• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN PUTUSAN OLEH PENGADILAN TINGGI AGAMA SEMARANG NO. 224/PDT.G/2011/PTA. SMG. TENTANG CERAI TALAK.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN PUTUSAN OLEH PENGADILAN TINGGI AGAMA SEMARANG NO. 224/PDT.G/2011/PTA. SMG. TENTANG CERAI TALAK."

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN PUTUSAN

OLEH PENGADILAN TINGGI AGAMA SEMARANG NO.

224/PDT.G/2011/PTA. SMG. TENTANG CERAI TALAK

SKRIPSI

Oleh

Ahmad Arifin NIM. C01210035

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Fakultas Syari’ah dan Hukum

Jurusan Al-Akhwal Asy Syahsyiyah

Surabaya

(2)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN PUTUSAN

OLEH PENGADILAN TINGGI AGAMA SEMARANG NO.

224/PDT.G/2011/PTA. SMG. TENTANG CERAI TALAK

SKRIPSI

Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu

Ilmu Syariah dan Hukum

Oleh

Ahmad Arifin NIM. C01210035

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Fakultas Syari

ah dan Hukum

Jurusan Al-Akhwal Asy Syahsyiyah

Surabaya

(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul: “Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Putusan Oleh Pengadilan Tinggi Agama Semarang No.224/Pdt.G/2011/PTA. Smg. Tentang Cerai Talak ”. penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana kekuatan yuridis putusan Pengadilan Agama Purworejo dan Pengadilan Tinggi Agama Semarang.

Data penelitian dihimpun dengan melalui pembacaan dan kajian teks (text reading) dan selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif - komparatif.

Hasil penelitian disini menyimpulkan bahwa berdasarkan fakta-fakta dipersidangan ditambah kesaksian dan keterangan tambahan pemohon dan termohon yang pada intinya rumah tangga pemohon dan termohon tidak harmonis disebabkan pemohon tidak lagi mendapatkan kepuasan dari termohon dalam hubungan badan dan hakim Pengadilan Agama Purworejo mengabulkan permohonan cerai pemohon. Dalam pemeriksaan di Pengadilan Tingggi Agama Semarang, hakim berpendapat lain, yang pada intinya posita dalam permohonan pemohon di Pengadilan Agama itu obscuur libel (kabur/tidak jelas) karena dalam posita pemohon keduanya tidak harmonis dan pisah tempat tinggal, akan tetapi bukti tulis P-1 (foto copy Kartu Tanda Penduduk) dan alamat yang digunakan pemohon pada surat permohonan cerai talaknya itu masih satu alamat dengan alamat tinggal termohon sehingga fakta peristiwanya menjadi tidak jelas atau kabur, sehingga Pengadilan Tinggi Agama Semarang membatalkan putusan Pengadilan Agama Purworejo. Kekuatan yuridis putusan Pengadilan Agama Purworejo yang mengabulkan permohonan cerai pemohon ini mempunyai kekuatan mengikat, akan tetapi sebelum masa tenggang suatu putusan itu habis dan mempunyai kekuatan tetap termohon mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Agama Semarang dan putusan Pengadilan Agama Purworejo dibatalkan. Dalam hal pertimbangan hukum penulis lebih condong pada pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi Agama Semarang.

Sejalan dengan kesimpulan diatas, maka pemegang putusan oleh Pengadilan Agama disarankan: Pertama, Bagi hakim Pengadilan Agama dalam memutus suatu perkara tidak harus terpaku pada permohonan pemohon yang diajukan atau bahkan memihak sebelah (adil). Kedua, Hakim harus mempertimbangkan juga aspek mashlahat yang akan diterima oleh suami istri dan juga harus benar-benar membawa kepada kabaikan bagi pasangan tersebut.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TRANSLITERASI ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 9

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Kajian Pustaka ... 10

E. Tujuan Penelitian ... 10

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 11

G. Definisi Operasional ... 12

H. Metode Penelitian ... 13

I. Metode Analisis Data ... 16

J. Sistematika Pembahasan ... 17

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN DAN CERAI TALAK ... 19

A. Tinjauan Tentang Putusan ... 19

1. Pengertian putusan ... 19

2. Macam-macam putusan hakim ... 20

3. Susunan dan isi putusan ... 30

4. Upaya hukum terhadap putusan pengadilan ... 33

(8)

1. Pengertian cerai talak ... 37

2. Dalil dasar hukum perceraian talak, ... 37

3. Rukun perceraian atau talak, ... 38

4. Jenis cerai talak. ... 39

BAB III PUTUSAN PENGADILAN AGAMA PURWOREJO NO. 0272/PDT.G/2011/PA. PWR PUTUSAN PENGADILAN TINGGI AGAMA SEMARANG NO. 224/PDT.G/2011/PTA.SMG ... 44

A. Gambaran Umum Keberadaan Pengadilan Agama Purworejo dan Pengadilan Tinggi Semarang ... 44

B. Wilayah kedudukan dan yuridiksi Pengadilan Tinggi Agama Purworejo ... 48

C. Diskripsi Kasus Perkara No. 224/Pdt.G/2011/PTA.Smg Mengenai Cerai Talak ... 49

D. Wilayah kedudukan dan yuridiksi Pengadilan Tinggi Agama Semarang ... 51

BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN TINGGI AGAMA SEMARANG NO. 224/PDT.G/2011/PTA.SMG, YANG MEMBATALKAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA PURWOREJO NO. 0272/PDT.G/2011/PA.PWR. TENTANG CERAI TALAK ... 54

A. Kekuatan Yuridis Putusan Pengadilan Agama Purworejo No. 0272/Pdt.G/2011/PA.Pwr. ... 54

B. Kekuatan Yuridis Putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang No. 224/Pdt.G/2011/PTA.Smg. ... 56

BAB V PENUTUP ... 62

A. Kesimpulan ... 62

(9)

DAFTAR PUSTAKA

(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku

pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun pada

tumbuh-tumbuhan. Perkawinan merupakan jalan yang dipilih Allah SWT

sebagai jalan manusia untuk beranak pinak, berkembang biak, dan

melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melaksanakan

perannya yang positif dalam mewujudkan dan melaksanakan tujuan

perkawinan.1 Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Quran surah Yasin :

36











Artinya : “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” 2

Para ulamak fiqih mendefinisikan perkawinan dalam konteks

hubungan biologis. Sedangkan menurut Sayuti Thalib perkawinan adalah

suatu perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah

1 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Mohammad Talib, Jilid 6 (Bandung: PT. Al-ma’arif, 1980), 7.

(11)

2

antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga

yang kekal, santun menyantuni, saling mengasihi dan bahagia.3 Pada

hakekatnya perkawinan dalam Islam merupakan akad yang membolehkan

laki-laki bergaul dengan perempuan tertentu dengan dasar suka rela dan

keridhaan untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang

diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi

oleh Allah SWT. Islam sangat menganjurkan perkawinan. Hal ini tersirat

dalam firman-Nya Quran surah ar-Rum ayat 21:























١٢

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” 4

Akad perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata

semata, melainkan ikatan suci ̅ ̅ yang terkait dengan

keyakinan dan keimanan kepada Allah. Dengan demikian ada dimensi ibadah

dalam sebuah perkwinan. Untuk itu perkawinan harus dijaga dan dipelihara

dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan

dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera (mawaddah wa rahmah)

3Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), 40.

(12)

3

dapat terwujud. Salah satu syarat terwujudnya keluarga sejahtera

(mawaddah wa rahmah) adalah dengan terpenuhinya hak-hak dan kewajiban

antara kedua belah pihak yaitu suami dan istri.

Dalam UU perkawinan tahun 1974 pasal 1 dijelaskan bahwasanya

perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 3 Perkawinan bertujuan

untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan

rahmah.6

Dan pada dasarnya perkawinan dilakukan untuk waktu selamanya

atau sampai mati salah satunya. Inilah yang sebenarnya dikehendaki oleh

Agama Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang

menghendaki putusnya perkawinan tersebut, dalam artian jika perkawinan

tersebut tetap dilanjutkan maka akan menimbulkan madhorot atau

keburukan bagi kedua belah pihak ataupun salah satu pihak. Dengan begitu

putusnya perkawinan adalah sebagai jalan keluar yang baik.7 Dalam al-Quran

ada ayat yang menjelaskan tentang cerai talak yang menjadi dalil dasar

dibolehkanya perceraian yaitu Q.S. Al-Baqarah ayat 229:

5 Departemen Agama RI, Hukum Perkawinan Indonesia (Tangerang Selatan: SL Media), 7. 6 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia cet, ke-2 (Jakarta: CV. Akademika Presindo, 1995), 114.

(13)

4                                                                                        

Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya[144]. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim”. 8

Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan

suami istri. Putusnya perkawinan itu ada dalam beberapa bentuk tergantung

dari segi siapa yang berkehendak untuk putunya perkawinan tersebut. Dalam

hal ini ada 4 kemungkinan:

1. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui matinya salah

seorang suami istri.

2. Putusnya perkawinan atas kehendak si suami oleh alasan tertentu dan

dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu. Perceraian dalam

bentuk ini disebut talak.

(14)

5

3. Putusnya perkawinan atas kehendak istri karena istri melihat sesuatu

yang menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan suami tidak

berkehendak untuk itu. Kehendak untuk putusnya perkawinan yang

disampaikan istri dengan cara tertentu ini diterima oleh suami dan

dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutus perkawinan itu. Putusnya

perkawinan dengan cara ini disebut khul̅’.

4. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah

melihat adanya sesuatu pada suami dan atau pada istri yang menandakan

tidak tepatnya hubungan itu dilanjutkan. Putusnya perkawinan dalam

bentuk ini disebut fasakh.

Sedangkan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 38

dan sebagainmana pula diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 113

yaitu perkawina dapat putus karena : a. kematian; b. Perceraian; c. Atas

Keputusan Pengadilan.9

Sebagaimana perkawinan, putusnya perkawinan juga mempunyai

syarat-syarat tertentu dan alasan yang kuat yang telah ditetapkan oleh

syari’at dan undang-undang yang berlaku di Negara ini untuk bisa memutus

perkawinan tersebut. Adapun alasan perceraian yang dibolehkan peraturan

perundang-undangan Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975

dalam Pasal 19 menyebutkan alasan bagi suami istri untuk bercerai adalah:

(15)

6

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk , pemadat , penjudi

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun

berturut-turut tanpa izin pihak lain tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di

luar kemampuannya.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman lima tahun atau hukuman yang

lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang

mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami

istri.

6. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Seperti halnya penulis mendapatkan sebuah putusan Pengadilan

Agama Semarang dengan perkara No. 224/Pdt.G/2011/PTA.Smg. yang

membatalkan putusan Pengadilan Agama Purworejo perkara No.

0272/Pdt.G/2011/PA.Pwr. tentang cerai talak dimana dalam putusan

Pengadilan Tinggi Agama Semarang menyatakan bahwa gugatan yang

(16)

7

libel, yaitu suatu gugatan dianggap cacat formil karena dalil-dalil gugatan

kabur.

Salah satu yang kerap mengakibatkan suatu gugatan dianggap cacat

formil adalah karena dalil-dalil gugatan kabur, artinya gugatan tidak jelas.

Kekaburan suatu gugatan atau ketidak jelasan suatu gugatan dapat

ditentukan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :

1. Posita (fundamentum petendi) tidak menjelaskan dasar hukum

(rechtgrond) dan kejadian yang mendasari gugatan atau ada dasar

hukum tetapi tidak menjelaskan fakta kejadian atau sebaliknya. Dalil

gugatan yang demikian tentunya tidak memenuhi asal jelas dan tegas

(een duidelijke en bepaalde conclusie) sebagaimana diatur pasal 8 Rv.

2. Tidak jelas objek yang disengketakan, seperti tidak menyebut letak

lokasi, tidak jelas batas, ukuran dan luasannya dan atau tidak ditemukan

objek sengketa. Hal ini sebagaimana diperkuat putusan Mahkamah

Agung No. 1149 K/Sip/1975 tanggal 17 April 1971 yang menyatakan

"karena suat gugatan tidak menyebut dengan jelas letak tanah sengketa,

gugatan tidak dapat diterima".

3. Penggabungan dua atau beberapa gugatan yang masing-masing berdiri

sendiri. Terkadang untuk menghemat segala sesuatunya, Penggugat

dapat melakukan penggabungan atas beberapa pihak yang dianggap

(17)

8

beberapa gugatan terhadap seorang tergugat (akumulasi objektif).

Meskipun dibenarkan menurut hukum acara, hendaknya sebagai

penggugat harus memahami bahwasanya penggabungan boleh dilakukan

apabila ada hubungan yang sangat erat dan mendasar antara satu sama

lainnya.

Bila penggabungan dilakukan secara campur aduk maka tentunya

gugatan akan bertentangan dengan tertib beracara. Sebagai contoh,

misalnya menggabungan antara gugatan mengenai wanprestasi menjadi

gugatan perbuatan melawan hukum.

4. Terdapat saling pertentangan antara posita dengan petitum.

5. Petitum tidak terinci.

Dalam kasus ini Pengadilan Tinggi Agama Semarang juga

menemukan fakta baru bahwasanya pemohon adalah seorang kepala desa,

yang mana di Pengadilan Agama Purworejo hal ini tidak terungkap. Dalam

hal ini terlihat jelas perbedaan pendapat dalam pertimbangan dan dasar

hukum yang digunakan untuk memutuskan perkara ini oleh hakim

Pengadilan Agama Purworejo dan hakim Pengadilan Tinggi Semarang.

Untuk itu penulis akan membahas permasalahan yang timbul dalam

kasus tersebut meliputi pertimbangan dan dasar hukum hakim Pengadilan

Tinggi Agama Semarang yang membatalkan putusan Pengadilan Agama

(18)

9

untuk meneliti perkara tersebut dalam skripsi yang diformulasikan dalam

judul “Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Putusan oleh Pengadilan

Agama Semarang No. 224/Pdt.G/2011/PTA.Smg. tentang cerai talak”.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

1. Alasan-alasan yang sah untuk melakukan perceraian

2. Bentuk-bentuk putusan perkawinan

3. Pertimbangan dan dasar hukum yang digunakan hakim Pengadilan

Tinggi Agama Semarang No. 224/Pdt.G/2011/PTA.Smg.

4. Pertimbangan dan dasar hukum yang digunakan hakim Pengadilan

Agama Purworejo No. 0272/Pdt.G/2011/PA.Pwr.

5. Perbedaan pertimbangan hukum hakim.

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pertimbangan hukum dalam putusan Pengadilan Agama

Purworejo No. 0272/Pdt.G/2011/PA.Pwr?

2. Bagaimana pertimbangan hukum dalam putusan Pengadilan Tinggi

Agama Semarang No. 224/Pdt.G/2011/PTA.Smg.?

3. Bagaimana kekuatan yuridis putusan Pengadilan Agama Purworejo No.

0272/Pdt.G/2011/PA.Pwr. dengan Putusan Pengadilan Tinggi Agama

(19)

10

D. Kajian Pustaka

Masalah perceraian yang diajukan untuk menyelesaikan permasalahan

dalam rumah tangga sudah banyak dibahas dalam karya tulis yang lain akan

tetapi dalam judul “Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Putusan

Pengadilan Agama Purworejo No. 0272/Pdt.G/2011/PA. Pwr. Oleh

Pengadilan Tinggi Agama Semarang No. 224/Pdt.G/2011/PTA. Smg.

Tentang Cerai Talak ” belum pernah dibahas dalam karya tulis lain. Namun

demikian ada karya ilmiah yang korelasinya dengan judul tersebut diatas:

1. Dalam skripsi Ufi Khofiyatul Lailiyah tahun 2008 yang berjudul “

Analisis hukum islam terhadap putusan pengadilan tinggi agama

Surabaya No. 213/pdt.G/2007/PTA.Sby tentang cerai talak yang

membatalkan putusan pengadilan agama Bangil No.

203/Pdt.G/2007/PA.Bgl” dengan pokok masalah pembatalan putusan

pengadilan tinggi agama Surabaya dengan pertimbangan hukum bahwa

alasan perceraian tidak dapat dibuktikan.

E. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah diatas maka tujuan penelitian ini

antara lain :

1. Mengetahui diskripsi, pertimbangan dan dasar hukum hakim tentang

(20)

11

2. Mengetahui diskripsi, pertimbangan dan dasar hukum hakim tentang

putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang No. 224/Pdt.G/2011/

PTA.Smg.

3. Mengetahui kekuatan yuridis Putusan Pengadilan Agama Purworejo

No. 0272/Pdt.G/2011/PA.Pwr. dengan Pengadilan Tinggi Agama

Semarang No. 224/Pdt.G/2011/PTA.Smg. tentang cerai talak.

F. Kegunaan Penelitian

Dari hasil penelitian yang berjudul Analisis Yuridis Terhadap

Pembatalan Putusan oleh Pengadilan Tinggi Agama Semarang dengan No.

224/Pdt.G/2011/ PTA.Smg. tentang cerai talak, diharapkan dapat

dipergunakan untuk:

1. Aspek toeritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai kajian

ilmiah hukum keluarga Islam khususnya bagi mahasiswa Fakultas

Syariah dan bahan pertimbangan pada penelitian selanjutnya untuk

mengetahui dan menetpkan masalah yang berhubungan dengan perkara

di Pengadilan Agama ataupun di Pengadilan Tinggi Agama tentang

cerai talak dan diharapkan dapat dimanfaatkan untuk memperkaya

khazanah keilmuan khususnya dibidang ilmu hukum Islam dan hukum

(21)

12

2. Aspek Praktis

Sebagai pedoman khususnya mahasiswa hukum Islam, para

praktisi hukum dan bagi masyarakat pada umumnya tentang cerai talak.

G. Definisi Operasional

Untuk mempermudah, dan menghindari terjadinya perbedaan

interpretasi dalam memahami pokok bahasan skripsi yang akan ditulis oleh

penulis ini maka penulis perlu mengurai kalimat dalam judul “Analisis

Yuridis Terhadap Pembatalan Putusan Oleh Pengadilan Tinggi Agama

Semarang No. 224/Pdt.G/2011/PTA. Smg. Tentang Cerai Talak ”

Analisis Yuridis : Secara hukum, menganalisis dengan

menggunakan Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tentang perkawinan dan PP No. 45 tahun

1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 tahun

1974dan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun

1983 jo. PP No. 45 tahun 1990 serta kompilasi

hukum Islam.

Pembatalan Putusan : Proses, Perbuatan membuat suatu putusan

tidak berlaku atau tidak sah.10 Maksudnya

adalah putusan tidak sah oleh hakim tinggi

(22)

13

yang membatalkan putusan hakim pengadilan

tingkat pertama yang bertujuan untuk

menyelasaikan suatu perkara atau sengketa

antara para pihak.

H. Metode Penelitian

1. Data yang dikumpulkan

Dalam penelitian yang dilakukan ini data yang dikumpulkan

adalah berupa berkas-berkas perkara dan hasil wawancara dengan pihak

yang terlibat dalam menangani perkara tersebut, meliputi:

a. Data Primer

1) Putusan Pengadilan Agama Purworejo No. 0272/Pdt.G/2011/

PA.Pwr. dan Pengadilan Tinggi Agama Semarang No.

224/Pdt.G/2011/PTA.Smg.

b. Data sekunder

1) Hasil wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Purworejo

dan Pengadilan Tinggi Agama Semarang.

2. Sumber Data

a. Sumber Primer

1) Berkas putusan PA Purworejo No. 0272/Pdt.G/2011/PA.Pwr.

(23)

14

3) Hakim Pengadilan Agama Purworejo yang menangani perkara

4) Hakim Pengadilan Tinggi Agama Semarang yang menangani

perkara

5) PP No. 10 tahun 1983 jo PP no. 45 tahun 1990 tentang izin

perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil

b. Sumber Sekunder

Berupa literatur yang berkenaan dengan hukum materiil dan

formil perdata yang berhubungan dengan masalah penelitian , antara

lain:

1) Intruksi presiden republik Indonesia no. 1 tahun 1991 tentang

kompilasi hukum Islam

2) UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan PP No. 9 tahun

1975 tentang petunjuk pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974

3) SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) No. 5 tahun1984

tentang petunjuk pelaksanaan peraturan pemerintah No. 10

tahun 1983.

4) SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) No. 48/SE/1990

tentang petunjuk pelaksanaan PP (peraturan pemerintah) No. 45

tahun 1990 tentang perubahan atas PP No. 10 tahun 1983,

(24)

15

5) UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Amandemen

UU Peradilan Agama No. 3 tahun 2006 jo UU No. 50 tahun

2009

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah:

a. Dokumentasi11 yaitu mengkaji berkas perkara putusan hakim

Pengadilan Tinggi Agama Semarang dan Pengadilan Agama

Purworejo untuk memperoleh data tentang perkara yang diteliti.

b. Wawancara (interview) yaitu pengumpulan data yang dilakukan

dengan wawancara dengan hakim dan panitera yang ada di

Pengadilan Tinggi Agama Semarang serta hakim Pengadilan Agama

Purworejo yang terlibat dalam perkara tersebut.

4. Teknik Pengolahan Data

Data yang diperoleh tersebut agar lebih praktis dan mudah

dipahami akan diuraikan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing

Pemeriksaan kembali semua data yang diperoleh terutam

dari segi kelengkapan, kejelasan makna, kesesuaian satu sama lain,

relevansi dan keseragaman.

(25)

16

b. Organizing

Penyusunan data yang diperoleh dalam kerangka yang akan

dijadikan dalam bahan pembahasan.

c. Analizing

Melakukan analisis terhadap data-data yang telah diperiksa

dan disusun sehingga diperoleh suatu kesimpulan.

I. Metode Analisis Data

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan metode

deskriptif analitis yang bertujuan untuk menggambarkan atau

mendeskripsikan secara jelas semua data yang ada untuk dikaji, disusun

secara sistematis untuk danalisis dengan menggunakan Kompilasi Hukum

Islam dan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Analisis data

menggunakan pola pikir induktif dijelaskan sebagai metode pemikiran yang

bertolak dari hal khusus untuk menentukan hukum atau simpulan. Karena

pernyataan khusus dapat berupa contoh-contoh, dan pernyataan umum itu

(26)

17

J. Sistematika Pembahasan

Agar penelitian ini dapat dipaparkan dengan alur pemikiran yang

sistematis dan mudah dipahami, maka penulis akan membuat sistematika

pembahasan sebagai berikut:

Bab pertama merupakan pendahuluan yang meliputi: latar belakang

masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,

tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode

penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua memuat merupakan tinjauan umum tentang putusan dan

cerai talak, tinjauan tentang putusan terdiri dari sub bab pengertian putusan,

susunan dan isi putusan, asas-asas putusan dan upaya hukum terhadap

putusan Pengadilan Agama. Tinjauan umum tentang cerai talak tediri dari

sub bab pengertian cerai talak, dalil dasar hukum perceraian talak, rukun

perceraian talak, jenis cerai talak.

Bab ketiga memuat tentang deskripsi hasil penelitian tentang wilayah

kedudukan dan yuridiksi Pengadilan Agama Purworejo. dan Pengadilan

Tinggi Agama Semarang dengan, deskripsi isi putusan Pengadilan Agama

Purworejo No. 0272/Pdt.G/2011/PA.Pwr. dan isi putusan Pengadilan Tinggi

Agama Semarang dengan No. 224/Pdt.G/2011/PTA.Smg yang meliputi:

(27)

18

Pengadilan Tinggi Agama Semarang dalam membatalkan putusan

Pengadilan Agama Purworejo No. 0272/Pdt.G/2011/PA.Pwr tentang cerai

talak.

Bab keempat memuat tentang analisis data yang sudah

dideskripsikan untuk menjawab masalah penelitian, yaitu analisis terhadap

putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang dengan No.

224/Pdt.G/2011/PTA.Smg, yang membatalkan putusan Pengadilan Agama

Purworejo No. 0272/Pdt.G/2011/PA.Pwr. tentang cerai talak.

Bab kelima merupakan penutup yang berisi, kesimpulan dan saran.

Kesimpulan yang dimaksud adalah jawaban dari rumusan maslah dalam

penelitian secara keseluruhan dan berdasarkan hasil penelitian, penulis

(28)

19

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN DAN CERAI TALAK

A. Tinjauan Tentang Putusan

1. Pengertian Putusan

Produk hakim dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada 3

macam, yaitu:

a) Putusan

b) Penetapan

c) Akta Perdamaian

Putusan ialah peryataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan

diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari

pemeriksaan perkara gugatan (kontentius).1

Penetapan ialah peryataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis

dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil

dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair).

Akta perdamaian ialah akta yang dibuat oleh hakim yang berisi hasil

musyawarah antara para pihak dalam sengketa kebendaan untuk mengakhiri

sengketa dan berlaku sebagai putusan.

(29)

20

2. Macam-Macam Putusan Hakim

a. Dilihat dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara ada 2 macam, yaitu:

1) Putusan akhir

Ialah putusan yang mengakhiri pemeriksaan dipersidangan, baik

yang telah melalui semua tahap pemeriksaan maupun yang belum/tidak

menempuh semua tahap pemeriksaan.

Putusan yang dijatuhkan sebelum sampai tahap akhir dari

tahap-tahap pemeriksaan, tetapi telah mengakhiri pemeriksaan, yaitu:

a. Putusan gugur

b. Putusan verstek yang tidak diajukan verzet

c. Putusan tidak menerima

d. Putusan yang menyatakan pengadilan tidak berwenang

memeriksa

Semua itu belum menempuh tahap-tahap pemeriksaan secara

keseluruhan melainkan baru pada tahap awal saja dan semua putusan akhir

dapat dimintakan banding , kecuali undang-undang menentukan lain.

2) Putusan sela (pasal 185 HIR)

Ialah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses pemeriksaan

perkara dengan tujuan untuk memperlancar jalannya pemeriksaan. Putusan

sela tidak mengakhiri pemeriksaan, tetapi akan berpengaruh terhadap arah

(30)

21

tetapi tidak dibuat secara terpisah melainkan ditulis di dalam berita

persidangan saja.

Putusan sela harus diucapkan di depan sidang terbuka untuk umum

serta ditandatangani oleh majelis hakim dan panitera yang turut bersidang,

dan putusan sela ini selalu tunduk pada putusan akhir, karena tidak berdiri

sendiri dan akhirnya akan dipertimbangkan pada putusan akhir.

b. Kemudian jika dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat

putusan dijatuhkan, putusan dibagi sebagai berikut:

1) Putusan gugur

Adalah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/

permohonan gugur karena penggugat/pemohon tidak pernah

hadir, meskipun telah dipanggil sedangkan tergugat hadir dan

mohon putusan. Putusan gugur dijatuhkan pada sidang pertama

atau sesudahnya sebelum tahapan pembacaan gugatan atau

permohonan dan juga dapat dijatuhkan apabila telah dipenuhi

syarat:

a) Penggugat/pemohon telah dipanggil resmi dan patut untuk

hadir dalam sidang hari itu

b) Penggugat/pemohon ternyata tidak hadir dalam sidang

tersebut, dan tidak pula mewakilkan orang lain untuk hadir,

(31)

22

c) Tergugat/termohon hadir dalam sidang

d) Tergugat/termohon mohon keputusan

Dalam hal penggugat/pemohon lebih dari seorang dan

tidak hadir semua, maka dapat pula diputus gugur. Dalam

putusan gugur, penggugat/pemohon dihukum membayar biaya

perkara. Dan dalam tahapan putusan ini dapat dimintakan

banding atau diajukan perkara baru lagi.

2) Putusan Verstek

Adalah putusan yang dijatuhkan karena tergugat atau

termohon tidak pernah hadir meskipun telah dipanggil secara

resmi, sedang penggugat hadir dan mohon putusan. Verstek

artinya tergugat tidak hadir dalam persidangan.2

Putusan verstek dapat dijatuhkan dalam sidang pertama

atau sesudahnya, sesudah tahapan pembacaan gugatan sebelum

tahapan jawaban tergugat, sepanjang tergugat/para tergugat

semuanya belum hadir dalam sidang padahal telah dipanggil

dengan resmi dan patut. Putusan verstek ini dapat dijatuhkan

apabila memenuhi syarat:

a) Tergugat telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam

sidang hari itu3

(32)

23

b) Tergugat ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan

tidak pula mewakilkan orang lain untuk hadir, serta

ketidakhadirannya itu karena suatu halangan yang sah

c) Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai

kewenangan

d) Penggugat hadir dalam sidang

e) Penggugat mohon keputusan

Dalam hal tergugat lebih dari seorang dan tidak hadir semua,

maka dapat pula diputus verstek.. Putusan verstek hanya bernilai secara

formil surat gugatan dan belum menilai secara materiil kebenaran

dalil-dalil tergugat.

Apabila gugatan itu beralasan dan tidak melawan hak maka

putusan verstek berupa mengabulkan gugatan penggugat, sedang mengenai

dalil-dalil gugat, oleh karena dibantah maka harus dianggap benar dan

tidak perlu dibuktikan kecuali dalam perkara perceraian. Apabila gugatan

itu tidak beralasan dan atau melawan hak maka putusan verstek dapat

berupa tidak menerima gugatan penggugat dengan verstek Terhadap

putusan verstek ini maka tergugat dapat melakukan perlawanan (verzet)

tergugat tidak boleh mengajukan banding sebelum menggunakan hak

verzetnya lebih dahulu, kecuali jika penggugat yang banding terhadap

(33)

24

penggugat mengajukan banding, maka tergugat tidak boleh mengajukan

verzet, melainkan ia berhak pula mengajukan banding khusus dalam

perkara perceraian, maka hakim wajib membuktikan dulu kebenaran

dalil-dalil tergugat dengan alat bukti yang cukup sebelum menjatuhkan putusan

verstek apabila tergugat mengajukan verzet, maka putusan verstek

menjadi mentah dan pemeriksaan dilanjutkan pada tahap selanjutnya.

Perlawanan (verzet berkedudukan sebagai jawaban tergugat)

Apabila perlawanan ini diterima dan dibenarkan oleh hakim berdasarkan

hasil pemeriksaan/pembuktian dalam sidang, maka hakim akan

membatalkan putusan verstek dan menolak gugatan penggugat tetapi bila

perlawanan itu tidak diterima oleh hakim, maka dalam putusan akhir akan

menguatkan verstek. 4

Terhadap putusan akhir ini dapat dimintakan banding putusan

verstek yang tidak diajukan verzet dan tidak pula dimintakan banding,

dengan sendirinya menjadi putusan akhir yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap.

1. Putusan kontradiktoir

Adalah putusan akhir yang pada saat dijatuhkan atau

diucapkan dalam sidang tidak dihadiri salah satu atau para pihak

dalam pemeriksaan/putusan kontradiktoir disyaratkan bahwa baik

(34)

25

penggugat maupun tergugat pernah hadir dalam sidang terhadap

putusan kontradiktoir dapat dimintakan banding. Jika dilihat dari

isinya terhadap gugatan/perkara, putusan hakim dibagi sebagai

berikut:

2. Putusan tidak menerima

Yaitu putusan yang menyatakan bahwa hakim tidak

menerima gugatan penggugat/permohonan pemohon atau

dengan kata lain gugatan penggugat/pemohonan pemohon

tidak diterima karena gugatan/permohonan tidak memenuhi

syarat hukum baik secara formil maupun materiil.

Dalam hal terjadi eksepsi yang dibenarkan oleh

hakim, maka hakim selalu menjatuhkan putusan bahwa

gugatan penggugat tidak dapat diterima atau tidak menerima

gugatan penggugat.

Meskipun tidak ada eksepsi, maka hakim karena

jabatannya dapat memutuskan gugatan penggugat tidak

diterima jika ternyata tidak memenuhi syarat hukum

tersebut, atau terdapat hal-hal yang dijadikan alasan eksepsi

Putusan tidak menerima dapat dijatuhkan setelah

(35)

26

ternyata tidak beralasan dan atau melawan hak sehingga

dapat dijatuhkan sebelum tahap jawaban5.

Putusan tidak menerima belum menilai pokok

perkara (dalil gugat) melainkan baru menilai syarat-syarat

gugatan saja. Apabila syarat gugat tidak terpenuhi maka

gugatan pokok (dalil gugat) tidak dapat diperiksa.

Putusan ini berlaku sebagai putusan akhir terhadap

putusan ini, tergugat dapat mengajukan banding atau

mengajukan perkara baru. Demikian pula pihak tergugat

yang menyatakan Pengadilan Agama tidak berwenang

mengadili suatu perkara merupakan suatu putusan akhir

3. Putusan menolak gugatan penggugat

Yaitu putusan akhir yang dijatuhkan setelah

menempuh semua tahap pemeriksaan dimana ternyata

dalil-dalil gugat tidak terbukti dalam memeriksa pokok gugatan

(dalil gugat) maka hakim harus terlebih dahulu memeriksa

apakah syarat-syarat gugat telah terpenuhi, agar pokok

gugatan dapat diperiksa dan diadili.6

4. Putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian

dan menolak/tidak menerima selebihnya.

5 Ibid., 258.

(36)

27

Putusan ini merupakan putusan akhir, dalam kasus

ini dalil gugat ada yang terbukti dan ada pula yang tidak

terbukti atau tidak memenuhi syarat sehingga:7

a) Dalil gugat yang terbukti maka tuntutannya dikabulkan

b) Dalil gugat yang tidak terbukti makan tuntutannya

ditolak

c) Dalil gugat yang tidak memenuhi syarat maka diputus

dengan tidak diterima

5. Putusan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya

Putusan ini dijatuhkan apabila syarat-syarat gugat

telah terpenuhi dan seluruh dalil-dalil tergugat yang

mendukung petitum ternyata terbukti. Untuk mengabulkan

suatu petitum harus didukung dalil gugat. Satu petitum

mungkin didukung oleh beberapa dalil gugat. Apabila

diantara dalil-dalil gugat itu ada sudah ada satu dalil gugat

yang dapat dibuktikan maka telah cukup untuk dibuktikan,

meskipun mungkin dalil-dalil gugat yang lain tidak terbukti.

Prinsipnya, setiap petitum harus didukung oleh dalil

gugat.

(37)

28

Sedangkan jika dilihat dari segi sifatnya terhadap akibat

hukum yang ditimbulkan, maka putusan dibagi sebagai berikut:

1. Putusan Diklatoir

Yaitu putusan yang hanya menyatakan suatu

keadaan tertentu sebagai keadaan yang resmi menurut

hokum semua perkara voluntair diselesaikan dengan

putusan diklatoir dalam bentuk penetapan atau

beschiking dan Putusan diklatoir biasanya berbunyi

menyatakan, Putusan ini tidak memerlukan eksekusi dan

juga merubah atau menciptakan suatu hukum baru,

melainkan hanya memberikan kepastian hukum semata

terhadap keadaan yang telah ada.

2. Putusan Konstitutif

Yaitu suatu putusan yang menciptakan/

menimbulkan keadaan hukum baru, berbeda dengan

keadaan hukum sebelumnya.

Putusan konstitutif selalu berkenaan dengan

status hukum seseorang atau hubungan keperdataan satu

samalain dan putusan konstitutif tidak memerlukan

eksekusi, diterangkan dalam bentuk putusan dan

(38)

29

memakai kalimat lain bersifat aktif dan bertalian

langsug dengan pokok perkara, misalnya memutuskan

perkawinan, dan sebagainya, keadaan hukum baru

tersebut dimulai sejak putusan memperoleh kekuatan

hukum tetap.

3. Putusan Kondemnatoir

Yaitu putusan yang bersifat menghukum kepada

salah satu pihak untuk melakukan sesuatu, atau

menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan, untuk

memenuhi prestasi8 dan putusan kondemnatoir terdapat pada perkara kontentius, selaku berbunyi “menghukum”

dan memerlukan eksekusi. Apabila pihak terhukum

tidak mau melaksanakan isi putusan dengan sukarela,

maka atas permohonan tergugat, putusan dapat

dilakukan dengan paksa oleh pengadilan yang

memutusnya.

Putusan dapat dieksekusi setelah memperoleh

kekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal vitvoer baar

bijvoorraad, yaitu putusan yang dilaksanakan terlebih

dahulu meskipun ada upaya hukum (putusan serta

(39)

30

merta). Putusan kondemnatoir dapat berupa

penghukuman untuk:

1. Menyerahkan suatu barang

2. Membayar sejumlah uang

3. Melakukan suatu perbuatan tertentu

4. Menghentikan suatu perbuatan/keadaan

5. Mengosongkan tanah/rumah9

3. Susunan dan Isi Putusan

Di dalam HIR tidak ada ketentuan yang mengatur tentang

bagaimana putusan hakim harus dibuat. Hanyalah tentang apa yang harus

dimuat didalam putusan diatur dalam pasal 183, 184, 187 HIR.

Suatu putusan hakim terdiri dari 4 bagian, yaitu: 1. Kepala putusan, 2.

Identitas para pihak, 3. Pertimbangan, 4. Amar.10 a. Kepala Putusan

Setiap putusan pengadilan haruslah mempunyai kepala pada

bagian atas putusan yang berbunyi: “Demi Keadilan berdasarkan

Ke-Tuhanan Yang Maha Esa” Kepala Putusan ini memberi kekuatan

eksekutorial pada putusan. Apabila kepala putusan ini tidak

9 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdana…, 260.

10Sudikno mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta,

(40)

31

dibubuhkan pada suatu putusan pengadilan maka hakim tidak dapat

melaksanakan putusan tersebut.11 b. Identitas Para Pihak

Sebagaimana perkara atau gugatan itu mempunyai

sekurang-kurangnya dua pihak, maka didalam putusan harus dimuat identitas

dari para pihak: nama, umur, alamat, dan nama dari pengacaranya

kalau ada.

c. Pertimbangan

Pertimbangan atau yang sering disebut dengan considerans

merupakan dasar putusan. Pertimbangan dalam putusan perdata dibagi

dua, yaitu: pertimbangan tentang duduk perkara atau peristiwa dan

pertimbangan tentang hukumnya. Didalam proses perdata terdapat

pembagian tugas yang tetap antara para pihak dan hakim. Para pihak

harus mengemukakan peristiwanya, sedangkan soal hukum adalah

urusan hakim.12 Apa yang dimuat dalam bagian pertimbangan dari putusan tidak lain adalah alasan-alasan hakim sebagai pertanggung

jawaban kepada masyarakat mengapa ia sampai mengambil putusan

demikian, sehingga oleh karenanya menpunyai nilai objektif.

11 Ibid., 184-185.

(41)

32

d. Amar

Amar yang merupakan jawaban terhadap petitum daripada

gugatan adalah amar atau dictum. Ini berarti bahwa amar merupakan

tanggapan dari petitum. Hakim wajib mengadili semua bagian

tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak

dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut (ps. 178 ayat

2 dan 3 HIR).

Pasal 178 ayat 3 HIR tersebut sangat mengekang kebebasan

hakim. Hakim sangat dibatasi kebebasanya oleh isi tuntutan atau

kepentingan pihak penggugat. Memang benar bahwa kepentingan

penggugat mempunyai peranan pokok dalam suatu gugatan yang

harus diperiksa dan diadili oleh hakim.akan tetapi apa yang harus

diperhatikan oleh hakim, bahkan yang merupakan prinsip, iala bahwa

ia harus menjatuhkan putusan seadil-adilnya sesuai dengan kebenaran

dan sungguh-sungguh menyelesaikan perkara sampai tuntas. Untuk

itu hakim harus diberi kebebasan dan tidak diboleh terlalu dikekang

oleh kepentingan pihak penggugat. Mengingat hakim di dalam hukum

acara perdata menurut HIR itu aktif, maka hakim harus diberi

kelonggaran dalam menafsirkan dan menerapkan pasal 178 ayat 3

(42)

33

Amar terdiri dari dua bagian yaitu declarative dan dispositive. Bagian

yang disebut declarative merupakan penetapan hubungan hukum yang

menjadi sengketa, sedangkan yang disebut dispositive adalah yang

memberi hukum atau hukumnya, yang mengabulkan atau yang

menolak gugatan.13

Setiap putusan pengadilan harus ditanda tangani oleh ketua,

hakim anggota dan panitera (ps. 184 ayat 3 HIR). Kalau ketua sidang

tidak dapat menandatangani putusan, maka hal itu akan dilakukan

oleh hakim anggota yang ikut serta dalam memeriksa, yang

pangkatnya setingkat dibawah pangkat ketua (ps. 187 ayat 1 HIR).

Sedangkan kalau panitera berhalangan untuk menandatangani

putusan, hal itu harus dinyatakan dengan tegas dalam berita acara (ps.

187 ayat 2 HIR).

4. Upaya Hukum Terhadap Putusan Pengadilan

Suatu putusan hakim tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan,

bahkan tidak mustahil bersifat memihak, oleh karena itu demi kebenaran dan

keadilan setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa ulang,

agar kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki.

(43)

34

Bagi setiap putusan hakim pada umumnya tersedia upaya hukum, yaitu:

upaya untuk memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan.14

Upaya hukum perlu dibedakan dari dasar hukum. Kalau mengenai

dasar hukum itu hakim secara ex officio wajib menambahkan, maka dalam

hal upaya hukum yang bersangkutanlah yang tegas-tegas harus

mengajukannya. Sifat dan berlakunya upaya hukum juga berbeda tergantung

apakah upaya hukum biasa atau upaya hukum istimewa.

Upaya hukum biasa pada dasarnya terbuka untuk semua putusan

selama tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang. Upaya hukum

biasa bersifat menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara. Upaya

hukum biasa adalah perlawanan (verzet), banding dan kasasi, dengan

memperoleh kekuatan hukum yang pasti suatu putusan tidak dapat

diubah.suatu putusan mendapatkan kekuatan hukum yang pasti apabila tidak

tersedia upaya hukum biasa.15 Untuk putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti ini tersedia upaya hukum istimewa. Upaya

hukum istimewa ini hanya diperbolehkan dalam hal tertentu yang disebut

dalam undang-undang saja dan yang termasuk upaya hukum istimewa ini

adalah request civil (peninjauan kembali), dan dendenverzet (perlawanan

pihak ketiga).

14 M. Yahya Harahap,Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agam, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2007), 337.

(44)

35

a. Perlawanan (verzet)

Perlawanan merupakan upaya hukum terhadap putusan yang

dijatuhkan diluar hadirnya tergugat. Pada asasnya perlawanan ini

disediakan bagi pihak tergugat yang (pada umumnya) dikalahkan. Bagi

penggugat yang dengan putusan verstek dikalahkan tersedia upaya hukum

banding.16 b. Banding

Yang dimaksud upaya banding adalah permohonan yang diajukan

oleh salah satu pihak yang berperkara, agar putusan yang dijatuhkan oleh

Pengadilan Agama “diperiksa ulang ” kembali dalam pemeriksaan tingkat

banding oleh Pengadilan Tinggi Agama. Memang bertitik tolak dari

ketentuan pasal 51 dan 53 ayat (2), kewenangan yang paling utama

Pengdilan Tinggi Agama adalah mengadili perkara dalam tingkat banding

terhadap perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama yang berada

dibawah daerah hukumnya.17 c. Prorograsi

Yang dimaksud prorogasi adalah mengajukan sengketa

berdasarkan suatu persetujuan kedua belah pihak kepada hakim yang

sesungguhnya tidak wenang memeriksa sengketa tersebut, yaitu kepada

hakim dalam tingkat peradilan yang lebih tinggi.

16 Sudikno mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia…, 196.

(45)

36

d. Kasasi

Terhadap putusan-putusan yang diberikan dalam tingkat akhir

oleh pengadilan-pengadilan lain dari pada Mahkamah Agung demikian

pula terhadap putusan pengadilan yang dimintakan banding dapat

dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang

berkepentingan (ps 10 ayat 3, 20 UU 14/1970, 43 UU no. 14 tahun 1985).

Jadi apabila pihak yang bersangkutan belum atau tidak menggunakan hak

melawan putusan pengadilan yang dijatuhkan diluar hadir tergugat atau

hak memohon ulang pemeriksaan perkara oleh Pengadilan Tinggi,

permohonan pemeriksaan kasasi tidak dapat diterima (ps. 43 UU no. 14

tahun 1985).18 e. Peninjauan kembali

Putusan yang dijatuhkan dalam tingkat terakhir dan putusan yang

dijatuhkan diluar hadir tergugat (verstek) dan yang tidak lagi terbuka

kemungkinan untuk mengajikan perlawanan dapat ditinjau kembali atas

permohonan orang yang pernah menjadi salah satu pihak di dalam perkara

yang telah diputus dan dimintakan peninjauan kembali.

f. Perlawanan Pihak Ketiga (Derdenverzet)

Pada asasnya suatu putusan itu hanya mengikat para pihak yang

berperkara dan tidak mengikat pihak ketiga (ps. 1917 BW).

(46)

37

Akan tetapi apabila pihak ketiga hak-haknya dirugikan oleh suatu

putusan, maka dia bisa mengajukan perlawanan terhadap putusan

tersebut. Putusan ini diajukan kepada hakim yang menjatuhkan putusan

yang dilawan itu dengan menggugat pihak yang bersangkutan dengan

cara biasa. Pihak ketiga yang hendak mengajukan perlawanan terhadap

suatu putusan tidak cukup hanya mempunyai kepentingan saja, tetapi

harus nyata-nyata telah dirugikan hak-haknya.

B. Tinjauan Umum Tentang Cerai Talak

1. Pengertian Cerai Talak

Dalam syariah cerai atau talak adalah melepaskan ikatan

perkawinan (Arab, حاكنلا ديق لحل مسا) atau putusnya hubungan perkawinan

antara suami dan istri dalam waktu tertentu atau selamanya.

2. Dalil Dasar Hukum Perceraian Talak

Dalil dan dasar hukum perceraian talak seperti dalam firman Allah

dalam Q.S Al-Baqarah 2:229 yang berbunyi:

ُ قاّطلا

ُّرَم

ُ ناَت

ُ كاَزْم إَف

ُ فو رْعَ ِ

ُْوَأ

ُ حي رْسَت

ُ ناَسْح إ ب

اَو

ُ ل ََ

ُْم كَل

ُْنَأ

او ذ خْأَت

اّ ِ

ُّن و م تْيَ تآ

ُ ائْيَش

ضّا إ

ُْنَأ

اَفاَََ

ُّاَأ

اَمي ق ي

َُدو د ح

ُ َّا

ُْن إَف

ُْم تْف خ

ُّاَأ

اَمي ق ي

َُدو د ح

ُ َّا

اَف

َُحاَن ج

اَم هْيَلَع

َُمي ف

ا

ُْتَدَتْ فا

ُ ه ب

َُكْل ت

ُ دو د ح

ُ َّا

اَف

اَو دَتْعَ ت

ُْنَمَو

ُّدَعَ تَ ي

َُدو د ح

ُ َّا

َُك ئَلو أَف

ُ م

َُنو م لاّظلا

(47)

38

yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim. 19

Dalil hukum yang kedua yaitu Firman Allah SWT dalam QS

At-Talaq 65:1 yang berbunyi:

اَه يَأ

ُ بّنلا

اَذ إ

ُ م تْقّلَط

ءاَس ّنلا

ُّن و ق ّلَطَف

ُّن ِّد ع ل

او صْحَأَو

َُةّد عْلا

او قّ تاَو

ََُّا

ُْم كّبَر

َُا

ُّن و ج رْ ُ

ن م

ُّن ِو ي ب

اَو

َُنْج رََْ

ُّا إ

نَأ

َُي تْأَي

ُ ةَش حاَف ب

ُ ةَن ّيَ ب م

َُكْل تَو

ُ دو د ح

ُ َّا

نَمَو

ُّدَعَ تَ ي

َُدو د ح

ُ َّا

ُْدَقَ ف

َُمَلَظ

ُ هَسْفَ ن

َُا

ي رْدَت

ُّلَعَل

ََُّا

ُ ث دْ َ

َُدْعَ ب

َُك لَذ

ا رْمَأ

*

Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.”

20

3. Rukun Perceraian Atau Talak

Ada 2 faktor dalam perceraian yaitu suami dan istri.

Masing-masing ada syarat sahnya perceraian.

Rukun Talak bagi Suami:

a) Berakal sehat

(48)

39

b) Baligh

c) Dengan kemauan sendiri

Rukun Talak bagi Isteri:

a) Akad nikah sah

b) Belum diceraikan dengan talak tiga oleh suaminya

Lafadz/teks talak:

a) Ucapan yang jelas menyatakan penceraiannya

b) Dengan sengaja dan bukan paksaaan

4. Jenis Cerai Talak

Ditinjau dari pelaku perceraian, maka perceraian itu ada dua

macam yaitu: cerai talak oleh suami kepada istri dan gugat cerai oleh istri

kepada suami.

a. Cerai Talak Oleh Suami

Yaitu perceraian yang dilakukan oleh suami kepada istri. Ini

adalah perceraian/talak yang paling umum. Status perceraian tipe ini

terjadi tanpa harus menunggu keputusan pengadilan. Begitu suami

mengatakan kata-kata talak pada istrinya, maka talak itu sudah jatuh

dan terjadi. Keputusan Pengadilan Agama hanyalah formalitas.

Talak atau gugat cerai yang dilakukan oleh suami terdiri dari 5 macam

sebagai berikut:

(49)

40

Yaitu perceraian di mana suami mengucapkan

(melafazkan) talak satu atau talak dua kepada isterinya. Suami

boleh rujuk kembali ke isterinya ketika masih dalam iddah. Jika

waktu iddah telah habis, maka suami tidak dibenarkan merujuk

melainkan dengan akad nikah baru.

2) Talak bain

Yaitu perceraian dimana suami mengucapkan talak tiga

atau melafazkan talak yang ketiga kepada isterinya. Isterinya tidak

boleh dirujuk kembali. Si suami hanya boleh merujuk setelah

isterinya menikah dengan lelaki lain, suami barunya

menyetubuhinya, setelah diceraikan suami barunya dan telah habis

iddah dengan suami barunya.

3) Talak sunni

Yaitu perceraian dimana suami mengucapkan cerai talak

kepada isterinya yang masih suci dan belum disetubuhinya ketika

dalam keadaan suci.

4) Talak bid’i

Suami mengucapkan talak kepada isterinya ketika dalam

keadaan haid atau ketika suci tapi sudah disetubuhi (berhubungan

(50)

41

5) Talak taklik

Talak taklik ialah suami menceraikan isterinya secara

bersyarat dengan sesuatu sebab atau syarat. Apabila syarat atau

sebab itu dilakukan atau berlaku, maka terjadilah penceraian atau

talak.21

b. Gugat cerai oleh istri

Yaitu perceraian yang dilakukan oleh istri kepada suami.

Cerai model ini dilakukan dengan cara mengajukan permintaan

perceraian kepada Pengadilan Agama, dan perceraian tidak dapat

terjadi sebelum Pengadilan Agama memutuskan secara resmi.

Ada dua istilah yang dipergunakan pada kasus gugat cerai

oleh istri, yaitu fasakh dan khulu’:

1. Fasakh

Fasakh adalah pengajuan cerai oleh istri tanpa adanya

kompensasi yang diberikan istri kepada suami, dalam kondisi

dimana:22

a) Suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin selama enam

bulan berturut-turut.

21 Sulaiman Basjid, Fiqih Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1995), 382.

(51)

42

b) Suami meninggalkan istrinya selama empat tahun

berturut-turut tanpa ada kabar berita (meskipun terdapat kontroversi

tentang batas waktunya)

c) Suami tidak melunasi mahar (mas kawin) yang telah

disebutkan dalam akad nikah, baik sebagian ataupun

seluruhnya (sebelum terjadinya hubungan suamii istri); atau

d) Adanya perlakuan buruk oleh suami seperti penganiayaan,

penghinaan, dan tindakan-tindakan lain yang membahayakan

keselamatan dan keamanan istri.

Jika gugatan tersebut dikabulkan oleh Hakim berdasarkan

bukti-bukti dari pihak istri, maka Hakim berhak memutuskan

(tafriq) hubungan perkawinan antara keduanya.

2. Khulu’

Khulu’ adalah kesepakatan penceraian antara suami istri

atas permintaan istri dengan imbalan sejumlah uang (harta) yang

diserahkan kepada suami. 23 Khulu' disebut dalam Q.S Al-Baqarah 2:229 yang berbunyi:

                                                               

(52)

43                         Artinya:

“ Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya[144]. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S Al-baqarah:229) 24

(53)

44

BAB III

PUTUSAN PENGADILAN AGAMA PURWOREJO

NO.0272/PDT.G/2011/PA.PWR DAN PUTUSAN PENGADILAN

TINGGI AGAMA SEMARANG NO. 224/PDT.G/2011/PTA.SMG

A. Diskripsi putusan Pengadilan Agama Purworejo No. 0272/ Pdt.G/ 2011/PA.Pwr

Didalam putusan Pengadilan Agama Purworejo ini, bahwa pada hari

yang telah ditentukan pemohon dan termohon hadir dipersidangan, dan

majelis hakim telah mendamaikan kedua belah pihak berperkara akan tetapi

tidak berhasil, selanjutnya dibacakan permohonan pemohon tersebut yang

isinya tetap dipertahankan oleh pemohon.

Untuk memperkuat dalil-dalil permohonannya, pemohon telah

mengajukan surat-surat bukti berupa foto copy kartu tanda penduduk yang

dikeluarkan dari kepala kantor Dinas dan Kependudukan Nomor:

33.06078040556.0002 tanggal 26 Februari 2011 dan foto copy kutipan akta

nikah dari urusan Kantor Urusan Agama kecamatan Bayan Kabupaten

Purworejo Nomor: 165/19/VII/1980 tanggal 08 Juli 1980. Berdasarkan surat

bukti P-1 dan P-2 yang berupa foto copy akta nikah dan Kartu Tanda

Penduduk yang diajukan dipersidangan1, maka telah terbukti bahwa

pemohon termohon telah terikat perkawinan dengan termohon dan

(54)

45

berdomisili di wilayah hukum kabupaten Purworejo dengan demikian

Pengadilan Agama Purworejo berwenang memeriksa perkara pemohon.

Dalam persidangan pemohon juga telah mengajukan saksi-saksi

untuk meneguhkan dalil gugatanya, yang pertama adalah Darindri bin Amat

Dasri, yang dalam persaksian di atas sumpahnya bahwa dia adalah tetangga

penggugat dan mengenal penggugat dan tergugat. Kemudian setelah

menikah mereka kumpul di kediaman bersama di rumah orang tua termohon

di Desa Botodalem Kecamatan Bayan Kabupaten Purworejo selama 6 tahun.

Kemudian pemohon meninggalkan termohon sejak awal tahun 1991 ke

rumah ibu tiri pemohon dan sampai sekarang terus berpisah, dan sudah

dikaruniai 3 orang anak. Saksi juga mengetahui rumah tangga pemohon dan

termohon pernah harmonis, akan tetapi sejak 4 tahun ini pisah rumah, apa

sebabnya saksi tidak tahu pemohon tinggal di Botodalem sedangkan

termohon tinggal di Mirit Kabupaten Kebumen.

Saksi kedua yaitu Ribut Suharyanto bin Amat Rejo, menerangkan di

atas sumpahnya yang inti keterangannya sama dengan saksi pertama yaitu

mengenal penggugat dan tergugat, keduanya benar suami istri dan menikah

tanggal 08 juli 1980. Kemudian setelah menikah mereka tinggal di kediaman

bersama di rumah orang tua termohon di Desa Botodalem Kecamatan Bayan

(55)

46

termohon sejak awal tahun 1991 ke rumah ibu tiri pemohon dan sampai

sekarang terus berpisah dan dikaruniai 3 orang anak. Semula rumah tangga

pemohon dan termohon harmonis, akan tetapi sejak 4 tahun ini sudah tidak

tinggal satu rumah lagi. Pemohon tinggal di Botodalem dan termohon

tinggal di Mirit Kabupaten Kebumen, apa sebabnya saksi tidak tahu.

Atas pertanyaan Majelis Hakim pihak pemohon dapat menerima

keterangan saksi dan atas permohonan cerai pemohon, maka termohon

menjawab yang pada prinsipnya, semua posita pemohon ada yang benar dan

ada yang salah. Pada posita nomor 2 tidak benar, yang benar pemohon dan

termohon masih tinggal serumah meskipun kumpulnya tidak terus menerus

disebabkan pemohon dan termohon sudah punya rumah di mangunranan,

Kebumen dan termohon sering di mangunranan, Kabupaten Kebumen

sedangkan pemohon di Botodalem Kabupaten Purworejo.

Hubungan termohon dan pemohon tetap harmonis, termohon masih

melakukan hubungan suami istri, yang terakhir pada tanggal 11 januari 2011

kurang lebih satu setengah bulan pemohon maju ke Pengadilan Agama

Purworejo. Oleh karena itu atas permohonan pemohon, tidak termohon akui

kebenarannya dan termohon menolak untuk bercerai. Akan tetapi pemohon

membantah jawaban termohon, antara pemohon dan termohon masih

(56)

47

sudah tidak harmonis lagi sebagai suami istri. Dan sudah dilakukan mediasi

antara termohon dan pemohon oleh hakim mediator Drs. H. Mohamad

Taufik, SH. Akan tetapi pemohon tetap akan menceraikan termohon.

Berdasarkan keterangan saksi masing-masing di bawah sumpahnya

pada pokoknya saling berkaitan dan mendukung permohonan pemohon maka

sesuai ketentuan pasal 22 (2) PP. No. 9/1975, keterangan tersebut dapat

dijadikan sebagai alat bukti yang sah untuk perceraian.

Majelis hakim juga telah memanggil anak kandung pemohon dan

termohon akan tetapi tidak hadir, untuk mencari fakta apa sebab pemohon

dan termohon tidak serumah maka majelis mendengarkan saksi Sudirman bin

Karno, dan inti dari persaksian saksi adalah pemohon dan temohon sudah

tidak serumah disebabkan termohon sudah tidak lagi dapat memenuhi batin

pemohon. Atas pernyataan Majelis Hakim pihak pemohon menyatakan dapat

menerima keterangan saksi. Pada sidang tanggal 12 juli 2011, 26 juli 2011

dan tanggal 09 Agustus 2011 termohon tidak hadir, oleh karena itu ketua

majelis menganggap termohon tidak serius dan telah menyerahkan

urusannya kepada Pengadilan Agama Purworejo.2

Berdasarkan fakta-fakta dipersidangan ditambah kesaksian dan

keterangan tambahan pemohon dan termohon, maka posita pemohon telah

(57)

48

sesuai dan pemeriksaan perkara dan memenuhi hukum formal yang pada

intinya rumah tangga pemohon dan termohon tidak harmonis disebabkan

pemohon tidak lagi mendapatkan kepuasan dari termohon dalam hubungan

badan.

Firman Allah SWT dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 227 yang

berbunyi sebagai berikut:









Referensi

Dokumen terkait

Masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini, antara lain; apakah pertimbangan hukum bagi hakim pengadilan agama dalam mengabulkan permohonan pembatalan perkawinan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, kesatu dasar kewenangan Pengadilan Agama dalam memutus permohonan cerai talak yang diajukan oleh

Upaya hukum yang dapat ditempuh oleh pencari keadilan terhadap putusan Pengadilan Agama, maksudnya adalah upaya yang dapat dilakukan oleh tergugat dan penggugat terhadap

Bin Mu’allim, Amir, Yurisprudensi Peradilan Agama (Studi Pemikiran Hukum Islam di Lingkungan Pengadilan Agama Se-Jawa Tengah dan Pengadilan Tinggi Agama Semarang Tahun

Dengan selesainya penulisan skripsi yang berjudul “REKONVENSI DALAM PERKARA PERMOHONAN CERAI TALAK (Analisis terhadap Putusan Pengadilan Agama Pekalongan Nomor:

Dari peristiwa hukum tersebut, Pemohon yang merupakan isteri Termohon I, mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Agama Banyumas agar mengabulkan Permohonan

Analisis beberapa putusan mengabulkan permohonan Pemohon, mengenai dispensasi perkawinan dibawah umur oleh Hakim Pengadilan Agama dengan pertimbangan dan fakta-fakta hukum sebagai

Berikut pernyataannnya: “Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon tidak menghadirkan saksi- saksinya meskipun telah diberi kesempatan, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa dalil-dalil