• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis yuridis terhadap penolakan penetapan ahli waris dalam putusan Pengadilan Agama Nganjuk nomor: 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis yuridis terhadap penolakan penetapan ahli waris dalam putusan Pengadilan Agama Nganjuk nomor: 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj."

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENOLAKAN PENETAPAN

AHLI WARIS DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

NGANJUK NOMOR 0030/PDT.P/2016/PA.NGJ

SKRIPSI

Oleh: Nana Lutfiana NIM. C91213141

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Fakultas Syari’ah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil kajian pustaka tentang studi Analisis Yuridis Terhadap Penolakan Penetapan Ahli Waris Dalam Putusan Pengadilan Agama Nganjuk Nomor: 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj. Penetian ini bertujuan untuk menjawab dua hal pokok permasalahan yang diteliti yaitu: Pertama, Bagaimana dasar pertimbangan dan dasar hukum penolakan penetapan ahli waris dalam putusan nomor 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj? Kedua, Bagaimana analisis yuridis terhadap penolakan penetapan ahli waris dalam perkara putusan Pengadilan Agama Nganjuk nomor 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj?

Data penelitian ini diperoleh dari Pengadilan Agama Nganjuk yang menjadi objek penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi dan wawancara yang kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu memaparkan atau menjelaskan data-data yang diperoleh dan selanjutnya dianalisis dengan metode deduktif, dimulai dari hal-hal yang bersifat umum kemudian ditarik pada permasalahan yang lebih khusus.

Pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Agama Nganjuk dalam penetapan ahli waris dalam kasus perkara Nomor 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj menggunakan dasar pasal 8 Rv (reglement op de burgerlijke rechts vordering). Dalam putusan tersebut Pengadilan Agama Nganjuk menolak penetapan ahli waris kepada pemohon, karena Majelis Hakim berpendapat bahwa permohonannya tersebut tidak berdasarkan hukum dan tidak memenuhi rumusan siapa yang mempunyai kepentingan hukum dapat mengajukan tuntutan hak (poin

d’interest poin d’action) dan hal-hal tersebut menjadikan surat permohonan pemohon kabur

(obscuur libel). Dalam putusan perkara nomor 0030/Pdt.P/2016/PA perkara tidak memenuhi syarat, permohonan menjadi tidak sempurna maka permohonan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TRANSLITERASI ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah... 8

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Kajian Pustaka ... 10

E. Tujuan Penelitian ... 12

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 13

G. Definisi Operasional ... 13

H. Metode Penelitian ... 15

(8)

BAB II: TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWARISAN DAN PERMOHONAN

A. Tinjauan Yuridis Tentang Kewarisan ... 21

1. Pengertian Kewarisan ... 21

2. Dasar Hukum Kewarisan ... 25

3. Konsep Dasar Hukum Kewarisan ... 28

4. Rukun dan syarat Kewarisan ... 28

5. Orang-orang yang berhak mendapatkan harta warisan ... 31

6. Sebab-sebab Kewarisan ... 34

7. Asas-asas Hukum Kewarisan ... 35

B. Tinjauan Yuridis Tentang Permohonan ... 37

1. Pengertian Permohonan ... 37

2. Jenis-jenis Perkara Permohonan ... 39

BAB III : PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NGANJUK NOMOR: 0030/PDT.P/2016/PA.NGJ TENTANG PENOLAKAN PENETAPAN AHLI WARIS A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Nganjuk ... 42

1. Sejarah Pengadilan Agama Nganjuk ... 42

2. Tugas Pokok dan Fungsi... 44

3. Letak Geografis ... 45

4. Visi dan Misi ... 46

5. Struktur dan Pejabat ... 46

B. Diskripsi Kasus Penolakan Penetapan Ahli Waris di Pengadilan Agama Nganjuk Nomor: 0030/Pdt.P/2016PA.Ngj ... 48

(9)

BAB IV: ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NGANJUK NOMOR: 0030/PDT.P/2016/PA.NGJ TENTANG PENOLAKAN PENETAPAN AHLI WARIS

A. Dasar pertimbangan dan dasar hukum Majelis Hakim dalam Penolakan

Penetapan Ahli Waris dalam Putusan Pengadilan Agama Nganjuk Nomor:

0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj ... 56

B. Analisis Yuridis Terhadap Penetapan Hakim dalam Putusan Pengadilan

Agama Nganjuk Nomor: 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj tentang Penolakan

Penetapan Ahli Waris ... 60

BAB V : PENUTUP

(10)

BAB II

TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWARISAN DAN PERMOHONAN

A. Tinjauan Yuridis Tentang Kewarisan

1. Pengertian Kewarisan

Hukum kewarisan ialah himpunan aturan-aturan hukum yang

mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta

peninggalannya dari si meninggal dunia, bagaimana kedudukan ahli waris,

berupa perolehan masing-masing secara adil dan sempurna.1

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Istilah hukum waris dalam perdata barat disebut dengan

Erfrecht. Pasal 830 KUH Perdata menyebutkan bahwa hukum waris

adalah hukum yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan

seseorang setelah ia meninggal, terutama berpindahnya harta kekayaan

itu kepada orang lain.2

Wirjono Prodjodikoro, mantan Ketua Mahkamah Agung

Republik Indonesia, mengatakan:

Bahwa hukum waris adalah hukum-hukum atau

peraturan-peraturan yang mengatur, tentang apakah dan bagaimanakah

berbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang

1 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Hukum Perdata (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), 104.

2

(11)

22

pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain

yang masih hidup.

Menurut Wirdjono Prodjodikoro, bahwa pengertian kewarisan

menurut KUH Perdata memperlihatkan unsur yaitu :

a. Seorang peninggal warisan atau “erflater” yang pada wafatnya

meninggalkan kekayaan. Unsur pertama ini menimbulkan persoalan,

bagaimana dan sampai dimana hubungan seorang peninggal warisan

dengan kekayaanya dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan,

dimana sipeninggal warisan berada.

b. Seseorang atau beberapa orang ahli waris (erfgenaam) yang berhak

menerima kekayaan yang ditinggalkan itu, menimbulkan persoalan

bagaimana dan sampai dimana harus ada tali kekeluargaan antara

peninggal warisan dan ahli waris agar kekayaan sipeninggal warisan

dapat beralih kepada si ahli waris.

c. Harta warisan (halatenschap), yaitu wujud kekayaan yang

ditinggalkan dan sekali beralih kepada si ahli waris itu, menimbulkan

persoalan bagaimana dan sampai dimana wujud kekayaan yang beralih

itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, dimana

sipeninggal warisan ahli waris bersama-sama berada.

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dimaksud dengan

Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak

kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang

(12)

23

ayat a KHI)).3 Kewarisan dalam KHI mempunyai unsur-unsur diantaranya

adalah:

1) Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan

meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam,

meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan (Pasal 171 ayat b).

Orang yang meninggalkan harta itu disebut Pewaris. Mewaris dalam

hukum perdata Barat dibagi dalam:

a. Pewaris atas dasar ketentuan undang-undang (ab-intestaat).

b. Pewaris atas dasar surat wasiat (testamenter) adalah suatu akte yang

memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendaki dan

terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut

kembali.4

2) Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai

hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan Pewaris, antara ahli

waris dan pewaris masing-masing beragama Islam dan tidak terhalang

hukum untuk menjadi ahli waris (Pasal 171 ayat c). Ahli waris yang

dimaksud adalah ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui

dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian,

sedangkan bagi bayi yang lahir atau anak yang belum dewasa, beragama

menurut ayah dan lingkungannya (Pasal 172).

(13)

24

3) Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh Pewaris baik yang

berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya (Pasal 171 ayat

d).5

Sedangkan Subekti dalam pokok-pokok Hukum Perdata tidak

menyebutkan definisi hukum kewarisan, hanya beliau mengatakan asas

hukum waris, menurut Subekti:

Dalam Hukum Waris Kitab Undang-undang Hukum Perdata

berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan

kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja

yang dapat diwariskan.

Oleh karena itu hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam

lapangan hukum kekeluargaan pada umumnya hak-hak dan

kewajiban-kewajiban kepribadian misalnya hak-hak dan

kewajiban sebagai seorang suami atau sebagai seorang ayah

tidak dapat diwariskan, begitu pula hak-hak dan

kewajiban-kewajiban seorang sebagai anggota sesuatu perkumpulan.6

Tetapi menurut Subekti ada juga satu, dua kekecualian,

misalnya hak seorang bapak untuk menyangkal sah anaknya dan di pihak

lain hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak

yang sah dari bapak atau ibunya, menurut Undang-undang beralih pada

(diwarisi) oleh ahli waris masing-masing yang mempunyai hak-hak itu.

Sebaliknya ada juga hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terletak

5 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ++ Burgerlijk Wetboek, pasal 171.

(14)

25

dalam lapangan hukum perbedaan atau perjanjian tetapi tidak beralih

pada ahli waris si meninggal, misalnya hak vruchtgebruik atau suatu

perjanjian perburuhan di mana seorang akan melakukan suatu pekerjaan

dengan tenaganya sendiri.

Atau suatu perjanjian perkongsian dagang, baik yang

berbentuk maatschap (perseroan) menurut BW, maupun yang berbentuk

firma menurut Undang-undang diakhiri dengan meninggalnya salah satu

pesero.7

2. Dasar Hukum Kewarisan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),

terutama pasal 528, tentang hak mewaris diindentikkan dengan hak

kebendaan, sedangkan ketentuan dari pasal 584 KUH Perdata

menyangkutkan hak waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak

kebendaan, oleh karenanya ditempatkan dalam Buku Ke II KUH Perdata

(tentang benda). Penempatan Hukum Kewarisan dalam buku ke II KUH

Perdata ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum, karena

mereka berpendapat bahwa dalam hukum kewarisan tidak hanya tampak

sebagai hukum benda saja, tetapi tersangkut beberapa aspek hukum

lainnya, misalnya hukum perorangan dan kekeluargaan.

Menurut Staatsblad 1925 Nomor 415 jo 447 yang telah diubah

ditambah dan sebagainya terakhir dengan S. 1929 No. 221 pasal 131 jo

pasal 163, hukum kewarisan yang diatur dalam KUH Perdata tersebut

(15)

26

diberlakukan bagi orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan

dengan orang-orang Eropa tersebut. Dengan Staatsblad 1917 Nomor 129

jo Staatsblad 1924 Nomor 557 hukum kewarisan dalam KUH Perdata

diberlakukan bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa. Dan berdasarkan

Staasblad 1917 Nomor 12, tentang penundukan diri terdahap hukum

Eropa, maka bagi orang-orang Indonesia dimungkinkan pula

menggunakan hukum kewarisan yang tertuang dalam KUH Perdata.

Dengan demikian maka KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek) diberlakukan

kepada:

a. Orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang

Eropa misalnya Inggris, Jerman, Perancis, Amerika dan termasuk

orang-orang Jepang

b. Orang-orang Timur Asing Tionghoa dan

c. Orang-orang Asing lainnya dan orang-orang pribumi menundukkan

diri.

Menurut KUH Perdata, ada dua cara untuk mendapatkan

warisan, yaitu:

a. Ahli wais menurut ketentuan Undang-undang, dan

b. Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testamen).

Hukum kewarisan Islam mengatur hal ikhwal harta

peninggalan (warisan) yang ditinggalkan oleh si mayit, yaitu yang

(16)

27

masih hidup (ahli waris). Adapun dasar hukum yang mengatur tentang

kewarisaan Islam adalah sebagai berikut:

1) QS. Al-Nisa (4):7



















































Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah

ditetapkan”.8

2) QS. Al-Anfal (8):75















































Artinya: “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu Termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat). di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.9

Maksudnya: yang Jadi dasar waris mewarisi dalam Islam

ialah hubungan kerabat, bukan hubungan persaudaraan keagamaan

8 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: Al-Hidayah, 2002), 114.

(17)

28

sebagaimana yang terjadi antara muhajirin dan anshar pada

permulaan Islam.

3. Konsep Dasar Hukum Kewarisan

Istilah hukum waris berasal dari bahasa Belanda Erfrecht.

Pasal 830 KUH Perdata pada intinya menyebutkan bahwa hukum waris

adalah hukum yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan

seseorang setelah ia meninggal, terutama berpindahnya harta kekayaan

itu kepada orang lain.

Dari ketentuan tersebut maka dalam Hukum Waris BW

mengandung 3 unsur pokok, yaitu:

a. Orang yang meninggalkan harta warisan

b. Harta warisan

c. Ahli waris (erfergenaam).10

4. Rukun dan Syarat Kewarisan

a. Rukun-rukun kewarisan

Pewarisan bisa terjadi apabila terdapat tiga unsur (rukun),

ketiga unsur tersebut, antara lain:

1) Adanya orang yang akan mewarisi atau ahli waris, yaitu orang

yang mempunyai hubungan kekerabatan baik karena hubungan

darah, sebab perkawinan, atau akibat memerdekakan hamba

sahaya.11

(18)

29

Menurut Sayid Sabiq, ahli waris adalah orang yang

berhak menguasai dan menerima harta waris karena mempunyai

sebab-sebab untuk mewarisi yang dihubungkan dengan pewaris.12

2) Adanya pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli

warisnya berhak untuk mewarisi harta waris.13

3) Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang

ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.

b. Syarat-syarat kewarisan

Syarat sah terjadinya pembagian warisan sebagai berikut:

1) Matinya pewaris, Islam mengajarkan bahwa kewarisan terjadi

apabila pewaris telah meninggal dunia. Artinya, selama pewaris

masih hidup tidak ada proses waris-mewarisi. Kematian pewaris

dibagi ke dalam tiga macam:14

a) Mati haqiqy (de facto) artinya kematian yang dapat disaksikan

oleh panca indra.

b) Mati hukmy (de jure) adalah seseorang yang secara yuridis

melalui keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia.

Ini bisa terjadi seperti dalam kasus seseorang yang dinyatakan

hilang (mafqud) tanpa diketahui keberadaannya dan

bagaimana keadaannya. Melalui keputusan hakim, setelah

melalui upaya-upaya tertentu, ia dinyatakan meninggal.

12 Sayid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah Jilid 4, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2004), 426. 13 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris,… 129.

(19)

30

Sebagai keputusan hakim mempunyai kekuatan hukum yang

mengikat.

c) Mati taqdiry yaitu anggapan bahwa seseorang telah meninggal

dunia. Misalnya karena ia ikut ke medan perang, atau tujuan

lain yang secara lahiriyah mengancam dirinya. Setelah sekian

tahun tidak diketahui kabar beritanya, dan melahirkan dugaan

kuat bahwa ia telah meninggal, maka dapat dinyatakan bahwa

ia telah meninggal.

2) Hidupnya ahli waris saat kematian pewaris, merupakan sesuatu

yang harus dipenuhi, karena pemindahan hak kepemilikan dari

pewaris kepada ahli warisnya dapat terjadi ketika seseorang yang

hendak mewarisi harta tersebut benar-benar masih hidup, sebab

seseorang yang telah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi.15

3) Diketahui posisi masing-masing ahli waris, posisi para ahli waris

hendaklah diketahui dengan pasti kedudukannya dalam suatu

hubungannya dengan pewaris, karena dengan diketahuinya

kedudukan masing-masing ahli waris maka akan diketahui pula

berapa jumlah harta yang harus diberikan kepadanya.16

4) Tidak ada penghalang mewarisi.17

15 Muhammad Ali As-Sabuni, Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam, (Surabaya: Mutiara Ilmu), 33

16 Ibid., 33-34.

(20)

31

5. Orang-orang yang berhak mendapatkan harta warisan

Dalam pasal 832 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,

Menurut undang-undang yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah, para

keluarga sedarah, baik sah, maupun luar kawin dari si suami atau isteri

yang hidup terlama, semua menurut peraturan tertera di bawah ini.

Dalam hal, bilamana baik keluarga sedarah, maupun si yang

hidup terlama di antara suami isteri, tidak ada, maka segala harta

peninggalan si yang meninggal, menjadi milik Negara, yang mana

berwajib akan melunasi segala utangnya, sekadar harga harta peninggalan

mencukup untuk itu.18

Orang-orang yang berhak mendapatkan harta waris dari pihak

laki-laki adalah:

a. Bapak/Ayah

b. Kakek dan terus ke atas

c. Anak laki-laki

d. Cucu laki-laki dan terus ke bawah

e. Saudara laki-laki sekandung

f. Saudara laki-laki sebapak

g. Anak laki-lakinya saudara laki-laki sekandung

h. Saudara laki-laki seibu

i. Anak laki-lakinya saudara laki-laki sebapak

j. Paman sekandung

(21)

32

k. Paman sebapak

l. Anak laki-lakinya paman sekandung

m. Anak laki-lakinya paman sebapak

n. Suami

o. Orang laki-laki yang memerdekakan budak.19

Orang-orang yang berhak mendapatkan harta waris dari pihak

perempuan adalah:

a. Ibu

b. Anak perempuan

c. Nenek dari pihak Ibu, dan ke atasnya dari jenis perempuan

d. Nenek sebapak

e. Cucu perempuan dan terus ke bawah

f. Saudara perempuan sekandung

g. Saudara perempuan sebapak

h. Saudara perempuan seibu

i. Istri

j. Orang perempuan yang memerdekakan budak.20

Ada tiga sebab yang mana jika si ahli waris melakukan satu

dari 3 hal tersebut maka dia tidak berhak mendapatkan harta waris si

mayit. Adapun tiga sebab tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pembunuhan

19

Hamdan Rasyid, Hukum Kewarisan Menurut Al-Qur’an Dan Sunnah,…,47.

(22)

33

Yang dimaksud dengan pembunuhan adalah siapapun yang

menjadi sebab meninggalnya si mayit baik secara langsung, misalnya

dia yang membunuh si mayit tersebut dengan sengaja, atau secara

tidak langsung, misalnya dia melempar kulit pisang sembarangan lalu

menjadi sebab meninggalnya si mayit karena terpleset dengan sebab

pisang itu. Maka dalam dua gambaran tersebut si ahli waris tidak

berhak mendapatkan harta waris dari mayit itu. Dan hikmah agama

dalam hal itu adalah supaya tidak terjadi pembunuhan hanya karena

mengharapkan harta warisannya sebelum waktunya.21

b. Perbedaan agama

Maka seorang muslim tidak mewarisi harta si mayit yang

kafir, begitu pula sebaliknya. Misalnya seorang ayah kafir meninggal

dan meninggalkan 2 orang anak, yang satu kafir dan yang lainnya

muslim maka yang mewarisi harta ayahnya tersebut adalah anaknya

yang muslim.22

c. Perbudakan

Maka jika si ahli waris seorang budak, ia tidak berhak

mendapatkan harta waris. Karena apa yang akan didapatkan oleh

budak tersebut akan menjadi milik tuannya sehingga akan terjadi

suatu harta waris diberikan kepada seseorang yang bukan ahli waris.

21

Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris,… 131.

(23)

34

Oleh karenanya agama menetapkan seorang budak tidak berhak

mendapatkan harta waris.23

6. Sebab-sebab Kewarisan

a. Karena hubungan perkawinan

Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli

waris) disebabkan adanya hubungan perkawinan antara si mayat

dengan seseorang tersebut, yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah

suami atau isteri dari si mayat.

Terjadinya akad nikah secara legal (syar’i) antara seorang

laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan

intim (bersenggama) antara keduanya. Adapun pernikahan yang batil

atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapat hak waris.24

b. Karena adanya hubungan darah

Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli

waris) disebabkan adanya hubungan nasab atau hubungan

darah/kekeluargaan dengan si mayat, yang termasuk dalam klasifikasi

ini seperti ibu, bapak, kakek, nenek, anak, cucu, cicit, saudara, anak

saudara dan lain-lain.

c. Karena memerdekakan si mayat

Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli

waris) dari si mayat disebabkan seseorang itu memerdekakan si mayat

23 Ibid.

(24)

35

dari perbudakan, dalam hal ini dapat saja seorang laki-laki atau

seorang perempuan.

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 174 ahli

waris dikelompokkan atas dua bagian, yaitu:25

1) Menurut hubungan darah:

a) Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki saudara

laki-laki, paman dan kakek

b) Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan,

saudara perempuan dan nenek.

2) Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda

Pasal yang sama dalam KHI juga mengatur apabila

semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan

hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.26

7. Asas-asas Hukum Kewarisan

Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah

hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja

yang dapat diwariskan, dengan kata lain hanyalah hak-hak dan

kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Di samping itu berlaku juga

suatu asas, bahwa apabila seorang meninggal dunia, maka seketika itu

juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya.

Asas tersebut tercantum dalam suatu pepatah Perancis yang berbunyi le

25 Kompilasi Hukum Islam, pasal 174.

(25)

36

mort saisit levif, sedangkan pengalihan segala hak dan kewajiban dari si

peninggal oleh para ahli waris itu dinamakan SAISINE yaitu suatu asas di

mana sekalian ahli waris dengan sendirinya secara otomatis karena

hukum memperoleh hak milik atas segala barang, dan segala hak serta

segala kewajiban dari seorang yang meninggal dunia.27

Bahwa merupakan asas juga dalam KUH Perdata (BW) ialah

asas kematian artinya pewarisan hanya karena kematian (pasal 830 KUH

Perdata). Demikian juga Hukum Kewarisan menurut Kitab

Undang-undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek masih mengenal 3 (tiga)

asas lain, yaitu:

a. Asas Individual

Asas individual (sistem pribadi) di mana yang menjadi ahli

waris adalah perorangan (secara pribadi) bukan kelompok ahli waris

dan bukan kelompok suku atau keluarga. Hal ini dapat dilihat dalam

pasal 832 jo 852 yang menentukan bahwa yang berhak menerima

warisan adalah suami atau isteri yang hidup terlama, anak beserta

keturunannya.28

b. Asas Bilateral

Asas bilateral artinya bahwa seseorang tidak hanya

mewaris dari bapak saja tetapi juga sebaliknya dari ibu, demikian juga

saudara laki-laki mewarisi dari saudara laki-lakinya, maupun saudara

27 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan

(26)

37

perempuannya. Asas bilateral ini dapat dilihat dari pasal 850, 853 dan

856 yang mengatur bila anak-anak dan keturunannya serta suami atau

isteri yang hidup terlama tidak ada lagi maka harta peninggalan dari si

meninggal diwarisi oleh ibu dan bapak serta saudara baik laki-laki

maupun saudara perempuan.29

c. Asas Penderajatan

Asas penderajatan artinya ahli waris yang derajatnya dekat

dengan si pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya,

maka untuk mempermudah perhitungan diadakan

penggolongan-penggolongan ahli waris.30

B. Tinjauan Yuridis Tentang Permohonan

1. Pengertian Permohonan

Permohonan disebut juga gugatan voluntair, dalam Pasal 2

ayat (1) UU No. 14 tahun 1970 yang telah diamandemen dengan UU

No.35 tahun 1999 yang artinya penyelesaian setiap perkara yang diajukan

kepada badan-badan Peradilan mengandung pengertian didalamnya

penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan yuridiksi voluntair atau

gugatan secara sepihak tanpa ada pihak lain yang ditarik sebagai pihak

29 Ibid

(27)

38

lawan (Tergugat).31 Yang nantinya seorang hakim akan mengeluarkan

sebuah penetapan dalam putusannya.32

Permohonan sendiri dalam pengertian yuridis adalah

permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang

ditandatangani Pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada Ketua

Pengadilan Agama. Adapun ciri-ciri dari voluntair (gugatan

permohonan):

a. Bersifat kepentingan sepihak semata, murni permasalahan perdata

yang memerlukan kepastian hukum, dan tidak bersentuhan dengan

hak dan kepentingan orang lain.

b. Diajukan pada Pengadilan Negeri bagi non muslim dan Pengadilan

Agama bagi yang muslim.

c. Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan,

tetapi bersifat ex-parte (secara sepihak).

d. Putusannya berupa Penetapan atau beschiking adalah produk

Pengadilan Agama dalam arti bukan Peradilan yang sesungguhnya,

yang diistilahkan jurisdictio voluntaria karena disana hanya ada

Pemohon yang memohonkan untuk ditetapkan tentang sesuatu,

sehingga ia tidak berperkara pada lawan.33

31 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 28.

32 Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku

II, (Jakarta: Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama), lampiran 72.

(28)

39

Putusan yang diselesaikan adalah perkara permohonan atau

tanpa ada sengketa para pihak (voluntair).34 Putusannya berisi tentang

pertimbangan dan dictum (amar putusan) penyelesaian permohonan yang

dituangkan dalam bentuk penetapan dengan sebutan penetapan atau

ketetapan.35

2. Jenis-jenis perkara permohonan

Berdasarkan pasal 2 dan penjelasan pasal 2 ayat (1) UU No.14

Tahun 1970 yang telah diamandemen UU No. 35 Tahun 1999 dan aturan

Mahkamah Agung dalam pedoman pelaksanaan tugas dan administrasi

Peradilan Agama buku II edisi 2010. Jenis-jenis perkara permohonan yang

dapat diajukan melalui Pengadilan Agama antara lain36:

a. Permohonan pengangkatan wali bagi anak yang belum mencapai umur

18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak

berada di bawah kekuasaan orang tua (Pasal 50 Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan).

b. Permohonan pengangkatan wali/pengampu bagi orang dewasa yang

kurang ingatannya atau orang dewasa yang tidak bisa mengurus

hartanya lagi, misalnya karena pikun (Pasal 229 HIR / Pasa 262 RBg).

34 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata ada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 251.

35 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata..., 28.

(29)

40

c. Permohonan dispensasi kawin bagi pria yang belum mencapai umur

19 tahun dan bagi wanita yang belum mencapai umur 16 tahun (Pasal

7 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).

d. Permohonan izin kawin bagi calon mempelai yang belum berusia 21

tahun (Pasal 6 ayat (5) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).

e. Permohonan pengangkatan anak (Penjelasan Pasl 49 Undang-undang

Nomor 3 Tahun 2006).

f. Permohonan untuk menunjuk seorang atau beberapa orang wasit

(arbiter) oleh karena para pihak tidak bisa atau tidak bersedia untuk

menunjuk wasit (arbiter) (Pasal 13 dan 14 Undang-undang Nomor 30

tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).

g. Permohonan sita atas harta bersama tanpa adanya gugatan cerai

dalam hal salah satu dari suami isteri melakukan perbuatan yang

merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk,

boros, dan sebagainya (Pasal 95 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam).

h. Permohonan izin untuk menjual harta bersama yang berada dalam

status sita untuk kepentingan keluarga (Pasal 95 ayat (2) Kompilasi

Hukum Islam).

i. Permohonan agar seseorang dinyatakan dalam keadaan mafqud (Pasal

96 ayat (2) dan Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam).

j. Permohonan penetapan ahli waris (Penjelasan Pasal 49 huruf (b)

(30)

41

Perdata Permohonan penetapan ahli waris di pengadilan dengan

membawa bukti diantaranya adalah:

1) Surat Pemohonan rangkap 5

2) Keterangan ahli waris dari lurah/Desa

3) Foto copy Akte Kematian dari Catatan Sipil bermaterai Rp.

6.000,- + Cap Pos (Nezegelen)

4) Foto copy Surat Nikah yang meninggal bermaterai Rp. 6.000,- +

Cap Pos (Nazegelen)

5) Foto copy KTP Pemohon (Ahli Waris) bermaterai Rp. 6.000,- +

Cap Pos (Nezegelen)

6) Foto copy Akte Kelahiran Ahli Waris bermaterai Rp. 6.000,- +

Cap Pos (Nezegelen)

7) Foto copy Harta Kekayaan (Rekening, dll) + Cap Pos.

(31)

BAB III

PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NGANJUK NOMOR:

0030/PDT.P/2016/PA.NGJ TENTANG PENOLAKAN PENETAPAN AHLI

WARIS

A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Nganjuk

1. Sejarah Pengadilan Agama Nganjuk

a. Masa sebelum Penjajahan

Tidak banyak orang yang mengetahui cerita tentang

keadaan daerah Nganjuk apalagi tentang cerita sejarah keberadaan

Pengadilan Agama Nganjuk, karena menceritakan masa sebelum

penjajahan adalah cerita sebelum abad XVI.

b. Masa penjajahan Belanda dan Jepang

Menurut salah satu orang yang dapat dipercaya dan beliau

mantan pegawai Departemen Agama Nganjuk, bahwa sebelum tahun

1980 M Pemerintah Kabupaten Nganjuk berada di Berbek. Daerah ini

sekarang menjadi salah satu Kecamatan terletak disebelah selatan

Kota Nganjuk kurang lebih 20 km dari pusat kota sekarang. Pada

waktu Pengadilan Agama Nganjuk bernama Kepenghuluan/Penghulu

(32)

43

Selanjutnya tahun 1880 M Pemerintah Kabupaten Nganjuk

boyong/pindah ke Nganjuk seperti sekarang ini. Dalam hal ini

Kepenghuluan/Penghulu Hakim juga ikut boyong ke Nganjuk

merangkap menjadi Penghulu Hakim, ketika itu Bupati di jabat oleh

Kanjeng Jimat. Pada masa ini Pengadilan Agama Nganjuk masih

bernama Kepenghuluan/Penghulu Hakim. Penghulu ini mengurusi

Nikah Talak Cerai dan Rujuk sedangkan Penghulu Hakim mengurusi

Fasakh, Syiqoq dan Ta’lik Talak.

c. Masa kemerdekaan

Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945 dan tidak

begitu lama dari masa itu yakni awal tahun 1946 terbentuklah

Departemen Agama tepatnya tanggal 03 Januari 1946, maka setelah

itu Kepenghuluan/Penghulu Hakim yang sekarang disebut Pengadilan

Agama Nganjuk berkantor di suatu ruangan yang sempit disebelah

utara masjid jami’ Nganjuk.

Kondisi Pengadilan Agama saat itu sangat sederhana baik

pegawai maupun alat-alat tulis yang digunakan, sedang ruang sidang

yang digunakan adalah serambi masjid agung nganjuk yang berada

disebelah barat alun-alun.

d. Masa berlakunya Undang Undang Nomor 1 tahun 1974

Pada Masa berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 ini Pengadilan Agama Nganjuk masih berkantor disalah satu

(33)

44

Meskipun kondisinya sangat sederhana baik pegawai maupun

peralatan kantornya, namun semangat kerja pegawai Pengadilan

Agama Nganjuk yang pada saat itu berjumlah 9 orang pegawai cukup

tinggi. Akan tetapi pada tahun 1975 Pengadilan Agama Nganjuk

mendapatkan tanah yang kemudian dibangun untuk gedung kantor

dan balai sidang yang terletak di Jalan A. Yani Selatan Nomor 9,

Kelurahan Ploso, Kabupaten Nganjuk depan stadion seluas 500 meter.

e. Masa berlakunya Undang Undang nomor 7 tahun 1989.

Pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1989 Pengadilan Agama Nganjuk Ketuanya dijabat oleh Drs. Kusno,

S.H. pada saat itu pegawai Pengadilan Agama Nganjuk sudah

memadai dengan jumlah 20 orang termasuk Hakim.

2. Tugas Pokok dan Fungsi

a. Tugas Pokok Pengadilan Agama

Memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pada

tingkat pertama anatara orang-orang beragama Islam di bidang:

Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infak, Shadaqah

dan Ekonomi Syari'ah (Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006

tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama).

Pengadilan Agama dapat memberikan keterangan,

pertimbangan dan nasihat tentang Hukum Islam kepada Instansi

(34)

45

undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama) dan memberikan

Istbat Kesaksian Hilal dengan penetapan awal bulan pada tahun

Hijriah (Pasal 52 A Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan Undang-undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama).

Melaksanakan Administrasi Kepaniteraan Pengadilan

Agama sesuai dengan Pola Pembinaan dan Pengendalian Administrasi

Kepaniteraan dan melaksanakan Administrasi Kesekretariatan serta

Pembangunan sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan.

b. Fungsi

Fungsi Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku

Kekuasaan Kehakiman pada tingkat pertama bagi pencari keadilan

yang beragama Islam mengenai perkara tertentu ( Pasal 2

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama).

3. Letak Geografis

Kabupaten Nganjuk adalah sebuah kabupaten di Provinsi

Jawa Timur, Indonesia dengan ibukotanya di Nganjuk. Kabupaten ini

berbatasan dengan Kabupaten Bojonegoro di utara, Kabupaten Jombang

di timur, Kabupaten Kediri dan Kabupaten Ponorogo di selatan, serta

Kabupaten Madiun di barat. Nganjuk juga dikenal dengan julukan Kota

(35)

46

Kabupaten Nganjuk terletak antara 11105' sampai dengan

112013' BT dan 7020' sampai dengan 7059' LS. Luas Kabupaten Nganjuk

adalah sekitar ± 122.433 Km2 atau 122.433 Ha yang terdiri dari atas:

a. Tanah sawah 43.052.5 Ha

b. Tanah kering 32.373.6 Ha

c. Tanah hutan 47.007.0 Ha

4. Visi dan Misi

a. Visi

1) Mewujudkan Peradilan Agama yang mandiri, bersih dan

berwibawa

2) Dapat memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat\

3) Pencari keadilan sesuai azaz sederhana, cepat dan biaya ringan.

b. Misi

1) Meningkatkan profesionalisme aparatur Pengadilan Agama

Nganjuk

2) Meningkatkan kualitas pelayanan hukum

3) Meningkatkan penyelenggaraan managemen peradilan dan

administrasi umum

4) Meningkatkan sarana dan prasarana

5) Meningkatkan pengawasan internal.

5. Struktur dan Pejabat

Keterangan :

(36)

47

Waka : -

Hakim : 1. Mohamad Thoha, S.Ag.

2. Drs. H. Musthofa Zahron

3. Drs. Moh Muchsin, M.Sy.

4. Haitami, S.H., M.H.

Panitera : Heri Eka Siswanta, S.H., M.H

Wakil Panitera : Drs. H. Moh. Munib, M.H.I

Sekretaris : Nafis Machfiiyah, S.Ag

Panmud Permohonan : -

Panmud Gugatan : Amir Hamzah, S.H.

Panmud Hukum : Muhammad Nafi’, S.H., M.H.

Sub Bag Kepegawaian : Fuad, S.HI.

Sub Bag Laporan : Ermas Firdaus, S.T.

Sub Bag Umum : -

Panitera Pengganti``` : 1. Setyo Hayuningsih, S.H

2. Nurul Kumtianawati, S.H.

(37)

48

2. Muh Yanuar Arifin

3. Irwan Abd. Rahman, SH., MH

4. Sunarto

B. Deskripsi Kasus Penolakan Penetapan Ahli waris di Pengadilan Agama

Nganjuk Nomor 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj

Kasus Pengadilan Agama Nganjuk terdaftar dengan nomor:

0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj. Perkara ini diperiksa oleh Majelis Hakim yang

terdiri dari Drs. H. Muh. Mahfudz sebagai Ketua Majelis, Drs. Sunaryo, M.Si

dan Drs. H. A. Bashori, MA, masing-masing sebagai Hakim Anggota dan

dibantu oleh Muhammad Nafi’, S.H. M.HI sebagai Panitera Pengganti.1

Pengadilan Agama Nganjuk yang memeriksa dan mengadili

perkara-perkara tertentu dalam tingkat pertama telah yang menjatuhkan

putusan sebagai berikut dalam perkara waris yang diajukan. Adapun pihak

yang mengajukan permohonan waris yaitu Pemohon. Berikut ini adalah

identitas pihak yang berperkara dan duduk perkara.

Nama: PEMOHON, Jenis Kelamin: Perempuan, Agama: Islam,

Pekerjaan” Mengurus Rumah Tangga, Tempat Tinggal: Desa Kedungdowo

RT 05 RW 04, Kec. Nganjuk, Kab. Nganjuk.

(38)

49

Duduk perkara dalam kasus ini berawal dari sebuah pernikahan

antara PINGI alias SOPI’I Bin MATRAWI dengan SUKINEM Binti

SURADI. Selama pernikahanya mereka dikaruniai satu orang anak

perempuan bernama PEMOHON. Bahwa Pemohon menikah dengan

SUYONO Bin MUSTOREJO dikarunia 3 orang anak yaitu: ERVIN

SULISTYORINI Binti SUYONO, DWI PRASETYO UTOMO Bin

SUYONO, OKTAVIA TRIANINGRUM Binti SUYONO. Almarhum PINGI

alias SOPI’I Bin MATRAWI kemudian bercerai dengan SUKINEM Binti

SURADI sekitar tahun 1975, tetapi kemudian PINGI alias SOPI’I Bin

MATRAWI menikah kembali dengan SUKINEM Binti SURADI sekitar

tahun 1990 dengan pernikahan siri sampai meninggal dunia. Bahwa PINGI

alias SOPI’I Bin MATRAWI (Alm) meninggal pada hari Selasa tanggal 27

Desember 2011, karena sakit. Istri dari pernikahan siri PINGI alias SOPI’I

bernama SUKINEM Binti sekarang masih hidup. PINGI alias SOPI’I Bin

MATRAWI (Alm) tidak mempunyai saudara kandung.

Pada tahun 1988 PINGI Bin MATRAWI (Alm) diberi uang

sebanyak 1 (satu) juta rupiah dan sapi sebanyak 7 (tujuh) ekor oleh orang

tuanya bernama MATRAWI (Alm) dan KALIMAH (Almh) yang merupakan

bagian harta waris dari orang tuanya, bernama MATRAWI (Alm) dan Ibu

kandung bernama KALIMAH (Almh), kemudian 7 (tujuh) ekor sapi tersebut

dijual laku Rp.10.500.000,- (Sepuluh juta lima ratus ribu rupiah), uang

pemberian orang tuanya dan uang hasil penjualan sapi kemudian dibelikan

(39)

50

seharga Rp. 11.000.000,- (Sebelas juta rupiah). Bahwa tanah sawah yang

terletak di Desa Gempol, Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk tersebut

adalah Tanah Sawah tanah hak bekas gogolan terletak di Desa Gempol,

Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk Propinsi Jawa Timur dengan Leter C

desa nomer 795, atas nama PINGI, nomer persil dan huruf bagian persil GL,

kelas desa S, Luas Kurang-lebih 7.500 m2 (Tujuh ribu limaratus meter

persegi), terbagi atas 5 bidang sawah, 2 bidang sawah sudah dijual ketika

PINGI Bin MATRAWI masih hidup, sehingga tersisa 3 bidang sawah :

• Tanah sawah ke 1 luas sekitar 2100 m2

• Tanah sawah ke 2 luas sekitar 3500 m2

• Tanah sawah ke 3 luas sekitar 510 m2

Setelah PINGI alias SOPI’I Bin MATRAWI (Alm) meninggal

dunia, selain meninggalkan ahli waris juga meninggalkan harta peninggalan

berupa Tanah sawah 1, 2 dan 3. Maksud dan tujuan pengajuan dari

permohonan penetapan ahli waris ini adalah untuk keperluan memenuhi

persyaratan pendaftaran sertifikat kepemilikan atas harta yang ditinggalkan

oleh PINGI alias SOPI’I Bin MATRAWI (Alm) yaitu Tanah Sawah 1, 2 dan

3 tersebut, maka pemohon bermaksud mengajukan permohonan penetapan

ahli waris.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Pemohon mohon kepada

Majelis Hakim Pengadilan Agama Nganjuk untuk berkenan memeriksa dan

memutuskan sebagai berikut:

(40)

51

2. Menetapkan bahwa ahli waris almarhum PINGI alias SOPI’I Bin

MATRAWI terhadap Tanah sawah 1, 2 dan 3 adalah PEMOHON.

3. Membebankan biaya perkara menurut hukum.

Bahwa pada hari sidang yang telah ditentukan pemohon

didampingi kuasanya hadir dipersidangan dan telah di damaikan agar

menyelesaikan perkaranya secara kekeluargaan, akan tetapi ternyata tidak

berhasil.

Kemudian pemeriksaan dilanjutkan dengan membacakan surat

permohonan pemohon dan atas pertanyaan majelis hakim pemohon

menyatakan tetap mempertahankan surat permohonannya, sehingga oleh

karenanya sebelum memeriksa perkara ini lebih lanjut majelis hakim telah

memberikan penetapan.

C. Alasan Hakim memutus perkara Nomor 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj terhadap

penolakan penetapan ahli waris

Menurut pendapat dari seorang Bapak ketua majelis persidangan

dalam perkara Nomor 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj, yaitu Bapak Drs. Muh.

Mahfudz mengatakan bahwa:

“Yang saya pahami tentang permasalahan Pemohon dalam perkara

ini adalah mengenai penetapan ahli waris. Perkara ini merupakan penetapan

(41)

52

Matrawi yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon. Dari perkara tersebut

Pemohon mengajukan permohonan bertujuan untuk keperluan memenuhi

persyaratan pendaftaran Sertifikat kepemilikan atas harta yang ditinggalkan

oleh Pingi alias Sopi’i Bin Matrawi (Alm).2

Bapak Drs. Sunaryo, M.Si menambahkan bahwa:

“Selain itu alasan dalam pertimbangan hakim mengenai putusan

tersebut dimana permohonan (Pemohon) tidak dapat diterima (Niet

Onvankelijk Verklaart)..3

Menurut hakim anggota yaitu Bapak Drs. H. A. Bashori, MAbeliau

mengatakan bahwa:

“Alasan yang sangat mendasar adalah bahwa ternyata antara posita

dan petitum saling bertentangan. Karena yang diminta penetapan ahli waris

sedangkan dalam petitum minta warisan.4

Menurut hakim anggota bapak Haitami, SH. MH. beliau

mengatakan bahwa:

“Hakim memutuskannya menggunakan hukum acara yang berlaku

di Pengadilan Agama yang berlandaskan Undang-undang dan Hukum Islam

termasuk perkara tersebut.5

Bapak Drs. H. Syaiful Heja, MH. Selaku ketua Pengadilan Agama

mengatakan bahwa: “Dalam perkara ini Pemohon dalam posita telah

menguraikan silsilah keluarganya dari Ayahnya, tetapi dalam petita

2 Mahfudz, Wawancara, Nganjuk pada tanggal 27 Maret 2017.

3 Sunaryo, Wawancara, Nganjuk pada tanggal 27 Maret 2017.

4 Bashori. MA, wawancara, Nganjuk pada tanggal 27 Maret 2017.

(42)

53

pemohon mohon agar ditetapkan sebagai satu-satunya ahli waris. Pada

posita nomor 4 Pemohon menyebutkan bahwa Ayahnya meninggal dunia dan

posita nomor 5 Pemohon menyebutkan Ibunya (Pemohon) sekarang masih

hidup, artinya sewaktu Ayahnya (Pemohon) meninggal dunia Ibunya

(Pemohon) masih hidup. Jadi sudah jelas Ibunya (Pemohon) termasuk Ahli

waris dari Ayahnya (pemohon).6

Menurut pendapat dari Bapak ketua majelis persidangan dalam

perkara Nomor 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj, yaitu Bapak Drs. Muh. Mahfudz

mengatakan bahwa:

“Suatu permohonan harus memenuhi persyaratan yakni jelas dan

tegas kalau tidak maka permohonan dianggap kabur (obscuur libel) hasil

akhirnya permohonan tersebut di NO (tidak dapat diterima) sebagaimana

dalam penetapan Nomor: 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj, ada beberapa hal yang

dianggap kabur oleh Majelis Hakim sebagaimana terurai dalam

pertimbangan hukum. Majelis hakim telah menemukan fakta-fakta sebagai

berikut:

a. Bahwa telah ternyata antara posita dan petitum saling bertentangan dan

tidak saling mendukung, yaitu ada keluarga yang tidak dimasukkan

sebagai ahli waris yaitu Ibu SUKINEM Binti SURADI, padahal

jelas-jelas dalam Posita angka 3 Pemohon menyatakan bahwa PINGI alias

SOPII Bin MATRAWI bercerai dengan SUKINEM Binti SURADI

namun PINGI alias SOPI’I Bin MATRAWI menikah kembali dengan

(43)

54

SUKINEM Binti SURADI dan pada posita nomor 4 Pemohon

menyebutkan bahwa PINGI alias SOPI’I Bin MATRAWI meninggal

dunia pada hari Selasa tanggal 27 Desember 2011 dan posita Nomor 5

Pemohon menyebutkan Ibu SUKINEM Binti SURADI sekarang masih

hidup, artinya sewaktu PINGI alias SOPI’I Bin MATRAWI meninggal

dunia SUKINEM Binti SURADI masih hidup, oleh karenanya

SUKINEM Binti SURADI termasuk ahli waris;

b. Bahwa pemohon dalam posita telah menguraikan silsilah keluarga dari

almarhum PINGI alias SOPI’I bin MATRAWI tetapi dalam petita

pemohon mohon agar ditetapkan sebagai satu-satunya ahli waris;

c. Bahwa pemohon memohon penetapan ahli waris akan tetapi dalam

petita pemohon meminta ditetapkan sebagai ahli waris terhadap tanah

sawah 1, 2, dan 3 sebagaimana yang disebut di posita nomor 9,

sehingga pemohon tidak hanya memohon penetapan ahli waris, akan

tetapi juga memohon obyek harta warisan

Dalam petita/petitum minta ditetapkan sebagai ahli waris

almarhum PINGI alias SOPI’I Bin MATRAWI terhadap tanah sawah 1, 2

dan 3 tersebut, padahal dalam posita no 14 Pemohon hanya minta ditetapkan

sebagai ahli waris almarhum PINGI alias SOPI’I Bin MATRAWI tidak

minta mewarisi harta warisan almarhum, apalagi dilihat permohonannya

hanya minta ditetapkan sebagai ahli waris namun dalam kenyataannya minta

ditetapkan ahli waris terhadap tanah sehingga tidak singkron antara posita

(44)

55

ahli waris apa minta warisan itu yang tidak jelas, yang kedua Pemohon

masih mempunyai ibu yang masih hidup yang juga sebagai ahli waris tetapi

Pemohon minta supaya di tetapkan sebagai ahli waris kenapa ibunya tidak

dimohonkan juga sebagai ahli waris hal inilah yg dianggap majelis tidak jelas

oleh karenanya permohonan pemohon tidak dapat di terima/NO. Dasar

hukum bisa dibaca psl 8 Rv (reglement op de burgerlijke rechts vordering).7

Bapak Drs. H. Syaiful Heja, MH selaku ketua Pengadilan Agama

Nganjuk mengatakan bahwa: melihat perkara tersebut majelis hakim sudah

benar dalam memutuskan perkara tersebut.8

7

Mahfudz, Wawancara, Nganjuk pada tanggal 27 Maret 2017.

8

(45)

BAB IV

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NGANJUK NOMOR:

0030/PDT.P/2016/PA.NGJ TENTANG PENOLAKAN PENETAPAN AHLI

WARIS

A. Dasar Pertimbangan dan dasar hukum Majelis Hakim dalam Penolakan

Penetapan Ahli Waris Dalam Putusan Pengadilan Agama Nomor:

0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj

Setiap perkara yang terkait dengan kewarisan merupakan salah

satu kompetensi yang diproses atau ditangani oleh Pengadilan Agama,

termasuk didalamnya permasalahan tentang penetapan ahli waris.

Pengadilan Agama merupakan salah satu pelaku kekuasaan

kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang

Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor

3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009, Pasal 2 menyatakan:

“Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman

bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata

tertentu yang diatur dalam undang-undang ini”.

Berdasarkan Pasal 49 UU Nomor 50 Tahun 2009 amandemen dari

UU Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989

(46)

57

Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah

dan ditambah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun

2009, serta Aturan Mahkamah Agung dalam pedoman pelaksanaan tugas dan

administrasi Peradilan Agama buku II edisi 2010. Pengadilan Agama

bertugas dan berwenang dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan

perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang

kewarisan pada perkara permohonan penetapan ahli waris sepanjang

ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan atau jika ada kepentingan

hukum.

Penetapan merupakan salah satu bentuk putusan yang ditetapkan

oleh hakim Pengadilan Agama yang merupakan hak dari seseorang atas

permohonan yan diajukan oleh pihak pemohon. Permohonan sendiri dalam

pengertian yuridis adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk

permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan

kepada hakim Pengadilan Agama. Salah satu jenis permohonan yang dapat

diajukan melalui Pengadilan Agama adalah Permohonan penetapan ahli

waris. Kewarisan secara rinci telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam

(KHI) Pasal 171 ayat (1) “Bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang

mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)

pewaris, menentukan orang-orang yang berhak menjadi ahli waris dan jumlah

bagiannya masing-masing”.

Penetapan ahli waris merupakan bentuk perkara kewarisan yang

(47)

58

harus diterima oleh ahli waris. Penetapan ahli waris dapat dilihat dalam

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah

dengan Undang-undang No.3 Tahun 2006 yang telah diamandemen dengan

Undang-undang No.50 Tahun 2009, Kompilasi Hukum Islam Pasal 171-193

KHI menjelaskan orang-orang yang berhak mewarisi adalah keluarga yang

sedarah, baik sah maupun luar kawin dan sisuami atau isteri yang telah hidup

bersama sampai pewaris meninggal.

Oleh karena itu pada hakikatnya hakim merupakan suatu peran

yang sangat penting di lingkungan Peradilan, karena lewat hakimlah suatu

perkara bisa diputuskan. Seorang hakim bukan hanya mempunyai dasar

hukum yang kuat, akan tetapi juga harus cermat dalam memeriksa

bukti-bukti dari Perkara itu. Untuk menyelidiki kebenaran adanya suatu hubungan

hukum yang menjadi dasar permohonan itu benar-benar ada, agar ia bisa

memberikan suatu putusan yang seadil-adilnya baik hukum Islam yang

berlaku di Peradilan Agama maupun hukum cara perdata yang terikat dengan

perkara yang sedang ditangani.

Begitu juga yang dilakukan oleh Hakim Pengadilan Agama

Nganjuk yang memutuskan suatu perkara Nomor: 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj,

majelis hakim Pengadilan Agama Nganjuk harus memiliki sikap atau perilaku

yang bijaksana dan cermat dalam memeriksa bukti-bukti di persidangan.

Agar dapat memutuskan perkara yang diajukan kepadanya dengan adil dan

(48)

59

Dalam menyelesaikan dan menetapkan perkara atau sengketa,

seorang hakim dituntut untuk memutuskan perkara yang menjadi pokok

permasalahan yang sebenarnya melalui pembuktian dan keterangan para

saksi, kemudian dari pembuktian dan keterangan para saksi tersebut dapat

diketahui secara pasti benar tidaknya suatu peristiwa yang sedang

disengketakan itu, yang selanjutnya dapat dijadikan pertimbangan oleh

hakim.

Pokok masalah dalam putusan Pengadilan Agama Nganjuk

Nomor: 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj tentang penolakan penetapan ahli waris

yang diteliti kali ini adalah mengenai pelaksanaan kewarisan dalam

menentukan ahli waris yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Nganjuk.

Dalam penetapan Nomor 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj tersebut merupakan

perkara penetapan ahli waris tunggal yakni sebagai anak tunggal dari Pingi

alias Sopi’I Bin Matrawi yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pada proses persidangan perkara penolakan penetapan ahli waris

Nomor: 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj majelis hakim telah meneliti berdasarkan

pasal 8 Rv (reglement op de burgerlijke rechts vordering). Perkara tidak

memenuhi syarat, permohonan menjadi tidak sempurna maka permohonan

dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Ketidaksempurnaan dapat dihindarkan jika penggugat atau kuasanya sebelum

memasukkan permohonan meminta nasihat dulu ke Ketua Pengadilan.

Namun karena sekarang sudah banyak advokad atau pengacara maka sangat

(49)

60

Permohonan tidak diterima adalah permohonan yang tidak

berdasarkan hukum yaitu apabila peristiwa-peristiwa sebagai dasar tuntutan

tidak membenarkan tuntutan. Putusan tidak diterima ini bermaksud menolak

permohonan diluar pokok perkara. Dalam hal ini penggugat masih dapat

mengajukan kembali permohonannya atau banding. Lebih kepada tidak

memenuhi syarat formil.

Isi gugatan menurut pasal 8 Rv (reglement op de burgerlijke rechts

vordering) gugatan memuat:

1. Identitas para pihak

2. Dasar atau dalil gugatan/posita/fundamentum petendi berisi tentang

peristiwa dan hubungan hukum

3. Tuntutan/petitum terdiri dari tuntutan primer dan tuntutan

subside/tambahan.

B. Analisis Yuridis Terhadap Penetapan Hakim dalam Putusan Pengadilan

Agama Nganjuk Nomor: 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj tentang Penolakan

Penetapan Ahli Waris

Berdasarkan ketentuan Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam (KHI)

(50)

61

kepemilikan dari almarhum kepada ahli warisnya, para ahli waris terlebih

dahulu harus membuktikan secara hukum bahwasannya memang sebagai ahli

waris yang sah dari almarhum.

Sebelum mengajukan permohonan atau fatwa waris kepada

Pengadilan Agama, ahli waris terlebih dahulu harus membuktikan secara

hukum berdasarkan dirinya memang sebagai ahli waris yang sah dari

almarhum, dengan membawa beberapa bukti diantaranya adalah:

1. Surat permohonan rangkap

2. Keterangan Ahli Waris dari lurah atau Desa

3. Foto copy Akte Kematian dari Catatan Sipil bermaterai Rp.6000,- + Cap

Pos

4. Foto copy Surat Nikah yang meninggal bermaterai Rp.6.000,- + Cap Pos

5. Foto copy KTP Pemohon (Ahli Waris) bermaterai Rp.6.000,- + Cap Pos

6. Foto copy Akte Kelahiran Ahli Waris bermaterai Rp.6.000,- + Cap Pos

7. Foto copy Harta kekayaan (Rekening, dll) + Cap Pos.

Menurut analisis penulis melihat perkara tersebut majelis hakim

sudah benar dalam memutuskan perkara tersebut. Karena antara posita dan

petitum saling bertentangan. Karena yang diminta penetapan ahli waris

sedangkan dalam petitum minta warisan. Dan Pemohon masih mempunyai

ibu yang masih hidup yang juga sebagai ahli waris tetapi Pemohon minta

supaya di tetapkan sebagai ahli waris kenapa ibunya tidak dimohonkan juga

sebagai ahli waris hal inilah yang dianggap majelis tidak jelas, oleh

(51)

62

Hakim juga berhak menolak sesuatu yang disodorkan, jika

terdapat kebohongan, kepalsuan dan di rasa kurang kuat atau kurang

meyakinkannya alat bukti yang diajukan kepadanya. Dari bukti-bukti yang

diajukan oleh Pemohon terdapat kekurangan atau kurang lengkapnya. Dalam

posita dan petitum Pemohon saling bertentangan dan tidak saling

mendukung, yakni ada keluarga yang tidak dimasukkan sebagai ahli waris

yaitu Ibu (Pemohon) yang sudah benar-benar masih hidup dan termasuk ahli

waris dari PINGI alias SOPI’I Bin MATRAWI.

Mengingat perkara waris sangat rentang dengan adanya

pihak-pihak yang mengaku sebagai orang yang berhak atas harta waris. Majelis

(52)

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dan dianalisis, maka dalam

penelitian ini dihasilkan beberapa kesimpulan yang menjadi jawaban yang

telah dirumuskan, kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam menetapkan penetapan ahli

waris dalam kasus perkara Nomor 0030/Pdt.P/2016/PA.Ngj menggunakan

dasar pasal 8 Rv (reglement op de burgerlijke rechts vordering). Dalam

putusan tersebut Pengadilan Agama Nganjuk menolak penetapan ahli

waris kepada pemohon, karena Majelis Hakim berpendapat bahwa

permohonannya tersebut tidak berdasarkan hukum dan tidak memenuhi

rumusan siapa yang mempunyai kepentingan hukum dapat mengajukan

tuntutan hak (poin d’interest poin d’action) dan hal-hal tersebut

menjadikan surat permohonan pemohon kabur (obscuur libel). Jadi dalam

perkara tersebut tidak memenuhi syarat, permohonan menjadi tidak

sempurna maka permohonan dinyatakan tidak dapat diterima (niet

(53)

64

2. Dalam prespektif yuridis penelitian ini memiliki kelemahan, seharusya

ahli waris terlebih dahulu harus membuktikan secara hukum bahwasannya

dirinya memang sebagai ahli waris yang sah dari almarhum, dengan

membawa beberapa bukti diantaranya adalah:

a. Surat permohonan rangkap

b. Keterangan Ahli Waris dari lurah atau Desa

c. Foto copy Akte Kematian dari Catatan Sipil bermaterai Rp.6000,- +

Cap Pos

d. Foto copy Surat Nikah yang meninggal bermaterai Rp.6.000,- + Cap

Pos

e. Foto copy KTP Pemohon (Ahli Waris) bermaterai Rp.6.000,- + Cap

Pos

f. Foto copy Akte Kelahiran Ahli Waris bermaterai Rp.6.000,- + Cap

Pos

g. Foto copy Harta kekayaan (Rekening, dll) + Cap Pos.

Analisis yuridis terhadap penolakan penetapan ahli waris dalam

putusan perkara nomor 0030/Pdt.P/2016/PA perkara tidak memenuhi

syarat, permohonan menjadi tidak sempurna maka permohonan

dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Permohonan tidak diterima adalah permohonan yang tidak berdasarkan

(54)

65

membenarkan tuntutan. Putusan tidak diterima ini bermaksud menolak

permohonan diluar pokok perkara. Dalam hal ini penggugat masih dapat

mengajukan kembali permohonannya atau banding.

B. SARAN

Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis mencoba memberikan

bebarapa saran yang terkait dengan permasalahan ini yakni pada hakikatnya

hakim merupakan suatu peran yang sangat penting dilingkungan Peradilan,

karena lewat hakimlah suatu perkara diputus. Seorang hakim bukan hanya

harus mempunyai dasar pembuktian penetapan yang kuat dalam menyelidiki

kebenaran adanya suatu hubungan hukum, yang menjadi dasar permohonan

itu benar-benar ada.

Akan tetapi harus lebih cermat terhadap bukti-bukti yang diajukan

oleh pihak yang berperkara. Khususnya dalam perkara permohonan atau

penetapan mengingat perkara ini tidak adanya pihak lawan. Sehingga hakim

bisa memberikan suatu putusan yang seadil-adilnya dan tidak menyimpang

dari hukum baik hukum Islam yang berlaku di Pengadilan Agama maupun

hukum acara perdata yang terikat dengan perkara yang sedang ditangani.

Sikap bijaksana dan cermat dalam menilai bukti-bukti di

persidangan juga sangat dibutuhkan agar setiap perkara yang ditanganinya

(55)

66

terjadi putusan cacat hukum dan kekeliruan dalam memutus supaya tidak ada

(56)

DAFTAR PUSTAKA

Alfin Nur, Dian. “Analisis Yuridis Terhadap Penolakan Gugatan Waris Dalam

Putusan Hakim Pengadilan Agama Jombang No.

1056/Pdt.G/2010/PA.JBG”. Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2013.

Ahmad Saebani, Beni. Fiqh Mawaris. Bandung: CV Pustaka Setia, 2009.

Arto, A. Mukti. Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam. Solo: Balqis Queen, 2009.

Arto, Mukti. Praktek Perkara Perdata ada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

As-Sabuni, Muhammad Ali. Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam.

Surabaya: Mutiara Ilmu. 2002.

Departemen Agama Republik Indonesia.Al-Qur’an dan Terjemahannya. Surabaya: Al-Hidayah, 2002.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya,. Tangerang: PT. Panca Cemerlang, 2010.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2005.

Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Hasan, M. Iqbal, Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Bogor: Ghalia Indonesia, 2002.

(57)

Surabaya nomor 34/Pdt.G/2013/PTA.Sby tentang penetapan ahli waris pengganti”. Skripsi--IAIN Sunan Ampel Surabaya Fakultas Syariah, 2013.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ++ Burgerlijk Wetboek. Rhedbook

Publisher. 2008.

K. Lubis, Suhrawardi Dan Simanjutak, Komis. Hukum Waris Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Mahkamah Agung RI. Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan

Agama Buku II. Jakarta: Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama.

Mahkamah Agung RI. Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II.

Nisnu, Abu. “Analisis Yuridis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Surabaya No: 262/Pdt.P/2010/PA.Sby tentang Permohonan Penetapan Ahli Waris Beda Agama”. Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2015.

Otje Salman dan Mustofa Haffas. Hukum Waris Islam. Bandung: PT Refika Aditama, 2002.

Pasal 49 Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Rasyid, Hamdan. Hukum Kewarisan Menurut Al-Qur’an Dan Sunnah. Jakarta: CV Pustaka Setia, 2005.

Ratna Cinthya Dewi, Dwi. “Analisis Hukum Islam Terhadap Ditolaknya

(58)

Ramulyo, M. Idris. Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Hukum Perdata (BW). Jakarta: Sinar Grafika, 1994.

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, cetakan ke XIX. Jakarta: Intermasa, 1984.

Sugiyino, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kaulitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2008.

Sayid, Sabiq. Fiqh Al-Sunnah Jilid 4. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2004.

Triwulan, Titik. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta:

Kencana, 2008.\

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dilaksanakannya kegiatan ini adalah untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris pada siswa SD di desa Kecitran RT

Dari hasil analisis data dapat diperoleh kesimpulan (1) Budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan Bank BRI Kudus berdasarkan

Dari hasil penelitian yang penulis lakukan bahwa Analisis Efektivitas Penggunaan Electronic Data Interchange (EDI) Dalam Mendeteksi Kesalahan Data Barang Ekspor/Impor Pada Kantor

L’étre-pour-soi atau ‘ada untuk diri’ menunjuk cara beradanya manusia yaitu pada kesadaran manusia; sifatnya melebar (extensif) dengan dunia kesadaran dan sifat kesadaran

Oleh karena sebab itu untuk mempertahankan kotuinitas perusahaan maka perrusahaan tersebut akan melakukan kegiatan pemasaran atau penjualan guna memperoleh laba yang merupakan

z Cluster 3: Di masing-masing RT terpilih, didaftar populasi keluarga, dan dipilih secara random 2 keluarga. z Cluster 4: Di masing-masing keluarga terpilih, kemudian didaftar

4.3 Menyusun teks lisan dan tulis untuk menyatakan dan menanyakan nama hari, bulan, nama waktu dalam hari, waktu dalam bentuk angka, tanggal, dan tahun, dengan unsur kebahasaan

Pada tahun ini, TNP2K menginisiasi sebuah bentuk penguatan peran dan fungsi TKPK dalam Rapat Kerja Teknis Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Tahun 2015, yang