• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA MANTAN ISTERI UNTUK MEMPEROLEH HAK PASCA CERAI TALAK (STUDI KASUS PENGADILAN AGAMA SALATIGA TAHUN 2015-2016) - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "UPAYA MANTAN ISTERI UNTUK MEMPEROLEH HAK PASCA CERAI TALAK (STUDI KASUS PENGADILAN AGAMA SALATIGA TAHUN 2015-2016) - Test Repository"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA MANTAN ISTERI UNTUK MEMPEROLEH HAK

PASCA CERAI TALAK (STUDI KASUS PENGADILAN

AGAMA SALATIGA TAHUN 2015-2016)

SKRIPSI

Disusun Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Disusun oleh :

KHOIRUL AMRI

211-12-011

JURUSAN SYARI’AH

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

(2)
(3)

UPAYA MANTAN ISTERI UNTUK MEMPEROLEH HAK

PASCA CERAI TALAK (STUDI KASUS PENGADILAN

AGAMA SALATIGA TAHUN 2015-2016)

SKRIPSI

Disusun Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Disusun oleh :

KHOIRUL AMRI

211-12-011

JURUSAN SYARI’AH

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

(4)
(5)
(6)
(7)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

Jangan pernah berfikir menjadi orang yang sukses berfikirlah menjadi orang yang

berguna.

PERSEMBAHAN

Untuk kedua orangtua tercinta, Almamater tercinta Institut Agama Islam Negeri

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Wasyukurillah, senantiasa peneliti panjatkan puji syukur

kepada Allah SWT, yang telah menunjukkan kekuasaan- Nya sehingga

penulisan skripsi ini terselesaikan tepat pada waktunya. Skripsi dengan judul

“UPAYA MANTAN ISTERI UNTUK MEMPEROLEH HAK PASCA

CERAI TALAK (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2015-2016)” disusun dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk

menyelesaikan Program Sarjana (S1) Hukum Keluarga Islam pada Fakultas

Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, peneliti meyakini tidak akan dapat

diselesaikan dengan baik tanpa bantuan serta dorongan dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, peneliti ingin menghaturkan terima kasih sebagai

penghargaan atau partisipasinya dalam penyusunan skripsi ini kepada:

1. Bapak Dr. Rahmad Hariyadi, M.Pd selaku Rektor Institut Agama Islam

Negeri (IAIN) Salatiga.

2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag selaku dekan Fakultas Syariah.

3. Bapak Sukron Ma’mun, S.HI., M.Si selaku ketua jurusan Hukum

Keluarga Islam.

4. Bapak M. Yusuf Khummaini, S.HI., M.H selaku dosen pembimbing

yang selalu senantiasa meluangkan waktu untuk membimbing dan

mengarahkan peneliti dengan penuh kesabaran sehingga peneliti dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

(9)

6. Ketua Pengadilan Agama Salatiga beserta staf-stafnya, yang telah

memberikan izin penelitian.

7. Para Narasumber yang secara sukarela berkenan untuk diteliti.

8. Kedua orangtua tercinta yang telah memberikan dukungan baik moral

maupun material

9. Teman-teman seperjuangan tercinta.

10. Seluruh pihak yang membantu baik langsung maupun tidak langsung.

Semoga amal baik dan bantuannya tersebut mendapat balasan dari Allah

SWT sebagai amal saleh. Peneliti menyadari bahwa penulisan skripsi ini jauh

dari sempurna, untuk itu segala kritik dan saran dari semua pihak selalu

peneliti harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi peneliti maupun para

pembaca pada umumnya.

Salatiga, 19 Desember 2017

Penulis,

(10)

ABSTRAK

Amri, Khoirul. 2018. Upaya Mantan Isteri Untuk Memperoleh Hak pasca cerai talak (Studi Kasus Pengadilan Agama Salatiga tahun 2015-2016). Skripsi. Fakultas Syariah. Jurusan Hukum Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: M. Yusuf Khumaini, S.HI,. M.H

Kata kunci: Upaya, Mantan isteri, Ceari Talak

Dalam permohonan talak, hakim diberikan kewenangan oleh undang-undang membebani suami untuk memberikan beban nafkah berupa nafkah iddah, hadhanah, madhiyah maupun mut’ah terhadap istri. Tanggung jawab nafkah ini dimaksudkan agar mantan isteri dapat memenuhi kebutuhan dan anak tetap tumbuh berkembang dengan baik. Namun demikian tidak semua mantan suami memenuhi kewajiban tersebut sehingga memberikan dampak yang menyulitkan bagi mantan isteri.

Adapun fokus dari penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui pemenuhan hak mantan isteri pasca permohonan talak (2) Untuk mengetahui faktor yang mendasari dan menghambat pemenuhan hak untuk isteri terhadap mantan suami pasca permohonan talak (3) Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh mantan isteri untuk memperoleh hak pasca permohonan talak.

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yang dilakukan di Pengadilan Agama Salatiga. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena sifatnya deskriptif-analitis yang mana data yang yang diperoleh seperti hasil pengamatan, hasil wawancara, hasil pemotretan, analisis dokumen, catatan lapangan, tidak dituangkan dalam bentuk dan angka-angka. Teknik pengumpulan data yang dilakukan yaitu metode wawancara dengan narasumber, observasi dan metode dokumentasi.

Hasil penelitian diperoleh bahwa upaya yang di lakukan istri untuk

mendapatkan haknya pasca permohonan talak adalah dengan meminta dengan

(11)

DAFTAR ISI

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian... 8

2. Lokasi Penelitian ... 8

3. Sumber Data ... 9

4. Prosedur Pengumpulan Data ... 9

5. Pengecekan Keabsahan Data... 10

6. Tahap-Tahap Penelitian ... 11

G. Sisematika Penulisan ... 11

BAB II PERCERAIAN MENURUT HUKUM A. Pengertian Perceraian ... 13

1. Cerai Talak Menurut Undang-Undang dan Kompilasi Hukum Islam 13 2. Cerai Talak Menurut Hukum Islam ... 16

(12)

4. Bentuk Cerai dalam Hukum Positif ... 21

B. Akibat Hukum Mantan Isteri Karena Cerai Talak ... 25

C. Akibat Hukum Mantan Isteri Karena Gugat Cerai ... 28

D. Hak Bagi Anak Pasca Cerai talak ... 30

1. Pengertian Anak ... 30

2. Hak Nafkah Anak Pasca Cerai talak ... 33

BAB III PEMENUHAN HAK MANTAN ISTERI SERTA FAKTOR PENDORONG DAN PENGHAMBAT PEMENUHAN HAK A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Salatiga ... 36

1. Profil Pengadilan Agama Salatiga ... 36

2. Kewenangan Pengadilan Agama... 37

3. Struktur Organisasi... 41

4. Administrasi Berperkara di Pengadilan Agama Salatiga ... 42

5. Perkara yang Diputus pada Pengadilan Agama Salatiga ... 47

B. Temuan Penelitian ... 48

1. Profil Pelaku Cerai Talak ... 48

2. Pemenuhan Hak Pasca Cerai Talak... 57

3. Faktor Pendorong dan Penghambat Pemenuhan Hak Isteri ... 65

BAB IV UPAYA MANTAN ISTERI AKIBAT CERAI TALAK A. Analisis Upaya Mantan Isteri Akibat Cerai Talak ... 75

(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974, perkawinan adalah

ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai

suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.Tujuan dari

perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang tenteram kekal dan

bahagia memperoleh keturunan yang sah. Selain itu perkawinan dalam

Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan

biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah (Rofiq, 1998: 69). Jadi

perkawinan bukan hanya hubungan antara suami isteri tetapi juga

hubungan dengan Allah.

Tujuan sakral dari suatu perkawinan adalah untuk mencapai

kebahagiaan, penuh kasih sayang dan ketenteraman, namun belum tentu

tujuan tersebut dapat dirasakan oleh kedua belah pihak karena

kebahagiaan tidak dapat dipaksakan. Terkadang di dalam kehidupan

rumah tangga terjadi percekcokan dan perselisihan, meskipun sebenarnya

keduanya menginginkan adanya kesesuaian pandangan hidup. Hal ini

mungkin saja terjadi sebab perbedaan pendapat, sifat maupun pandangan

hidup. Jika masalah yang timbul dirasa sudah tidak ada solusi untuk

(14)

Dalam Islam sendiri, memberikan toleransi terhadap kemungkinan

terjadinya talak, jika talak merupakan jalan terbaik yang harus ditempuh.

Hadit Nabi Muhammad SAW menyatakan sebagai berikut:

Artinya:“Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak (perceraian)”. HR Abu Daud dan Ibnu Majahdari Ibnu Umar

Hukum positif mengatur mengenai cerai talak atau dalam istilah undang-undang disebut dengan putusnya perkawinan dalam

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Tata cara cerai talak diatur dalam pasal 38-41 dan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam

pasal 113-162. Maka, Sejak dikeluarkannya peraturan ini maka tata cara

cerai talak harus dilakukan di depan Pengadilan Agama.

Talak hanya dapat dilakukan dengan adanya cukup alasan yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan pemerintah, yang dalam

peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan pada pasal 19 cerai talak dapat terjadi karena alasan :

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk,

pemadat,penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak meningglkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain tanpa alasan yang sah atau hal lain di luar kemampuannya.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat

(15)

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.

6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Seperti halnya perkawinan, cerai talak atau dalam istilah hukum

putusnya perkawinan juga memiliki akibat hukum tertentu. Intruksi

Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam akibat

putusnya perkawinan lebih diperinci yakni akibat cerai talak, cerai gugat,

khuluk dan lian. Dengan begitu tidak terjadi deskriminasi baik laki-laki maupun perempuan dalam menentukan masa depan perkawinan.

Kewajiban yang harus dilakukan mantan suami terhadap mantan

isteri yang bercerai karena talak diantaranya diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 149, antara lain:

1. Pemberian mut’ah

2. Pemberian nafkah, maskan dan kiswah selama masa iddah

3. Melunasi mahar yang terhutang

4. Memberikan biaya hadhanah bagi anak yang belum berumur 21 tahun

Pemberian nafkah dari mantan suami kepada mantan isteri ini

dimaksudkan agar mantan isteri dapat memenuhi semua kebutuhan

selama masa iddah tanpa melanggar aturan iddah. Mengenai besar

kecilnya nafkah (mut’ah) yang diberikan harus melalui kesepakatan

kedua pihak dan berdasarkan kemampuan suami, jika terjadi perselisihan

dalam menentukan jumlahnya maka Pengadilan Agama yang harus

(16)

Akibat hukum yang ditimbulkan karena cerai talak berbeda dengan cerai gugat. Apabila perkawinan putus karena cerai gugat atau kehendak

isteri, maka sesuai dengan Pasal 156 Inpres RI No.1 Tahun 1991 tentang

Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa anak yang belum

mumayyiz (berusia 12 tahun) berhak mendapatkan dari ibunya kecuali ibunya telah meninggal dunia. Apabila ibunya telah meninggal dunia

maka hak perwalian dapat digantikan dengan kerabat ibu atau juga dapat

berpindah ke ayah.

Anak merupakan anugerah dari Allah yang harus dididik dan

dibina sebagaimana mestinya. Orang tua wajib memenuhi kebutuhan

nafkah anak, biasanya dalam hal ini merupakan kewajiban orang tua

laki-laki sebagai mana kewajiban suami dalam keluarga. Ikatan yang terjadi

antara orang tua dan anak tidak akan terputus meskipun rumah tangga

sudah hancur. Undang-undang melindungi hak-hak perempuan dan juga

anak agar jika terjadi talak anak tetap tumbuh seperti anak-anak lain. Perceraian yang terjadi karena talak maupun cerai gugat dapat

menimbulkan dampak yang tidak menyenangkan bagi perempuan.

Faktanya di Indonesia terjadi permasalahan pasca cerai talak, akibatnya perempuan yang menjadi korban. Karena orang tua perempuan lebih

berhak terhadap hadhanah, sehingga jika orangtua laki-laki tidak bertanggung jawab justru memberikan beban finansial bagi perempuan

(17)

beban yang berarti, namun bagi keluarga perempuan yang tidak mampu

akan memberatkan. Permasalahan ini sangat sering terjadi di masyarakat.

Pemikiran mantan suami yang menganggap bahwa setelah

putusnya perkawinan maka lepas pula tanggung jawab nafkah membuat

mereka enggan bertanggung jawab. Dalam mengahadapi situasi yang

demikian, seharusnya perempuan dapat menuntut melalui jalur hukum.

Namun karena mayoritas masyarakat yang kurang mengetahui hukum

mereka tidak tahu apa yang seharusnya mereka lakukan. Bahkan tidak

dapat melakukan apapun meskipun hak-hak mereka tidak terpenuhi.

Dalam penelitian ini penulis akan mengkaji para pelaku cerai talak pasca diputusnya cerai talak dan untuk mengetahui upaya-upaya yang telah dilakukan jika mantan suami tidak memberikan kewajibannya

sebagaimana mestinya. Untuk itu penulis melakuakan penelitian yang

berjudul “Upaya Mantan Isteri untuk Memperoleh Hak Pasca Cerai

Talak (Studi Kasus Pengadilan Agama Salatiga tahun 2015-2016)”

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dipaparkan di atas, maka

adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

E. Bagaimana pemenuhan hak mantan isteri pasca cerai talak?

F. Apa saja faktor yang mendorong dan menghambat pemenuhan hak

(18)

G. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh mantan istri untuk

memperoleh hak pasca cerai talak?

C. TUJUAN PENELITIAN

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, beberapa hal yang ingin

dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pemenuhan hak mantan isteri pasca cerai talak.

2. Untuk mengetahui faktor yang mendasari dan menghambat

pemenuhan hak untuk isteri terhadap mantan suami pasca cerai talak. 3. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh mantan isteri untuk

memperoleh hak pasca cerai talak.

D. MANFAAT PENELITIAN

Dari hasil penelitian ini harapan peneliti dapat banyak memberikan

manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis. Manfaat yang

diharapkan antara lain:

C. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah sumbangan

(19)

D. Secara praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi terhadap

permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kewajiban yang

harus dilakukan oleh mantan suami terhadap mantan isteri dan anak

setelah putusnya cerai talak.

E. PENEGASAN ISTILAH

1. Upaya

Upaya adalah usaha, akal atau ikhtiar untuk mencapai suatu

maksud, memecahkan persoalan, mencari jalan keluar dan

sebagainya.

2. Mantan Isteri

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mantan memiliki

pengertian bekas pemangku jabatan (kedudukan) sedangkan isteri

berarti wanita (perempuan) yang telah menikah atau yang bersuami.

3. Hak

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hak memiliki pengertian

tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan,

kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh

undang-undang, aturan dsb) kekuasaan yang benar atas sesuatu atau

martabat.

(20)

Menurut pasal 66 undang No. Tahun 1989 jo

Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang-Undang-Undang No. 50 Tahun 2009

tentang Peradilan Agama “Seorang suami yang beragama Islam yang

akan menceraikan isterinya mengajukan Cerai kepada Pengadilan

untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak”.

F. METODE PENELITIAN

Metode adalah suatu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan

yang dimaksud. Sementara itu, metode penelitian berhubungan dengan

erat dengan prosedur, teknik, alat, serta desain penelitian yang digunakan

(Sudrajat, 2010 dalam Asmani, 2011: 38). Dalam penelitian ini penulis

menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:

7. Pendekatan Dan Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan atau field research dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini dinamakan field research

karena meneliti fenomena yang ada di lapangan atau masyarakat dan

memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dan terperinci

mengenai latar belakang keadaan sekarang yang dipermasalahkan

(Asmani, 2011: 66).

8. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini penulis melakukan observasi langsung di

Pengadilan Agama Kota Salatiga guna memperoleh informasi

(21)

perceraian karena talak. Subjek dalam penelitian ini adalah beberapa pelaku cerai talak.

9. Sumber Data

Data yang diperoleh dari sesuatu yang dapat memberikan

informasi atau disebut juga dengan istilah sumber data. Sumber data

dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder,

diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Sumber data Primer, yakni segala sesuatu baik orang (people), kertas atau catatan (paper) maupun lokasi atau tempat atau

benda-benda (place) yang berhubungan langsung dengan

informasi primer dan darinya diperoleh data (informasi) primer.

b. Sumber data sekunder adalah informan atau segala sesuatu yang

memberikan informasi terkait dengan data yang diperlukan dalam

penelitian namun tidak memilki hubungan langsung dengan

fenomena yang menjadi objek penelitian ini (Moleong, 2004: 11)

Data primer dari penelitian ini adalah data yang berhubungan

dengan para pelaku cerai talak. Sedangkan yang termasuk data sekunder dalam penelitian ini adalah berupa buku-buku referensi

yang terkait dengan judul penelitian.

10. Prosedur Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah alat dan cara untuk

mengumpulkan data. Dalam penelitian ini penulis menggunakan

(22)

a. Metode Wawancara

Wawancara adalah salah satu cara menggali data. Hal ini

harus di lakukan secara mendalam untuk mendapatkan data yang

detail dan valid. Wawancara mendalam adalah proses

memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara

tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan

informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa

menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana

pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan social yang

relative lama (Asmani, 2011:122). Informan dalam penelitian ini

merupakan 10 mantan isteri para pelaku cerai talak.

b. Metode Observasi

Metode observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara

sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian

(Asmani, 2011:123). Dalam hal ini, penulis melakukan

pengamatan secara langsung terhadap pelaku. Dalam penelitian

ini peneliti mengamati para pelaku dengan cara mendatangi para

informan dan melihat kondisi mereka secara langsung.

11. Pengecekan Keabsahan Data

Keabsahan data merupakan hal yang sangat penting dalam

penelitian, karena dari data itulah nantinya akan muncul beberapa

teori. Untuk memperoleh keabsahan temuan, peneliti akan

(23)

lapangan, observasi yang diperdalam, triangulasi (menggunakan

beberapa sumber, metode, teori), pelacakan kesesuaian dan

pengecekan anggota. Jadi temuan data tersebut bisa diketahui

keabsahannya.

12. Tahap-Tahap Penelitian

a. Pengumpulan data

b. Pemilihan data yang sesuai dengan fokus pembahasan

c. Pemilihan data yang valid

d. Analisa awal

e. Penyusunan teks dan penarikan kesimpulan awal

f. Analisa kesimpulan adakah data yang kurang valid dimasukkan

g. Penyusunan teks dan laporan akhir penelitian

13. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan disusun untuk mempermudah dalam

pengkajian dan memahami permasalahan yang dibahas. Adapun

sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Bab Pertama merupakan bagian awal penelitian yang berisi Latar

Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan

Penelitian, Penegasan Istilah, Metode Penelitian dan Sistematika

Penulisan.

Bab Kedua akan diuraikan tentang Definisi Cerai talak, Bentuk-Bentuk Cerai Talak, Dampak dari Cerai Talak, Cerai Gugat, Definisi

(24)

Selanjutnya Bab Ketiga akan digambarkan tentang Sejarah

Pengadilan Agama Salatiga, Profil Keluarga, Pemenuhan Kewajiban

Mantan Suami Pasca Cerai talak, Faktor Pendorong dan Penghambat

Pemenuhan Nafkah

Bab Keempat merupakan pemaparan analisis deskriptif hasil

penelitian, Upaya Mantan Isteri untuk Memperoleh Nafkah Pasca

Cerai talak.

Dan Bab Kelima adalah penutup merupakan bagian akhir

(25)

BAB II

CERAI TALAK MENURUT HUKUM

A. Pengertian Perceraian

1. Cerai talak menurut Undang-Undang dan Kompilasi Hukum Islam

Pada prinsipnya perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang

bahagia dan kekal untuk itu suami istri perlu saling membantu dan

melengkapi agar masing-masing dapat merasakan ketenteraman dan

mencapai tujuan sakral dari perkawinan. Sedangkan untuk cerai talak pada prinsipnya adalah mempersukar perceraian. Cerai talak terjadi dikarenakan adanya hal-hal yang terjadi dalam rumah tangga,

misalnya suami tidak melaksanakan kewajibannya terhadap istri

suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin kepada istri dalam

waktu yang lama, atau suami memperlakukan isteri dengan tidak

baik. Selain itu adanya perbedaan yang memang tidak dapat

diselaraskan lagi oleh suami istri tersebut sehingga talak dipilih

menjadi solusi terakhir.

Tentang berakhirnya perkawinan, undang-undang perkawinan di

Indonesia mempergunakan istilah putusnya perkawinan, dan menurut

Pasal 38 dikenal adanya tiga macam cara putusnya perkawinan, yaitu:

a. Kematian

b. Perceraian

(26)

Perceraian bisa diartikan sebagai suatu cara yang sah untuk

mengakhiri suatu perkawinan. Sedangkan menurut KUHP perceraian

adalah pengakhiran suatu perkawinan karena suatu sebab dengan

keputusan hakim atas tuntutan dari salah satu pihak atau kedua belah

pihak dalam perkawinan.

Pengertian talak terdapat dalam pasal 117 KHI yang

menyebutkan pengertian talak terdapat dalam pasal 117 KHI yang menyebutkan bahwa, “Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang

pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya

perkawinan. Dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129,

130 dan 131”. Jadi Cerai talak adalah putusnya ikatan suami istri yang dilakukan di hadapan pengadilan dan menyebabkan akibat

hukum tertentu kedua pihak tersebut.

Menurut hukum perkawinan nasional bagi suami yang ingin

menjatuhkan talak kepada istrinya harus mengajukan talak ke pengadilan agama bagi yang beragama Islam. Hal ini sesuai dengan

ketentuan pasal 39 undang-undang perkawinan:

a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.

Berdasarkan bunyi pasal di atas, Cerai talak dapat terjadi apabila dilakukan di depan sidang pengadilan. Artinya tidak ada talak dalam

(27)

Karena Cerai talak yang dilakukan di luar pengadilan tidak diakui oleh hukum. Lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa talak yang

dilakukan di luar pengadilan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap

(no legal force). Meskipun pada dasarnya hukum Islam tidak

mengatur bahwa Cerai talak itu harus dilakukan di depan pengadilan. Lembaga inilah yang bertugas menyelesaikan sengketa perdata bagi

masyarakat yang beragama Islam.

Cerai talak hanya dapat dilakukan dengan adanya cukup alasan yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan pemerintah,

yang dalam peraturan pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang

pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan

pada pasal 19 Cerai talak dapat terjadi karena alasan :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain tanpa alasan yang sah atau hal lain di luar kamampuannya

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/ istri.

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Alasan dibenarkannya Cerai talak antara suami/istri yang terikat dalam suatu perkawinan dalam Pasal 116 Instruksi Presiden No.1

(28)

sebagaimana disebutkan dalam peraturan pemerintah No.9 tahun

1975. Akan tetapi ada penambahan alasan, yakni sebagai berikut :

a. Suami melanggar taklik talak.

b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya

ketidak rukunan dalam rumah tangga.

2. Cerai talak menurut Hukum Islam

Menurut bahasa Arab, kata talak bermakna, “pelepasan atau

penguraian tali pengikat, baik tali pengikat riil seperti tali pengikat

sapi, maupun tali pengikat itu bersifat maknawi seperti tali pengikat

perkawinan”. Menurut Hukum Islam haktalak itu ada ditangan suami

walaupun hak itu dimungkinkan oleh hukum berada di tangan hakim.

Menjatuhkan talak tanpa alasan yang dibenarkan dibenci oleh hukum

Islam dan dimurkai Tuhan. Oleh karenanya maka suami dalam

menjatuhkan talak-nya haruslah dengan alasan dan cara yang

dibenarkan dalam hukum Islam. Talak itu hukumnya makruh

sekalipun juga ada hikmahnya. (Rasjid, 1994: 401)

Talak menurut istilah ialah melepaskan ikatan pernikahan dengan

kata-kata talak atau yang seumpamanya, misalnya “Aku talak

engkau”. Dengan ucapan yang demikian maka putuslah ikatan

pernikahan antara suami istri tersebut (Jamaluddin, 2010: 45-46).

Kata-kata talak seperti itu sudah memutuskaan ikatan tali perkawinan

(29)

Meskipun Islam mensyariatkan talak, tetapi tidak berarti agama Islam menyukai talak dalam suatu perkawinan. Dalam ajaran Islam,

perceraian pada prinsipnya dilarang ini dapat dilihat pada hadits

Rasullullah Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud

Ibnu Majah dan Al hakim dari Ibnu Umar yang menyatakan bahwa

talak atau perceraian adalah perbuatan halal yang paling dibenci Allah. (Rofiq, 1998: 268-269)

“Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah

Talak (perceraian)”. HR Abu Daud dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar.

Bahkan dalam hadits lain, seorang istri yang meminta talak atas

suaminya sangat dikecam oleh Islam. Rasulullah SAW bersabda:

“Wanita yang meminta suaminya menalak tanpa ada alasan yang mendesak, maka haram baginya bau surga.”(HR. Abu Dawud,

t.t, juz. 2: 268).

Hukum asal dari Cerai talak adalah boleh, namun dapat berubah

sesuai dengan keadaanya, antara lain:

a. Wajib

Apabila terjadi perselisihan antara dua suami-istri dan kedua hakim memandang perlu supaya keduanya bercerai.

b. Sunnat

Apabila suami tidak sanggup lagi membayar kewajibannya (nafkahnya) dengan cukup, atau perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya.

(30)

Dalam dua perkara: pertama menjatuhkan Talak sewaktu si istri dalam keadaan haid, dan kedua menyatuhkan Talak sewaktu suci yang telah dicampurinya pada waktu suci itu.

d. Makruh

Hukum asal yang bersumber dari hadits Rasullulah yaitu bahwa talak dihalalkan akan tetapi dibenci oleh Allah. (Rasjid, 1976: 380)

3. Bentuk-bentuk Perceraian

Adapun menurut Hukum Islam, ada beberapa sebab-sebab

putusnya hubungan perkawinan, yaitu :

a. Talak

Dalam ajaran Islam, talak merupakan perbuatan yang

dihalalkan akan tetapi dibenci oleh Allah. Meskipun talak pada prinsipnya dihalalkan oleh Allah, akan tetapi pada keadaan

tertentu talak tersebut dilarang untuk dijatuhkan pada seorang

istri, berdasarkan keadaan-keadaan tertentu. Dalam Islam dikenal

talak raj’i dan talak ba’in.

Talak raj’i yaitu talak yang diizinkan rujuk kembali jika

masih dalam masa iddah. Talak raj’i ini berupa talak satu atau

talak dua tanpa iwadh (uang pengganti) dari mantan istri. Namun apabila suami melakukan rujuk setelah habis masa iddah maka harus dilakukan akad perkawinan yang baru.

Talak Ba’in yaitu talak yang suami tidak diperbolehkan

melakukan rujuk kembali kepada mantan istrinya kecuali dengan

syarat tertentu. Talak ba’in terbagi menjadi dua macam, antara

(31)

1) Talak Ba’in Sughra yaitu talak satu atau talak dua yang disertai uang iwadh dari pihak istri. Talak ba’in sughra tidak

boleh rujuk tetapi boleh menikah lagi dengan bekas suaminya

meskipun dalam keadaan iddah, talak bain sughra dapat

terjadi karena talak yang terjadi sebelum suami istri

bercampur (qabla al dhukul), yang dijatuhkan oleh

pengadilan agama.

2) Talak Ba’in kubro yaitu talak yang terjadi untuk ketiga kalinya talak ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat

dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan

setelah istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi

Cerai talaksetelah diantara suami istri tersebut pernah

bercampur (Cerai talakba’dal dhukul) Cerai talaktersebut telah pula habis, masa iddahnya.

Jika dilihat dari keadaan kapan talak tersebut dijatuhkan

dalam keadaan suci atau tidak ada dua macam yaitu talak sunni

dan bid’i. Talak sunni adalah talak yang berjalan sesuai ketentuan agama, yaitu seseorang suami mentalak perempuan yang pernah dicampurinya dengan sekali talak pada masa yang bersih dan

belum ia sentuh kembali selama masa bersih itu Instruksi

Presiden RI No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

(32)

suci dan tidak di campuri pada waktu suci. Selanjutnya, talak

bid’i adalah talak yang dilarang oleh ajaran agama Islam Pasal

122 Instruksi Presiden Republik Indonesia No 1 Tahun 1991

tentang Kompilasi Hukum Islam meyebutkan “talak bid’i adalah

talak yang dilarang di jatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid atau istri dalam keadaan suci tetapi sudah di campuri pada

waktu suci itu”.

b. Khuluk

Cerai talakyang terjadi atas kehendak istri dengan membayar

‘iwad atau tebusan kepada suami. (Wasman, 2011: 86).

c. Syiqaq

Ialah perselisihan atau menurut istilah Fiqh berarti

perselisihan suami-istri yang diselesaikan dua orang hakam, satu

orang dari pihak suami dan yang satu dari pihak istri. (Aziz,

1996: 1708)

d. Fasakh

Ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa

perkawinan itu diputuskan/ dirusakkan atas permintaan salah satu

pihak oleh hakim Pengadilan Agama. Biasanya yang menuntut

fasakh di pengadilan adalah istri. (Ghozali, 2006: 203)

e. Ta’lik Talak

(33)

yang bertentangan dengan ta’lik tersebut. Sedangkan menurut Sudarsono, dalam bukunya “Pokok-pokok Hukum Islam” menyebutkan bahwa ta’lik talak adalah suatu talak yang digantungkan terjadinya peristiwa tertentu sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya antara suami isteri tersebut. (Abdul, 2009: 29)

f. Ila’

Ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila’ mempunyai arti khusus dalam hukum perkawinan mereka, yakni suami bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya, waktunya tidak ditentukan dan selama itu istri tidak ditalak ataupun diceraikan. Sehingga jika keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak istri karena keadaannya terkatung-katung dan tidak berketentuan.(Hajar, 1992: 550)

4. Bentuk Cerai Dalam Hukum Positif

a. Cerai Talak (Cerai)

Seorang suami yang diberi hak mutlak untuk mentalak istrinya. Hak talak diberikan kepada suami merupakan ketentuan

dari Al-Qur’an, sejalan dengan hal tersebut peraturan perundang

-undangan tentang perkawinan di Indonesia juga memberikan hak

mutlak kepada seorang suami untuk mentalak istrinya, tetapi

dengan ketentuan:

1) Perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan.

2) Perceraian harus disertai dengan alasan-alasan sebagaimana

yang telah diatur undang undang.

3) Mengikuti prosedur sebagaimana diatur dalam Pasal 66 dst.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dan ketentuan

perundang-undangan lainnya. Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam

(34)

karena talak, maka bekas suami wajib memberikan kepada bekas istrinya:

1) Mut’ah yang layak berupa uang atau barang;

2) Nafkah iddah yang meliputi nafkah tempat tinggal (maskan) dan perlengkapan hidup (kiswah);

3) Melunasi mahar yang belum lunas terbayar;

4) Biaya hadhanah/ biaya pemeliharaan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

Pasal 66 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama (UUPA) menyatakan:

1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan

istrinya mengajukan Cerai kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. Dalam rumusan Pasal 14 PP Nomor 9 Tahun 1975 dijelaskan beserta pengadilan tempat Cerai itu diajukan. Seorang suami yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

2) Cerai sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.

3) Dalam hal pemohon bertempat kediaman di luar negeri, Cerai

dapat diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.

4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka Cerai diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat. 5) Cerai soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan

(35)

Mahkamah Syariyah dapat mengabulkan atau menolak Cerai tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi (Pasal 130 KHI). Langkah berikutnya adalah pemeriksaan oleh pengadilan. Pasal 68 UU Peradilan Agama menyebutkan:

6) Pemeriksaan Cerai cerai talak dilakukan oleh majelis hakim selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari setelah berkas atau surat Cerai cerai talak didaftarkan di kepaniteraan.

7) Pemeriksaan Cerai cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.

Selanjutnya Pasal 70 UU Peradilan Agama dan Pasal 16 PP

Nomor 9 tahun 1975 menyebutkan:

1) Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian maka pengadilan menetapkan bahwa Cerai tersebut dikabulkan;

2) Terhadap penetapan sebagai mana yang dimaksud dalam ayat

(1), istri dapat mengajukan banding;

3) Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum

tetap, pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut;

4) Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akata otentik untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh istri atau kuasanya;

5) Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau walinya;

6) Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang Penyaksian ikrar talak tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan Cerai talaktidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.

b. Cerai Gugat

Cerai gugat yaitu seorang istri menggugat suaminya untuk

(36)

mengabulkan gugatan yang dimaksud sehingga putus hubungan

penggugat (istri) dengan tergugat (suami) perkawinan (Ali, 2006:

77). Dalam peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang

merupakan Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam hal teknis yang

menyangkut kompetensi wilayah pengadilan-seperti dalam cerai

talak mengalami perubahan. Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 menyatakan:

1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat; 2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri,

gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.

Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di

luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang

daerah hukumnya meliputi perkawinan mereka dilangsungkan

atau kepada pengadilan Agama Jakarta Pusat. (Lihat Pasal 132

KHI jo Pasal 20 PP Nomor 9 Tahun 1975)

B. Akibat Hukum Mantan Istri Karena Cerai Talak

Seorang suami yang diberi hak mutlak untuk mentalak istrinya. Hak

talak diberikan kepada suami merupakan ketentuan dari Al-Qur’an, sejalan dengan hal tersebut peraturan perundang-undangan tentang

perkawinan di Indonesia juga memberikan hak mutlak kepada seorang

(37)

1. Perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan.

2. Perceraian harus disertai dengan alasan-alasan sebagaimana yang telah diatur undnag-undang.

3. Mengikuti prosedur sebagaimana diatur dalam Pasal 66 dst.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dan ketentuan perUndang-undang-Undang-undangan lainnya.

Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam lebih tegas lagi menyebutkan

bahwa bila mana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib

memberikan kepada bekas istrinya:

1. Mut’ah yang layak berupa uang atau barang.

2. Nafkah iddah yang meliputi nafkah tempat tinggal (maskan) dan perlengkapan hidup (kiswah).

3. Melunasi mahar yang belum lunas terbayar;

4. Biaya hadhanah atau biaya pemeliharaan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

Pasal 66 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama (UUPA) menyatakan:

1. Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya

mengajukan Cerai kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. Dalam rumusan Pasal 14 PP Nomor 9 Tahun 1975 dijelaskan beserta pengadilan tempat Cerai itu diajukan.

Seorang suami yang melangsungkan perkawinan menurut

agamaIslam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

2. Cerai sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.

3. Dalam hal pemohon bertempat kediaman di luar negeri, Cerai dapat

diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.

4. Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar

(38)

5. Cerai soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan Cerai cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.

Cerai sebagaimana yang dimaksud memuat: (a) nama, umur, dan

tempat kediaman pemohon, yaitu suami dan termohonya itu istri; (b)

alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak (Pasal 19 PP Nomor 9 tahun 1975 jo. Pasal 116 KHI). Terhadap Cerai yang diajukan, pengadilan

agama/ Mahkamah Syariyah dapat mengabulkan atau menolak Cerai

tersebut, dan terhadap keputusan tersebutdapat diminta upaya hukum

banding dan kasasi (Pasal 130 KHI). Langkah berikutnya adalah

pemeriksaan oleh pengadilan. Pasal 68 UU Peradilan Agama

menyebutkan:

1. Pemeriksaan Cerai cerai talak dilakukan oleh majelis hakim

selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat

Cerai cerai talak didaftarkan di kepaniteraan.

2. Pemeriksaan Cerai cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup. Selanjutnya Pasal 70 UU Peradilan Agama dan Pasal 16 PP Nomor 9

tahun 1975 menyebutkan:

1. Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian maka pengadilan menetapkan bahwa Cerai tersebut dikabulkan.

2. Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), istri dapat mengajukan banding.

3. Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap,

pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut.

4. Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa

(39)

5. Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, Maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau walinya.

6. Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.

Jika kita perhatikan pula, dalam intruksi Presiden No 1 Tahun 1991

tentang Kompilasi hukum Islam akibat putusnya perkawinan lebih

diperinci yakni akibat cerai talak, cerai gugat khuluk dan lian. Hak seorang suami untuk menceraikan diatur dalam Pasal 66 sedangkan dalam

Intruksi Presiden RI No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

diatur dalam pasal 129 sampai dengan pasal 131 Oleh karena itu, cerai

talak adalah hak suami menceraikan istri dengan alasan yang cukup

sebagai mana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang

berlaku. (Sabiq, 2001 :42-43)

Akibat terjadinya cerai talak menurut ketentuan Pasal 149 Intruksi

Presiden RI No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Talak ba’in atau istri nusyuz (istri durhaka) dan dalam keadaan tidak hamil.

3. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh

(40)

C. Akibat Hukum Mantan Istri Karena Gugat Cerai.

Cerai gugat adalah permohonan yang diajukan oleh seorang istri

kepada pengadilan agama dengan maksud untuk bercerai dengan

suaminya yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Hal ini

diatur dalam Pasal 156 Inpres RI No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi

Hukum Islam yang menyebutkan bahwa Anak yang belum mumayyiz

(berusia 12 tahun) berhak mendapatkan dari ibunya kecuali ibunya telah

meninggal dunia maka kedudukannya digantikan oleh :

1. Wanita-wanita dalam garis ke atas dari ibu.

2. Ayah.

3. Wanita-wanita dalam garis ke atas dari ayah

4. Saudari perempuan dari anak yang bersangkutan.

5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu. 6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

Anak yang sudah mumayyiz (berusia 12 tahun) berhak memilih untuk mendapatkan mumayyiz dari ayah atau ibunya. Ketentuan pasal 156 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang

Kompulasi Hukum Islam menyatakan bahwa jika terjadi talak karena kehendak istri (gugat cerai) biaya nafkah anak tetap dibebankan kepada

orang tua laki-laki (ayah) sampai anak berusia 21 tahun. Jika diperhatikan

pula ketentuan pasal tersebut dengan tegas mengatur bahwa hak terhadap

anak yang belum mumayyiz (berusia 12 tahun) berada pada mantan isteri,

(41)

Menurut pendapat ulama cerai gugat itu kedudukannya seperti talak sedangkan talak yang ditalik kedudukannya seperti talak yang dilakukan

secara langsung. talak itu baik terjadi karena suami atau atas permintaan istri, statusnya sama saja. Begitu pula setiap putusnya perkawinan yang

bukan disebabkan oleh istri, artinya bersumber dari suami misalnya suami

murtad, li’an.

D. Hak Bagi Anak Pasca Cerai Talak

1. Pengertian Anak

Anak mengandung banyak arti apa lagi bila kata anak diikuti

dengan kata lain misalnya anak turunan, anak kecil, anak sungai, anak

negeri, dan lain sebagainya. (Hilman, 1992: 83) Anak adalah putra

putri kehidupan, masa depan bangsa dan negara. Oleh karena itu anak

memerlukan pembinaan agar dapat berkembang mental dan

spiritualnya secara maksimal. (Imam Jauhari, 2003: 80). Berikut ini

merupakan pengertian anak menurut beberapa peraturan

perundang-undangan yang berlaku Di Indonesia antara lain:

a. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah

mencapai umum 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur

(42)

b. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia

dinyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di

bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk

anak yang masih dalam kandungan apa bila hal tersebut adalah

demi kepentingannya.

c. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak

dinyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18

tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

d. Convention On The Rights Of Child (1989) yang telah diratifikasi

pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990

disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun

kebawah.

e. UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia

sampai dengan 18 tahun.

Jadi, Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka dapat

dinyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18

tahun (0-18 tahun).

Pengertian anak dalam hukum perdata tidak diatur secara

eksplisit Pengertian anak selalu dihubungkan dengan kedewasaan

sedangkan mengenai istilah kedewasaan tidak ada keseragaman

dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (BW)anak belum dewasa adalah

(43)

dahulu kawin, UU No 1 tahun 1974 tidak lugas mengatur mengenai

kapan seorang digolongkan sebagai anak, Secara tersirat dalam Pasal

6 ayat 2 yang menyatakan bahwa syarat perkawinanbagi seorang

yang belum berumur 21 tahun harus mendapat ijin orang tuanya,

Pasal 7 ayat 1 UU No 1 tahun 1974 menyatakan bahwa minimal usia

anak dapat kawin pria 19 tahun dan wanita 16 tahun.

Di sisi lain, Pasal 47 ayat 1 UU No 1 tahun 1974 menyatakan

bahwa anak yang belum mencapai 18 tahun atau belum melakukan

pernikahan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka

tidak mencabut kekuasaan orang tuanya. Dalam Inpres RI No 1 tahun

1991 tentang Kompilasi Hukum Islam batas usia dewasa diatur dalam

Pasal 98 ayat 1 dinyatakan bahwa dewasa adalah 21 tahun sepanjang

anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental ataupun belum pernah

melakukan perkawinan.

Dalam ajaran Islam, anak adalah amanat Allah kepada kedua

orang tuanya, masyarakat, bangsa dan negara sebagai waris dari

ajaran Islam, anak menerima setiap pengajaran dan mengikuti semua

pengarahan yang diberikan kepadanya. Oleh karena itu anak perlu

dididik dan diajari dengan kebaikan.

Langkah yang bijaksana pemerintah Indonesia, dilakukan pada

tahun 1979 dengan mengundangkan Undang-Undang No. 4 Tahun

1979 tentang Kesejahteraan Anak. Hak-hak anak meliputi:

(44)

c. Hak atas pemeliharaan dan perlindungan. d. Hak atas perlindungan lingkungan hidup.

e. Hak mendapatkan pertolongan pertama.

f. Hak untuk memperoleh asuhan.

g. Hak untuk memperoleh bantuan.

h. Hak diberi pelayanan dan asuhan.

i. Hak untuk memeperoleh pelayanan khusus.

j. Hak untuk mendapatkan bantuan dan pelayanan

Sesuai dengan peraturan di atas, Anak berhak atas kesejahteraan,

perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik

dalam keluarga maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan

berkembang dengan wajar. Anak berhak atas pelayanan untuk

mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai

dengan kepribadian bangsa untuk menjadi warga negara yang baik

anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam

kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas

perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan

atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan yang wajar.

2. Hak Nafkah Anak Pasca Cerai Talak

Dalam pandangan Islam anak adalah titipan Allah SWT kepada

orang tua, masyarakat, bangsa, negara sebagai penerus umat Islam.

Kemajuan umat Islam di masa yang akan datang berada di tangan

anak-anak. Jadi, masalah anak dalam pandangan Al-Qur’an menjadi

tanggung jawab kedua orang tuanya yaitu tanggung jawab syariat

Islam yang harus dilaksanakan dalam kehidupan berumah tangga,

masyarakat bangsa dan negara sebagai suatu yang wajib. Ketentuan

(45)

Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. inilah yang akan memberi rezek ikepada mereka dan juga kepadamu, sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang amat besar”. (Departemen Agama, 1987: 428-429) Dalam Al-Qur’an Allah telah memerintahkan bahwa orang tua

wajib memelihara, mengasuh mendidik dan menjaga anaknya

menurut kemampuannya. Disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat

233 sebagai berikut:

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban seorang ayah memberi makan dan pakaian

kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak

dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya janganlah

seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan

(46)

kamu kepada Allah dam ketahuilah bahwa Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 233)

Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 tentang

Kompilasi Hukum Islam memuat hukum material tentang

perkawinan, kewarisan dan wakaf yang merumuskan secara

sistematis hukum di Indonesia secara konkret, maka untuk itu dalam

hal ini perlu dirujuk mengenai ketentuan-ketentuan dalam Kompilasi

Hukum Islam yang mengatur tentang kewajiban orang tua terhadap

anak.

Pasal 77 Instruksi Presiden RI No. 1 tahun 1991 tentang

Kompilasi Hukum Islam menyebutkan: Ayat (1) Suami istri memikul

kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah

mawaddah dan warahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan

masyarakat. Ayat (2) Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh

dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan

jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.

Dalam Pasal 80 ayat 4 Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991

tentang Kompilasi Hukum Islam ditegaskan pula bahwa suami

menanggung biaya rumah tangga biaya perawatan dan biaya

pengobatan bagi istri dan anak sesuai dengan kemampuan

penghasilannya. Selanjutnya dalam pasal 81 ditegaskan bahwa suami

wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anak dalam

(47)

a. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah

21 tahun sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental

atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

b. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan

hukum didalam maupun di luar pengadilan.

c. Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat

yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang

(48)

BAB III

PEMENUHAN HAK MANTAN ISTERI SERTA FAKTOR PENDORONG DAN PENGHAMBAT PEMENUHAN HAK

A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Salatiga

1. Profil Pengadilan Agama Salatiga

Pengadilan Agama sudah ada sejak Islam masuk ke Indonesia.

Pengadilan Agama Salatiga timbul bersama dengan perkembangan

kelompok masyarakat yang beragama Islam di Salatiga dan

Kabupaten Semarang. Pada masa itu masyarakat menyelesaikan

perkara melalui Qodli (hakim) yang diangkat oleh Sultan atau Raja yang kekuasaannya merupakan tauliyah dari waliyul amri yakni

penguasa tertinggi. Begitu juga pada masa penjajahan Belanda,

masyarakat Islam khususnya Salatiga tetap menyelesaikan perkaranya

kepada hakim.

Kemudian pemerintah kolonial Belanda menerbitkan pasal 134

ayat 2 IS (Indische Staatsregaling) sebagai landasan formil untuk

mengawasi kehidupan masyarakat Islam dibidang peradilan yaitu

Raad Agama dan perselisihan dalam bidang warisan diserahkan

kepada alim ulama. Pengadilan Agama Salatiga pada waktu itu

bertempat di serambi masjid kauman Salatiga dengan ketua dan

hakim anggota diambil dari alumni pondok pesantren.

Setelah kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Pengadilan

Agama Salatiga berjalan seperti biasanya Pada tahun 1949 ketua

(49)

bertempat di serambi masjid Al-Atiq Kauman Salatiga, bersebelahan

dengan Kantor Urusan Agama Salatiga yang sama-sama

menggunakan serambi masjid sebagai kantor.

Pada tahun 1951 pengadilan Agama Salatiga pindah kantor dari

serambi masjid Al Atiq Kauman ke kantor di Jalan Diponegoro no. 72

Salatiga sampai tahun pertengahan tahun 2009. Kantor pengadilan

tersebut belum memenuhi standar gedung pengadilan karena

merupakan peninggalan zaman kuno yang ada balai sidangnya dan

gedung tersebut hanya berstatus hak pakai dengan nomor sertifikat

4485507 tanggal 8 Maret 1979.

Mulai tanggal 1 Mei 2009 Kantor Pengadilan Agama Salatiga

pindah di Jalan Lingkar Selatan Dukuh Jagalan Rt 14/05 Cebongan

Tingkir Salatiga yang diketuai oleh Drs. H. Masrukhan, MS. MH.

MH.

2. Kewenangan Pengadilan Agama

Pengadilan Agama dibentuk berdasarkan Staat blaad tahun 1882

no. 152 tentang pembentukan pengadilan agama di Jawa dan Madura.

Berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI KMA No. 76 th 1983

tanggal 10 November 1983 tentang penetapan perubahan wilayah

hukum Pengadilan Agama pasal 5 ayat 4 menyebutkan bahwa

wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga dikurangi dengan daerah

Kecamatan Gunung Pati, kecuali Desa Kalisidi dan Kaji serta

(50)

Kedawung, Sumur Jurang, Sumur Gunung, Rowosari, Kranas,

Bulusan, Padalangan Mentasih, Jabungan, Mangunharjo dan

Tumbalang dari Kecamatan Ungaran.

Berdasarkan pasal 5 ayat 4 tersebut maka sesuai Lampiran

Keputusan Menteri Agama RI No. 76 Tahun 1983 tanggal 10

Noveember 1983, wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga adalah

4 kecamatan di wilayah kota Salatiga yaitu Kecamatan Sidorejo,

Kecamatan Sidomukti, Kecamatan Argomulyo, Kecamatan Tingkir

dan 9 kecamatan di wilayah Kabupaten Semarang yaitu Kecamatan

Bringin, Bancak, Tuntang, Getasan, Tengaran, Susukan, Kaliwungu,

Suruh dan Pabelan.

Kewenangan Pengadilan Agama terdiri dari dua macam

kewenangan yaitu kewenangan absolut dan kewenangan relatif.

a. Kewenangan Relatif

Kewenangan relatif pengadilan Agama dalam perkara

tertentu, terutama dalam perceraian terdapat beberapa ketentuan,

antara lain:

1) Kewarisan

2) Wasiat

3) Hibah

4) Wakaf

5) Shodaqoh

6) Ekonomi syari’ah

7) Pengangkatan anak berdasarkan UU No. 3

(51)

b. Kewenangan Absolut

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,

memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama

antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :

1) Perkawinan, yang diatur dalam UU perkawinan yang berlaku

antara lain :

e) Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah

f) Pembatalan nikah

2) Harta, dalam bagian ini meliputi:

a) Harta bersama

Pengadilan Agama Salatiga membawahi daerah hukum

meliputi seluruh wilayah Kota Madya Salatiga dan beberapa

kecamatan yang secara administrasi termasuk Wilayah

(52)

1) Wilayah Kota Salatiga yang meliputi beberapa kecamatan

antara lain:

a) Kecamatan Sidorejo

b) Kecamatan Sidomukti

c) Kecamatan Tingkir

d) Kecamatan Argomulyo

2) Kabupaten Semarang yang meliputi beberapa kecamatan,

yaitu:

a) Kecamatan Tuntang

b) Kecamatan Tengaran

c) Kecamatan Susukan

d) Kecamatan Pabelan

e) Kecamatan Suruh

f) Kecamatan Beringin

(53)

Panitera/Sekretari

Adapun struktur organisasi Pengadilan Agama Salatiga adalah

sebagai berikut:

KETUA

Drs. H. Umar Muchlis

Wakil Ketua

Drs. Muhdi Kholil, SH., M.A., M.M

(54)

Tertib administrasi perkara adalah syarat mutlak yang harus

dilaksanakan oleh semua aparat peradilan agama dalam rangka

mewujudkan peradilan yang mandiri sesuai dengan peraturan yang

berlaku.tugas pokok pengadilan adalah sebagaimana diatur dalam

Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 pasal 2 yaitu menerima,

memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan

kepadanya. Tugas-tugas administrasi dilakukan oleh panitera,

meliputi tugas pelaksana administrasi Negara, tugas pendamping

hakim dalam persidangan dan tugas pelaksana putusan/ penetapan

pengadilan serta tugas-tugas kejurusitaan yang lainnya.

Panitera sebagai pelaksana administrasi perkara berkewajiban

mengatur tugas-tugas para pembantunya yaitu wakil panitera dan

panitera muda. Sebagai pendamping majlis hakim dalam persidangan

panitera berkewajiban mencatat jalannya persidangan yang kemudian

dibuat berita acara persidangan. Sebagai pelaksana putusan dan

pelaksana tugas kejurusitaan lainnya, panitera dibantu oleh jurusita

pengadilan agama atau jurusita pengganti.

Dalam rangka melaksanakan tugas pokok pengadilan panitera

menerina perkara yang diajukan ke pengadilan agama untuk diproses

lebih lanjut. Prosedur penerimaan perkara yang diajukan ke

pengadilan agama melalui beberapa meja yang merupakan kelompok

pelaksanan teknis yang harus dilalui oleh suatu perkara di pengadilan

(55)

a. Meja I

Adapun tugas dari meja I ini antara lain :

1) Menerima gugatan, perlawanan, banding, kasasi, peninjauan kembali, eksekusi, penjelasan dan penaksiran biaya perkara dan biaya eksekusi.

2) Membuat surat kuasa untuk membayar (SKUM) rangkap tiga

menyerahkan SKUM tersebut kepada calon penggugat atau pemohon.

3) Menyerahkan kembali surat gugatan atau Cerai kepada calon

penggugat atau pemohon.

4) Menaksir biaya perkara yang kemudian dinyatakan dalam SKUM.

5) Selain itu meja I berkewajiban memberi penjelasan yang dianggap perlu dan berkenaan dengan perkara yang diajukan.

Bagian dari meja pertama lainnya adalah kasir yang bertugas

menerima pembayaran uang panjar perkara sebagaimana tersebut

dalam SKUM, dam membukukan dalam buku jurnal. Pemegang

kas menandatangani SKUM, membubuhi nomor urut perkara dan

tanggal penerimaan perkara dalam SKUM dan dalam surat

gugatan atau Cerai. Kemudian mengembalikan surat gugatan atau

Cerai dan SKUM kepada calon penggugat atau pemohon.

b. Meja II

1) Menerima surat gugat atau perlawanan dari calon penggugat/

pelawan sebanyak jumlah tergugat atau terlawan rangkap dua.

2) Menerima surat pemohon dari calon pemohon

sekurang-kurangnya rangkap dua.

3) Menerima tindasan pertama SKUM dari calon penggugat/

pelawan/ pemohon.

4) Mencatat surat gugatan/ Cerai dalam buku register yang bersangkutan serta memberi nomor register pada surat gugatan atau Cerai tersebut.

5) Menyerahkan kembali satu rangkap surat gugatan/ Cerai yang

(56)

6) Surat gugatan atau Cerai yang asli dimasukkan dalam map khusus meserta tindasan pertama SKUM dan surat-surat yang berhubungan dengann gugatan yang disampaikan pada Ketua Pengadilan Agama melalui Panitera.

7) Mendaftar atau mencatat putusan pengadilan dalam semua buku register yang bersangkutan.

c. Meja III

1) Menyerahkan salinan putusan kepada yang bersangkutan.

2) Menyerahkan salinan penetapan Pengadilan Agama kepada

pihak yang berkepentingan.

3) Menerima memori atau kontra memori banding/ kasasi,

jawaban, tanggapan dan lain-lain.

4) Mempersiapkan berkas

Proses berperkara di Pengadilan Agama Salatiga adalah sebagai

berikut:

a. Penerimaan perkara

Pemohon atau penggugat mengajukan Cerai atau gugatan ke

Pengadilan Agama kemudian petugas dari meja I membuatkan

SKUM untuk penggugat atau pemohon. Selanjutnya penggugat

/pemohon membayar ke kasir sesuai yang tertera pada SKUM. Oleh

petugas meja II perkara tersebut didaftar dan dicatat dalam buku

register perkara, kemudian berkas perkara dilengkapi formulir

penetapan majelis hakim dan disampaikan kepada ketua pengadilan.

Ketua pengadilan menunjuk majelis hakim yang akan menyidangkan

perkara tersebut. Majelis hakim yang ditunjuk menetapkan hari

sidang dan memerintahkan jurusita untuk memanggil pihak-pihak

yang berperkara menghadap di persidangan.

(57)

Di dalam pemeriksaan perkara tentunya bukan hanya satu atau

dua kali dalam melaksanakan persidangan, akan tetapi terdapat enam

persidangan yaitu:

1) Sidang I

Pada sidang pertama ini majelis hakim membuka persidangan

dan diperintahkan kepada kedua belah pihak berperkara

menghadap persidangan. Jika penggugat tidah hadir di

persidangan majelis dapat memerintahkan untuk memanggil

kembali penggugat, demikian juga jika tergugat tidak datang

menghadap. Setelah kedua belah pihak hadir, majelis

mengupayakan perdamaian melalui mediasi dengan didampingi

oleh hakim mediator.

2) Sidang II

Apabila upaya mediasi berhasil, maka perkata telah selesai

baik dengan dicabut atau dengan tercapainya perdamaian. Namun

jika upaya damai gagal, maka dilanjutkan sidang kedua (untuk

perkara perceraian, terlebih dahulu majelis menyatakan sidang

tertutup untuk umum), dengan agenda penbacaan gugatan dari

pihak penggugat.

(58)

Dalam sidang ketiga ini diagendakan untuk pembacaan

jawaban dari tergugat atas surat gugatan penggugat. Jawaban

dapat diberikan secara lisan.

4) Sidang IV

Kemudian sidang dilanjutkan dengan agenda tanggapan oleh

penggugat (replik) dan terhadap tanggapan dari penggugat,

tergugat dapat memberikan tanggapan balik yang disebut Duplik.

5) Sidang V

Setelah tanggapan yang disampaikan kedua belah pihak,

maka sidag selanjutnya adalah pembuktian, baik berupa surat,

saksi, pengakuan, sumpah dan persangkaan

6) Sidang VI

Setelah pembuktian selesai maka kedua belah pihak diberikan

kesempatan untuk membuat kesimpulan. Dan majlis

bermusyawarah untuk mengambil putusan yang akan diberikan

kepada para pihak.

7) Penyelesaian perkara

Setelah putusan diberikan oleh majlis hakim, untuk

perceraian, para pihak dapat menyelesaikan perkara administrasi

dengan mengambil salinan putusan dan akta cerai yang telah

disiapkan oleh petugas.

Terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum

Gambar

Tabel 4.2

Referensi

Dokumen terkait

: Jika produk ini mengandung bahan dengan batas pencemaran atau kontak yang diperbolehkan, gunakan daerah kerja terkurung, ventilasi pembuangan lokal atau kontrol teknis lainnya untuk

Akaun Sertaan Pelanggan Layak (i) TIDAK BOLEH memungkiri terma- terma dan syarat-syarat yang mengawal Akaun Sertaan; dan (ii) TIDAK BOLEH ditamatkan atau ditutup atau

9 Tidak mengganggu teman sebangku 10 Aktif dalam belajar kelompok/individu.. Penelitian dikatakan berhasil apabila 80% siswa sudah memenuhi seluruh indikator

“ Apakah ada peningkatan hasil belajar dalam ranah kognitif dan kemandirian belajar siswa SMA setelah diimplementasikan pendekatan Problem Posing pada Pembelajaran

Penelitian dengan judul faktor kondisi, fekunditas, dan seks rasio ikan yang ditangkap di Sungai Serayu pada tempat bermuaranya Sungai Logawa wilayah Kecamatan

Tutkimuksissa on näyttöä siitä, että vahvistamalla ikääntyneiden sosiaalisia suhteita ja aktiivista osallistumista sosiaalisiin tilanteisiin voidaan vaikuttaa myös

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan limpahan rahmat, tuntunan dan kasih yang melimpah kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan

Selain itu, tujuan pendidikan rohani yang diharapkan adalah untuk mencari, membina dan mengembangkan hubungan individual-vertikal yang harmonis; sampai (wushūl) kepada