UPAYA MANTAN ISTERI UNTUK MEMPEROLEH HAK
PASCA CERAI TALAK (STUDI KASUS PENGADILAN
AGAMA SALATIGA TAHUN 2015-2016)
SKRIPSI
Disusun Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Disusun oleh :
KHOIRUL AMRI
211-12-011
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
UPAYA MANTAN ISTERI UNTUK MEMPEROLEH HAK
PASCA CERAI TALAK (STUDI KASUS PENGADILAN
AGAMA SALATIGA TAHUN 2015-2016)
SKRIPSI
Disusun Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Disusun oleh :
KHOIRUL AMRI
211-12-011
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Jangan pernah berfikir menjadi orang yang sukses berfikirlah menjadi orang yang
berguna.
PERSEMBAHAN
Untuk kedua orangtua tercinta, Almamater tercinta Institut Agama Islam Negeri
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Wasyukurillah, senantiasa peneliti panjatkan puji syukur
kepada Allah SWT, yang telah menunjukkan kekuasaan- Nya sehingga
penulisan skripsi ini terselesaikan tepat pada waktunya. Skripsi dengan judul
“UPAYA MANTAN ISTERI UNTUK MEMPEROLEH HAK PASCA
CERAI TALAK (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2015-2016)” disusun dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk
menyelesaikan Program Sarjana (S1) Hukum Keluarga Islam pada Fakultas
Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, peneliti meyakini tidak akan dapat
diselesaikan dengan baik tanpa bantuan serta dorongan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, peneliti ingin menghaturkan terima kasih sebagai
penghargaan atau partisipasinya dalam penyusunan skripsi ini kepada:
1. Bapak Dr. Rahmad Hariyadi, M.Pd selaku Rektor Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Salatiga.
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag selaku dekan Fakultas Syariah.
3. Bapak Sukron Ma’mun, S.HI., M.Si selaku ketua jurusan Hukum
Keluarga Islam.
4. Bapak M. Yusuf Khummaini, S.HI., M.H selaku dosen pembimbing
yang selalu senantiasa meluangkan waktu untuk membimbing dan
mengarahkan peneliti dengan penuh kesabaran sehingga peneliti dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
6. Ketua Pengadilan Agama Salatiga beserta staf-stafnya, yang telah
memberikan izin penelitian.
7. Para Narasumber yang secara sukarela berkenan untuk diteliti.
8. Kedua orangtua tercinta yang telah memberikan dukungan baik moral
maupun material
9. Teman-teman seperjuangan tercinta.
10. Seluruh pihak yang membantu baik langsung maupun tidak langsung.
Semoga amal baik dan bantuannya tersebut mendapat balasan dari Allah
SWT sebagai amal saleh. Peneliti menyadari bahwa penulisan skripsi ini jauh
dari sempurna, untuk itu segala kritik dan saran dari semua pihak selalu
peneliti harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi peneliti maupun para
pembaca pada umumnya.
Salatiga, 19 Desember 2017
Penulis,
ABSTRAK
Amri, Khoirul. 2018. Upaya Mantan Isteri Untuk Memperoleh Hak pasca cerai talak (Studi Kasus Pengadilan Agama Salatiga tahun 2015-2016). Skripsi. Fakultas Syariah. Jurusan Hukum Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: M. Yusuf Khumaini, S.HI,. M.H
Kata kunci: Upaya, Mantan isteri, Ceari Talak
Dalam permohonan talak, hakim diberikan kewenangan oleh undang-undang membebani suami untuk memberikan beban nafkah berupa nafkah iddah, hadhanah, madhiyah maupun mut’ah terhadap istri. Tanggung jawab nafkah ini dimaksudkan agar mantan isteri dapat memenuhi kebutuhan dan anak tetap tumbuh berkembang dengan baik. Namun demikian tidak semua mantan suami memenuhi kewajiban tersebut sehingga memberikan dampak yang menyulitkan bagi mantan isteri.
Adapun fokus dari penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui pemenuhan hak mantan isteri pasca permohonan talak (2) Untuk mengetahui faktor yang mendasari dan menghambat pemenuhan hak untuk isteri terhadap mantan suami pasca permohonan talak (3) Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh mantan isteri untuk memperoleh hak pasca permohonan talak.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yang dilakukan di Pengadilan Agama Salatiga. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena sifatnya deskriptif-analitis yang mana data yang yang diperoleh seperti hasil pengamatan, hasil wawancara, hasil pemotretan, analisis dokumen, catatan lapangan, tidak dituangkan dalam bentuk dan angka-angka. Teknik pengumpulan data yang dilakukan yaitu metode wawancara dengan narasumber, observasi dan metode dokumentasi.
Hasil penelitian diperoleh bahwa upaya yang di lakukan istri untuk
mendapatkan haknya pasca permohonan talak adalah dengan meminta dengan
DAFTAR ISI
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian... 8
2. Lokasi Penelitian ... 8
3. Sumber Data ... 9
4. Prosedur Pengumpulan Data ... 9
5. Pengecekan Keabsahan Data... 10
6. Tahap-Tahap Penelitian ... 11
G. Sisematika Penulisan ... 11
BAB II PERCERAIAN MENURUT HUKUM A. Pengertian Perceraian ... 13
1. Cerai Talak Menurut Undang-Undang dan Kompilasi Hukum Islam 13 2. Cerai Talak Menurut Hukum Islam ... 16
4. Bentuk Cerai dalam Hukum Positif ... 21
B. Akibat Hukum Mantan Isteri Karena Cerai Talak ... 25
C. Akibat Hukum Mantan Isteri Karena Gugat Cerai ... 28
D. Hak Bagi Anak Pasca Cerai talak ... 30
1. Pengertian Anak ... 30
2. Hak Nafkah Anak Pasca Cerai talak ... 33
BAB III PEMENUHAN HAK MANTAN ISTERI SERTA FAKTOR PENDORONG DAN PENGHAMBAT PEMENUHAN HAK A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Salatiga ... 36
1. Profil Pengadilan Agama Salatiga ... 36
2. Kewenangan Pengadilan Agama... 37
3. Struktur Organisasi... 41
4. Administrasi Berperkara di Pengadilan Agama Salatiga ... 42
5. Perkara yang Diputus pada Pengadilan Agama Salatiga ... 47
B. Temuan Penelitian ... 48
1. Profil Pelaku Cerai Talak ... 48
2. Pemenuhan Hak Pasca Cerai Talak... 57
3. Faktor Pendorong dan Penghambat Pemenuhan Hak Isteri ... 65
BAB IV UPAYA MANTAN ISTERI AKIBAT CERAI TALAK A. Analisis Upaya Mantan Isteri Akibat Cerai Talak ... 75
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974, perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.Tujuan dari
perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang tenteram kekal dan
bahagia memperoleh keturunan yang sah. Selain itu perkawinan dalam
Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan
biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah (Rofiq, 1998: 69). Jadi
perkawinan bukan hanya hubungan antara suami isteri tetapi juga
hubungan dengan Allah.
Tujuan sakral dari suatu perkawinan adalah untuk mencapai
kebahagiaan, penuh kasih sayang dan ketenteraman, namun belum tentu
tujuan tersebut dapat dirasakan oleh kedua belah pihak karena
kebahagiaan tidak dapat dipaksakan. Terkadang di dalam kehidupan
rumah tangga terjadi percekcokan dan perselisihan, meskipun sebenarnya
keduanya menginginkan adanya kesesuaian pandangan hidup. Hal ini
mungkin saja terjadi sebab perbedaan pendapat, sifat maupun pandangan
hidup. Jika masalah yang timbul dirasa sudah tidak ada solusi untuk
Dalam Islam sendiri, memberikan toleransi terhadap kemungkinan
terjadinya talak, jika talak merupakan jalan terbaik yang harus ditempuh.
Hadit Nabi Muhammad SAW menyatakan sebagai berikut:
Artinya:“Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak (perceraian)”. HR Abu Daud dan Ibnu Majahdari Ibnu Umar
Hukum positif mengatur mengenai cerai talak atau dalam istilah undang-undang disebut dengan putusnya perkawinan dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Tata cara cerai talak diatur dalam pasal 38-41 dan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam
pasal 113-162. Maka, Sejak dikeluarkannya peraturan ini maka tata cara
cerai talak harus dilakukan di depan Pengadilan Agama.
Talak hanya dapat dilakukan dengan adanya cukup alasan yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan pemerintah, yang dalam
peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan pada pasal 19 cerai talak dapat terjadi karena alasan :
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk,
pemadat,penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meningglkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain tanpa alasan yang sah atau hal lain di luar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Seperti halnya perkawinan, cerai talak atau dalam istilah hukum
putusnya perkawinan juga memiliki akibat hukum tertentu. Intruksi
Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam akibat
putusnya perkawinan lebih diperinci yakni akibat cerai talak, cerai gugat,
khuluk dan lian. Dengan begitu tidak terjadi deskriminasi baik laki-laki maupun perempuan dalam menentukan masa depan perkawinan.
Kewajiban yang harus dilakukan mantan suami terhadap mantan
isteri yang bercerai karena talak diantaranya diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 149, antara lain:
1. Pemberian mut’ah
2. Pemberian nafkah, maskan dan kiswah selama masa iddah
3. Melunasi mahar yang terhutang
4. Memberikan biaya hadhanah bagi anak yang belum berumur 21 tahun
Pemberian nafkah dari mantan suami kepada mantan isteri ini
dimaksudkan agar mantan isteri dapat memenuhi semua kebutuhan
selama masa iddah tanpa melanggar aturan iddah. Mengenai besar
kecilnya nafkah (mut’ah) yang diberikan harus melalui kesepakatan
kedua pihak dan berdasarkan kemampuan suami, jika terjadi perselisihan
dalam menentukan jumlahnya maka Pengadilan Agama yang harus
Akibat hukum yang ditimbulkan karena cerai talak berbeda dengan cerai gugat. Apabila perkawinan putus karena cerai gugat atau kehendak
isteri, maka sesuai dengan Pasal 156 Inpres RI No.1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa anak yang belum
mumayyiz (berusia 12 tahun) berhak mendapatkan dari ibunya kecuali ibunya telah meninggal dunia. Apabila ibunya telah meninggal dunia
maka hak perwalian dapat digantikan dengan kerabat ibu atau juga dapat
berpindah ke ayah.
Anak merupakan anugerah dari Allah yang harus dididik dan
dibina sebagaimana mestinya. Orang tua wajib memenuhi kebutuhan
nafkah anak, biasanya dalam hal ini merupakan kewajiban orang tua
laki-laki sebagai mana kewajiban suami dalam keluarga. Ikatan yang terjadi
antara orang tua dan anak tidak akan terputus meskipun rumah tangga
sudah hancur. Undang-undang melindungi hak-hak perempuan dan juga
anak agar jika terjadi talak anak tetap tumbuh seperti anak-anak lain. Perceraian yang terjadi karena talak maupun cerai gugat dapat
menimbulkan dampak yang tidak menyenangkan bagi perempuan.
Faktanya di Indonesia terjadi permasalahan pasca cerai talak, akibatnya perempuan yang menjadi korban. Karena orang tua perempuan lebih
berhak terhadap hadhanah, sehingga jika orangtua laki-laki tidak bertanggung jawab justru memberikan beban finansial bagi perempuan
beban yang berarti, namun bagi keluarga perempuan yang tidak mampu
akan memberatkan. Permasalahan ini sangat sering terjadi di masyarakat.
Pemikiran mantan suami yang menganggap bahwa setelah
putusnya perkawinan maka lepas pula tanggung jawab nafkah membuat
mereka enggan bertanggung jawab. Dalam mengahadapi situasi yang
demikian, seharusnya perempuan dapat menuntut melalui jalur hukum.
Namun karena mayoritas masyarakat yang kurang mengetahui hukum
mereka tidak tahu apa yang seharusnya mereka lakukan. Bahkan tidak
dapat melakukan apapun meskipun hak-hak mereka tidak terpenuhi.
Dalam penelitian ini penulis akan mengkaji para pelaku cerai talak pasca diputusnya cerai talak dan untuk mengetahui upaya-upaya yang telah dilakukan jika mantan suami tidak memberikan kewajibannya
sebagaimana mestinya. Untuk itu penulis melakuakan penelitian yang
berjudul “Upaya Mantan Isteri untuk Memperoleh Hak Pasca Cerai
Talak (Studi Kasus Pengadilan Agama Salatiga tahun 2015-2016)”
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dipaparkan di atas, maka
adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
E. Bagaimana pemenuhan hak mantan isteri pasca cerai talak?
F. Apa saja faktor yang mendorong dan menghambat pemenuhan hak
G. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh mantan istri untuk
memperoleh hak pasca cerai talak?
C. TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, beberapa hal yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pemenuhan hak mantan isteri pasca cerai talak.
2. Untuk mengetahui faktor yang mendasari dan menghambat
pemenuhan hak untuk isteri terhadap mantan suami pasca cerai talak. 3. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh mantan isteri untuk
memperoleh hak pasca cerai talak.
D. MANFAAT PENELITIAN
Dari hasil penelitian ini harapan peneliti dapat banyak memberikan
manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis. Manfaat yang
diharapkan antara lain:
C. Secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah sumbangan
D. Secara praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi terhadap
permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kewajiban yang
harus dilakukan oleh mantan suami terhadap mantan isteri dan anak
setelah putusnya cerai talak.
E. PENEGASAN ISTILAH
1. Upaya
Upaya adalah usaha, akal atau ikhtiar untuk mencapai suatu
maksud, memecahkan persoalan, mencari jalan keluar dan
sebagainya.
2. Mantan Isteri
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mantan memiliki
pengertian bekas pemangku jabatan (kedudukan) sedangkan isteri
berarti wanita (perempuan) yang telah menikah atau yang bersuami.
3. Hak
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hak memiliki pengertian
tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan,
kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh
undang-undang, aturan dsb) kekuasaan yang benar atas sesuatu atau
martabat.
Menurut pasal 66 undang No. Tahun 1989 jo
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang-Undang-Undang No. 50 Tahun 2009
tentang Peradilan Agama “Seorang suami yang beragama Islam yang
akan menceraikan isterinya mengajukan Cerai kepada Pengadilan
untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak”.
F. METODE PENELITIAN
Metode adalah suatu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan
yang dimaksud. Sementara itu, metode penelitian berhubungan dengan
erat dengan prosedur, teknik, alat, serta desain penelitian yang digunakan
(Sudrajat, 2010 dalam Asmani, 2011: 38). Dalam penelitian ini penulis
menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
7. Pendekatan Dan Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan atau field research dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini dinamakan field research
karena meneliti fenomena yang ada di lapangan atau masyarakat dan
memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dan terperinci
mengenai latar belakang keadaan sekarang yang dipermasalahkan
(Asmani, 2011: 66).
8. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini penulis melakukan observasi langsung di
Pengadilan Agama Kota Salatiga guna memperoleh informasi
perceraian karena talak. Subjek dalam penelitian ini adalah beberapa pelaku cerai talak.
9. Sumber Data
Data yang diperoleh dari sesuatu yang dapat memberikan
informasi atau disebut juga dengan istilah sumber data. Sumber data
dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder,
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Sumber data Primer, yakni segala sesuatu baik orang (people), kertas atau catatan (paper) maupun lokasi atau tempat atau
benda-benda (place) yang berhubungan langsung dengan
informasi primer dan darinya diperoleh data (informasi) primer.
b. Sumber data sekunder adalah informan atau segala sesuatu yang
memberikan informasi terkait dengan data yang diperlukan dalam
penelitian namun tidak memilki hubungan langsung dengan
fenomena yang menjadi objek penelitian ini (Moleong, 2004: 11)
Data primer dari penelitian ini adalah data yang berhubungan
dengan para pelaku cerai talak. Sedangkan yang termasuk data sekunder dalam penelitian ini adalah berupa buku-buku referensi
yang terkait dengan judul penelitian.
10. Prosedur Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah alat dan cara untuk
mengumpulkan data. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
a. Metode Wawancara
Wawancara adalah salah satu cara menggali data. Hal ini
harus di lakukan secara mendalam untuk mendapatkan data yang
detail dan valid. Wawancara mendalam adalah proses
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara
tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan
informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa
menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana
pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan social yang
relative lama (Asmani, 2011:122). Informan dalam penelitian ini
merupakan 10 mantan isteri para pelaku cerai talak.
b. Metode Observasi
Metode observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara
sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian
(Asmani, 2011:123). Dalam hal ini, penulis melakukan
pengamatan secara langsung terhadap pelaku. Dalam penelitian
ini peneliti mengamati para pelaku dengan cara mendatangi para
informan dan melihat kondisi mereka secara langsung.
11. Pengecekan Keabsahan Data
Keabsahan data merupakan hal yang sangat penting dalam
penelitian, karena dari data itulah nantinya akan muncul beberapa
teori. Untuk memperoleh keabsahan temuan, peneliti akan
lapangan, observasi yang diperdalam, triangulasi (menggunakan
beberapa sumber, metode, teori), pelacakan kesesuaian dan
pengecekan anggota. Jadi temuan data tersebut bisa diketahui
keabsahannya.
12. Tahap-Tahap Penelitian
a. Pengumpulan data
b. Pemilihan data yang sesuai dengan fokus pembahasan
c. Pemilihan data yang valid
d. Analisa awal
e. Penyusunan teks dan penarikan kesimpulan awal
f. Analisa kesimpulan adakah data yang kurang valid dimasukkan
g. Penyusunan teks dan laporan akhir penelitian
13. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan disusun untuk mempermudah dalam
pengkajian dan memahami permasalahan yang dibahas. Adapun
sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Bab Pertama merupakan bagian awal penelitian yang berisi Latar
Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan
Penelitian, Penegasan Istilah, Metode Penelitian dan Sistematika
Penulisan.
Bab Kedua akan diuraikan tentang Definisi Cerai talak, Bentuk-Bentuk Cerai Talak, Dampak dari Cerai Talak, Cerai Gugat, Definisi
Selanjutnya Bab Ketiga akan digambarkan tentang Sejarah
Pengadilan Agama Salatiga, Profil Keluarga, Pemenuhan Kewajiban
Mantan Suami Pasca Cerai talak, Faktor Pendorong dan Penghambat
Pemenuhan Nafkah
Bab Keempat merupakan pemaparan analisis deskriptif hasil
penelitian, Upaya Mantan Isteri untuk Memperoleh Nafkah Pasca
Cerai talak.
Dan Bab Kelima adalah penutup merupakan bagian akhir
BAB II
CERAI TALAK MENURUT HUKUM
A. Pengertian Perceraian
1. Cerai talak menurut Undang-Undang dan Kompilasi Hukum Islam
Pada prinsipnya perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal untuk itu suami istri perlu saling membantu dan
melengkapi agar masing-masing dapat merasakan ketenteraman dan
mencapai tujuan sakral dari perkawinan. Sedangkan untuk cerai talak pada prinsipnya adalah mempersukar perceraian. Cerai talak terjadi dikarenakan adanya hal-hal yang terjadi dalam rumah tangga,
misalnya suami tidak melaksanakan kewajibannya terhadap istri
suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin kepada istri dalam
waktu yang lama, atau suami memperlakukan isteri dengan tidak
baik. Selain itu adanya perbedaan yang memang tidak dapat
diselaraskan lagi oleh suami istri tersebut sehingga talak dipilih
menjadi solusi terakhir.
Tentang berakhirnya perkawinan, undang-undang perkawinan di
Indonesia mempergunakan istilah putusnya perkawinan, dan menurut
Pasal 38 dikenal adanya tiga macam cara putusnya perkawinan, yaitu:
a. Kematian
b. Perceraian
Perceraian bisa diartikan sebagai suatu cara yang sah untuk
mengakhiri suatu perkawinan. Sedangkan menurut KUHP perceraian
adalah pengakhiran suatu perkawinan karena suatu sebab dengan
keputusan hakim atas tuntutan dari salah satu pihak atau kedua belah
pihak dalam perkawinan.
Pengertian talak terdapat dalam pasal 117 KHI yang
menyebutkan pengertian talak terdapat dalam pasal 117 KHI yang menyebutkan bahwa, “Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang
pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya
perkawinan. Dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129,
130 dan 131”. Jadi Cerai talak adalah putusnya ikatan suami istri yang dilakukan di hadapan pengadilan dan menyebabkan akibat
hukum tertentu kedua pihak tersebut.
Menurut hukum perkawinan nasional bagi suami yang ingin
menjatuhkan talak kepada istrinya harus mengajukan talak ke pengadilan agama bagi yang beragama Islam. Hal ini sesuai dengan
ketentuan pasal 39 undang-undang perkawinan:
a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
Berdasarkan bunyi pasal di atas, Cerai talak dapat terjadi apabila dilakukan di depan sidang pengadilan. Artinya tidak ada talak dalam
Karena Cerai talak yang dilakukan di luar pengadilan tidak diakui oleh hukum. Lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa talak yang
dilakukan di luar pengadilan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap
(no legal force). Meskipun pada dasarnya hukum Islam tidak
mengatur bahwa Cerai talak itu harus dilakukan di depan pengadilan. Lembaga inilah yang bertugas menyelesaikan sengketa perdata bagi
masyarakat yang beragama Islam.
Cerai talak hanya dapat dilakukan dengan adanya cukup alasan yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan pemerintah,
yang dalam peraturan pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang
pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan
pada pasal 19 Cerai talak dapat terjadi karena alasan :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain tanpa alasan yang sah atau hal lain di luar kamampuannya
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/ istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Alasan dibenarkannya Cerai talak antara suami/istri yang terikat dalam suatu perkawinan dalam Pasal 116 Instruksi Presiden No.1
sebagaimana disebutkan dalam peraturan pemerintah No.9 tahun
1975. Akan tetapi ada penambahan alasan, yakni sebagai berikut :
a. Suami melanggar taklik talak.
b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidak rukunan dalam rumah tangga.
2. Cerai talak menurut Hukum Islam
Menurut bahasa Arab, kata talak bermakna, “pelepasan atau
penguraian tali pengikat, baik tali pengikat riil seperti tali pengikat
sapi, maupun tali pengikat itu bersifat maknawi seperti tali pengikat
perkawinan”. Menurut Hukum Islam haktalak itu ada ditangan suami
walaupun hak itu dimungkinkan oleh hukum berada di tangan hakim.
Menjatuhkan talak tanpa alasan yang dibenarkan dibenci oleh hukum
Islam dan dimurkai Tuhan. Oleh karenanya maka suami dalam
menjatuhkan talak-nya haruslah dengan alasan dan cara yang
dibenarkan dalam hukum Islam. Talak itu hukumnya makruh
sekalipun juga ada hikmahnya. (Rasjid, 1994: 401)
Talak menurut istilah ialah melepaskan ikatan pernikahan dengan
kata-kata talak atau yang seumpamanya, misalnya “Aku talak
engkau”. Dengan ucapan yang demikian maka putuslah ikatan
pernikahan antara suami istri tersebut (Jamaluddin, 2010: 45-46).
Kata-kata talak seperti itu sudah memutuskaan ikatan tali perkawinan
Meskipun Islam mensyariatkan talak, tetapi tidak berarti agama Islam menyukai talak dalam suatu perkawinan. Dalam ajaran Islam,
perceraian pada prinsipnya dilarang ini dapat dilihat pada hadits
Rasullullah Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud
Ibnu Majah dan Al hakim dari Ibnu Umar yang menyatakan bahwa
talak atau perceraian adalah perbuatan halal yang paling dibenci Allah. (Rofiq, 1998: 268-269)
“Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah
Talak (perceraian)”. HR Abu Daud dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar.
Bahkan dalam hadits lain, seorang istri yang meminta talak atas
suaminya sangat dikecam oleh Islam. Rasulullah SAW bersabda:
“Wanita yang meminta suaminya menalak tanpa ada alasan yang mendesak, maka haram baginya bau surga.”(HR. Abu Dawud,
t.t, juz. 2: 268).
Hukum asal dari Cerai talak adalah boleh, namun dapat berubah
sesuai dengan keadaanya, antara lain:
a. Wajib
Apabila terjadi perselisihan antara dua suami-istri dan kedua hakim memandang perlu supaya keduanya bercerai.
b. Sunnat
Apabila suami tidak sanggup lagi membayar kewajibannya (nafkahnya) dengan cukup, atau perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya.
Dalam dua perkara: pertama menjatuhkan Talak sewaktu si istri dalam keadaan haid, dan kedua menyatuhkan Talak sewaktu suci yang telah dicampurinya pada waktu suci itu.
d. Makruh
Hukum asal yang bersumber dari hadits Rasullulah yaitu bahwa talak dihalalkan akan tetapi dibenci oleh Allah. (Rasjid, 1976: 380)
3. Bentuk-bentuk Perceraian
Adapun menurut Hukum Islam, ada beberapa sebab-sebab
putusnya hubungan perkawinan, yaitu :
a. Talak
Dalam ajaran Islam, talak merupakan perbuatan yang
dihalalkan akan tetapi dibenci oleh Allah. Meskipun talak pada prinsipnya dihalalkan oleh Allah, akan tetapi pada keadaan
tertentu talak tersebut dilarang untuk dijatuhkan pada seorang
istri, berdasarkan keadaan-keadaan tertentu. Dalam Islam dikenal
talak raj’i dan talak ba’in.
Talak raj’i yaitu talak yang diizinkan rujuk kembali jika
masih dalam masa iddah. Talak raj’i ini berupa talak satu atau
talak dua tanpa iwadh (uang pengganti) dari mantan istri. Namun apabila suami melakukan rujuk setelah habis masa iddah maka harus dilakukan akad perkawinan yang baru.
Talak Ba’in yaitu talak yang suami tidak diperbolehkan
melakukan rujuk kembali kepada mantan istrinya kecuali dengan
syarat tertentu. Talak ba’in terbagi menjadi dua macam, antara
1) Talak Ba’in Sughra yaitu talak satu atau talak dua yang disertai uang iwadh dari pihak istri. Talak ba’in sughra tidak
boleh rujuk tetapi boleh menikah lagi dengan bekas suaminya
meskipun dalam keadaan iddah, talak bain sughra dapat
terjadi karena talak yang terjadi sebelum suami istri
bercampur (qabla al dhukul), yang dijatuhkan oleh
pengadilan agama.
2) Talak Ba’in kubro yaitu talak yang terjadi untuk ketiga kalinya talak ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat
dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan
setelah istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi
Cerai talaksetelah diantara suami istri tersebut pernah
bercampur (Cerai talakba’dal dhukul) Cerai talaktersebut telah pula habis, masa iddahnya.
Jika dilihat dari keadaan kapan talak tersebut dijatuhkan
dalam keadaan suci atau tidak ada dua macam yaitu talak sunni
dan bid’i. Talak sunni adalah talak yang berjalan sesuai ketentuan agama, yaitu seseorang suami mentalak perempuan yang pernah dicampurinya dengan sekali talak pada masa yang bersih dan
belum ia sentuh kembali selama masa bersih itu Instruksi
Presiden RI No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
suci dan tidak di campuri pada waktu suci. Selanjutnya, talak
bid’i adalah talak yang dilarang oleh ajaran agama Islam Pasal
122 Instruksi Presiden Republik Indonesia No 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam meyebutkan “talak bid’i adalah
talak yang dilarang di jatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid atau istri dalam keadaan suci tetapi sudah di campuri pada
waktu suci itu”.
b. Khuluk
Cerai talakyang terjadi atas kehendak istri dengan membayar
‘iwad atau tebusan kepada suami. (Wasman, 2011: 86).
c. Syiqaq
Ialah perselisihan atau menurut istilah Fiqh berarti
perselisihan suami-istri yang diselesaikan dua orang hakam, satu
orang dari pihak suami dan yang satu dari pihak istri. (Aziz,
1996: 1708)
d. Fasakh
Ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa
perkawinan itu diputuskan/ dirusakkan atas permintaan salah satu
pihak oleh hakim Pengadilan Agama. Biasanya yang menuntut
fasakh di pengadilan adalah istri. (Ghozali, 2006: 203)
e. Ta’lik Talak
yang bertentangan dengan ta’lik tersebut. Sedangkan menurut Sudarsono, dalam bukunya “Pokok-pokok Hukum Islam” menyebutkan bahwa ta’lik talak adalah suatu talak yang digantungkan terjadinya peristiwa tertentu sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya antara suami isteri tersebut. (Abdul, 2009: 29)
f. Ila’
Ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila’ mempunyai arti khusus dalam hukum perkawinan mereka, yakni suami bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya, waktunya tidak ditentukan dan selama itu istri tidak ditalak ataupun diceraikan. Sehingga jika keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak istri karena keadaannya terkatung-katung dan tidak berketentuan.(Hajar, 1992: 550)
4. Bentuk Cerai Dalam Hukum Positif
a. Cerai Talak (Cerai)
Seorang suami yang diberi hak mutlak untuk mentalak istrinya. Hak talak diberikan kepada suami merupakan ketentuan
dari Al-Qur’an, sejalan dengan hal tersebut peraturan perundang
-undangan tentang perkawinan di Indonesia juga memberikan hak
mutlak kepada seorang suami untuk mentalak istrinya, tetapi
dengan ketentuan:
1) Perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan.
2) Perceraian harus disertai dengan alasan-alasan sebagaimana
yang telah diatur undang undang.
3) Mengikuti prosedur sebagaimana diatur dalam Pasal 66 dst.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dan ketentuan
perundang-undangan lainnya. Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam
karena talak, maka bekas suami wajib memberikan kepada bekas istrinya:
1) Mut’ah yang layak berupa uang atau barang;
2) Nafkah iddah yang meliputi nafkah tempat tinggal (maskan) dan perlengkapan hidup (kiswah);
3) Melunasi mahar yang belum lunas terbayar;
4) Biaya hadhanah/ biaya pemeliharaan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
Pasal 66 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama (UUPA) menyatakan:
1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan
istrinya mengajukan Cerai kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. Dalam rumusan Pasal 14 PP Nomor 9 Tahun 1975 dijelaskan beserta pengadilan tempat Cerai itu diajukan. Seorang suami yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
2) Cerai sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
3) Dalam hal pemohon bertempat kediaman di luar negeri, Cerai
dapat diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka Cerai diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat. 5) Cerai soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan
Mahkamah Syariyah dapat mengabulkan atau menolak Cerai tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi (Pasal 130 KHI). Langkah berikutnya adalah pemeriksaan oleh pengadilan. Pasal 68 UU Peradilan Agama menyebutkan:
6) Pemeriksaan Cerai cerai talak dilakukan oleh majelis hakim selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari setelah berkas atau surat Cerai cerai talak didaftarkan di kepaniteraan.
7) Pemeriksaan Cerai cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.
Selanjutnya Pasal 70 UU Peradilan Agama dan Pasal 16 PP
Nomor 9 tahun 1975 menyebutkan:
1) Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian maka pengadilan menetapkan bahwa Cerai tersebut dikabulkan;
2) Terhadap penetapan sebagai mana yang dimaksud dalam ayat
(1), istri dapat mengajukan banding;
3) Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum
tetap, pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut;
4) Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akata otentik untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh istri atau kuasanya;
5) Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau walinya;
6) Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang Penyaksian ikrar talak tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan Cerai talaktidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.
b. Cerai Gugat
Cerai gugat yaitu seorang istri menggugat suaminya untuk
mengabulkan gugatan yang dimaksud sehingga putus hubungan
penggugat (istri) dengan tergugat (suami) perkawinan (Ali, 2006:
77). Dalam peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang
merupakan Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam hal teknis yang
menyangkut kompetensi wilayah pengadilan-seperti dalam cerai
talak mengalami perubahan. Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 menyatakan:
1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat; 2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri,
gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di
luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi perkawinan mereka dilangsungkan
atau kepada pengadilan Agama Jakarta Pusat. (Lihat Pasal 132
KHI jo Pasal 20 PP Nomor 9 Tahun 1975)
B. Akibat Hukum Mantan Istri Karena Cerai Talak
Seorang suami yang diberi hak mutlak untuk mentalak istrinya. Hak
talak diberikan kepada suami merupakan ketentuan dari Al-Qur’an, sejalan dengan hal tersebut peraturan perundang-undangan tentang
perkawinan di Indonesia juga memberikan hak mutlak kepada seorang
1. Perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan.
2. Perceraian harus disertai dengan alasan-alasan sebagaimana yang telah diatur undnag-undang.
3. Mengikuti prosedur sebagaimana diatur dalam Pasal 66 dst.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dan ketentuan perUndang-undang-Undang-undangan lainnya.
Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam lebih tegas lagi menyebutkan
bahwa bila mana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib
memberikan kepada bekas istrinya:
1. Mut’ah yang layak berupa uang atau barang.
2. Nafkah iddah yang meliputi nafkah tempat tinggal (maskan) dan perlengkapan hidup (kiswah).
3. Melunasi mahar yang belum lunas terbayar;
4. Biaya hadhanah atau biaya pemeliharaan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
Pasal 66 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama (UUPA) menyatakan:
1. Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya
mengajukan Cerai kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. Dalam rumusan Pasal 14 PP Nomor 9 Tahun 1975 dijelaskan beserta pengadilan tempat Cerai itu diajukan.
Seorang suami yang melangsungkan perkawinan menurut
agamaIslam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
2. Cerai sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
3. Dalam hal pemohon bertempat kediaman di luar negeri, Cerai dapat
diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
4. Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar
5. Cerai soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan Cerai cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.
Cerai sebagaimana yang dimaksud memuat: (a) nama, umur, dan
tempat kediaman pemohon, yaitu suami dan termohonya itu istri; (b)
alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak (Pasal 19 PP Nomor 9 tahun 1975 jo. Pasal 116 KHI). Terhadap Cerai yang diajukan, pengadilan
agama/ Mahkamah Syariyah dapat mengabulkan atau menolak Cerai
tersebut, dan terhadap keputusan tersebutdapat diminta upaya hukum
banding dan kasasi (Pasal 130 KHI). Langkah berikutnya adalah
pemeriksaan oleh pengadilan. Pasal 68 UU Peradilan Agama
menyebutkan:
1. Pemeriksaan Cerai cerai talak dilakukan oleh majelis hakim
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat
Cerai cerai talak didaftarkan di kepaniteraan.
2. Pemeriksaan Cerai cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup. Selanjutnya Pasal 70 UU Peradilan Agama dan Pasal 16 PP Nomor 9
tahun 1975 menyebutkan:
1. Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian maka pengadilan menetapkan bahwa Cerai tersebut dikabulkan.
2. Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), istri dapat mengajukan banding.
3. Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap,
pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut.
4. Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa
5. Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, Maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau walinya.
6. Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.
Jika kita perhatikan pula, dalam intruksi Presiden No 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi hukum Islam akibat putusnya perkawinan lebih
diperinci yakni akibat cerai talak, cerai gugat khuluk dan lian. Hak seorang suami untuk menceraikan diatur dalam Pasal 66 sedangkan dalam
Intruksi Presiden RI No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
diatur dalam pasal 129 sampai dengan pasal 131 Oleh karena itu, cerai
talak adalah hak suami menceraikan istri dengan alasan yang cukup
sebagai mana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku. (Sabiq, 2001 :42-43)
Akibat terjadinya cerai talak menurut ketentuan Pasal 149 Intruksi
Presiden RI No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Talak ba’in atau istri nusyuz (istri durhaka) dan dalam keadaan tidak hamil.
3. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh
C. Akibat Hukum Mantan Istri Karena Gugat Cerai.
Cerai gugat adalah permohonan yang diajukan oleh seorang istri
kepada pengadilan agama dengan maksud untuk bercerai dengan
suaminya yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Hal ini
diatur dalam Pasal 156 Inpres RI No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam yang menyebutkan bahwa Anak yang belum mumayyiz
(berusia 12 tahun) berhak mendapatkan dari ibunya kecuali ibunya telah
meninggal dunia maka kedudukannya digantikan oleh :
1. Wanita-wanita dalam garis ke atas dari ibu.
2. Ayah.
3. Wanita-wanita dalam garis ke atas dari ayah
4. Saudari perempuan dari anak yang bersangkutan.
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu. 6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
Anak yang sudah mumayyiz (berusia 12 tahun) berhak memilih untuk mendapatkan mumayyiz dari ayah atau ibunya. Ketentuan pasal 156 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompulasi Hukum Islam menyatakan bahwa jika terjadi talak karena kehendak istri (gugat cerai) biaya nafkah anak tetap dibebankan kepada
orang tua laki-laki (ayah) sampai anak berusia 21 tahun. Jika diperhatikan
pula ketentuan pasal tersebut dengan tegas mengatur bahwa hak terhadap
anak yang belum mumayyiz (berusia 12 tahun) berada pada mantan isteri,
Menurut pendapat ulama cerai gugat itu kedudukannya seperti talak sedangkan talak yang ditalik kedudukannya seperti talak yang dilakukan
secara langsung. talak itu baik terjadi karena suami atau atas permintaan istri, statusnya sama saja. Begitu pula setiap putusnya perkawinan yang
bukan disebabkan oleh istri, artinya bersumber dari suami misalnya suami
murtad, li’an.
D. Hak Bagi Anak Pasca Cerai Talak
1. Pengertian Anak
Anak mengandung banyak arti apa lagi bila kata anak diikuti
dengan kata lain misalnya anak turunan, anak kecil, anak sungai, anak
negeri, dan lain sebagainya. (Hilman, 1992: 83) Anak adalah putra
putri kehidupan, masa depan bangsa dan negara. Oleh karena itu anak
memerlukan pembinaan agar dapat berkembang mental dan
spiritualnya secara maksimal. (Imam Jauhari, 2003: 80). Berikut ini
merupakan pengertian anak menurut beberapa peraturan
perundang-undangan yang berlaku Di Indonesia antara lain:
a. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah
mencapai umum 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur
b. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia
dinyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di
bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk
anak yang masih dalam kandungan apa bila hal tersebut adalah
demi kepentingannya.
c. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak
dinyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
d. Convention On The Rights Of Child (1989) yang telah diratifikasi
pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990
disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun
kebawah.
e. UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia
sampai dengan 18 tahun.
Jadi, Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka dapat
dinyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18
tahun (0-18 tahun).
Pengertian anak dalam hukum perdata tidak diatur secara
eksplisit Pengertian anak selalu dihubungkan dengan kedewasaan
sedangkan mengenai istilah kedewasaan tidak ada keseragaman
dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (BW)anak belum dewasa adalah
dahulu kawin, UU No 1 tahun 1974 tidak lugas mengatur mengenai
kapan seorang digolongkan sebagai anak, Secara tersirat dalam Pasal
6 ayat 2 yang menyatakan bahwa syarat perkawinanbagi seorang
yang belum berumur 21 tahun harus mendapat ijin orang tuanya,
Pasal 7 ayat 1 UU No 1 tahun 1974 menyatakan bahwa minimal usia
anak dapat kawin pria 19 tahun dan wanita 16 tahun.
Di sisi lain, Pasal 47 ayat 1 UU No 1 tahun 1974 menyatakan
bahwa anak yang belum mencapai 18 tahun atau belum melakukan
pernikahan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka
tidak mencabut kekuasaan orang tuanya. Dalam Inpres RI No 1 tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam batas usia dewasa diatur dalam
Pasal 98 ayat 1 dinyatakan bahwa dewasa adalah 21 tahun sepanjang
anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental ataupun belum pernah
melakukan perkawinan.
Dalam ajaran Islam, anak adalah amanat Allah kepada kedua
orang tuanya, masyarakat, bangsa dan negara sebagai waris dari
ajaran Islam, anak menerima setiap pengajaran dan mengikuti semua
pengarahan yang diberikan kepadanya. Oleh karena itu anak perlu
dididik dan diajari dengan kebaikan.
Langkah yang bijaksana pemerintah Indonesia, dilakukan pada
tahun 1979 dengan mengundangkan Undang-Undang No. 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak. Hak-hak anak meliputi:
c. Hak atas pemeliharaan dan perlindungan. d. Hak atas perlindungan lingkungan hidup.
e. Hak mendapatkan pertolongan pertama.
f. Hak untuk memperoleh asuhan.
g. Hak untuk memperoleh bantuan.
h. Hak diberi pelayanan dan asuhan.
i. Hak untuk memeperoleh pelayanan khusus.
j. Hak untuk mendapatkan bantuan dan pelayanan
Sesuai dengan peraturan di atas, Anak berhak atas kesejahteraan,
perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik
dalam keluarga maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan
berkembang dengan wajar. Anak berhak atas pelayanan untuk
mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai
dengan kepribadian bangsa untuk menjadi warga negara yang baik
anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam
kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas
perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan
atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan yang wajar.
2. Hak Nafkah Anak Pasca Cerai Talak
Dalam pandangan Islam anak adalah titipan Allah SWT kepada
orang tua, masyarakat, bangsa, negara sebagai penerus umat Islam.
Kemajuan umat Islam di masa yang akan datang berada di tangan
anak-anak. Jadi, masalah anak dalam pandangan Al-Qur’an menjadi
tanggung jawab kedua orang tuanya yaitu tanggung jawab syariat
Islam yang harus dilaksanakan dalam kehidupan berumah tangga,
masyarakat bangsa dan negara sebagai suatu yang wajib. Ketentuan
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. inilah yang akan memberi rezek ikepada mereka dan juga kepadamu, sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang amat besar”. (Departemen Agama, 1987: 428-429) Dalam Al-Qur’an Allah telah memerintahkan bahwa orang tua
wajib memelihara, mengasuh mendidik dan menjaga anaknya
menurut kemampuannya. Disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat
233 sebagai berikut:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban seorang ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya janganlah
seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
kamu kepada Allah dam ketahuilah bahwa Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 233)
Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam memuat hukum material tentang
perkawinan, kewarisan dan wakaf yang merumuskan secara
sistematis hukum di Indonesia secara konkret, maka untuk itu dalam
hal ini perlu dirujuk mengenai ketentuan-ketentuan dalam Kompilasi
Hukum Islam yang mengatur tentang kewajiban orang tua terhadap
anak.
Pasal 77 Instruksi Presiden RI No. 1 tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan: Ayat (1) Suami istri memikul
kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah
mawaddah dan warahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat. Ayat (2) Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh
dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan
jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.
Dalam Pasal 80 ayat 4 Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam ditegaskan pula bahwa suami
menanggung biaya rumah tangga biaya perawatan dan biaya
pengobatan bagi istri dan anak sesuai dengan kemampuan
penghasilannya. Selanjutnya dalam pasal 81 ditegaskan bahwa suami
wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anak dalam
a. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah
21 tahun sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental
atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
b. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan
hukum didalam maupun di luar pengadilan.
c. Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat
yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang
BAB III
PEMENUHAN HAK MANTAN ISTERI SERTA FAKTOR PENDORONG DAN PENGHAMBAT PEMENUHAN HAK
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Salatiga
1. Profil Pengadilan Agama Salatiga
Pengadilan Agama sudah ada sejak Islam masuk ke Indonesia.
Pengadilan Agama Salatiga timbul bersama dengan perkembangan
kelompok masyarakat yang beragama Islam di Salatiga dan
Kabupaten Semarang. Pada masa itu masyarakat menyelesaikan
perkara melalui Qodli (hakim) yang diangkat oleh Sultan atau Raja yang kekuasaannya merupakan tauliyah dari waliyul amri yakni
penguasa tertinggi. Begitu juga pada masa penjajahan Belanda,
masyarakat Islam khususnya Salatiga tetap menyelesaikan perkaranya
kepada hakim.
Kemudian pemerintah kolonial Belanda menerbitkan pasal 134
ayat 2 IS (Indische Staatsregaling) sebagai landasan formil untuk
mengawasi kehidupan masyarakat Islam dibidang peradilan yaitu
Raad Agama dan perselisihan dalam bidang warisan diserahkan
kepada alim ulama. Pengadilan Agama Salatiga pada waktu itu
bertempat di serambi masjid kauman Salatiga dengan ketua dan
hakim anggota diambil dari alumni pondok pesantren.
Setelah kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Pengadilan
Agama Salatiga berjalan seperti biasanya Pada tahun 1949 ketua
bertempat di serambi masjid Al-Atiq Kauman Salatiga, bersebelahan
dengan Kantor Urusan Agama Salatiga yang sama-sama
menggunakan serambi masjid sebagai kantor.
Pada tahun 1951 pengadilan Agama Salatiga pindah kantor dari
serambi masjid Al Atiq Kauman ke kantor di Jalan Diponegoro no. 72
Salatiga sampai tahun pertengahan tahun 2009. Kantor pengadilan
tersebut belum memenuhi standar gedung pengadilan karena
merupakan peninggalan zaman kuno yang ada balai sidangnya dan
gedung tersebut hanya berstatus hak pakai dengan nomor sertifikat
4485507 tanggal 8 Maret 1979.
Mulai tanggal 1 Mei 2009 Kantor Pengadilan Agama Salatiga
pindah di Jalan Lingkar Selatan Dukuh Jagalan Rt 14/05 Cebongan
Tingkir Salatiga yang diketuai oleh Drs. H. Masrukhan, MS. MH.
MH.
2. Kewenangan Pengadilan Agama
Pengadilan Agama dibentuk berdasarkan Staat blaad tahun 1882
no. 152 tentang pembentukan pengadilan agama di Jawa dan Madura.
Berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI KMA No. 76 th 1983
tanggal 10 November 1983 tentang penetapan perubahan wilayah
hukum Pengadilan Agama pasal 5 ayat 4 menyebutkan bahwa
wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga dikurangi dengan daerah
Kecamatan Gunung Pati, kecuali Desa Kalisidi dan Kaji serta
Kedawung, Sumur Jurang, Sumur Gunung, Rowosari, Kranas,
Bulusan, Padalangan Mentasih, Jabungan, Mangunharjo dan
Tumbalang dari Kecamatan Ungaran.
Berdasarkan pasal 5 ayat 4 tersebut maka sesuai Lampiran
Keputusan Menteri Agama RI No. 76 Tahun 1983 tanggal 10
Noveember 1983, wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga adalah
4 kecamatan di wilayah kota Salatiga yaitu Kecamatan Sidorejo,
Kecamatan Sidomukti, Kecamatan Argomulyo, Kecamatan Tingkir
dan 9 kecamatan di wilayah Kabupaten Semarang yaitu Kecamatan
Bringin, Bancak, Tuntang, Getasan, Tengaran, Susukan, Kaliwungu,
Suruh dan Pabelan.
Kewenangan Pengadilan Agama terdiri dari dua macam
kewenangan yaitu kewenangan absolut dan kewenangan relatif.
a. Kewenangan Relatif
Kewenangan relatif pengadilan Agama dalam perkara
tertentu, terutama dalam perceraian terdapat beberapa ketentuan,
antara lain:
1) Kewarisan
2) Wasiat
3) Hibah
4) Wakaf
5) Shodaqoh
6) Ekonomi syari’ah
7) Pengangkatan anak berdasarkan UU No. 3
b. Kewenangan Absolut
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
1) Perkawinan, yang diatur dalam UU perkawinan yang berlaku
antara lain :
e) Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah
f) Pembatalan nikah
2) Harta, dalam bagian ini meliputi:
a) Harta bersama
Pengadilan Agama Salatiga membawahi daerah hukum
meliputi seluruh wilayah Kota Madya Salatiga dan beberapa
kecamatan yang secara administrasi termasuk Wilayah
1) Wilayah Kota Salatiga yang meliputi beberapa kecamatan
antara lain:
a) Kecamatan Sidorejo
b) Kecamatan Sidomukti
c) Kecamatan Tingkir
d) Kecamatan Argomulyo
2) Kabupaten Semarang yang meliputi beberapa kecamatan,
yaitu:
a) Kecamatan Tuntang
b) Kecamatan Tengaran
c) Kecamatan Susukan
d) Kecamatan Pabelan
e) Kecamatan Suruh
f) Kecamatan Beringin
Panitera/Sekretari
Adapun struktur organisasi Pengadilan Agama Salatiga adalah
sebagai berikut:
KETUA
Drs. H. Umar Muchlis
Wakil Ketua
Drs. Muhdi Kholil, SH., M.A., M.M
Tertib administrasi perkara adalah syarat mutlak yang harus
dilaksanakan oleh semua aparat peradilan agama dalam rangka
mewujudkan peradilan yang mandiri sesuai dengan peraturan yang
berlaku.tugas pokok pengadilan adalah sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 pasal 2 yaitu menerima,
memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan
kepadanya. Tugas-tugas administrasi dilakukan oleh panitera,
meliputi tugas pelaksana administrasi Negara, tugas pendamping
hakim dalam persidangan dan tugas pelaksana putusan/ penetapan
pengadilan serta tugas-tugas kejurusitaan yang lainnya.
Panitera sebagai pelaksana administrasi perkara berkewajiban
mengatur tugas-tugas para pembantunya yaitu wakil panitera dan
panitera muda. Sebagai pendamping majlis hakim dalam persidangan
panitera berkewajiban mencatat jalannya persidangan yang kemudian
dibuat berita acara persidangan. Sebagai pelaksana putusan dan
pelaksana tugas kejurusitaan lainnya, panitera dibantu oleh jurusita
pengadilan agama atau jurusita pengganti.
Dalam rangka melaksanakan tugas pokok pengadilan panitera
menerina perkara yang diajukan ke pengadilan agama untuk diproses
lebih lanjut. Prosedur penerimaan perkara yang diajukan ke
pengadilan agama melalui beberapa meja yang merupakan kelompok
pelaksanan teknis yang harus dilalui oleh suatu perkara di pengadilan
a. Meja I
Adapun tugas dari meja I ini antara lain :
1) Menerima gugatan, perlawanan, banding, kasasi, peninjauan kembali, eksekusi, penjelasan dan penaksiran biaya perkara dan biaya eksekusi.
2) Membuat surat kuasa untuk membayar (SKUM) rangkap tiga
menyerahkan SKUM tersebut kepada calon penggugat atau pemohon.
3) Menyerahkan kembali surat gugatan atau Cerai kepada calon
penggugat atau pemohon.
4) Menaksir biaya perkara yang kemudian dinyatakan dalam SKUM.
5) Selain itu meja I berkewajiban memberi penjelasan yang dianggap perlu dan berkenaan dengan perkara yang diajukan.
Bagian dari meja pertama lainnya adalah kasir yang bertugas
menerima pembayaran uang panjar perkara sebagaimana tersebut
dalam SKUM, dam membukukan dalam buku jurnal. Pemegang
kas menandatangani SKUM, membubuhi nomor urut perkara dan
tanggal penerimaan perkara dalam SKUM dan dalam surat
gugatan atau Cerai. Kemudian mengembalikan surat gugatan atau
Cerai dan SKUM kepada calon penggugat atau pemohon.
b. Meja II
1) Menerima surat gugat atau perlawanan dari calon penggugat/
pelawan sebanyak jumlah tergugat atau terlawan rangkap dua.
2) Menerima surat pemohon dari calon pemohon
sekurang-kurangnya rangkap dua.
3) Menerima tindasan pertama SKUM dari calon penggugat/
pelawan/ pemohon.
4) Mencatat surat gugatan/ Cerai dalam buku register yang bersangkutan serta memberi nomor register pada surat gugatan atau Cerai tersebut.
5) Menyerahkan kembali satu rangkap surat gugatan/ Cerai yang
6) Surat gugatan atau Cerai yang asli dimasukkan dalam map khusus meserta tindasan pertama SKUM dan surat-surat yang berhubungan dengann gugatan yang disampaikan pada Ketua Pengadilan Agama melalui Panitera.
7) Mendaftar atau mencatat putusan pengadilan dalam semua buku register yang bersangkutan.
c. Meja III
1) Menyerahkan salinan putusan kepada yang bersangkutan.
2) Menyerahkan salinan penetapan Pengadilan Agama kepada
pihak yang berkepentingan.
3) Menerima memori atau kontra memori banding/ kasasi,
jawaban, tanggapan dan lain-lain.
4) Mempersiapkan berkas
Proses berperkara di Pengadilan Agama Salatiga adalah sebagai
berikut:
a. Penerimaan perkara
Pemohon atau penggugat mengajukan Cerai atau gugatan ke
Pengadilan Agama kemudian petugas dari meja I membuatkan
SKUM untuk penggugat atau pemohon. Selanjutnya penggugat
/pemohon membayar ke kasir sesuai yang tertera pada SKUM. Oleh
petugas meja II perkara tersebut didaftar dan dicatat dalam buku
register perkara, kemudian berkas perkara dilengkapi formulir
penetapan majelis hakim dan disampaikan kepada ketua pengadilan.
Ketua pengadilan menunjuk majelis hakim yang akan menyidangkan
perkara tersebut. Majelis hakim yang ditunjuk menetapkan hari
sidang dan memerintahkan jurusita untuk memanggil pihak-pihak
yang berperkara menghadap di persidangan.
Di dalam pemeriksaan perkara tentunya bukan hanya satu atau
dua kali dalam melaksanakan persidangan, akan tetapi terdapat enam
persidangan yaitu:
1) Sidang I
Pada sidang pertama ini majelis hakim membuka persidangan
dan diperintahkan kepada kedua belah pihak berperkara
menghadap persidangan. Jika penggugat tidah hadir di
persidangan majelis dapat memerintahkan untuk memanggil
kembali penggugat, demikian juga jika tergugat tidak datang
menghadap. Setelah kedua belah pihak hadir, majelis
mengupayakan perdamaian melalui mediasi dengan didampingi
oleh hakim mediator.
2) Sidang II
Apabila upaya mediasi berhasil, maka perkata telah selesai
baik dengan dicabut atau dengan tercapainya perdamaian. Namun
jika upaya damai gagal, maka dilanjutkan sidang kedua (untuk
perkara perceraian, terlebih dahulu majelis menyatakan sidang
tertutup untuk umum), dengan agenda penbacaan gugatan dari
pihak penggugat.
Dalam sidang ketiga ini diagendakan untuk pembacaan
jawaban dari tergugat atas surat gugatan penggugat. Jawaban
dapat diberikan secara lisan.
4) Sidang IV
Kemudian sidang dilanjutkan dengan agenda tanggapan oleh
penggugat (replik) dan terhadap tanggapan dari penggugat,
tergugat dapat memberikan tanggapan balik yang disebut Duplik.
5) Sidang V
Setelah tanggapan yang disampaikan kedua belah pihak,
maka sidag selanjutnya adalah pembuktian, baik berupa surat,
saksi, pengakuan, sumpah dan persangkaan
6) Sidang VI
Setelah pembuktian selesai maka kedua belah pihak diberikan
kesempatan untuk membuat kesimpulan. Dan majlis
bermusyawarah untuk mengambil putusan yang akan diberikan
kepada para pihak.
7) Penyelesaian perkara
Setelah putusan diberikan oleh majlis hakim, untuk
perceraian, para pihak dapat menyelesaikan perkara administrasi
dengan mengambil salinan putusan dan akta cerai yang telah
disiapkan oleh petugas.
Terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum