
“Bila engkau berada pada sore hari, maka jangan menunggu datangnya pagi, dan bila engkau di pagi hari, maka jangan menunggu datangnya sore. Manfaatkan
sehatmu sebelum sakitmu dan waktu hidupmu sebelum matimu “ (HR. Ibnu Umar)
“Harapan haruslah disertai dengan amalan, kalau tidak maka harapan itu hanyalah sebuah lamunan”
(Al-Hikam).
“Kesabaran itu adalah sesuatu yang terpuji kecuali ketika agama dihina, harga diri dikoyak dan hak dirampas”
(unknown).
“Success is a journey, not a destination”. (Ben Sweetland)
“A good name is better than riches” (Unknown)
“The way to get started is to quit talking and begin doing” (Walt Disney)
“Ilmu pengetahuan tanpa agama adalah pincang” (Einstein)
“Segala cobaan dalam hidup untuk mendewasakan kita, tanpa itu kita tidak akan sadar betapa berharganya hidup dan bersyukur atas nikmat yang Allah berikan”
(Penulis)
“Selama nafas masih berhembus dalam raga, selama itu pula mimpi harus terus dikejar”
commit to user
x
PERSEMBAHAN
Karya kecil penulis ini senantiasa dipersembahkan kepada :
v Allah SWT, Rabb yang menguasai
alam semesta, Maha dari segala Maha, yang karena kekuasaannya menerangi setiap hati-hati yang penuh kecintaan pada-Nya, Sungguh tiada Tuhan selain Engkau.
v Muhammad SAW, suri tauladan
terbaik umat manusia.
v Ibu Jumiyatun, insan mulia yang telah
melahirkan, membesarkan serta
mendidikku dengan penuh kasih sayang. Tiada hal yang lebih indah selain cinta, do’a dan dukungan yang kau berikan tiada henti kepadaku. Aku menyayangimu ibu.
v Bapak Prapto Hartono Suwandi, sosok
ayah yang dengan disiplin dan keteguhan hatinya menjadikan penulis sebagai pribadi yang baik, semoga penulis dapat meneladani ketegasanmu.
v Kakak-kakakku tercinta. Sundari, Tri
Ningsih, Widyaningsih, Yusuf Irwanto, Supriyadi dan Anton Ari Wibowo. Do’a dan dukungan dari kalian lah yang membuat penulis tetap berdiri kokoh dalam setiap keterpurukan.
v Yang terkasih, Taat Hendrawan, yang
telah mencurahkan waktu dan
perhatiannya dalam mendampingi penulis.
v Indonesia, tanah tumpah darahku. Besar
inginku mengharumkan namamu.
v Fakultas Hukum Universitas Sebelas
commit to user
xi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Warrohmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT dimana hanya dengan rahmat dan
ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini dengan
baik. Penulisan hukum ini membahas mengenai mengenai dasar pertimbangan
Pengadilan Agama dalam menerima permohonan cerai talak yang diajukan oleh
pemohon non-muslim, dimana putusan atas permohonan tersebut mengacu pada
undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama selain itu penulis juga
memaparkan mengenai akibat hukum dalam putusan Nomor:
208/Pdt.G/2010/PA.Kra yang telah dikeluarkan oleh Pengadilan Agama
Karanganya atas permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon
non-muslim.
Penulisan hukum (skripsi) ini diharapkan dapat memberikan referensi
mengenai bahan terkait, mengingat putusan nomor : 208/Pdt.G/2010/PA.Kra yang
dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Karanganyar tersebut merupakan putusan
atas permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim.
Permohonan seperti ini dianggap tidak biasa karena pemohonnya tidak beragama
Islam, padahal kewenangan Pengadilan Agama adalah pengadilan bagi umat yang
beragama Islam.
Penulisan hukum ini tidak lepas dari bantuan yang telah diberikan baik
oleh pihak lain kepada penulis, oleh karena itu penulis hendak mengucapkan
banyak terimakasih yang sebesar-sesarnya kepada :
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
UNS dan seluruh jajaran dekanat Fakultas Hukum UNS.
2. Bapak Syafrudin Yudo Wibowo S.H., M.H. selaku Pembimbing
commit to user
xii
dan memberi solusi atas permasalahan yang penulis temui dalam penulisan
hukum ini.
3. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara
Fakultas Hukum UNS sekaligus sebagai Penguji yang telah memberikan
kesempatan serta saran yang berharga kepada penulis dalam penulisan
hukum ini.
4. Bapak Soehartono S.H., M.Hum. selaku Dosen pembimbing, yang di
dalam kesibukannya yang luar biasa telah bersedia membimbing penulis
hingga penulisan hukum ini dapat diselesaikan dengan baik.
5. Bapak Harjono, S.H.,M.H. selaku dosen penguji penulisan hukum ini yang
telah banyak membantu dalam perjalanan penyelesaian skripsi ini serta
memberikan banyak saran dan nasehat yang berharga bagi penulis
6. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.H. selaku ketua Pengelola Penulisan
Hukum Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk penelitian dan penulisan hukum ini.
7. Segenap dosen Fakultas Hukum UNS, untuk ilmu yang menjadi bekal bagi
masa depan penulis. Semoga berguna bagi penulis dan menjadi amalan
yang tak terputus.
8. Pengelola Penulisan Hukum (PPH), terutama maz Wawan yang tidak
hanya membantu dalam mengurus prosedur-prosedur skripsi, tetapi juga
atas motivasinya.
9. Segenap staff dan karyawan Fakultas Hukum UNS yang selama ini telah
memberikan pelayanan dengan baik kepada penulis.
10. Sahabat-sahabatku, Ita, Pipin, Tiwi, Agus Waloyo, Andri, Delon, Eriek,
Didit, Farid, Wiwin Suryani, Anin, Arunda, sahabat yang senantiasa
mendukung dan membawa keceriaan dalam hari-hari Penulis.
11. Maz Irawan, Mz Widinta, Mz A’ad, Mz Probo, Mz Bagus, Mz Hatta, dan
teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, yang
commit to user
xiii
12. Keluarga besar, FOSMI, BEM FH UNS DAN DEMA FH UNS yang telah
menjadi sosok keluarga, mendewasakan, memberikan ilmu
keorganisasian, pengetahuan ilmiah, prestasi dan pengalaman yang sangat
luar biasa. Terkhusus Kakak-kakak teladan FOSMI FH UNS, Mbak Nunik
sebagai inspirator bagi Penulis untuk selalu bersemangat dalam hidup,
Mbak Wiwiek dan Mbak Farin, kakak yang selalu membuat tersenyum
dan membawa keceriaan, Mbak Athina, Mbak Putri, dan Mbak Wiwik
sebagai sosok kakak yang memberikan banyak motifasi, pengalaman dan
masukan bagi Penulis.
13. Teman-teman Kusumawati, Mega, Whike, Dhinie, Vina, Beta, Anjar,
Uyie’, Afif, Lilis, Minie, Reninta, Niken, Anik atas kebersamaannya
selama ini. Kenangan yang tak terlupakan, penulis akan selalu merindukan
saat kebersamaan itu.
14. Teman-teman Community Of Klaten (COKLAT) UNS, yang banyak
memberikan pelajaran dan pengalaman berharga kepada penulis.
15. teman SD Daleman 2 Tulung Klaten angkatan 1994,
Teman-teman SMP Negeri 2 Tulung Klaten angkatan 2000, Teman-Teman-teman SMA
Negeri 1 Karanganom Klaten angkatan 2003, Teman-teman F.Hukum
UNS angkatan 2006 yang senantiasa menyayangi dan menjaga
persahabatan yang tak terputus. Salam semangat dan sukses selalu untuk
kita.
16. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat penulis
sebutkan satu per satu semoga Allah SWT membalas semua bantuan yang
telah diberikan.
Semoga Penulisan Hukum ini bermanfaat bagi pihak yang membaca, menjadi
referensi dan dicatat sebagai amal kepada penulis dan seluruh pihak yang telah
membantu sampai selesainya penyusunan Penulisan Hukum ini.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabaraokatuh
Surakarta, 28 Desember 2010
commit to user
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING. ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
HALAMAN PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
HALAMAN MOTTO ... ix
HALAMAN PERSEMBAHAN ... x
KATA PENGANTAR ... xi
DAFTAR ISI ... xiv
DAFTAR BAGAN... xvi
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 5
E. Metode Penelitian ... 6
F. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Peradilan Agama a. Perkembangan Peradilan Agama Di Indonesia ... 15
b. Tugas dan Kewenangan Peradilan agama... ... 21
2. Tinjauan Tentang Hukum Acara Peradilan Agama a. Tahap-tahap Pemeriksaan di Pengadilan Agama …… ... 24
b. Bentuk dan Macam Produk Hukum Pengadilan Agama. .... 28
c. Susunan dan Isi Putusan Pengadilan Agama... 30
commit to user
xv
3. Tinjauan Tentang Perkawinan
a. Pengertian Perkawinan ... 37
b. Tujuan Perkawinan ... 38
c. Rukun dan Syarat Perkawinan ... 39
d. Larangan-larangan Perkawinan ... 41
e. Hak dan Kewajiban Suami Isteri Dalam Perkawinan ... 43
f. Bentuk-bentuk Putusnya Perkawinan Menurut Hukum Islam ... 49
4. Tinjauan Tentang Cerai Talak a. Pengertian Perceraian ... 52
b. Pengertian Cerai Talak ... 52
c. Syarat-syarat Talak ... 53
d. Waktu Menjatuhkan Talak ... 54
e. Hak Talak ... 54
f. Akibat Talak ... 55
g. Alasan-alasan Menjatuhkan Talak ... 56
h. Macam-macam Talak ... 58
B. Kerangka Pemikiran …………...………...…... 60
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 63
B. Pembahasan ... 70
1. Dasar Kewenangan Pengadilan Agama dalam memutus permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim ... 70
2. Akibat hukum putusan atas permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim (studi putusan nomor 208/ Pdt.G/ 2010/ PA.Kra) ... ...80
commit to user
xvi
B. Saran ... 94
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
xvii
DAFTAR BAGAN
commit to user
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuhan menciptakan semua makhluknya dalam keadaan
berpasang-pasangan, ada jantan dan betina, begitupun manusia, ada perempuan dan
laki-laki. Bagi umat Islam, hal ini diatur dalam kitab suci Al-Qur’an surat Ar-Ruum
ayat 21 : “Dan di antara bukti-bukti kebesaran Allah adalah diciptakan-Nya
untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri supaya kamu tentram
disampingnya dan dijadikan-Nya kasih sayang diantara kamu. Sesungguhnya
yang demikian itu menjadi tanda-tanda bagi orang yang berfikir”. Dari ayat
tersebut, jelas bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berpasang-pasangan
sebagai wujud kasih sayang. Untuk dapat hidup berpasangan, tidak seperti pada
hewan, manusia harus melalui ikatan yang dapat dianggap sah menurut tatacara
yang diatur oleh manusia itu sendiri yang disebut perkawinan.
Perkawinan antara dua manusia mempunyai kedudukan yang sangat
penting. Perkawinan bukan hanya sekedar suatu upacara adat, tetapi juga suatu
pencatatan status perkawinan oleh aparatur negara. Menurut Ahmad Azhar
Basyir, dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan
terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang
berkehormatan. Pergaulan hidup rumah tangga dibina dalam suasana damai,
tentram, dan rasa kasih sayang antara suami dan istri. Anak keturunan dari
hasil perkawinan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus
merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan berkehormatan.
Perkawinan bukan hanya sebagai sarana untuk menyalurkan nafsu biologis
semata seperti pada binatang, tetapi mempunyai makna yang lebih luas dan
mendalam, yaitu menciptakan kehidupan keluarga yang aman dan tentram
(sakinah), pergaulan yang saling mencintai (mawadah) dan saling menyantuni
commit to user
Untuk menyeragamkan pengaturan tentang perkawinan, Indonesia telah
memiliki Undang-Undang nasional yang berlaku bagi seluruh warga negara
Republik Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Perkawinan. Dengan
keluarnya Undang-Undang Perkawinan tersebut, ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang, ordonansi, dan Peraturan-peraturan sebelumnya,
sejauh telah diatur dalam Undang-Undang yang baru dinyatakan tidak berlaku.
Meskipun demikian, Hukum Perkawinan Islam bagi kaum muslim memperoleh
jaminan tetap berlaku sebagaimana diatur dengan jelas dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Perkawinan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Hal ini sejalan pula dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang berisi:
”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu”.
Dalam Undang-Undang Perkawinan ini, disebutkan dalam Pasal 1
bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”.
Dalam mewujudkan tujuan perkawinan tersebut sangat tidak mudah,
dibutuhkan perasaan saling mengasihi dan menyayangi, serta menghormati hak
dan kewajiban masing-masing. Dalam suatu ikatan perkawinan, bisa saja dan
sering terjadi perbedaan pendapat yang berujung pertengkaran atau bahkan
perceraian. Perceraian merupakan salah satu penyebab putusnya hubungan
perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan. Perceraian bagi umat Islam
dapat diajukan ke Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara tertentu yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan.
Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah
commit to user
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Eksistensi peradilan agama telah menjadikan Umat Islam Indonesia terlayani
dalam penyelesaian masalah perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan
shadaqah serta ekonomi syariah. Peradilan agama hendak menegakkan
substansi nilai-nilai hukum yang mewarnai kehidupan umat Islam.
Perubahan signifikan di bidang ketatanegaraan dalam sistem peradilan
adalah penyatu-atapan semua lembaga peradilan (one roof system) di bawah
Mahkamah Agung RI. Reformasi sistem peradilan tersebut disahkan terlebih
dahulu dengan dimasukkannya Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dalam amandemen
ketiga UUD 1945, kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan pada ketentuan tersebut, maka Pengadilan Agama
merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tertentu bagi orang-orang
yang beragama Islam sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, yang berbunyi:
“Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yang
diatur dalam Undang-Undang ini ”. Dengan demikian keberadaan Pengadilan
Agama dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang beragama Islam.
Kekhususan wewenang Pengadilan Agama ini selanjutnya menjadi
menarik ketika ditemui pengajuan permohonan maupun gugatan ke
Pengadilan Agama yang mana salah satu atau kedua belah pihak bukan
beragama Islam. Pihak tersebut secara jelas dan meyakinkan mengaku
beragama selain Islam, namun tetap mengajukan permohonan maupun gugatan
commit to user
menjadi pertanyaan mengenai kepastian hukum tentang kewenangan absolut
Pengadilan Agama. Permohonan cerai talak tersebut, bisa diperiksa dan diputus
di Pengadilan Agama atau tidak, karena pihaknya bukan muslim sedangkan
kewenangan Pengadilan Agama adalah pada ranah penyelesaian perkara untuk
para pihak yang beragama Islam.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk mengetahui
dan melakukan penelitian mengenai kewenangan Pengadilan Agama dalam
memeriksa dan memutus permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon
yang bukan beragama Islam ini di dalam bentuk sebuah penulisan hukum
dengan judul:
”TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN PENGADILAN
AGAMA DALAM MEMUTUS PERMOHONAN CERAI TALAK YANG
DIAJUKAN OLEH PEMOHON NON-MUSLIM (STUDI KASUS
PERMOHONAN CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA
KARANGANYAR DENGAN NOMOR 208/PDT.G/2010/PA.KRA.)”
B. Rumusan Masalah
Untuk lebih memperjelas agar permasalahan yang ada nanti dapat
dibahas dengan lebih terarah dan sesuai dengan sasaran yang diharapkan, maka
penting sekali bagi penulis untuk merumuskan permasalahan yang akan
dibahas.
Adapun perumusan masalah dalam penelitian yang dirumuskan penulis
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana dasar kewenangan Pengadilan Agama dalam memutus
permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim?
2. Bagaimana akibat hukum putusan atas permohonan cerai talak yang
diajukan oleh pemohon non-muslim (studi putusan nomor
commit to user C. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian pasti mempunyai tujuan yang jelas agar memberikan
manfaat baik bagi penulis maupun bagi orang lain. Dalam penelitian ini tujuan
yang hendak dicapai adalah:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui dasar kewenangan Pengadilan Agama dalam
memutus permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon
non-muslim.
b. Untuk mengetahui akibat hukum putusan atas permohonan cerai talak
yang diajukan oleh pemohon non-muslim.
2. Tujuan Subyektif
c. Untuk menambah wawasan dan pemahaman penulis mengenai hukum
acara peradilan agama khususnya dasar kewenangan Pengadilan Agama
dalam memutus permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon
muslim dan akibat hukum cerai talak dengan pemohon
non-muslim.
d. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna mencapai gelar sarjana
strata satu dalam bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Di dalam suatu penelitian sangat diharapkan adanya manfaat, dan
kegunaan yang dapat diambil dari penelitian tersebut. Adapun manfaat yang
commit to user 1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada
umumnya dan Hukum Acara Peradilan Agama pada khususnya.
e. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan
literatur dalam dunia kepustakaan tentang dasar kewenangan
Pengadilan Agama dalam memutus permohonan cerai talak yang
diajukan oleh pemohon non-muslim dan akibat hukum cerai talak
dengan pemohon non-muslim.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan
bagi peneliti yang akan datang sesuai dengan bidang penelitian yang
penulis teliti.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk memberi jawaban atas masalah yang diteliti.
b. Sebagai sarana untuk menambah wawasan bagi para pembaca mengenai
hukum acara peradilan agama khususnya mengenai dasar kewenangan
Pengadilan Agama dalam memutus permohonan cerai talak yang
diajukan oleh pemohon non-muslim dan akibat hukum cerai talak
dengan pemohon non-muslim.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan
pengetahuan bagi para pihak yang terkait dan sebagai bahan informasi
dalam kaitannya dengan kewenangan absolut Pengadilan Agama.
E. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisa dan kontruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan
konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu;
commit to user
adanya hal-hal yang bertentangangan dalam suatu kerangka tertentu (Soerjono
Soekanto, 2006: 42). Sedangkan metode penelitian adalah cara dan
langkah-langkah yang efektif dan efisien untuk mencari dan menganalisis data dalam
rangka menjawab masalah. Sedangkan merupakan kegiatan ilmianyang
berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis,
sitematis dan konsisten (Soerjono Soekanto, 2006 : 43 ).
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian
doktrinal. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang
mengkonsepkan hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan (law in books) atau hukum sebagai kaidah atau norma
yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas (Amirudin
dan Zainal Asikin, 2004 : 118). Penelitian hukum normatif menurut Johny
Ibrahim adalah suatu prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran
berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Lebih lanjut
dikatakan oelh Johny Ibrahim bahwa dalam tipe penelitian yuridis normatif,
dimana objek penelitiannya adalah permasalahan hukum (sedangkan hukum
adalah kaidah atau norma yang ada dalam masyarakat), maka penelitian ini
difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma
dalam hukum positif (Johny Ibrahim, 2008:295).
Penelitian hukum jenis ini dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang berkaitan dengan obyek
penelitian. Bahan-bahan hukum itu disusun secara sistematis, dikaji dan
ditarik suatu kesimpulan sesuai dengan masalah yang diteliti.
2. Sifat Penelitian
Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat
commit to user
telaah dapat dibuat opini atau pendapat hukum. Opini atau pendapat hukum
yang dikemukakan oleh ahli hukum merupakan suatu preskripsi. Begitu
juga tuntutan jaksa, petitum atau eksepsi dalam pokok perkara di dalam
litigasi berisi preskripsi. Untuk dapat memberikan preskripsi itulah guna
keperluan praktik hukum dibutuhkan penelitian hukum (Peter Mahmud
Marzuki, 2009:37).
Dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan penelitian hukum
yang bersifat preskriptif dan terapan, dimana penelitian hukum merupakan
suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum,
maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.
Penelitian hukum ini dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau
konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi
(Peter Mahmud Marzuki, 2008 : 35).
Penulis dalam penelitian ini ingin menemukan aturan hukum yang
menjadi dasar yuridis Pengadilan Agama dalam memutus permohonan cerai
talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim dan akibat hukum cerai talak
dengan pemohon non-muslim. Penulis mengkaji putusan Pengadilan Agama
Karanganyar nomor 208/Pdt.G/2010/PA.Kra yang mana permohonannya
diajukan oleh pemohon non-muslim di Pengadilan Agama Karanganyar.
3. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai
aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya.
Pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan dalam penelitian hukum
adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus
(case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan
comparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual
commit to user
dalam penelitian ini Penulis hanya menggunakan pendekatan
perundang-undangan (statute approach). “Suatu penelitian normatif tentu harus
menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti
adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral”
(Johnny Ibrahim, 2005:302). Menurut Peter Mahmud Marzuki dalam
bukunya Metode Penelitian Hukum menjelaskan “bahwa pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah
semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu
hukum yang sedang ditangani” (Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 93).
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan perundang-undangan.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang digunakan yaitu
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan pertama atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989Tentang Peradilan Agama, Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989Tentang Peradilan Agama, Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia.
Penelitian ini tidak menggunakan pendekatan kasus karena merupakan
studi kasus (case study). Studi kasus (case study) merupakan studi
terhadap kasus tertentu dari berbagai aspek hukum (Peter Mahmud
Marzuki, 2008 : 94). Studi kasus memusatkan perhatian pada suatu kasus
secara intensif dan terperinci mengenai latar belakang keadaan yang
dipermasalahkan. Kasus yang diteliti merupakan satu kesatuan secara
mendalam, hasilnya merupakan gambaran lengkap atas kasus itu (Beni
Ahmad Saebani, 2009 : 58). Kasus yang menjadi fokus penelitian ini, yaitu
permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim di
commit to user 4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa untuk memecahkan isu
hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang
seyogyanya, diperlukan adannya sumber-sumber penelitian.
Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi Sumber-sumber-Sumber-sumber
penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan
hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang
bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum
primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim. Sedangkan
bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud
Marzuki,2009:141).
Dalam penelitian hukum ini penulis menggunakan bahan hukum
primer yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan
resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan yang berkaitan
dengan obyek penelitian dan pemeriksaan kasus permohonan cerai talak
oleh pemohon non muslim di Pengadilan Agama Karanganyar nomor 208/
pdt.g/ 2010/ pa.Kra. yaitu:
Dalam penelitian hukum ini Penulis menggunakan bahan hukum primer
yang terdiri dari :
a. Putusan Nomor 208/ pdt.g/ 2010/ pa.Kra. tentang permohonan
cerai talak oleh pemohon non muslim di Pengadilan Agama
Karanganyar;
b. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
commit to user
e. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama;
f. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman;
g. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama;
h. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991
(Kompilasi Hukum Islam).
Adapun bahan hukum sekunder yang penulis gunakan adalah
buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan
komentar-komentar atas kasus yang berkaitan dengan obyek penelitian. Bahan
hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
yang mencakup kamus hukum, bahan-bahan dari internet dan bahan lain
yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dalam suatu penelitian merupakan hal
yang sangat penting dalam penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum
yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik studi
dokumen atau bahan pustaka baik dari media cetak maupun elektronik
yang kemudian dikategorisasi menurut jenisnya. Teknik pengumpulan
commit to user 6. Teknik Analisis
Penelitian ini menggunakan teknik analisis dengan metode deduksi dan
interpretasi. menurut Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapatnya
Philiphus M. Hadjon menjelaskan metode deduksi sebagaimana silogisme
yang diajarkan oleh Aristoteles, penggunaan metode deduksi berpangkal dari
pengajuan premis major (pernyataan bersifat umum) kemudian diajukan
premis minor (bersifat khusus), Dalam logika silogistik untuk penalaran
hukum, yang merupakan premis mayor adalah aturan hukum, sedangkan fakta
hukum merupakan premis minor yang kemudian dari kedua premis tersebut
ditarik kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2008 : 47). Jadi
yang dimaksud dengan pengolahan bahan hukum dengan cara deduktif adalah
menjelaskan sesuatu dari hal-hal yang sifatnya umum, selanjutnya menarik
kesimpulan dari hal itu yang sifatnya lebih khusus.
Pada penelitian ini, yang menjadi premis mayor adalah Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1991 (Kompilasi Hukum Islam). Adapun premis minor, yaitu perkara
Nomor:208/ Pdt.G/ 2010/ Pa.Kra. Akhir dari proses ini diperoleh simpulan
(conclusion) atas permasalahan dalam penelitian hukum ini. Kesimpulan atau
conclusion dari penelitian ini bahwa berdasarkan premis mayor tersebut
apabila diterapkan terhadap premis minornya, maka ternyata permohonan
cerai talak dengan pemohon-non muslim masih menjadi kewenangan
Pengadilan Agama untuk memutus ini didasarkan pada penjelasan
Undang-Undang nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, terutama dalam
penjelasan Pasal 49. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa
“Orang Islam” adalah orang atau badan hukum yang dengan sukarela
commit to user
Interpretasi merupakan salah satu metode penemuan hukum yang
memberi penjelasan mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah
dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Metode interpretasi
adalah sarana untuk mengetahui makna undang-undang. Menjelaskan
ketentuan undang-undang adalah untuk merealisir fungsi agar hukum positif
itu berlaku (Sudikno Mertokusumo, 1999 : 154).
Metode interpretasi yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
interpretasi Otentik, yaitu interpretasi untuk mengetahui makna
undang-undang yang didapat dari penjelasan otentik dari suatu Undang-Undang
(Sudikno Mertokusumo, 1999 : 156). Dalam hal ini penulis menggunakan
metode interpretasi ini untuk menjelaskan yang dimaksud orang Islam dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang
kemudian didapati maknanya dalam penjelasan undang-undang tersebut.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, yaitu pendahuluan, tinjauan
pustaka, pembahasan dan penutup, serta daftar pustaka dan lampiran. Adapun
susunannya adalah sebagai berikut ;
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis menguraikan pendahuluan yang terdiri dari
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan
hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini diuraikan tentang materi-materi dan landasan teori
berdasarkan sumber-sumber data yang digunakan oleh penulis
berkaitan dengan masalah yang diteliti. Tinjauan pustaka terbagi
commit to user
Kerangka teori meliputi tinjauan tentang peradilan agama,
tinjauan tentang hukum acara peradilan agama, tinjauan tentang
perkawinan dan tinjauan tentang cerai talak. . Kerangka
pemikiran merupakan gambaran logika hukum berbentuk bagan
dan disertai deskripsi singkat guna mempermudah alur
pemikiran dalam menjawab permasalahan yang diteliti.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai pembahasan dan
hasil yang diperoleh dari proses meneliti. Berdasarkan rumusan
masalah yang diteliti, terdapat dua pokok permasalahan yang
dibahas dalam bab ini yaitu dasar kewenangan Pengadilan
Agama dalam memutus permohonan cerai talak yang diajukan
oleh pemohon non-muslim danAkibat hukum permohonan cerai
talak nomor 208/Pdt.G/2010/PA.Kra. yang diajukan oleh
pemohon non muslim di Pengadilan Agama Karanganyar
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini diterangkan dari keseluruhan uraian yang telah
dipaparkan ke dalam bentuk simpulan dan saran-saran yang
dapat penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan
commit to user
15
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Peradilan Agama
a. Perkembangan Peradilan Agama di Indonesia
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
tentang Peradilan Agama dijelaskan bahwa Peradilan Agama
adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Sedangkan
Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa Peradilan Agama adalah
peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam (Bambang
Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, 2005: 34). Berdasarkan kedua
definisi tersebut jelas bahwa Peradilan Agama adalah lembaga
yang bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman guna
menegakan hukum dan keadilan yang didasarkan pada ketentuan
Islam dan diperuntukan bagi orang-orang yang beragama Islam.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Peradilan Agama
mendapat pengakuan secara resmi. Pada tahun 1882 pemerintah
kolonial mengeluarkan Staatsblad Nomor 152 yang merupakan
pengakuan resmi terhadap eksistensi Peradilan Agama dan hukum
Islam di Indonesia. Karena Staatsblad ini tidak berjalan efektif dan
karena pengaruh teori reseptie, maka pada tahun 1937 keluarlah
staatsblad 1937 Nomor 116. Staatsblad ini mencabut wewenang
yang dipunyai oleh Peradilan Agama dalam persoalan waris dan
masalah-masalah lain yang berhubungan dngan harta benda,
terutama tanah. Sejak itulah kompetensi Peradilan Agama hanya
pada masalah perkawinan dan perceraian. Sebagaimana yang telah
commit to user
dapat melaksanakan keputusannya sendiri, melainkan harus
dimintakan pengukuhan dari Peradilan Negeri.
Pada awal tahun 1946, tepatnya tanggal 3 Januari 1946,
dibentuklah Kementerian Agama. Departemen Agama
dimungkinkan konsolidasi atas seluruh administrasi
lembaga-lembaga Islam dalam sebuah badan yang bersifat nasional.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1946 menunjukkan
dengan jelas maksud-maksud untuk mempersatukan administrasi
Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh Indonesia di bawah pengawasan
Departemen Agama sendiri. Dalam rentang waktu 12 tahun sejak
proklamasi kemerdekaan RI ada tujuh hal yang dapat di ungkapkan
yang terkait langsung dengan peradilan agama di Indonesia:
1) Berkaitan dengan penyerahan kementrian agama melalui
penetapan pemerintah Nomor 5 – sampai dengan tanggal 25
maret 1946;
2) Lahirnya UU No. 22/1946;
3) Lahirnya UU No. 19/1948;
4) Masa Indonesia RIS (Republik Indonesia Serikat) tanggal 27
Desember 1946 – 17 Agustus 1950;
5) Lahirnya UU darurat Nomor 1/1951;
6) Lahirnya UU Nomor 32/1954.
Peradilan Agama dalam rentang waktu lebih kurang 17 tahun,
yakni tahun 1957-1974 mengalami perkembangan dengan
dikeluarkannya PP dan UU yakni PP No. 29/1957 PP Nomor
45/1957, UU Nomor 19/1970 dan penambahan kantor dan cabang
kantor peradilan agama . Kemudian pada tanggal 31 Oktober 1964
disahkan UU Nomor. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Menurut Undang-Undang ini,
commit to user
melaksanakan hukum yang mempunyai fungsi pengayoman yang
dilaksanakan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.Namun
tidak lama kemudian, Undang-Undang ini diganti dengan UU
Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok-Pokok
Kehakiman karena sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan
keadaan. Dalam Undang -Undang baru ini ditegaskan bahwa
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka.
Ditegaskan demikian karena sejak tahun 1945-1966 keempat
lingkungan peradilan diatas bukanlah kekuasaan yang merdeka
secara utuh, melainkan disana sini masih mendapatkan intervensi
dari kekuasaan lain. Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970
merupakan Undang-Undang organik, sehingga perlu adanya
Undang-Undang lain sebagai peraturan pelaksanaannya, yaitu
Undang-Undang yang berkait dengan Peradilan Umum, Peradilan
Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, termasuk juga Peradilan
Agama.
Dalam masa kurang lebih 15 tahun yakni menjelang
disahkannya UU Nomor 1/1974 tentang perkawinan sampai
menjelang lahirnya UU Nomor.7/1989 tentang peradilan agama.
Ada dua hal yang menonnjol dalam perjalanan peradilan agama di
Indonesia;
1) Tentang proses lahirnya UU Nomor 1/1974 tentang perkawinan
dengan peraturan pelaksanaannya PP Nomor 9/1974
2) Tentang lahirnya PP Nomor 28/1977 tentang perwakafan tanah
milik, sekarang telah diperbaharui UU Nomor 41/2004 tentang
wakaf.
Pada saat sebelum diberlakukan Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 Tentang perubahan Kedua atas Undang-Undang
commit to user
di Indonesia menggunakan beraneka nama dan dikategorikan
sebagai peradilan kuasi, karena berdasar ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, maka semua putusan Pengadilan Agama harus
dikukuhkan oleh Peradilan Umum. Ketentuan ini membuat
Pengadilan Agama secara de facto lebih rendah kedudukannya dari
pada Peradilan Umum. Padahal secara yuridis formal dalam Pasal
10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dinyatakan, bahwa ada
empat lingkup Peradilan di Indonesia, yaitu :
1. Peradilan umum;
2. Peradilan Agama;
2) Peradilan Militer;
3) Peradilan Tata Usaha Negara.
Ketentuan di atas menegaskan bahwa terdapat empat
lingkungan peradilan di Indonesia yang memiliki kedudukan setara.
Kesetaraan empat lingkup peradilan tersebut merupakan koreksi
terhadap ketentuan yang terdapat dalam Staatblad 1882 No 152 dan
Staatblad 1937 No 116 dan No 610 tentang Peraturan Pengadilan
Agama di Jawa dan Madura, Staatblad 1937 No 638 dan No 639
tentang Peraturan Kerapatan Qadi dan Qadi besar untuk sebagian
Residensi Kalimantan Selatan dan Timur serta Peraturan
Pemerintah No 45 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan
Agama / Mahkamah Syariah di luar Jawa dan Madura (Lembaran
Negara tahun 1957 No 99) yang telah menempatkan Peradilaan
Agama berada di bawah Peradilan Umum.
Koreksi yang dilakukan Pasal 10 Undang-Undang No 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman tersebut bukan hanya tidak ditindaklanjuti dengan
commit to user
Agama mampu melaksanakan putusannya secara mandiri, namun
sebaliknya, empat tahun kemudian, Pasal 63 ayat (2)
Undang-Undang No 2 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah
mengembalikan Peradilan Agama secara utuh kepada peradilan
kuasi dengan cara mengharuskan setiap putusan Peradilan Agama
dikukuhkan oleh Peradilan Umum.
Pada tanggal 29 Desember 1989 disahkan Undang-Undang
Nomor. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sehingga
kewenangan absolut Peradilan Agama yang didasarkan pada :
1) Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura
(Staatblad 1882 No 152 dan Staatblad 1937 No 116 dan No
610);
2) Peraturan tentang kerapatan Qadi dan Qadi Besar untuk
sebagai Residensi Kalimantan Selatan dan Timur (Staatblad
1937 No 638 dan No 639);
3) Peraturan Pemerintah No 45 tahun 1957 tentang
Pembentukan Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah di luar
jawa dan Madura (Lembar Negara tahun 1957 No 99).
Ketentuan-ketentuan di atas dinyatakan tidak berlaku lagi,
sehingga sejak itu pula lembaga pengukuhan yang terdapat dalam
Staatblad 1882 No 152 jo. Staatblad 1937 No 116 dan No 610,
Staatblad 1937 No 638 dan No 639, Peraturan Pemerintah No 45
tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama / Mahkamah
Syariah di luar Jawa dan Madura (Lembar Negara tahun 1957 No
99) dan Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dinyatakan oleh Pasal 107 ayat (4)
Undang-Undang No 50 Tahun 2009 Tentang perubahan Kedua atas
Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Tentang peradilan Agama tidak
commit to user
Pernyataan tidak berlaku terhadap semua peraturan hukum
tersebut menempatkan Peradilan Agama sebagai peradilan yang
sesungguhnya (court of law), sehingga sejak itu Peradilan Agama
mempunyai susunan peradilan sebagaimana yang terdapat dalam
Pasal 9 Undang-Undang No 50 Tahun 2009 Tentang perubahan
Kedua atas Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Tentang peradilan
Agama dan kewenangan absolute yang terunifikasi sebagaimana
diatur dalam Pasal 49 serta hukum acara yang jelas menurut Pasal
54 Undang-Undang No 50 Tahun 2009 Tentang perubahan Kedua
atas Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Tentang peradilan Agama .
Sebenarnya kemunculan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama dianggap terlambat karena
masyarakat semakin membutuhkan wadah untuk memperkarakan
hak yang dilanggar oleh orang lain, namun tidak menimbulkan
suatu gejolak yang berarti. Hal ini sesuai dengan yang pemikiran
Soehartono yang mengatakan bahwa keterlambatan pengesahan
dan pengundangannya (Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989)
bukan berarti mengurangi makna kehadirannya (Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989), tetapi sebagai akibat kandungan
“sensitivitas” yang melekat pada batang tubuhnya
(Soehartono,2004:757).
Seiring dengan berkembangnya masyarakat, maka ditemukan
dua hal yang cukup mengganjal dalam Undang-Undang No 50
Tahun 2009 Tentang perubahan Kedua atas Undang-Undang No 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama , yaitu mengenai pilihan
hukum dan penyelesaian sengketa hak milik serta sengketa
kewenangan mengadili. Berkenaan dengan hal ini maka pada
tanggal 28 Februari 2006 dikeluarkan Undang-Undang Nomor. 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor. 7
commit to user
tersebut tersurat bahwa Amandemen ini membawa perubahan besar
dalam Peradilan Agama khususnya mengenai kewenangan
Peradilan Agama dalam menangani masalah ekonomi syariah.
Terakhir, Undang-Undang tersebut disempurnakan lagi dengan
dikeluarkannya Undang-Undang No 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang No 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
b. Tugas dan Kewenangan Pengadilan Agama
Pasal 1 Undang-Undang No 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan kehakiman Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasar Pancasila
demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut Pengadilan Agama adalah sebagai salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman disamping tiga peradilan lainnya
yaitu peradilan umum, peradilan militer dan peradilan tata Usaha
Negara.
Suatu kekuasaan kehakiman, memiliki dua kewenangan atau
kompetensi, yaitu kewenangan relatif dan kewenangan absolut.
1) Kewenangan Absolut Pengadilan Agama
Kewenangan absolut yaitu kekuasaan pengadilan yang
berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau
tingkatan pengadilan dalam perbedaannya dengan jenis perkara
atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya (Basiq
Djalil, 2006:139). Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 49 Undang-Undang No 7
Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang No 50
commit to user
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.
Kewenangan diatas inilah yang disebut kewenangan absolut
Pengadilan Agama di Indonesia.
2) Kewenangan Relatif Pengadilan Agama
Kewenangan relatif diartikan sebagai kekuasaan peradilan
yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan
kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan (Basiq
Djalil, 2006:138). Kewenangan relatif Pengadilan Agama
dimaksudkan sebagai pemberian kekuasaan dan wewenang yang
berhubungan dengan wilayah hukum kerja antar pengadilan dalam
lingkungan badan peradilan yang sama, antar Pengadilan Agama
dengan Pengadilan Agama, antar Pengadilan Negeri dengan
Pengadilan Negeri, antar pengadilan Tata Usaha Negara dengan
pengadilan Tata Usaha Negara dan seterusnya (Taufiq Hamami,
2003: 117).
Dalam operasionalnya kekuasaan kehakiman di lingkungan
Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama. Pengadilan Agama merupakan
pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama
commit to user
Mahkamah Agung sebagai pengadilan Negara tertinggi dan secara
administratif Pengadilan Agama berada di bawah Departemen
Agama.
Dalam bidang perkawinan terutama untuk perkara perceraian,
apabila pihak yang berinisiatif mengajukan perceraian dari pihak
suami atau talak, yang berwenang untuk mengadili adalah
Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman istri kecuali dalam hal pihak istri dengan sengaja
meninggalkan tempat tinggal bersama tanpa izin suami. Ketentuan
ini terdapat dalam Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Pasal 66.
Dalam hal istri bertempat tinggal di luar negeri, maka yang
berwenang atas perkara tersebut adalah pengadilan agam yang
wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman suami. Dan jika
keduanya bertempat tinggal di luar negeri maka yang berwenang
adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat
pelaksanaan pernikahan mereka atau Pengadilan Agama Jakarta
Pusat. Untuk perceraian yang inisiatif perceraiannya dari istri,
Pengadilan Agama yang berwenang adalah Pengadilan Agama
yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman istri kecuali
apabila pihak istri dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman
bersama tanpa izin suami. Dalam hal istri tinggal di luar negeri
maka yang berwenang adalah Pengadilan Agama yang wilayah
hukumnya meliputi tempat kediaman suami. Apabila keduanya
bertempat tinggal di luar negeri, maka yang berwenang adalah
Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat
pelaksanaan pernikahan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Ini
tertuang dalam Pasal 73 Undang-Undang No 7 Tahun 1989.
commit to user
2. Tinjauan Tentang Hukum Acara Pengadilan Agama
Dalam Pasal 54 UU Nomor. 7 Tahun 1989 dinyatakan,”Hukum Acara
yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah
Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
Undang-Undang ini”. Berdasarkan bunyi Pasal 54 tersebut di atas, berlaku asas “Lex
Specialis derogat Lex Generalis” yang berarti disamping acara yang berlaku
pada pengadilan di lingkungan Pengadilan Agama berlaku Hukum Acara
yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, namun
secara khusus berlaku Hukum Acara yang hanya dimiliki oleh pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama.
a. Tahap-tahap Pemeriksaan di Pengadilan Agama
Pemeriksaan perkara di peradilan agama dimulai sesudah
diajukannya permohonan atau gugatan dan pihak-pihak yang berperkara
telah dipanggil menurut ketentuan yang berlaku (Pasal 55 UUPA).
Pemeriksaan untuk sengketa perkawinan terutama perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Tahapan-tahapan cerai talak yang harus dilakukan pemohon atau suami atau
kuasanya :
1) Tahap tahap membuat surat Permohonan
a) Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada
Pengadilan Agama (Pasal 118 HIR, 142 RBG Jo. Pasal 66
Undang-Undang Nomor.7 tahun 1989)
b) Pemohon di anjurkan untuk meminta petunjuk kepada
Pengadilan Agama atau tentang tata cara membuat surat
permohonan (Pasal 119 HIR, 143 RGB Jo. Pasal 48
commit to user
c) Surat permohonan dapat dirubah sepanjang tidak merubah posita
dan petitum. Jika termohon telah menjawab surat permohonan
ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas
persetujuan Termohon.
2) Permohonan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama/ :
a) Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon
(Pasal 66 ayat 2 Undang-Undang Nomor.7 tahun 1989)
b) Bila Termohon meninggalkan tempat kediaman yang telah
disepakati bersama tanpa izin pemohon, maka permohonan
harus diajukan kepada Pengadilan Agama/Syar’iyah yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon (Pasal 66
ayat 2 Undang-Undang Nomor. 7 tahun 1989)
c) Bila Termohon berkediaman diluar negeri, maka Permohonan
diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon (Pasal 66
ayat 3 UU Nomor.7 tahun 1989)
d) Bila Pemohon dan Termohon bertempat kediaman di luar
negeri, maka permohonan di ajukan kepada Pengadilan Agama/
yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya
perkawinan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusar (Pasal
66 ayat 34UU Nomor.7 tahun 1989)
3) Permohonan tersebut memuat :
a) Nama, umur, pekerjaan, agama, dan tempat kediaman Pemohon
dan Termohon ;
b) Posita (Fakta kejadian dan Fakta hukum
c) Petitum (hal-hal yang di tuntut berdasarkan posita).
4) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan
commit to user
cerai talak atau sesudah ikrar talak di ucapkan (Pasal 66 ayat 5 UU
Nomor.7 tahun 1989)
5) Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat 4 HIR, 145 ayat 4 RBG Jo.
Pasal 89 UU Nomor.7 tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat
berperkara secara cuma-cuma (Prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 RBG )
6) Proses Penyelesaian Perkara :
a) Pemohon mendaftarkan permohonan cerai talak ke Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah
b) Pemohon dan Termohon di panggil oleh Pengadilan Agama/
Mahkamah Syar’iyah untuk menghadiri persidangan.
c) Tahapan persidangan :
i. Pada pemeriksaan sidang pertama, Hakim berusaha
mendamaikan kedua belah pihak, dan suami isteri harus
datang secara pribadi (Pasal 82 UU Nomor.7 tahun 1989);
ii. Apabila tidak berhasil, maka Hakim mewajibkan kepada
kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi
(Pasal 3 ayat 1 PERMA Nomor.2 tahun 2003);
iii. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara
di lanjutkan dengan membacakan surat permohonan,
jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan.
Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian)
Termohon dapat mengajukan gugatan rekonpensi/gugatan
balik (Pasal 132a HIR, 158 RBG)
d) Putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah atas
permohonan cerai talak sebagai berikut :
i. Permohonan di kabulkan. Apabila Termohon tidak puas
dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/
commit to user
ii. Permohonan di tolak. Pemohon dapat mengajukan banding
melalui Pengadilan Tinggi Agama. Memori Banding yang
dibuat Pembanding/kuasanya, selanjutnya Kontra Memori
Banding yang dibuat Terbanding/kuasanya sebagai jawaban
atas memori banding. Jika atas putusan banding, tidak ada
upaya hukum lagi yang diajukan oleh para pihak, maka dapat
dilakukan eksekusi. Jika atas putusan banding dilakukan
upaya Kasasi maka harus dibuat Memori Kasasi yang dibuat
Pemohon Kasasi/kuasanya dan atas memori kasasi tersebut
dijawab dengan Kontra Memori Kasasi yang dibuat
Termohon Kasasi/kuasanya.
iii. Permohonan tidak diterima. Pemohon dapat mengajukan
permohonan baru.
e) Apabila permohonan dapat di kabulkan dan putusan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, maka :
i. Pengadilan Agama/ menentukan hari sidang penyaksian ikrar
talak.
ii. Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah memanggil
pemohon dan Termohon untuk melaksanakan ikrar talak;
iii. Jika dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak di tetap
sidang penyaksian ikrar talak, suami atau kuasanya tidak
melaksanakan ikar talak di depan sidang, maka gugurlah
kekuatan hukum penetapan hukum tersebut dan perceraian
tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan hukum yang
sama (Pasal 70 ayat 6 UU Nomor. 7 tahun 1989)
f) setelah ikrar talak di ucapkan panitera berkewajiban memberikan
akta cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak
selambat-lambatnya 7 hari setelah penetapan ikrar talak (Pasal 84 ayat 4