ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENOLAKAN PENETAPAN
AHLI WARIS DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
NGANJUK NOMOR 0030/PDT.P/2016/PA.NGJ
SKRIPSI
Oleh: Nana Lutfiana NIM. C91213141
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil kajian pustaka tentang studi Analisis Yuridis Terhadap Penolakan Penetapan Ahli Waris Dalam Putusan Pengadilan Agama Nganjuk Nomor: 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj. Penetian ini bertujuan untuk menjawab dua hal pokok permasalahan yang diteliti yaitu: Pertama, Bagaimana dasar pertimbangan dan dasar hukum penolakan penetapan ahli waris dalam putusan nomor 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj? Kedua, Bagaimana analisis yuridis terhadap penolakan penetapan ahli waris dalam perkara putusan Pengadilan Agama Nganjuk nomor 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj?
Data penelitian ini diperoleh dari Pengadilan Agama Nganjuk yang menjadi objek penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi dan wawancara yang kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu memaparkan atau menjelaskan data-data yang diperoleh dan selanjutnya dianalisis dengan metode deduktif, dimulai dari hal-hal yang bersifat umum kemudian ditarik pada permasalahan yang lebih khusus.
Pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Agama Nganjuk dalam penetapan ahli waris dalam kasus perkara Nomor 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj menggunakan dasar pasal 8 Rv (reglement op de burgerlijke rechts vordering). Dalam putusan tersebut Pengadilan Agama Nganjuk menolak penetapan ahli waris kepada pemohon, karena Majelis Hakim berpendapat bahwa permohonannya tersebut tidak berdasarkan hukum dan tidak memenuhi rumusan siapa yang mempunyai kepentingan hukum dapat mengajukan tuntutan hak (poin
d’interest poin d’action) dan hal-hal tersebut menjadikan surat permohonan pemohon kabur
(obscuur libel). Dalam putusan perkara nomor 0030/Pdt.P/2016/PA perkara tidak memenuhi syarat, permohonan menjadi tidak sempurna maka permohonan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... viii
KATA PENGANTAR ... xi
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TRANSLITERASI ... xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah... 8
C. Rumusan Masalah ... 9
D. Kajian Pustaka ... 10
E. Tujuan Penelitian ... 12
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 13
G. Definisi Operasional ... 13
H. Metode Penelitian ... 15
BAB II: TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWARISAN DAN PERMOHONAN
A. Tinjauan Yuridis Tentang Kewarisan ... 21
1. Pengertian Kewarisan ... 21
2. Dasar Hukum Kewarisan ... 25
3. Konsep Dasar Hukum Kewarisan ... 28
4. Rukun dan syarat Kewarisan ... 28
5. Orang-orang yang berhak mendapatkan harta warisan ... 31
6. Sebab-sebab Kewarisan ... 34
7. Asas-asas Hukum Kewarisan ... 35
B. Tinjauan Yuridis Tentang Permohonan ... 37
1. Pengertian Permohonan ... 37
2. Jenis-jenis Perkara Permohonan ... 39
BAB III : PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NGANJUK NOMOR: 0030/PDT.P/2016/PA.NGJ TENTANG PENOLAKAN PENETAPAN AHLI WARIS A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Nganjuk ... 42
1. Sejarah Pengadilan Agama Nganjuk ... 42
2. Tugas Pokok dan Fungsi... 44
3. Letak Geografis ... 45
4. Visi dan Misi ... 46
5. Struktur dan Pejabat ... 46
B. Diskripsi Kasus Penolakan Penetapan Ahli Waris di Pengadilan Agama Nganjuk Nomor: 0030/Pdt.P/2016PA.Ngj ... 48
BAB IV: ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NGANJUK NOMOR: 0030/PDT.P/2016/PA.NGJ TENTANG PENOLAKAN PENETAPAN AHLI WARIS
A. Dasar pertimbangan dan dasar hukum Majelis Hakim dalam Penolakan
Penetapan Ahli Waris dalam Putusan Pengadilan Agama Nganjuk Nomor:
0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj ... 56
B. Analisis Yuridis Terhadap Penetapan Hakim dalam Putusan Pengadilan
Agama Nganjuk Nomor: 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj tentang Penolakan
Penetapan Ahli Waris ... 60
BAB V : PENUTUP
BAB II
TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWARISAN DAN PERMOHONAN
A. Tinjauan Yuridis Tentang Kewarisan
1. Pengertian Kewarisan
Hukum kewarisan ialah himpunan aturan-aturan hukum yang
mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta
peninggalannya dari si meninggal dunia, bagaimana kedudukan ahli waris,
berupa perolehan masing-masing secara adil dan sempurna.1
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Istilah hukum waris dalam perdata barat disebut dengan
Erfrecht. Pasal 830 KUH Perdata menyebutkan bahwa hukum waris
adalah hukum yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan
seseorang setelah ia meninggal, terutama berpindahnya harta kekayaan
itu kepada orang lain.2
Wirjono Prodjodikoro, mantan Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia, mengatakan:
Bahwa hukum waris adalah hukum-hukum atau
peraturan-peraturan yang mengatur, tentang apakah dan bagaimanakah
berbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang
1 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Hukum Perdata (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), 104.
2
22
pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain
yang masih hidup.
Menurut Wirdjono Prodjodikoro, bahwa pengertian kewarisan
menurut KUH Perdata memperlihatkan unsur yaitu :
a. Seorang peninggal warisan atau “erflater” yang pada wafatnya
meninggalkan kekayaan. Unsur pertama ini menimbulkan persoalan,
bagaimana dan sampai dimana hubungan seorang peninggal warisan
dengan kekayaanya dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan,
dimana sipeninggal warisan berada.
b. Seseorang atau beberapa orang ahli waris (erfgenaam) yang berhak
menerima kekayaan yang ditinggalkan itu, menimbulkan persoalan
bagaimana dan sampai dimana harus ada tali kekeluargaan antara
peninggal warisan dan ahli waris agar kekayaan sipeninggal warisan
dapat beralih kepada si ahli waris.
c. Harta warisan (halatenschap), yaitu wujud kekayaan yang
ditinggalkan dan sekali beralih kepada si ahli waris itu, menimbulkan
persoalan bagaimana dan sampai dimana wujud kekayaan yang beralih
itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, dimana
sipeninggal warisan ahli waris bersama-sama berada.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dimaksud dengan
Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang
23
ayat a KHI)).3 Kewarisan dalam KHI mempunyai unsur-unsur diantaranya
adalah:
1) Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan
meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam,
meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan (Pasal 171 ayat b).
Orang yang meninggalkan harta itu disebut Pewaris. Mewaris dalam
hukum perdata Barat dibagi dalam:
a. Pewaris atas dasar ketentuan undang-undang (ab-intestaat).
b. Pewaris atas dasar surat wasiat (testamenter) adalah suatu akte yang
memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendaki dan
terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut
kembali.4
2) Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan Pewaris, antara ahli
waris dan pewaris masing-masing beragama Islam dan tidak terhalang
hukum untuk menjadi ahli waris (Pasal 171 ayat c). Ahli waris yang
dimaksud adalah ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui
dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian,
sedangkan bagi bayi yang lahir atau anak yang belum dewasa, beragama
menurut ayah dan lingkungannya (Pasal 172).
24
3) Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh Pewaris baik yang
berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya (Pasal 171 ayat
d).5
Sedangkan Subekti dalam pokok-pokok Hukum Perdata tidak
menyebutkan definisi hukum kewarisan, hanya beliau mengatakan asas
hukum waris, menurut Subekti:
Dalam Hukum Waris Kitab Undang-undang Hukum Perdata
berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja
yang dapat diwariskan.
Oleh karena itu hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam
lapangan hukum kekeluargaan pada umumnya hak-hak dan
kewajiban-kewajiban kepribadian misalnya hak-hak dan
kewajiban sebagai seorang suami atau sebagai seorang ayah
tidak dapat diwariskan, begitu pula hak-hak dan
kewajiban-kewajiban seorang sebagai anggota sesuatu perkumpulan.6
Tetapi menurut Subekti ada juga satu, dua kekecualian,
misalnya hak seorang bapak untuk menyangkal sah anaknya dan di pihak
lain hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak
yang sah dari bapak atau ibunya, menurut Undang-undang beralih pada
(diwarisi) oleh ahli waris masing-masing yang mempunyai hak-hak itu.
Sebaliknya ada juga hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terletak
5 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ++ Burgerlijk Wetboek, pasal 171.
25
dalam lapangan hukum perbedaan atau perjanjian tetapi tidak beralih
pada ahli waris si meninggal, misalnya hak vruchtgebruik atau suatu
perjanjian perburuhan di mana seorang akan melakukan suatu pekerjaan
dengan tenaganya sendiri.
Atau suatu perjanjian perkongsian dagang, baik yang
berbentuk maatschap (perseroan) menurut BW, maupun yang berbentuk
firma menurut Undang-undang diakhiri dengan meninggalnya salah satu
pesero.7
2. Dasar Hukum Kewarisan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),
terutama pasal 528, tentang hak mewaris diindentikkan dengan hak
kebendaan, sedangkan ketentuan dari pasal 584 KUH Perdata
menyangkutkan hak waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak
kebendaan, oleh karenanya ditempatkan dalam Buku Ke II KUH Perdata
(tentang benda). Penempatan Hukum Kewarisan dalam buku ke II KUH
Perdata ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum, karena
mereka berpendapat bahwa dalam hukum kewarisan tidak hanya tampak
sebagai hukum benda saja, tetapi tersangkut beberapa aspek hukum
lainnya, misalnya hukum perorangan dan kekeluargaan.
Menurut Staatsblad 1925 Nomor 415 jo 447 yang telah diubah
ditambah dan sebagainya terakhir dengan S. 1929 No. 221 pasal 131 jo
pasal 163, hukum kewarisan yang diatur dalam KUH Perdata tersebut
26
diberlakukan bagi orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan
dengan orang-orang Eropa tersebut. Dengan Staatsblad 1917 Nomor 129
jo Staatsblad 1924 Nomor 557 hukum kewarisan dalam KUH Perdata
diberlakukan bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa. Dan berdasarkan
Staasblad 1917 Nomor 12, tentang penundukan diri terdahap hukum
Eropa, maka bagi orang-orang Indonesia dimungkinkan pula
menggunakan hukum kewarisan yang tertuang dalam KUH Perdata.
Dengan demikian maka KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek) diberlakukan
kepada:
a. Orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang
Eropa misalnya Inggris, Jerman, Perancis, Amerika dan termasuk
orang-orang Jepang
b. Orang-orang Timur Asing Tionghoa dan
c. Orang-orang Asing lainnya dan orang-orang pribumi menundukkan
diri.
Menurut KUH Perdata, ada dua cara untuk mendapatkan
warisan, yaitu:
a. Ahli wais menurut ketentuan Undang-undang, dan
b. Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testamen).
Hukum kewarisan Islam mengatur hal ikhwal harta
peninggalan (warisan) yang ditinggalkan oleh si mayit, yaitu yang
27
masih hidup (ahli waris). Adapun dasar hukum yang mengatur tentang
kewarisaan Islam adalah sebagai berikut:
1) QS. Al-Nisa (4):7
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan”.8
2) QS. Al-Anfal (8):75
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu Termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat). di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.9
Maksudnya: yang Jadi dasar waris mewarisi dalam Islam
ialah hubungan kerabat, bukan hubungan persaudaraan keagamaan
8 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: Al-Hidayah, 2002), 114.
28
sebagaimana yang terjadi antara muhajirin dan anshar pada
permulaan Islam.
3. Konsep Dasar Hukum Kewarisan
Istilah hukum waris berasal dari bahasa Belanda Erfrecht.
Pasal 830 KUH Perdata pada intinya menyebutkan bahwa hukum waris
adalah hukum yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan
seseorang setelah ia meninggal, terutama berpindahnya harta kekayaan
itu kepada orang lain.
Dari ketentuan tersebut maka dalam Hukum Waris BW
mengandung 3 unsur pokok, yaitu:
a. Orang yang meninggalkan harta warisan
b. Harta warisan
c. Ahli waris (erfergenaam).10
4. Rukun dan Syarat Kewarisan
a. Rukun-rukun kewarisan
Pewarisan bisa terjadi apabila terdapat tiga unsur (rukun),
ketiga unsur tersebut, antara lain:
1) Adanya orang yang akan mewarisi atau ahli waris, yaitu orang
yang mempunyai hubungan kekerabatan baik karena hubungan
darah, sebab perkawinan, atau akibat memerdekakan hamba
sahaya.11
29
Menurut Sayid Sabiq, ahli waris adalah orang yang
berhak menguasai dan menerima harta waris karena mempunyai
sebab-sebab untuk mewarisi yang dihubungkan dengan pewaris.12
2) Adanya pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli
warisnya berhak untuk mewarisi harta waris.13
3) Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang
ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
b. Syarat-syarat kewarisan
Syarat sah terjadinya pembagian warisan sebagai berikut:
1) Matinya pewaris, Islam mengajarkan bahwa kewarisan terjadi
apabila pewaris telah meninggal dunia. Artinya, selama pewaris
masih hidup tidak ada proses waris-mewarisi. Kematian pewaris
dibagi ke dalam tiga macam:14
a) Mati haqiqy (de facto) artinya kematian yang dapat disaksikan
oleh panca indra.
b) Mati hukmy (de jure) adalah seseorang yang secara yuridis
melalui keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia.
Ini bisa terjadi seperti dalam kasus seseorang yang dinyatakan
hilang (mafqud) tanpa diketahui keberadaannya dan
bagaimana keadaannya. Melalui keputusan hakim, setelah
melalui upaya-upaya tertentu, ia dinyatakan meninggal.
12 Sayid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah Jilid 4, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2004), 426. 13 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris,… 129.
30
Sebagai keputusan hakim mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat.
c) Mati taqdiry yaitu anggapan bahwa seseorang telah meninggal
dunia. Misalnya karena ia ikut ke medan perang, atau tujuan
lain yang secara lahiriyah mengancam dirinya. Setelah sekian
tahun tidak diketahui kabar beritanya, dan melahirkan dugaan
kuat bahwa ia telah meninggal, maka dapat dinyatakan bahwa
ia telah meninggal.
2) Hidupnya ahli waris saat kematian pewaris, merupakan sesuatu
yang harus dipenuhi, karena pemindahan hak kepemilikan dari
pewaris kepada ahli warisnya dapat terjadi ketika seseorang yang
hendak mewarisi harta tersebut benar-benar masih hidup, sebab
seseorang yang telah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi.15
3) Diketahui posisi masing-masing ahli waris, posisi para ahli waris
hendaklah diketahui dengan pasti kedudukannya dalam suatu
hubungannya dengan pewaris, karena dengan diketahuinya
kedudukan masing-masing ahli waris maka akan diketahui pula
berapa jumlah harta yang harus diberikan kepadanya.16
4) Tidak ada penghalang mewarisi.17
15 Muhammad Ali As-Sabuni, Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam, (Surabaya: Mutiara Ilmu), 33
16 Ibid., 33-34.
31
5. Orang-orang yang berhak mendapatkan harta warisan
Dalam pasal 832 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
Menurut undang-undang yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah, para
keluarga sedarah, baik sah, maupun luar kawin dari si suami atau isteri
yang hidup terlama, semua menurut peraturan tertera di bawah ini.
Dalam hal, bilamana baik keluarga sedarah, maupun si yang
hidup terlama di antara suami isteri, tidak ada, maka segala harta
peninggalan si yang meninggal, menjadi milik Negara, yang mana
berwajib akan melunasi segala utangnya, sekadar harga harta peninggalan
mencukup untuk itu.18
Orang-orang yang berhak mendapatkan harta waris dari pihak
laki-laki adalah:
a. Bapak/Ayah
b. Kakek dan terus ke atas
c. Anak laki-laki
d. Cucu laki-laki dan terus ke bawah
e. Saudara laki-laki sekandung
f. Saudara laki-laki sebapak
g. Anak laki-lakinya saudara laki-laki sekandung
h. Saudara laki-laki seibu
i. Anak laki-lakinya saudara laki-laki sebapak
j. Paman sekandung
32
k. Paman sebapak
l. Anak laki-lakinya paman sekandung
m. Anak laki-lakinya paman sebapak
n. Suami
o. Orang laki-laki yang memerdekakan budak.19
Orang-orang yang berhak mendapatkan harta waris dari pihak
perempuan adalah:
a. Ibu
b. Anak perempuan
c. Nenek dari pihak Ibu, dan ke atasnya dari jenis perempuan
d. Nenek sebapak
e. Cucu perempuan dan terus ke bawah
f. Saudara perempuan sekandung
g. Saudara perempuan sebapak
h. Saudara perempuan seibu
i. Istri
j. Orang perempuan yang memerdekakan budak.20
Ada tiga sebab yang mana jika si ahli waris melakukan satu
dari 3 hal tersebut maka dia tidak berhak mendapatkan harta waris si
mayit. Adapun tiga sebab tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pembunuhan
19
Hamdan Rasyid, Hukum Kewarisan Menurut Al-Qur’an Dan Sunnah,…,47.
33
Yang dimaksud dengan pembunuhan adalah siapapun yang
menjadi sebab meninggalnya si mayit baik secara langsung, misalnya
dia yang membunuh si mayit tersebut dengan sengaja, atau secara
tidak langsung, misalnya dia melempar kulit pisang sembarangan lalu
menjadi sebab meninggalnya si mayit karena terpleset dengan sebab
pisang itu. Maka dalam dua gambaran tersebut si ahli waris tidak
berhak mendapatkan harta waris dari mayit itu. Dan hikmah agama
dalam hal itu adalah supaya tidak terjadi pembunuhan hanya karena
mengharapkan harta warisannya sebelum waktunya.21
b. Perbedaan agama
Maka seorang muslim tidak mewarisi harta si mayit yang
kafir, begitu pula sebaliknya. Misalnya seorang ayah kafir meninggal
dan meninggalkan 2 orang anak, yang satu kafir dan yang lainnya
muslim maka yang mewarisi harta ayahnya tersebut adalah anaknya
yang muslim.22
c. Perbudakan
Maka jika si ahli waris seorang budak, ia tidak berhak
mendapatkan harta waris. Karena apa yang akan didapatkan oleh
budak tersebut akan menjadi milik tuannya sehingga akan terjadi
suatu harta waris diberikan kepada seseorang yang bukan ahli waris.
21
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris,… 131.
34
Oleh karenanya agama menetapkan seorang budak tidak berhak
mendapatkan harta waris.23
6. Sebab-sebab Kewarisan
a. Karena hubungan perkawinan
Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli
waris) disebabkan adanya hubungan perkawinan antara si mayat
dengan seseorang tersebut, yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah
suami atau isteri dari si mayat.
Terjadinya akad nikah secara legal (syar’i) antara seorang
laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan
intim (bersenggama) antara keduanya. Adapun pernikahan yang batil
atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapat hak waris.24
b. Karena adanya hubungan darah
Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli
waris) disebabkan adanya hubungan nasab atau hubungan
darah/kekeluargaan dengan si mayat, yang termasuk dalam klasifikasi
ini seperti ibu, bapak, kakek, nenek, anak, cucu, cicit, saudara, anak
saudara dan lain-lain.
c. Karena memerdekakan si mayat
Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli
waris) dari si mayat disebabkan seseorang itu memerdekakan si mayat
23 Ibid.
35
dari perbudakan, dalam hal ini dapat saja seorang laki-laki atau
seorang perempuan.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 174 ahli
waris dikelompokkan atas dua bagian, yaitu:25
1) Menurut hubungan darah:
a) Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki saudara
laki-laki, paman dan kakek
b) Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan,
saudara perempuan dan nenek.
2) Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda
Pasal yang sama dalam KHI juga mengatur apabila
semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan
hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.26
7. Asas-asas Hukum Kewarisan
Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah
hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja
yang dapat diwariskan, dengan kata lain hanyalah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Di samping itu berlaku juga
suatu asas, bahwa apabila seorang meninggal dunia, maka seketika itu
juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya.
Asas tersebut tercantum dalam suatu pepatah Perancis yang berbunyi le
25 Kompilasi Hukum Islam, pasal 174.
36
mort saisit levif, sedangkan pengalihan segala hak dan kewajiban dari si
peninggal oleh para ahli waris itu dinamakan SAISINE yaitu suatu asas di
mana sekalian ahli waris dengan sendirinya secara otomatis karena
hukum memperoleh hak milik atas segala barang, dan segala hak serta
segala kewajiban dari seorang yang meninggal dunia.27
Bahwa merupakan asas juga dalam KUH Perdata (BW) ialah
asas kematian artinya pewarisan hanya karena kematian (pasal 830 KUH
Perdata). Demikian juga Hukum Kewarisan menurut Kitab
Undang-undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek masih mengenal 3 (tiga)
asas lain, yaitu:
a. Asas Individual
Asas individual (sistem pribadi) di mana yang menjadi ahli
waris adalah perorangan (secara pribadi) bukan kelompok ahli waris
dan bukan kelompok suku atau keluarga. Hal ini dapat dilihat dalam
pasal 832 jo 852 yang menentukan bahwa yang berhak menerima
warisan adalah suami atau isteri yang hidup terlama, anak beserta
keturunannya.28
b. Asas Bilateral
Asas bilateral artinya bahwa seseorang tidak hanya
mewaris dari bapak saja tetapi juga sebaliknya dari ibu, demikian juga
saudara laki-laki mewarisi dari saudara laki-lakinya, maupun saudara
27 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan
37
perempuannya. Asas bilateral ini dapat dilihat dari pasal 850, 853 dan
856 yang mengatur bila anak-anak dan keturunannya serta suami atau
isteri yang hidup terlama tidak ada lagi maka harta peninggalan dari si
meninggal diwarisi oleh ibu dan bapak serta saudara baik laki-laki
maupun saudara perempuan.29
c. Asas Penderajatan
Asas penderajatan artinya ahli waris yang derajatnya dekat
dengan si pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya,
maka untuk mempermudah perhitungan diadakan
penggolongan-penggolongan ahli waris.30
B. Tinjauan Yuridis Tentang Permohonan
1. Pengertian Permohonan
Permohonan disebut juga gugatan voluntair, dalam Pasal 2
ayat (1) UU No. 14 tahun 1970 yang telah diamandemen dengan UU
No.35 tahun 1999 yang artinya penyelesaian setiap perkara yang diajukan
kepada badan-badan Peradilan mengandung pengertian didalamnya
penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan yuridiksi voluntair atau
gugatan secara sepihak tanpa ada pihak lain yang ditarik sebagai pihak
29 Ibid
38
lawan (Tergugat).31 Yang nantinya seorang hakim akan mengeluarkan
sebuah penetapan dalam putusannya.32
Permohonan sendiri dalam pengertian yuridis adalah
permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang
ditandatangani Pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada Ketua
Pengadilan Agama. Adapun ciri-ciri dari voluntair (gugatan
permohonan):
a. Bersifat kepentingan sepihak semata, murni permasalahan perdata
yang memerlukan kepastian hukum, dan tidak bersentuhan dengan
hak dan kepentingan orang lain.
b. Diajukan pada Pengadilan Negeri bagi non muslim dan Pengadilan
Agama bagi yang muslim.
c. Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan,
tetapi bersifat ex-parte (secara sepihak).
d. Putusannya berupa Penetapan atau beschiking adalah produk
Pengadilan Agama dalam arti bukan Peradilan yang sesungguhnya,
yang diistilahkan jurisdictio voluntaria karena disana hanya ada
Pemohon yang memohonkan untuk ditetapkan tentang sesuatu,
sehingga ia tidak berperkara pada lawan.33
31 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 28.
32 Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku
II, (Jakarta: Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama), lampiran 72.
39
Putusan yang diselesaikan adalah perkara permohonan atau
tanpa ada sengketa para pihak (voluntair).34 Putusannya berisi tentang
pertimbangan dan dictum (amar putusan) penyelesaian permohonan yang
dituangkan dalam bentuk penetapan dengan sebutan penetapan atau
ketetapan.35
2. Jenis-jenis perkara permohonan
Berdasarkan pasal 2 dan penjelasan pasal 2 ayat (1) UU No.14
Tahun 1970 yang telah diamandemen UU No. 35 Tahun 1999 dan aturan
Mahkamah Agung dalam pedoman pelaksanaan tugas dan administrasi
Peradilan Agama buku II edisi 2010. Jenis-jenis perkara permohonan yang
dapat diajukan melalui Pengadilan Agama antara lain36:
a. Permohonan pengangkatan wali bagi anak yang belum mencapai umur
18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak
berada di bawah kekuasaan orang tua (Pasal 50 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan).
b. Permohonan pengangkatan wali/pengampu bagi orang dewasa yang
kurang ingatannya atau orang dewasa yang tidak bisa mengurus
hartanya lagi, misalnya karena pikun (Pasal 229 HIR / Pasa 262 RBg).
34 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata ada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 251.
35 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata..., 28.
40
c. Permohonan dispensasi kawin bagi pria yang belum mencapai umur
19 tahun dan bagi wanita yang belum mencapai umur 16 tahun (Pasal
7 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).
d. Permohonan izin kawin bagi calon mempelai yang belum berusia 21
tahun (Pasal 6 ayat (5) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).
e. Permohonan pengangkatan anak (Penjelasan Pasl 49 Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006).
f. Permohonan untuk menunjuk seorang atau beberapa orang wasit
(arbiter) oleh karena para pihak tidak bisa atau tidak bersedia untuk
menunjuk wasit (arbiter) (Pasal 13 dan 14 Undang-undang Nomor 30
tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).
g. Permohonan sita atas harta bersama tanpa adanya gugatan cerai
dalam hal salah satu dari suami isteri melakukan perbuatan yang
merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk,
boros, dan sebagainya (Pasal 95 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam).
h. Permohonan izin untuk menjual harta bersama yang berada dalam
status sita untuk kepentingan keluarga (Pasal 95 ayat (2) Kompilasi
Hukum Islam).
i. Permohonan agar seseorang dinyatakan dalam keadaan mafqud (Pasal
96 ayat (2) dan Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam).
j. Permohonan penetapan ahli waris (Penjelasan Pasal 49 huruf (b)
41
Perdata Permohonan penetapan ahli waris di pengadilan dengan
membawa bukti diantaranya adalah:
1) Surat Pemohonan rangkap 5
2) Keterangan ahli waris dari lurah/Desa
3) Foto copy Akte Kematian dari Catatan Sipil bermaterai Rp.
6.000,- + Cap Pos (Nezegelen)
4) Foto copy Surat Nikah yang meninggal bermaterai Rp. 6.000,- +
Cap Pos (Nazegelen)
5) Foto copy KTP Pemohon (Ahli Waris) bermaterai Rp. 6.000,- +
Cap Pos (Nezegelen)
6) Foto copy Akte Kelahiran Ahli Waris bermaterai Rp. 6.000,- +
Cap Pos (Nezegelen)
7) Foto copy Harta Kekayaan (Rekening, dll) + Cap Pos.
BAB III
PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NGANJUK NOMOR:
0030/PDT.P/2016/PA.NGJ TENTANG PENOLAKAN PENETAPAN AHLI
WARIS
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Nganjuk
1. Sejarah Pengadilan Agama Nganjuk
a. Masa sebelum Penjajahan
Tidak banyak orang yang mengetahui cerita tentang
keadaan daerah Nganjuk apalagi tentang cerita sejarah keberadaan
Pengadilan Agama Nganjuk, karena menceritakan masa sebelum
penjajahan adalah cerita sebelum abad XVI.
b. Masa penjajahan Belanda dan Jepang
Menurut salah satu orang yang dapat dipercaya dan beliau
mantan pegawai Departemen Agama Nganjuk, bahwa sebelum tahun
1980 M Pemerintah Kabupaten Nganjuk berada di Berbek. Daerah ini
sekarang menjadi salah satu Kecamatan terletak disebelah selatan
Kota Nganjuk kurang lebih 20 km dari pusat kota sekarang. Pada
waktu Pengadilan Agama Nganjuk bernama Kepenghuluan/Penghulu
43
Selanjutnya tahun 1880 M Pemerintah Kabupaten Nganjuk
boyong/pindah ke Nganjuk seperti sekarang ini. Dalam hal ini
Kepenghuluan/Penghulu Hakim juga ikut boyong ke Nganjuk
merangkap menjadi Penghulu Hakim, ketika itu Bupati di jabat oleh
Kanjeng Jimat. Pada masa ini Pengadilan Agama Nganjuk masih
bernama Kepenghuluan/Penghulu Hakim. Penghulu ini mengurusi
Nikah Talak Cerai dan Rujuk sedangkan Penghulu Hakim mengurusi
Fasakh, Syiqoq dan Ta’lik Talak.
c. Masa kemerdekaan
Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945 dan tidak
begitu lama dari masa itu yakni awal tahun 1946 terbentuklah
Departemen Agama tepatnya tanggal 03 Januari 1946, maka setelah
itu Kepenghuluan/Penghulu Hakim yang sekarang disebut Pengadilan
Agama Nganjuk berkantor di suatu ruangan yang sempit disebelah
utara masjid jami’ Nganjuk.
Kondisi Pengadilan Agama saat itu sangat sederhana baik
pegawai maupun alat-alat tulis yang digunakan, sedang ruang sidang
yang digunakan adalah serambi masjid agung nganjuk yang berada
disebelah barat alun-alun.
d. Masa berlakunya Undang Undang Nomor 1 tahun 1974
Pada Masa berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 ini Pengadilan Agama Nganjuk masih berkantor disalah satu
44
Meskipun kondisinya sangat sederhana baik pegawai maupun
peralatan kantornya, namun semangat kerja pegawai Pengadilan
Agama Nganjuk yang pada saat itu berjumlah 9 orang pegawai cukup
tinggi. Akan tetapi pada tahun 1975 Pengadilan Agama Nganjuk
mendapatkan tanah yang kemudian dibangun untuk gedung kantor
dan balai sidang yang terletak di Jalan A. Yani Selatan Nomor 9,
Kelurahan Ploso, Kabupaten Nganjuk depan stadion seluas 500 meter.
e. Masa berlakunya Undang Undang nomor 7 tahun 1989.
Pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 Pengadilan Agama Nganjuk Ketuanya dijabat oleh Drs. Kusno,
S.H. pada saat itu pegawai Pengadilan Agama Nganjuk sudah
memadai dengan jumlah 20 orang termasuk Hakim.
2. Tugas Pokok dan Fungsi
a. Tugas Pokok Pengadilan Agama
Memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pada
tingkat pertama anatara orang-orang beragama Islam di bidang:
Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infak, Shadaqah
dan Ekonomi Syari'ah (Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama).
Pengadilan Agama dapat memberikan keterangan,
pertimbangan dan nasihat tentang Hukum Islam kepada Instansi
45
undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama) dan memberikan
Istbat Kesaksian Hilal dengan penetapan awal bulan pada tahun
Hijriah (Pasal 52 A Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Undang-undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama).
Melaksanakan Administrasi Kepaniteraan Pengadilan
Agama sesuai dengan Pola Pembinaan dan Pengendalian Administrasi
Kepaniteraan dan melaksanakan Administrasi Kesekretariatan serta
Pembangunan sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan.
b. Fungsi
Fungsi Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku
Kekuasaan Kehakiman pada tingkat pertama bagi pencari keadilan
yang beragama Islam mengenai perkara tertentu ( Pasal 2
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama).
3. Letak Geografis
Kabupaten Nganjuk adalah sebuah kabupaten di Provinsi
Jawa Timur, Indonesia dengan ibukotanya di Nganjuk. Kabupaten ini
berbatasan dengan Kabupaten Bojonegoro di utara, Kabupaten Jombang
di timur, Kabupaten Kediri dan Kabupaten Ponorogo di selatan, serta
Kabupaten Madiun di barat. Nganjuk juga dikenal dengan julukan Kota
46
Kabupaten Nganjuk terletak antara 11105' sampai dengan
112013' BT dan 7020' sampai dengan 7059' LS. Luas Kabupaten Nganjuk
adalah sekitar ± 122.433 Km2 atau 122.433 Ha yang terdiri dari atas:
a. Tanah sawah 43.052.5 Ha
b. Tanah kering 32.373.6 Ha
c. Tanah hutan 47.007.0 Ha
4. Visi dan Misi
a. Visi
1) Mewujudkan Peradilan Agama yang mandiri, bersih dan
berwibawa
2) Dapat memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat\
3) Pencari keadilan sesuai azaz sederhana, cepat dan biaya ringan.
b. Misi
1) Meningkatkan profesionalisme aparatur Pengadilan Agama
Nganjuk
2) Meningkatkan kualitas pelayanan hukum
3) Meningkatkan penyelenggaraan managemen peradilan dan
administrasi umum
4) Meningkatkan sarana dan prasarana
5) Meningkatkan pengawasan internal.
5. Struktur dan Pejabat
Keterangan :
47
Waka : -
Hakim : 1. Mohamad Thoha, S.Ag.
2. Drs. H. Musthofa Zahron
3. Drs. Moh Muchsin, M.Sy.
4. Haitami, S.H., M.H.
Panitera : Heri Eka Siswanta, S.H., M.H
Wakil Panitera : Drs. H. Moh. Munib, M.H.I
Sekretaris : Nafis Machfiiyah, S.Ag
Panmud Permohonan : -
Panmud Gugatan : Amir Hamzah, S.H.
Panmud Hukum : Muhammad Nafi’, S.H., M.H.
Sub Bag Kepegawaian : Fuad, S.HI.
Sub Bag Laporan : Ermas Firdaus, S.T.
Sub Bag Umum : -
Panitera Pengganti``` : 1. Setyo Hayuningsih, S.H
2. Nurul Kumtianawati, S.H.
48
2. Muh Yanuar Arifin
3. Irwan Abd. Rahman, SH., MH
4. Sunarto
B. Deskripsi Kasus Penolakan Penetapan Ahli waris di Pengadilan Agama
Nganjuk Nomor 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj
Kasus Pengadilan Agama Nganjuk terdaftar dengan nomor:
0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj. Perkara ini diperiksa oleh Majelis Hakim yang
terdiri dari Drs. H. Muh. Mahfudz sebagai Ketua Majelis, Drs. Sunaryo, M.Si
dan Drs. H. A. Bashori, MA, masing-masing sebagai Hakim Anggota dan
dibantu oleh Muhammad Nafi’, S.H. M.HI sebagai Panitera Pengganti.1
Pengadilan Agama Nganjuk yang memeriksa dan mengadili
perkara-perkara tertentu dalam tingkat pertama telah yang menjatuhkan
putusan sebagai berikut dalam perkara waris yang diajukan. Adapun pihak
yang mengajukan permohonan waris yaitu Pemohon. Berikut ini adalah
identitas pihak yang berperkara dan duduk perkara.
Nama: PEMOHON, Jenis Kelamin: Perempuan, Agama: Islam,
Pekerjaan” Mengurus Rumah Tangga, Tempat Tinggal: Desa Kedungdowo
RT 05 RW 04, Kec. Nganjuk, Kab. Nganjuk.
49
Duduk perkara dalam kasus ini berawal dari sebuah pernikahan
antara PINGI alias SOPI’I Bin MATRAWI dengan SUKINEM Binti
SURADI. Selama pernikahanya mereka dikaruniai satu orang anak
perempuan bernama PEMOHON. Bahwa Pemohon menikah dengan
SUYONO Bin MUSTOREJO dikarunia 3 orang anak yaitu: ERVIN
SULISTYORINI Binti SUYONO, DWI PRASETYO UTOMO Bin
SUYONO, OKTAVIA TRIANINGRUM Binti SUYONO. Almarhum PINGI
alias SOPI’I Bin MATRAWI kemudian bercerai dengan SUKINEM Binti
SURADI sekitar tahun 1975, tetapi kemudian PINGI alias SOPI’I Bin
MATRAWI menikah kembali dengan SUKINEM Binti SURADI sekitar
tahun 1990 dengan pernikahan siri sampai meninggal dunia. Bahwa PINGI
alias SOPI’I Bin MATRAWI (Alm) meninggal pada hari Selasa tanggal 27
Desember 2011, karena sakit. Istri dari pernikahan siri PINGI alias SOPI’I
bernama SUKINEM Binti sekarang masih hidup. PINGI alias SOPI’I Bin
MATRAWI (Alm) tidak mempunyai saudara kandung.
Pada tahun 1988 PINGI Bin MATRAWI (Alm) diberi uang
sebanyak 1 (satu) juta rupiah dan sapi sebanyak 7 (tujuh) ekor oleh orang
tuanya bernama MATRAWI (Alm) dan KALIMAH (Almh) yang merupakan
bagian harta waris dari orang tuanya, bernama MATRAWI (Alm) dan Ibu
kandung bernama KALIMAH (Almh), kemudian 7 (tujuh) ekor sapi tersebut
dijual laku Rp.10.500.000,- (Sepuluh juta lima ratus ribu rupiah), uang
pemberian orang tuanya dan uang hasil penjualan sapi kemudian dibelikan
50
seharga Rp. 11.000.000,- (Sebelas juta rupiah). Bahwa tanah sawah yang
terletak di Desa Gempol, Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk tersebut
adalah Tanah Sawah tanah hak bekas gogolan terletak di Desa Gempol,
Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk Propinsi Jawa Timur dengan Leter C
desa nomer 795, atas nama PINGI, nomer persil dan huruf bagian persil GL,
kelas desa S, Luas Kurang-lebih 7.500 m2 (Tujuh ribu limaratus meter
persegi), terbagi atas 5 bidang sawah, 2 bidang sawah sudah dijual ketika
PINGI Bin MATRAWI masih hidup, sehingga tersisa 3 bidang sawah :
• Tanah sawah ke 1 luas sekitar 2100 m2
• Tanah sawah ke 2 luas sekitar 3500 m2
• Tanah sawah ke 3 luas sekitar 510 m2
Setelah PINGI alias SOPI’I Bin MATRAWI (Alm) meninggal
dunia, selain meninggalkan ahli waris juga meninggalkan harta peninggalan
berupa Tanah sawah 1, 2 dan 3. Maksud dan tujuan pengajuan dari
permohonan penetapan ahli waris ini adalah untuk keperluan memenuhi
persyaratan pendaftaran sertifikat kepemilikan atas harta yang ditinggalkan
oleh PINGI alias SOPI’I Bin MATRAWI (Alm) yaitu Tanah Sawah 1, 2 dan
3 tersebut, maka pemohon bermaksud mengajukan permohonan penetapan
ahli waris.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Pemohon mohon kepada
Majelis Hakim Pengadilan Agama Nganjuk untuk berkenan memeriksa dan
memutuskan sebagai berikut:
51
2. Menetapkan bahwa ahli waris almarhum PINGI alias SOPI’I Bin
MATRAWI terhadap Tanah sawah 1, 2 dan 3 adalah PEMOHON.
3. Membebankan biaya perkara menurut hukum.
Bahwa pada hari sidang yang telah ditentukan pemohon
didampingi kuasanya hadir dipersidangan dan telah di damaikan agar
menyelesaikan perkaranya secara kekeluargaan, akan tetapi ternyata tidak
berhasil.
Kemudian pemeriksaan dilanjutkan dengan membacakan surat
permohonan pemohon dan atas pertanyaan majelis hakim pemohon
menyatakan tetap mempertahankan surat permohonannya, sehingga oleh
karenanya sebelum memeriksa perkara ini lebih lanjut majelis hakim telah
memberikan penetapan.
C. Alasan Hakim memutus perkara Nomor 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj terhadap
penolakan penetapan ahli waris
Menurut pendapat dari seorang Bapak ketua majelis persidangan
dalam perkara Nomor 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj, yaitu Bapak Drs. Muh.
Mahfudz mengatakan bahwa:
“Yang saya pahami tentang permasalahan Pemohon dalam perkara
ini adalah mengenai penetapan ahli waris. Perkara ini merupakan penetapan
52
Matrawi yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon. Dari perkara tersebut
Pemohon mengajukan permohonan bertujuan untuk keperluan memenuhi
persyaratan pendaftaran Sertifikat kepemilikan atas harta yang ditinggalkan
oleh Pingi alias Sopi’i Bin Matrawi (Alm).2
Bapak Drs. Sunaryo, M.Si menambahkan bahwa:
“Selain itu alasan dalam pertimbangan hakim mengenai putusan
tersebut dimana permohonan (Pemohon) tidak dapat diterima (Niet
Onvankelijk Verklaart)..3
Menurut hakim anggota yaitu Bapak Drs. H. A. Bashori, MAbeliau
mengatakan bahwa:
“Alasan yang sangat mendasar adalah bahwa ternyata antara posita
dan petitum saling bertentangan. Karena yang diminta penetapan ahli waris
sedangkan dalam petitum minta warisan.4
Menurut hakim anggota bapak Haitami, SH. MH. beliau
mengatakan bahwa:
“Hakim memutuskannya menggunakan hukum acara yang berlaku
di Pengadilan Agama yang berlandaskan Undang-undang dan Hukum Islam
termasuk perkara tersebut.5
Bapak Drs. H. Syaiful Heja, MH. Selaku ketua Pengadilan Agama
mengatakan bahwa: “Dalam perkara ini Pemohon dalam posita telah
menguraikan silsilah keluarganya dari Ayahnya, tetapi dalam petita
2 Mahfudz, Wawancara, Nganjuk pada tanggal 27 Maret 2017.
3 Sunaryo, Wawancara, Nganjuk pada tanggal 27 Maret 2017.
4 Bashori. MA, wawancara, Nganjuk pada tanggal 27 Maret 2017.
53
pemohon mohon agar ditetapkan sebagai satu-satunya ahli waris. Pada
posita nomor 4 Pemohon menyebutkan bahwa Ayahnya meninggal dunia dan
posita nomor 5 Pemohon menyebutkan Ibunya (Pemohon) sekarang masih
hidup, artinya sewaktu Ayahnya (Pemohon) meninggal dunia Ibunya
(Pemohon) masih hidup. Jadi sudah jelas Ibunya (Pemohon) termasuk Ahli
waris dari Ayahnya (pemohon).6
Menurut pendapat dari Bapak ketua majelis persidangan dalam
perkara Nomor 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj, yaitu Bapak Drs. Muh. Mahfudz
mengatakan bahwa:
“Suatu permohonan harus memenuhi persyaratan yakni jelas dan
tegas kalau tidak maka permohonan dianggap kabur (obscuur libel) hasil
akhirnya permohonan tersebut di NO (tidak dapat diterima) sebagaimana
dalam penetapan Nomor: 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj, ada beberapa hal yang
dianggap kabur oleh Majelis Hakim sebagaimana terurai dalam
pertimbangan hukum. Majelis hakim telah menemukan fakta-fakta sebagai
berikut:
a. Bahwa telah ternyata antara posita dan petitum saling bertentangan dan
tidak saling mendukung, yaitu ada keluarga yang tidak dimasukkan
sebagai ahli waris yaitu Ibu SUKINEM Binti SURADI, padahal
jelas-jelas dalam Posita angka 3 Pemohon menyatakan bahwa PINGI alias
SOPII Bin MATRAWI bercerai dengan SUKINEM Binti SURADI
namun PINGI alias SOPI’I Bin MATRAWI menikah kembali dengan
54
SUKINEM Binti SURADI dan pada posita nomor 4 Pemohon
menyebutkan bahwa PINGI alias SOPI’I Bin MATRAWI meninggal
dunia pada hari Selasa tanggal 27 Desember 2011 dan posita Nomor 5
Pemohon menyebutkan Ibu SUKINEM Binti SURADI sekarang masih
hidup, artinya sewaktu PINGI alias SOPI’I Bin MATRAWI meninggal
dunia SUKINEM Binti SURADI masih hidup, oleh karenanya
SUKINEM Binti SURADI termasuk ahli waris;
b. Bahwa pemohon dalam posita telah menguraikan silsilah keluarga dari
almarhum PINGI alias SOPI’I bin MATRAWI tetapi dalam petita
pemohon mohon agar ditetapkan sebagai satu-satunya ahli waris;
c. Bahwa pemohon memohon penetapan ahli waris akan tetapi dalam
petita pemohon meminta ditetapkan sebagai ahli waris terhadap tanah
sawah 1, 2, dan 3 sebagaimana yang disebut di posita nomor 9,
sehingga pemohon tidak hanya memohon penetapan ahli waris, akan
tetapi juga memohon obyek harta warisan
Dalam petita/petitum minta ditetapkan sebagai ahli waris
almarhum PINGI alias SOPI’I Bin MATRAWI terhadap tanah sawah 1, 2
dan 3 tersebut, padahal dalam posita no 14 Pemohon hanya minta ditetapkan
sebagai ahli waris almarhum PINGI alias SOPI’I Bin MATRAWI tidak
minta mewarisi harta warisan almarhum, apalagi dilihat permohonannya
hanya minta ditetapkan sebagai ahli waris namun dalam kenyataannya minta
ditetapkan ahli waris terhadap tanah sehingga tidak singkron antara posita
55
ahli waris apa minta warisan itu yang tidak jelas, yang kedua Pemohon
masih mempunyai ibu yang masih hidup yang juga sebagai ahli waris tetapi
Pemohon minta supaya di tetapkan sebagai ahli waris kenapa ibunya tidak
dimohonkan juga sebagai ahli waris hal inilah yg dianggap majelis tidak jelas
oleh karenanya permohonan pemohon tidak dapat di terima/NO. Dasar
hukum bisa dibaca psl 8 Rv (reglement op de burgerlijke rechts vordering).7
Bapak Drs. H. Syaiful Heja, MH selaku ketua Pengadilan Agama
Nganjuk mengatakan bahwa: melihat perkara tersebut majelis hakim sudah
benar dalam memutuskan perkara tersebut.8
7
Mahfudz, Wawancara, Nganjuk pada tanggal 27 Maret 2017.
8
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NGANJUK NOMOR:
0030/PDT.P/2016/PA.NGJ TENTANG PENOLAKAN PENETAPAN AHLI
WARIS
A. Dasar Pertimbangan dan dasar hukum Majelis Hakim dalam Penolakan
Penetapan Ahli Waris Dalam Putusan Pengadilan Agama Nomor:
0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj
Setiap perkara yang terkait dengan kewarisan merupakan salah
satu kompetensi yang diproses atau ditangani oleh Pengadilan Agama,
termasuk didalamnya permasalahan tentang penetapan ahli waris.
Pengadilan Agama merupakan salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor
3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009, Pasal 2 menyatakan:
“Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata
tertentu yang diatur dalam undang-undang ini”.
Berdasarkan Pasal 49 UU Nomor 50 Tahun 2009 amandemen dari
UU Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989
57
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah
dan ditambah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun
2009, serta Aturan Mahkamah Agung dalam pedoman pelaksanaan tugas dan
administrasi Peradilan Agama buku II edisi 2010. Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
kewarisan pada perkara permohonan penetapan ahli waris sepanjang
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan atau jika ada kepentingan
hukum.
Penetapan merupakan salah satu bentuk putusan yang ditetapkan
oleh hakim Pengadilan Agama yang merupakan hak dari seseorang atas
permohonan yan diajukan oleh pihak pemohon. Permohonan sendiri dalam
pengertian yuridis adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk
permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan
kepada hakim Pengadilan Agama. Salah satu jenis permohonan yang dapat
diajukan melalui Pengadilan Agama adalah Permohonan penetapan ahli
waris. Kewarisan secara rinci telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) Pasal 171 ayat (1) “Bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan orang-orang yang berhak menjadi ahli waris dan jumlah
bagiannya masing-masing”.
Penetapan ahli waris merupakan bentuk perkara kewarisan yang
58
harus diterima oleh ahli waris. Penetapan ahli waris dapat dilihat dalam
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang No.3 Tahun 2006 yang telah diamandemen dengan
Undang-undang No.50 Tahun 2009, Kompilasi Hukum Islam Pasal 171-193
KHI menjelaskan orang-orang yang berhak mewarisi adalah keluarga yang
sedarah, baik sah maupun luar kawin dan sisuami atau isteri yang telah hidup
bersama sampai pewaris meninggal.
Oleh karena itu pada hakikatnya hakim merupakan suatu peran
yang sangat penting di lingkungan Peradilan, karena lewat hakimlah suatu
perkara bisa diputuskan. Seorang hakim bukan hanya mempunyai dasar
hukum yang kuat, akan tetapi juga harus cermat dalam memeriksa
bukti-bukti dari Perkara itu. Untuk menyelidiki kebenaran adanya suatu hubungan
hukum yang menjadi dasar permohonan itu benar-benar ada, agar ia bisa
memberikan suatu putusan yang seadil-adilnya baik hukum Islam yang
berlaku di Peradilan Agama maupun hukum cara perdata yang terikat dengan
perkara yang sedang ditangani.
Begitu juga yang dilakukan oleh Hakim Pengadilan Agama
Nganjuk yang memutuskan suatu perkara Nomor: 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj,
majelis hakim Pengadilan Agama Nganjuk harus memiliki sikap atau perilaku
yang bijaksana dan cermat dalam memeriksa bukti-bukti di persidangan.
Agar dapat memutuskan perkara yang diajukan kepadanya dengan adil dan
59
Dalam menyelesaikan dan menetapkan perkara atau sengketa,
seorang hakim dituntut untuk memutuskan perkara yang menjadi pokok
permasalahan yang sebenarnya melalui pembuktian dan keterangan para
saksi, kemudian dari pembuktian dan keterangan para saksi tersebut dapat
diketahui secara pasti benar tidaknya suatu peristiwa yang sedang
disengketakan itu, yang selanjutnya dapat dijadikan pertimbangan oleh
hakim.
Pokok masalah dalam putusan Pengadilan Agama Nganjuk
Nomor: 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj tentang penolakan penetapan ahli waris
yang diteliti kali ini adalah mengenai pelaksanaan kewarisan dalam
menentukan ahli waris yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Nganjuk.
Dalam penetapan Nomor 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj tersebut merupakan
perkara penetapan ahli waris tunggal yakni sebagai anak tunggal dari Pingi
alias Sopi’I Bin Matrawi yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon.
Pada proses persidangan perkara penolakan penetapan ahli waris
Nomor: 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj majelis hakim telah meneliti berdasarkan
pasal 8 Rv (reglement op de burgerlijke rechts vordering). Perkara tidak
memenuhi syarat, permohonan menjadi tidak sempurna maka permohonan
dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Ketidaksempurnaan dapat dihindarkan jika penggugat atau kuasanya sebelum
memasukkan permohonan meminta nasihat dulu ke Ketua Pengadilan.
Namun karena sekarang sudah banyak advokad atau pengacara maka sangat
60
Permohonan tidak diterima adalah permohonan yang tidak
berdasarkan hukum yaitu apabila peristiwa-peristiwa sebagai dasar tuntutan
tidak membenarkan tuntutan. Putusan tidak diterima ini bermaksud menolak
permohonan diluar pokok perkara. Dalam hal ini penggugat masih dapat
mengajukan kembali permohonannya atau banding. Lebih kepada tidak
memenuhi syarat formil.
Isi gugatan menurut pasal 8 Rv (reglement op de burgerlijke rechts
vordering) gugatan memuat:
1. Identitas para pihak
2. Dasar atau dalil gugatan/posita/fundamentum petendi berisi tentang
peristiwa dan hubungan hukum
3. Tuntutan/petitum terdiri dari tuntutan primer dan tuntutan
subside/tambahan.
B. Analisis Yuridis Terhadap Penetapan Hakim dalam Putusan Pengadilan
Agama Nganjuk Nomor: 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj tentang Penolakan
Penetapan Ahli Waris
Berdasarkan ketentuan Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
61
kepemilikan dari almarhum kepada ahli warisnya, para ahli waris terlebih
dahulu harus membuktikan secara hukum bahwasannya memang sebagai ahli
waris yang sah dari almarhum.
Sebelum mengajukan permohonan atau fatwa waris kepada
Pengadilan Agama, ahli waris terlebih dahulu harus membuktikan secara
hukum berdasarkan dirinya memang sebagai ahli waris yang sah dari
almarhum, dengan membawa beberapa bukti diantaranya adalah:
1. Surat permohonan rangkap
2. Keterangan Ahli Waris dari lurah atau Desa
3. Foto copy Akte Kematian dari Catatan Sipil bermaterai Rp.6000,- + Cap
Pos
4. Foto copy Surat Nikah yang meninggal bermaterai Rp.6.000,- + Cap Pos
5. Foto copy KTP Pemohon (Ahli Waris) bermaterai Rp.6.000,- + Cap Pos
6. Foto copy Akte Kelahiran Ahli Waris bermaterai Rp.6.000,- + Cap Pos
7. Foto copy Harta kekayaan (Rekening, dll) + Cap Pos.
Menurut analisis penulis melihat perkara tersebut majelis hakim
sudah benar dalam memutuskan perkara tersebut. Karena antara posita dan
petitum saling bertentangan. Karena yang diminta penetapan ahli waris
sedangkan dalam petitum minta warisan. Dan Pemohon masih mempunyai
ibu yang masih hidup yang juga sebagai ahli waris tetapi Pemohon minta
supaya di tetapkan sebagai ahli waris kenapa ibunya tidak dimohonkan juga
sebagai ahli waris hal inilah yang dianggap majelis tidak jelas, oleh
62
Hakim juga berhak menolak sesuatu yang disodorkan, jika
terdapat kebohongan, kepalsuan dan di rasa kurang kuat atau kurang
meyakinkannya alat bukti yang diajukan kepadanya. Dari bukti-bukti yang
diajukan oleh Pemohon terdapat kekurangan atau kurang lengkapnya. Dalam
posita dan petitum Pemohon saling bertentangan dan tidak saling
mendukung, yakni ada keluarga yang tidak dimasukkan sebagai ahli waris
yaitu Ibu (Pemohon) yang sudah benar-benar masih hidup dan termasuk ahli
waris dari PINGI alias SOPI’I Bin MATRAWI.
Mengingat perkara waris sangat rentang dengan adanya
pihak-pihak yang mengaku sebagai orang yang berhak atas harta waris. Majelis
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dan dianalisis, maka dalam
penelitian ini dihasilkan beberapa kesimpulan yang menjadi jawaban yang
telah dirumuskan, kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam menetapkan penetapan ahli
waris dalam kasus perkara Nomor 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj menggunakan
dasar pasal 8 Rv (reglement op de burgerlijke rechts vordering). Dalam
putusan tersebut Pengadilan Agama Nganjuk menolak penetapan ahli
waris kepada pemohon, karena Majelis Hakim berpendapat bahwa
permohonannya tersebut tidak berdasarkan hukum dan tidak memenuhi
rumusan siapa yang mempunyai kepentingan hukum dapat mengajukan
tuntutan hak (poin d’interest poin d’action) dan hal-hal tersebut
menjadikan surat permohonan pemohon kabur (obscuur libel). Jadi dalam
perkara tersebut tidak memenuhi syarat, permohonan menjadi tidak
sempurna maka permohonan dinyatakan tidak dapat diterima (niet
64
2. Dalam prespektif yuridis penelitian ini memiliki kelemahan, seharusya
ahli waris terlebih dahulu harus membuktikan secara hukum bahwasannya
dirinya memang sebagai ahli waris yang sah dari almarhum, dengan
membawa beberapa bukti diantaranya adalah:
a. Surat permohonan rangkap
b. Keterangan Ahli Waris dari lurah atau Desa
c. Foto copy Akte Kematian dari Catatan Sipil bermaterai Rp.6000,- +
Cap Pos
d. Foto copy Surat Nikah yang meninggal bermaterai Rp.6.000,- + Cap
Pos
e. Foto copy KTP Pemohon (Ahli Waris) bermaterai Rp.6.000,- + Cap
Pos
f. Foto copy Akte Kelahiran Ahli Waris bermaterai Rp.6.000,- + Cap
Pos
g. Foto copy Harta kekayaan (Rekening, dll) + Cap Pos.
Analisis yuridis terhadap penolakan penetapan ahli waris dalam
putusan perkara nomor 0030/Pdt.P/2016/PA perkara tidak memenuhi
syarat, permohonan menjadi tidak sempurna maka permohonan
dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Permohonan tidak diterima adalah permohonan yang tidak berdasarkan
65
membenarkan tuntutan. Putusan tidak diterima ini bermaksud menolak
permohonan diluar pokok perkara. Dalam hal ini penggugat masih dapat
mengajukan kembali permohonannya atau banding.
B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis mencoba memberikan
bebarapa saran yang terkait dengan permasalahan ini yakni pada hakikatnya
hakim merupakan suatu peran yang sangat penting dilingkungan Peradilan,
karena lewat hakimlah suatu perkara diputus. Seorang hakim bukan hanya
harus mempunyai dasar pembuktian penetapan yang kuat dalam menyelidiki
kebenaran adanya suatu hubungan hukum, yang menjadi dasar permohonan
itu benar-benar ada.
Akan tetapi harus lebih cermat terhadap bukti-bukti yang diajukan
oleh pihak yang berperkara. Khususnya dalam perkara permohonan atau
penetapan mengingat perkara ini tidak adanya pihak lawan. Sehingga hakim
bisa memberikan suatu putusan yang seadil-adilnya dan tidak menyimpang
dari hukum baik hukum Islam yang berlaku di Pengadilan Agama maupun
hukum acara perdata yang terikat dengan perkara yang sedang ditangani.
Sikap bijaksana dan cermat dalam menilai bukti-bukti di
persidangan juga sangat dibutuhkan agar setiap perkara yang ditanganinya
66
terjadi putusan cacat hukum dan kekeliruan dalam memutus supaya tidak ada
DAFTAR PUSTAKA
Alfin Nur, Dian. “Analisis Yuridis Terhadap Penolakan Gugatan Waris Dalam
Putusan Hakim Pengadilan Agama Jombang No.
1056/Pdt.G/2010/PA.JBG”. Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2013.
Ahmad Saebani, Beni. Fiqh Mawaris. Bandung: CV Pustaka Setia, 2009.
Arto, A. Mukti. Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam. Solo: Balqis Queen, 2009.
Arto, Mukti. Praktek Perkara Perdata ada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
As-Sabuni, Muhammad Ali. Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam.
Surabaya: Mutiara Ilmu. 2002.
Departemen Agama Republik Indonesia.Al-Qur’an dan Terjemahannya. Surabaya: Al-Hidayah, 2002.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya,. Tangerang: PT. Panca Cemerlang, 2010.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2005.
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Hasan, M. Iqbal, Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Bogor: Ghalia Indonesia, 2002.
Surabaya nomor 34/Pdt.G/2013/PTA.Sby tentang penetapan ahli waris pengganti”. Skripsi--IAIN Sunan Ampel Surabaya Fakultas Syariah, 2013.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ++ Burgerlijk Wetboek. Rhedbook
Publisher. 2008.
K. Lubis, Suhrawardi Dan Simanjutak, Komis. Hukum Waris Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Mahkamah Agung RI. Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan
Agama Buku II. Jakarta: Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama.
Mahkamah Agung RI. Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II.
Nisnu, Abu. “Analisis Yuridis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Surabaya No: 262/Pdt.P/2010/PA.Sby tentang Permohonan Penetapan Ahli Waris Beda Agama”. Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2015.
Otje Salman dan Mustofa Haffas. Hukum Waris Islam. Bandung: PT Refika Aditama, 2002.
Pasal 49 Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Rasyid, Hamdan. Hukum Kewarisan Menurut Al-Qur’an Dan Sunnah. Jakarta: CV Pustaka Setia, 2005.
Ratna Cinthya Dewi, Dwi. “Analisis Hukum Islam Terhadap Ditolaknya
Ramulyo, M. Idris. Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Hukum Perdata (BW). Jakarta: Sinar Grafika, 1994.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, cetakan ke XIX. Jakarta: Intermasa, 1984.
Sugiyino, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kaulitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2008.
Sayid, Sabiq. Fiqh Al-Sunnah Jilid 4. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2004.
Triwulan, Titik. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta:
Kencana, 2008.\