• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembatalan putusan majelis hakim pengadilan agama Semarang karena cacat Formil: analisis putusan pengadilan tinggi agama semarang No. 140/Pdt. G/2007/PTA. Smg

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pembatalan putusan majelis hakim pengadilan agama Semarang karena cacat Formil: analisis putusan pengadilan tinggi agama semarang No. 140/Pdt. G/2007/PTA. Smg"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

v

PEMBATALAN PUTUSAN MAJELIS HAKIM PEMGADILAN

AGAMA SEMARANG KARENA CACAT FORMIL (Analisis

Putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang No. 140/Pdt.

G/2007/PTA. Smg)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat Guna

Memperoleh Gelar Sarjana S.1 Dalam Bidang Hukum Perdata Islam

Oleh:

ELLY MARIATIN

NIM: 2104043

JURUSAN AL AKHWAL AL SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARI'AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

(2)

vi

DEPARTEMEN AGAMA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG FAKULTAS SYARI’AH

Jl. Prof. Dr. Hamka KM2 Ngaliyan Telp. (024) 7601291 Semarang

NOTA PEMBIMBING

Lamp. : 4 (empat) eksemplar Hal : Naskah Skripsi

a.n. Sdri.Elly Mariatin Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirim naskah skripsi saudari :

Nama : Elly Mariatin Nim : 2104043/04211043

Judul : PEMBATALAN PUTUSAN MAJELIS HAKIM

PEMGADILAN AGAMA SEMARANG KARENA

CACAT FORMIL (Analisis Putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang No. 140/Pdt. G/2007/PTA. Smg)

Selanjutnya saya mohon agar skripsi saudara tersebut dapat segera dimunaqasyahkan. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Semarang, 13 Januari 2009

Pembimbing I Pembimbing II

Drs H. Eman Sulaeman, M. H Drs. H. Saekhu

(3)

vii

DEPARTEMEN AGAMA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG FAKULTAS SYARI’AH

Jl. Prof. Dr. Hamka KM2 Ngalian Telp. (024) 7601291 Semarang

PENGESAHAN Atas Nama : Elly Mariatin

NIM : 2104043/04211043

Jurusan : Al Ahwal Al Syahsiyyah

Judul Skripsi : Pembatalan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama Semarang Karena Cacat Formil ( Analisis Putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang No. 140/Pdt. G/2007/PTA. Smg)

Telah di munaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang pada tanggal :

29 Januari 2009

Dan dapat diterima sebagai kelengkapan Ujian Akhir dalam rangka menyelesaikan Studi Program Sarjana Strata 1 (S.1) Tahun Akademik 2009/2010 guna memperoleh gelar sarjana SI dalam Ilmu Syari’ah.

Semarang, 29 Januari 2009

Ketua Sidang Sekretaris Sidang

Drs. Abu Hapsin, M. A, Ph. D Drs. H. Eman Sulaeman, M. H

NIP. 150 238 492 NIP. 150 254 358

Penguji I Penguji II

Drs. H. Nur Khoirin. M. Ag Moh. Arifin, S. Ag, M. Hum

NIP. 150 254 254 NIP. 150 279 720

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. H. Eman Sulaeman, M. H Drs. Saekhu, M. H

(4)

viii

ABSTRAK

Elly Mariatin (2104043), Pembatalan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama Semarang(Analisis Putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang No. 140/Pdt. G/2007/PTA. Smg), Skripsi : Program Strata I Jurusan Al Ahwal Al Syahsiyyah Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang 2009.

Pada tanggal 28 Juni 2007, Pengadilan Agama Semarang telah menetapkan putusan cerai talak amtara Ragil Widodo sebagai Termohon melawan Lisna Harnaeni sebagai Termohon dengan No. 140/Pdt. G/2007/PA. Sm . Sdetelah putusan tersebut ditetapkan, pemohon merasa keberatan dengan keputusan tersebut, sehinnga pemohon mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama Semarang.

Di dalam pemeriksaan tingkat banding, putusan perkara No. 140/Pdt. G/2007/PA. Sm dinyatakan mengandung cacat formil karena :

a. Majelis hakim yang baru tidak melakukan musyawarah atas hasil pemeriksaan majelis hakim yang lama.

b. Di dalam bagian penutup putusan sebagaimana tertulis di dalam resmi putusan Pengadilan Agama Semarang, hakim yang pertama mencantumkan majelis hakim yang lama sebagai majelis hakim yang telah melakukan permusyawaratan majelis, padahal sejak tanggal 18 Juni 2007 kewenangannya telah dicabut dan digantikan dengan majelis hakim yang baru.

Hal tersebut bertentangan dengan pasal 25 ayat 2 dan 3 Undang-Undang No. 4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan pasal 62 ayat 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sehingga setelah pemeriksan selesai, putusan tersebut dinyatakan ” batal demi hukum ” karena cacat formil.

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif yaitu penelitian lapangan (field research). Penulis menggunakan 2 sumber data di dalam penelitian ini, yaitu sumber data primer dengan menggunakan putusan dan sumber data sekunder melalui wawancara dan dokumentasi.Setelah data tersebut terkumpul kemudian dianalisis dan dibuat kesimpulan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Kemudian data tersebut dianalisis dan dibuat kesimpulan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif.

Hasil dari penelitian ini adalah Pengadilan Tinggi Agama Semarang sebagai pengadilan tingkat kedua, mempunyai wewenang untk memeriksa pada tingkat kedua telah membatalkan putusan cerai talak Pengadilan Agama Semarang No. 0204/Pdt. G/2007/PA. Sm karena tidak sesuai dengan pasal 25 ayat 2 dan 3 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang-Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

(5)

ix

DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab penulis menyatakan bahwa

skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau

diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran

orang lain kecuali informasi yang terdapat di dalam yang dijadikan

bahan rujukan.

Semarang, 29 Januari 2009

Deklarator

Elly Mariatin

(6)

x

MOTTO

 

!

"#

$%&

ִ(

)*+

,

-"/☺ 1ִ2

3*4 5

6

!7

89☺ 1:

;</=ִ

:7

5

>

?@

A

5 1BC

DE

2

5

1

֠⌧

G

D⌧H

!I JK 5

)

ءﺎﺴﻨﻟا

:

۸٥

(

Artinya :

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat

kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila

menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan

adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya

kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha

Melihat. ( QS. An Nisa : 58)

(7)

xi

PERSEMBAHAN

Karya Sederhana ini penulis persembahkan sepenuhnya teruntuk :

L Untuk Agama, Bangsa dan Negara ditengahnya aku berpijak

L Tuk jiwa ayahanda yang senantiasa berdo’a dan bekerja tanpa kenal lelah tuk keluarga dan ananda.

L Tuk kalbu ibuku, tiada kata yang bisa ananda ucapkan tuk pengorbanan ibunda selama ini. Karya ini hanyalah setitik pengabdian ananda buat ibunda dan keluarga.

L Adikku Irma Roisatul Azizah dan Moh. Iqbal Maulana Ahsan, smoga kakak bisa menjadi suri tauladan bagi kalian.

L Kakanda Ghoyali Moenir yang selalu ada buat penulis setiap saat. Tiada kata yang bisa adinda ucapkan tuk pengorbanan kakanda selama ini. ”Thank you My Honey for All”.

L Untuk sahabat-sahabatku terkasih dan tersayang, perjuangan kita tak kan pernah terlupakan.

(8)

xii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur atas segala kasih sayang-Nya. Dia telah melimpahkan karunia yang sangat besar sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam penulis sanjungkan kepada Beliau Baginda Nabi Muhammad SAW, serta segenap keluarga dan para sahabatnya hingga akhir nanti.

Dalam penyelesaian skripsi yang berjudul “ Pembatalan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama Semarang Karena Cacat Formil (Analisis Putusan Perkara No. 140/Pdt. G/2007/PTA. Smg)”, tentu tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Drs. H. Muhyiddin, M. Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang

2. Drs. H. Eman Sulaeman, M. H selaku pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan skripsi ini.

3. Drs. Saekhu, M. H selaku pembimbing yang dengan sabar dan telaten membimbing penulis dalam skripsi ini.

4. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.

5. Seluruh civitas akademik di lingkungan IAIN Walisongo Semarang

6. Keluarga besar Pengadilan Tinggi Agama Semarang yang telah memberikan ijin penulis untuk melaksanakan penelitian.

7. Bapak dan Ibu yang selalu memberikan restu kepada ananda dengan tulus nan ikhlas

(9)

xiii

9. Kos Cinderela tercinta (Isna dan keluarga kecilnya, mb Ani, mb Yuni, Lylyna, Budi, Ima, Zum, Isti, Yanti)

10.Kos Elsa Putri ( mami, teteh Evi, Opy, Piroh, Syarifah, Unatin, Rofik, Ana) 11.Wisma Ceria ( Opi, Piroh, Ana, Kharir, Olif, Roul, Isti, Fida)

12.Keluarga besar Reasion Institut 2004

13.Keluarga besar Bandung Karate Club dojo IAIN Walisongo Semarang 14.Teman-teman paket ASA Angkatan 2004

15.Teman-teman lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi bahasa, isi maupun analisisnya, sehingga kritik edan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhrnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amin Semarang, 29 Januari 2009 Penulis Elly Mariatin

042111043

(10)

xiv DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN NOTA PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN ABSTRAKSI ... iv

HALAMAN DEKLARASI ... v

HALAMAN MOTTO ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... ... x

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Telaah Pustaka ... 9

E. Metode Penelitian ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN ... 16

A. Pengertian Putusan ... 16

B. Asas-Asas Putusan ... 17

C. Susunan dan Isi Putusan ... 24

D. Macam-macam Putusan ... 31

(11)

xv

BAB III : PUTUSAN PENGADILAN TINGGI AGAMA SEMARANG NOMOR 140/Pdt G/2007/PTA.Smg

... 40 A. Gambaran Umum Profil Pengadilan Tinggi

Agama Semarang ... 40 1. Lahirnya Pengadilan Tinggi Agama

Semarang ... 40 2. Dasar Hukum pembentukan Pengadilan

Tinggi Agama Semarang ... 44 3. Visi dan Misi ... 45 4. Struktur Organisasi Pengadilan Tinggi

Agama Semarang ... 46 B. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang

Nomor 140/Pdt G/2007/PTA.Smg ... 49 1. Gambaran Umum perkara di Pengadilan

Agama Semarang Nomor

0204/Pdt.G/2007/PA.Sm ... 49 2. Perkara Nomor 140/Pdt G/2007/PTA.Smg ... 51 3. Dasar Pertimbangan Hakim dalam putusan

Pengadilan Tinggi Agama Semarang ... 55 4. Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi

Agama Semarang ... 57 BAB IV : Analisis Putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang

Nomor 140/Pdt G/2007/PTA.Smg ... 59 A. Analisis Putusan Perkara Pengadilan Tinggi

Agama Semarang Nomor 140/Pdt

G/2007/PTA.Smg ... 59 B. Analisis Terhadap Dasar Pertimbangan Majelis

hakim Nomor 140/Pdt G/2007/PTA.Smg ... 63 BAB V : PENUTUP ... 72 A. Kesimpulan ... 72

(12)

xvi

B. Saran-Saran ... 74 C. Penutup ... 74

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Hukum acara perdata1disebut juga dengan hukum acara perdata formil.

Sebutan hukum acara perdata lebih lazim dipakai daripada hukum perdata formil. Hukum acara perdata atau hukum perdata formil merupakan bagian dari hukum perdata. Karena, disamping hukum acara perdata formil juga ada hukum perdata materiil. Hukum perdata materiil ini lazimnya disebut hukum perdata saja.2

Wirjono Prodjodikoro menyebutkan bahwa hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak dimuka pengadilan dan bagaimana cara pengadilan tersebut harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.3

Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo adalah keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau

1 Harus disadari bahwa hukum acara perdata dapat dibedakan atas 2 macam, yaitu hukum

acara perdata di Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan hukum acara perdata di dalam lingkungan Peradilan Agama.

2 Riduan Syaharani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung : PT. Citra Adiyta

bakti : 2000, hal. 1

3 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata Di Indonesia , Bandung : Sumur. Cet. VI

(14)

2

zmenegakkan hukum materiil dengan perantaraan kekuasaan negara.4 Perantaraan negara di dalam mempertahankan hukum materiil perdata itu bterjadi terjadi dengan Peradilan. Yang dimaksud dengan Peradilan disini adalah pelaksanaan hukum dalam konkrit adanya tuntutan hak, fungsi mana yang harus dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan mencegah “ eigenrichting ”.5

Hukum acara perdata meliputi tiga tahap tindakan, yaitu tahap pendahuluan, tahap penentuan dan tahap pelaksanaan. Tahap pendahuluan merupakan persiapan menuju kepada penentuan atau pelaksanaan. Di dalam tahap penentuan diadakan pemeriksaan peristiwa dan pembuktian sekaligus sampai kepada putusan. Sedangkan di dalam tahap pelaksanaan diadakan pelaksanaan daripada putusan.

Hukum acara perdata bukan sekedar merupakan pelengkap saja, tetapi mempunyai kedudukan yang penting di dalam melaksanakan atau menegakkan hukum perdata materiil.

Bagaimana cara menyelesaikan perkara perdata melalui Badan Peradilan, semuanya di atur di dalam hukum acara perdata. Dengan hukum acara perdata, masyarakat merasa ada kepastian hukum, bahwa setiap orang dapat mempertahankan hak perdatanya dengan sebaik-baiknya. Dengan

4 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty. 2002. hal.

5

5 Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan Dan Perundang-Undangan Di Indonesia sejak

(15)

hukum acara perdata diharapkan terciptanya ketertiban dan kepastian hukum perdata di dalam masyarakat.6

Untuk mencapai apa yang menjadi tujuan dari hukum acara perdata, pada umumnya peraturan-peraturan hukum acara perdata bersifat “memaksa” ( dwingend recht) karena dianggap menyelenggarakan kepentingan umum7,

sehingga peraturan hukum acara perdata yang bersifat memaksa ini tidak dapat dikesampingkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan pihak yang berkepentingan harus tunduk dan menaati peraturan hukum acara tersebut.

Di dalam mengajukan perkara di Pengadilan Agama, baik perkara gugatan maupun permohonan, pihak yang mengajukan perkara tersebut harus betul-betul memperhatikan, apakah perkara yang diajukan sudah memenuhi syarat formil maupun materiil. Perkara yang sudah memenuhi syarat tersebut, dapat disidangkan oleh majelis hakim berdasarkan penetapan dari Ketua Pengadilan Agama.

Sebelum keputusan diambil, ada tahapan-tahapan yang harus dilalui dipersidangan, yaitu :

1. Tahap persidangan sampai anjuran untuk perdamaian. 2. Tahap jawab berjawab (replik/duplik)

3. Tahap pembuktian.

4. Tahap penyusunan konklusi. 5. Musyawarah majelis hakim.

6 Riduan Syaharani, Op. Cit hal. 3

7 I Rubini dan Chidir Ali “ Pengantar Hukum Acara Perdata” Bandung : Alumni, 1974. hal.

(16)

4 6. Pengucapan keputusan.8

Tahapan-tahapan di dalam persidangan tersebut harus dilaksanakan, karena tahapan-tahapan tersebut saling berkaitan satu sama lain agar keputusan yang dihasilkan sesuai dengan hukum yang berlaku di Peradilan Agama.

Setiap tahapan tersebut harus ditulis di dalam berita acara persidangan. Karena hubungan hukum antara putusan dan berita acara persidangan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Sumber rujukan maupun patokan menguji kebenaran pertimbangan putusan yang dijatuhkan hanya satu, yakni berita acara persidangan. Putusan yang konsisten harus bersandar kepada berita acara persidangan. Putusan yang deskriptif, fakta, peristiwa dan pembuktian yang tidak sesuai dengan apa yang tercantum di dalam berita acara persidangan adalah putusan yang mengandung cacat. Putusan tersebut harus dibatalkan di dalam tingkat banding atau kasasi.9

Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur di dalam Undang-Undang.10

Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional dan berpengalaman di dalam bidang hukum.11

Di dalam menyelesaikan perkara melalui proses pengadilan, hakim tidak hanya berfungsi dan berperan memimpin jalannya persidangan, sehingga

8 Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama , PT. Raja Grafindo Persada. Cet. V

1996. hal. 129-133

9 Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Hukum Acara Peradilan Agama

Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, Jakarta : Sinar Grafika, 2005. hal. 324

10 Pasal 39 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman

(17)

para pihak yang berperkara menaati aturannya sesuai dengan tata tertib beracara. Akan tetapi hakim juga berkewajiban untuk mencari dan menemukan hukum objektif atau materiil yang akan diterapkan untuk memutus perkara yang disengketakan oleh para pihak.

Di dalam mencari dan menemukan hukum, hakim dianggap mengetahui semua hukum (curia novit jus). Hakim berwenang menentukan hukum mana yang harus diterapkan sesuai dengan materi pokok perkara yang menyangkut hubungan-hubungan pihak-pihak yang berperkara.

Beberapa sumber hukum yang dijadikan rujukan pengambilan hukum oleh hakim, yaitu :

1. Ketentuan hukum positif.

2. Sumber hukum tidak tertulis ( hukum adat) 3. Yurisprudensi

4. Doktrin Hukum/Ilmu Pengetahuan12

Ketika persidangan tersebut telah berlangsung, sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka di akhir persidangan akan ada penetapan putusan majelis hakim yang menangani perkara tersebut. Penetapan tersebut bisa berupa dikabulkannya permohonan atau ditolaknya suatu permohonan.

Suatu putusan hakim tersebut tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Maka dari itu, demi keadilan dan kebenaran, setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa ulang agar kekeliruan atau kekhilafan, agar putusan tersebut dapat

(18)

6

diperbaiki. Bagi setiap putusan hakim pada umumnya tersedia “ upaya hukum

“ yaitu upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan.13

Banding adalah salah satu upaya hukum supaya perkara yang telah diputus oleh Pengadilan Tingkat Pertama diperiksa ulang oleh Pengadilan Tinggi (tingkat banding), karena merasa belum menerima dengan keputusan Pengadilan Tingkat Pertama.14

Pada tanggal 08 Februari 2007 telah didaftarkan perkara cerai talak di kepaniteraan Pengadilan Agama Semarang dengan No. 0204/ Pdt. G/2007/PA. Sm yang diajukan oleh Ragil Widodo sebagai Pemohon melawan Lisna Harnaeni sebagai Termohon.

Setelah melalui proses persidangan, pada tanggal 28 Juni 2007 M/Tanggal 13 Jumadil Tsani 1428 H, majelis Hakim telah memutus perkara cerai talak tersebut.

Setelah perkara tersebut diputuskan, Pemohon merasa keberatan dengan putusan majelis hakim berupa nafkah mut’ah sebesar Rp 25.000.000,- ( dua puluh lima juta rupiah) sehingga pemohon mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama.

Setelah salinan resmi putusan Pengadilan Agama Semarang tersebut diteliti dan dipelajari dengan seksama oleh majelis hakim yang telah ditunjuk oleh ketua Pengadilan Tinggi Agama Semarang, ternyata ada kekeliruan

13 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty 2002, hal

224.

14 A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta : Pustaka

(19)

dalam penulisan majelis hakim dalam putusan perkara Pengadilan Agama yang mengakibatkan putusan dari Pengadilan Agama Semarang tersebut mengandung cacat formil.

Berdasarkan surat penetapan dari Ketua Pengadilan Agama Semarang tertanggal 18 Juni 2007 telah menetapkan majelis hakim yang baru untuk memutuskan perkara tersebut.

Setelah diteliti dengan seksama dalam putusan Pengadilan Agama Semarang No. 0204/Pdt. G/2007/PA. Sm tersebut, hakim pertama mencantumkan nama majelis hakim yang lama sebagai majelis hakim yang telah melakukan permusyawaratan majelis, padahal sejak tanggal 18 Juni 2007, kewenangannya telah dicabut dan digantikan oleh majelis hakim yang baru, sehingga yang seharusnya memutuskan amar perkara adalah majelis hakim yang baru, bukan majelis hakim yang lama.

Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka Pengadilan Tinggi Agama Semarang memutuskan perkara No. 0204/Pdt. G/2007 PA. Sm adalah batal demi hukum karena cacat formil.

Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisis lebih jauh putusan tersebut, kemudian penulis tuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “ PEMBATALAN PUTUSAN MAJELIS HAKIM PENGADILAN AGAMA SEMARANG KARENA CACAT FORMIL (Analisis Putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang No. 140/Pdt. G/2007/PTA. Smg) “.

(20)

8

B. PERMASALAHAN

Dari uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam objek penelitian ini adalah :

1. Mengapa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Semarang membatalkan putusan cerai talak Pengadilan Agama Semarang?

2.Bagaimana dasar pertimbangan hukum yang dipergunakan hakim dalam penetapan putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang No. 140/Pdt. G/2007/PTA. Smg?

3.Bagaimana analisis putusan Pengadilan Agama No. 140/Pdt. G/2007/PA. Sm menurut hukum Islam dan hukum Acara

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1.Untuk mengetahui alasan Majelis hakim Pengadilan Tinggi Agama Semarang membatalkan putusan cerai talak Pengadilan Agama Semarang. 2.Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim

dalam penetapan putusan No. 140/Pdt. G/2007/PTA. Smg.

3. Untuk mengetahui analisis putusan Pengadilan Agama No. 140/Pdt. G/2007/PA. Sm menurut hukum Islam dan hukum Acara.

D. TELAAH PUSTAKA

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan beberapa buku untuk menjadi rujukan dalam penulisan yang ada kaitannya dengan skripsi

(21)

tersebut, baik buku tentang hukum perdata maupun buku tentang hukum acara perdata serta literatur lainnya yang menunjang dalam penulisan skripsi ini.

Beberapa yang penulis gunakan sebagai rujukan antara lain :

1.Analisis Putusan Pengadilan Agama Semarang No. 750/Pdt. G/2002/PA. Semarang Tentang Pelanggaran Taklik Talak. Oleh Ridwan, lulus tahun 2004. Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa taklik talak merupakan hasil dari budaya masyarakat pra Islam yang menjadi perlindungan pihak istri atas kesewenang-wenangan suami. Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam kurang memberikan ketegasan dan penjelasan, padahal kemaslahatan cerai gugat yang berkaitan dengan taklik talak sangat dominan disetiap acara persidangan. Dalam kasus tersebut, Tergugat melanggar taklik talak. Dalam putusan tersebut majelis hakim Pengadilan Agama Semarang menetapkan talak satu khul’iy dengan iwadh Rp 10.000,00

2.Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Semarang No. 1065/Pdt. G/1999/PA. Semarang Tentang Gugat Cerai Karena Pertengkaran Akibat Nikah Perjodohan Orang Tua. Oleh Muslih, lulus tahun 2001. Dalam skripsi ini dijelaskan tentang kemungkinan yang dapat memicu timbulnya keinginan putusnya perkawinan, karena perkawinan itu terwujud akibat hasil perjodohan orang tua kedua belah pihak. Namun salah satu pihak tidak bisa mencintai seseorang yang menjadi suami/istrinya, sehingga dalam prosesnya terjadi perselisihan atau pertengkaran. Islam membolehkan adanya perjodohan orang tua terhadap putra putrinya

(22)

10

dengan mempertimbangkan hak yang berkepentingan, baik hak Allah, hak orang tua/wali dan hak orang yang akan menikah. Dalam putusannya, majelis hakim memutuskan perkawinan tersebut dengan jalan talak bai’n sughro.

3. Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Purbalingga No. 283/Pdt. G/PA. Purbalingga Tentang Cerai Gugat Karena Suami Berjudi.

Oleh Mudrik, lulus tahun 2001. Dalam skripsi tersebut, dijelaskan bahwa judi menjadi bagian yang dianggap bisa dijadikan alasan putusnya suatu perkawinan. Artinya seorang istri boleh mengajukan gugatan perceraian karena suami berjudi karena :

a. Dilarang oleh Allah

b. Berimbas pada anak dan keluarga

Putusan tersebut memutuskan talak bai’n antara Tergugat dan Penggugat karena terjadinya syiqoq yang disebabkan oleh judi.

4. Hukum Acara Perdata karya Prof. Sudikno Mertokusumo tentang bagaimana melaksanakan hukum materiil perdata terutama dalam hal pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum materiil perdata dalam hal ada tuntutan hak diperlukan rangkaian peraturan-peraturan hukum lain disamping hukum formil atau hukum acara perdata.15

5. Peradilan Agama Di Indonesia karya Drs. Cik Hasan Basri tentang hukum acara yang berlaku di Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama

(23)

adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini.16

6. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama karya Drs. H. A. Mukti Arto yang menjelaskan peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara menaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim atau cara bagaimana bertindak dimuka Pengadilan Agama dan bagaimana cara hakim bertindak agar hukum itu berjalan sebagaimana mestinya. Hal inilah yang disebut dengan hukum acara Peradilan Agama.17

7. Hukum Acara Perdata karya M. Yahya Harahap S.H tentang bagaimana proses pemeriksaan perkara di mulai sampai tahapan akhir dari persidangan tersebut, yang meliputi gugatan, bagaimana jalannya persidangan, penyitaan, pembuktian serta bagaimana putusan Pengadilan.

8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006.

9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dari telaah pustaka yang telah penulis uraikan di atas, penelitian ini berbeda dari penelitian sebelumnya, karena penelitian ini membahas tentang pembatalan putusan cerai talak karena cacat formil. Untuk itu dalam kajian ini, penulis akan meneliti dan menelaah lebih lanjut terhadap putusan Pengadilan

16 Cik Hasan Basri, Peradilan Agama Di Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta : Raja Grafindo

Persada, 2000 hal 241

(24)

12

Tinggi Agama Semarang No. 140/Pdt. G/2007 PTA. Smg tentang pembatalan putusan Pengadilan Agama Semarang karena cacat formil.

E. METODE PENELITIAN

1.Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian lapangan (field research)18 , yaitu guna memperoleh informasi terhadap

masalah-masalah yang akan dibahas. Penulis juga melakukan penelitian guna memperoleh data yang bersumber dari kantor Pengadilan Tinggi Agama Semarang.

2. Sumber Data

Data adalah bahan keterangan tentang suatu objek penelitian yang diperoleh di lokasi penelitian.19. Adapun data yang dibutuhkan penulis dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder dalam bentuk selain angka.

a. Sumber Data Primer

Data primer adalah data yang bersumber dari sumber asli atau pertama. Data ini tidak tersedia dalam bentuk kompilasi ataupun dalam bentuk file. Dalam hal ini adalah salinan putusan perkara dari Pengadilan Agama Semarang dan Pengadilan Tinggi Agama Semarang.

18 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet IV, Bandung : Remaja

Rosdakarya, hal 153

19 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif : kamunikasi, Ekonomi dan Kebijakan

(25)

b. Sumber Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber pendukung untuk memperjelas sumber data primer berupa data kepustakaan yang berkorelasi dengan pembahasan obyek penelitian termasuk dokumen.20 3. Metode Pengumpulan Data

Ada tiga metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif, yaitu, in depth Interview ( wawancara), dan dokumen tertulis.21

a. Wawancara (In dept Interview)

Yaitu percakapan dengan maksud tertentu.22 Metode wawancara digunakan untuk memperoleh informasi tentang hal-hal yang tidak diperoleh lewat pengamatan.23

b. Dokumentasi

Yaitu merupakan sarana pembantu peneliti dalam mengumpulkan data atau informasi dengan membaca surat-surat, pengumuman, ikhtisar rapat, pernyataan tertulis kebijakan tertentu dan bahan-bahan lainnya.24

4. Metode Analisis Data

Metode Analisis Data adalah jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan perincian obyek yang diteliti atau cara penanganan terhadap suatu obyek ilmiah tertentu dengan

20 Saefudin Azwar, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001 hal. 9

21Asmadi Alsa, pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif serta Kombinasinya dalam Penelitian

Psikologi ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003) hal. 40

22 Lexy J. Moloeng, Op. Cit hal. 148

23 Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta 2004 hal. 59 24 Jonathan Sarwono, Op. Cit hal. 225

(26)

14

jalan memilah-milah antara pengertian satu dengan pengertian-pengertian yang lain untuk sekedar memperoleh kejelasan mengenai hal itu.25

Metode analisis data yang dipakai penulis adalah menggunakan metode Deskriptif Analitik, yaitu penelitian yang bermaksud untuk membuat pemaparan atau deskripsi mengenai situasi-situasi atau kejadian.

Analisis data yang digunakan adalah analisis non statistik yaitu menggunakan Analisis Deskriptif, yaitu analisis data yang diwujudkan bukan dalam bentuk angka melainkan dalam bentuk laporan dan uraian deskriptif.26

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi penyusunannya dalam lima bab, agar mudah untuk dipahami dan dipelajari. Dengan perincian sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan

Dalam Bab ini akan membahas tentang : Latar belakang, permasalahan, Tujuan penelitian, Telah pustaka, Metode penelitian dan Sistematika penulisan

Bab II : Tinjauan Umum Tentang Putusan

Pada bab ini akan dibahas mengenai : Pengertian Putusan, Asas-Asas Putusan, Susunan Dan Isi Putusan, Macam-Macam Putusan dan Kekuatan Putusan

25 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996. hal 59. 26 Lexy J. Moloeng, Op. Cit. hal. 20

(27)

Bab III : Putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang No. 140/Pdt. G/2007/PTA. Smg

Pada bab ini dibahas tentang Gambaran Umum Pengadilan Tinggi Agama Semarang, Dasar Hukum, Visi dan Visi Serta Putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang No. 140/ Pdt. G/2007/PTA. Smg

Bab IV : Analisis Putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang No. 140/Pdt. G/2007/PTA. Smg

Pada bab ini akan di analisa Putusan Perkara No. 140/ Pdt. G/2007/PTA. Smg dan analisa terhadap Dasar Pertimbangan Majelis Hakim Dalam Putusan Perkara No. 140/ Pdt. G/2007/ PTA. Smg.

Bab V : Penutup

Bab ini berisi tentang kesimpulan penelitian dan saran-saran yang dapat bermanfaat bagi Peradilan Agama.

(28)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN

A. PENGERTIAN PUTUSAN

Putusan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang Pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri perkara. Setiap putusan Pengadilan tertuang dalam bentuk tertulis yang harus ditanda tangani oleh hakim ketua sidang dan hakim-hakim anggota yang ikut serta memeriksa dan memutus perkara serta Panitera Pengganti yang ikut bersidang (Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman).

Apa yang diucapkan hakim dalam sidang, haruslah benar-benar sama dengan apa yang tertulis dan apa yang tertulis haruslah benar-benar sama dengan apa yang diucapkan dalam sidang Pengadilan.1

Produk Hakim dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada tiga macam, yaitu:

1. Putusan 2. Penetapan

3. Akta perdamaian2

Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius).

1 Riduan Syaharani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung, PT. Citra Aditya

Bakti. Al Hikmah 2000, hal 117-118

2 A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta : Pustaka

(29)

17

Penetapan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair).

Akta perdamaian adalah akta yang dibuat oleh hakim yang berisi hasil musyawarah antara para pihak dalam sengketa kebendaan untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai putusan.3

Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa para pihak.4

Sedangkan menurut Subekti adalah diambilnya suatu putusan oleh hakim yang berisi penyelesaian perkara yang disengkatakan.5

B. ASAS-ASAS PUTUSAN

Asas tersebut dijelaskan dalam pasal 178 HIR, pasal 189 RBG dan pasal 19 Undang-Undang No. 4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Asas tersebut harus ditegakkan, agar putusan yang dijatuhkan tidak mengandung cacat.

Asas-asas putusan tersebut adalah :6 1. Memuat Dasar Alasan Yang Jelas Dan Rinci

3Ibid. hal. 251-252

4 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty 2002, hal.

202

5 Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1977, hal. 122

(30)

18

Putusan yang dijatuhkan harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup. Putusan yang tidak memenuhi ketentuan itu dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan (onvolduende gemotivereed).

Alasan-alasan hukum yang menjadi dasar pertimbangan bertitik tolak dari ketentuan :

a. Pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan b. Hukum kebiasaan

c. Yurisprudensi d. Doktrin hukum

Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 25 ayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa segala putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan serta mencantumkan pasal-pasal peraturan perundang-undangan tertentu yang bersangkutan dengan perkara yang diputus atau berdasarkan hukum tak tertulis maupun yurisprudensi atau doktrin hukum.7

Menurut pasal 178 ayat 1 HIR, hakim karena jabatannya atau secara ex officio, wajib mencakupkan segala alasan hukum yang tidak dikemukakan

para pihak yang berperkara.

Sedangkan di dalam pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, memerintahkan hakim dalam kedudukannya sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

(31)

19

Bertitik tolak dari ketentuan pasal-pasal yang dikemukakan diatas, putusan yang tidak cukup pertimbangan adalah termasuk masalah yuridis. Akibatnya putusan seperti itu dapat dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi. Hal ini ditegaskan dalam putusan MA No. 443 K/pdt/1986.8

2. Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan

Di dalam pasal 178 ayat 2 HIR, pasal 189 ayat 2 RBG, putusan harus secara total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang diajukan. Tidak boleh hanya memeriksa dan memutus sebagian saja dan mengabaikan gugatan selebihnya. Cara mengadili yang demikian bertentangan dengan asas yang digariskan oleh undang-undang.9

3. Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan

Disebutkan dalam pasal 178 ayat 3 HIR, pasal 189 ayat 3 RBG, bahwa putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan. Larangan ini disebut ultra petitum partium.

Hakim yang mengabulkan melebihi posita maupun petitum gugatan, dianggap telah melampaui batas wewenang atau ultra vires, yakni bertindak melampaui wewenangnya. Apabila putusan mengandung ultra petitum, maka harus dinyatakan cacat (invalid), meskipun hal itu dilakukan oleh hakim dengan itikad baik (good faith) maupun sesuai dengan kepentingan umum (public interest)10.

8 Tanggal 20-8-1988, Varia Peradilan, Tahun IV Nomor 45 Januari 1989, hal. 19 9 Yahya Harahap, Op. Cit, Hal. 800

10 Francess Russel dan Christine Loche, English Law and Languange, Cascel, London, 1992

(32)

20

Oleh karena itu, hakim yang melanggar prinsip ultra petitum sama

dengan pelanggaran terhadap prinsip rule of law, karena :

a. Tindakan itu tidak sesuai dengan hukum, padahal sesuai dengan prinsip rule of law, semua tindakan hakim mesti sesuai dengan hukum

(accordance with the law).

b. Tindakan hakim yang mengabulkan melebihi dari yang dituntut, melebihi batas wewenang yang diberikan pasal 178 ayat 3HIR kepadanya, padahal sesuai dengan prinsip rule of law, siapapun tidak boleh melampaui batas

wewenangnya (beyond the powers of his autorithy).

Meskipun tindakan ultra petitum itu dilakukan hakim berdasarkan

itikad baik, tetapi tidak dapat dibenarkan karena melanggar prinsip rule of law ( the principle of the rule of law). Hal ini ditegaskan dalam putusan

MA No. 1001 K/Sip/197211 yang melarang majelis hakim mengabulkan hal-hal yang tidak diminta atau melebihi tuntutan dari apa yang diminta. Hal ini ditegaskan dalam putusan MA No. 140 K/Sip/1971.12

4. Diucapkan Dimuka Umum

a. Prinsip Keterbukaan untuk Umum Bersifat Imperatif

Persidangan dan putusan diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka untuk umum, hal tersebut merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari asas fair trial. Menurut asas fair trial, pemeriksaan

persidangan dari awal sampai akhir harus berdasarkan proses yang jujur sejak awal sampai akhir. Dengan demikian prinsip peradilan terbuka

11Himpunan Kaidah Hukum Keputusan MA RI, 1962-1991, hal 25 12 Tanggal 12-8-1972, Rangkuman Yurisprudensi MA Indonesia II, hal 232

(33)

21

untuk umum mulai dari awal pemeriksaan sampai putusan dijatuhkan, merupkan bagian dari asas fair trial. Dalam literatur disebut the open

justice principle. Tujuan utamanya adalah untuk menjamin proses

terhindar dari perbuatan tercela (misbehavior) dari pejabat peradilan.13 Melalui prinsip terbuka untuk umum, dianggap memiliki efek pencegah terjadinya proses peradilan terhindar dari perbuatan yang bersifat berat sebelah (partial), karena proses pemeriksaan sejak awal

sampai putusan dijatuhkan, dilihat dan didengar oleh publik. Hal ini membuat hakim lebih berhati-hati dalam melakukan kekeliruan (error)

dan penyalahgunaan wewenang.

b. Akibat Hukum Atas Pelanggaran Asas Keterbukaan

Prinsip pemeriksaan dan putusan diucapkan secara terbuka ditegaskan dalam pasal 20 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi :

semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum

apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum “.

Ketentuan tersebut bersifat “ imperative “ dan bernilai sebagai aturan ketertiban umum yang tidak bisa dikesampingkan dengan alasan apapun. Pelanggaran atas ketentuan ini bisa mengakibatkan putusan batal demi hukum. Hal tersebut dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 59 ayat (2) Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang menegaskan : “ Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat 1( sidang

(34)

22

terbuka untuk umum ) mengakibatkan seluruh pemeriksaan beserta

penetapan atau putusannya batal menurut hukum “. Pasal tersebut sudah

selayaknya harus diperhatikan karena akibat yang ditimbulkan dapat merugikan pencari keadilan karena :

a) Putusan yang dijatuhkan tidak sah.

b) Putusan yang dijatuhkan tidak mempunyai kekuatan hukum.14

c. Dalam Hal Pemeriksaan secara Tertutup, Putusan Tetap Diucapkan dalam Sidang Terbuka

Dalam kasus tertentu, peraturan Perundang-Undangan membenarkan pemeriksaan yang dilakukan dalam sidang tertutup, akan tetapi pengecualian ini sangat terbatas, yakni dalam bidang kekeluargaan, khususnya mengenai perkara perceraian.

Menurut pasal 39 ayat 3 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, tata cara perceraian diatur di depan sidang Pengadilan dan diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan tersendiri. Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 33 PP No. 9 Tahun 1975 sebagai ketentuan pelaksanaan pasal tersebut, yang menegaskan pemeriksaan gugatan perkara perceraian menurut penjelasan pasal 33 PP No. 9 Tahun 1975 tersebut adalah tidak hanya terbatas pada pemeriksaan para pihak yang berperkara, tetapi juga pemeriksaan bagi saksi-saksi.15

Meskipun peraturan Perundang-Undangan membenarkan perkara perceraian diperiksa secara tertutup, namun pasal 34 PP No. 9 Tahun

14 M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan acara Peradilan Agama ( UU No. 7

Tahun 1989) Jakarta : Sinar Grafika, 2001. hal. 77

(35)

23

1975 menegaskan, bahwa putusan gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka.

d. Diucapkan Di dalam Sidang Pengadilan

Prinsip pemeriksaan dan pengucapan putusan yang terbuka untuk umum dilakukan di dalam ruang sidang pengadilan yang telah ditentukan, yakni di ruang sidang pengadilan gedung Pengadilan. 16

e. Radio dan Televisi dapat Menyiarkan Langsung Pemeriksaan Dari ruang Sidang

Prinsip peradilan terbuka tidak terlepas dari kebebasan untuk mendapatkan informasi mengenai aktifitas pemerintahan, karena pada dasarnya kekuasaan kehakiman (judicial power) adalah pelaksana

kekuasaan dibidang Peradilan.

Kekuasaan kehakiman sebagai salah satu bagian dari kekuasaan negara, tidak berbeda dengan badan eksekutif dan legislatif yang terbuka untuk disiarkan dan ditayangkan. Hal itupun berlaku untuk Pengadilan sebagai pelaksana Judicial Power, agar setiap warga negara memperoleh

informasi yang luas dan akurat tentang fungsi yang dilakukan peradilan dalam menyelesaikan suatu perkara.17

C. SUSUNAN DAN ISI PUTUSAN

16 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Op. Cit hal. 805

(36)

24

Susunan dan isi putusan hakim diatur dalam pasal 183 HIR/194 RBG. Suatu putusan hakim itu terdiri dari 4 (empat) bagian,18 yaitu :

1. Kepala Putusan

Di dalam pasal 57 ayat dua (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, bahwa setiap penetapan/putusan dimulai dengan kalimat “ Bismillahirrohmanirrohim “ dan diikuti dengan “ Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa “.19

Kepala putusan memberikan kekuatan eksekutorial kepada setiap putusan. Pencantuman kata-kata “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa “ dalam putusan pengadilan dimaksudkan agar para hakim

selalu menginsafi, bahwa karena sumpah jabatannya dia tidak hanya bertanggungjawab kepada hukum, kepada diri sendiri dan kepada rakyat, tetapi juga bertanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pada saat putusan dijatuhkan, hakim mengucapkan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” tetapi tidak dimuat dalam

putusannya, maka cara mengatasinya adalah dengan membuat atau mengetik kembali putusan tersebut dengan menambahkan kalimat “ Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa “.20 2. Identitas Para Pihak

18 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit hal 212

19 Umar Mansyur Syah, Hukum Acara perdata PeradilanAgama Menurut Teori Dan Praktek,

Bandung : Sumber Bahagia, 1991 hal 174. 20 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit hal. 213

(37)

25

Suatu perkara atau gugatan itu mempunyai sekurang-kurangnya 2 (dua) pihak yang berperkara, maka dalam putusan tersebut harus dibuat identitas para pihak yang meliputi :

a. Nama b. Umur c. Alamat d. Pekerjaan

e. Identitas pengacara, apabila menggunakan jasa pengacara.21 3. Pertimbangan Hukum

Pertimbangan hukum atau yang sering disebut considerans,

merupakan dasar putusan. Pertimbangan dalam putusan perdata dibagi menjadi 2 (dua) 22, yaitu :

a. Pertimbangan Tentang Duduk Perkara Atau Peristiwa.

1) Menggambarkan dengan singkat tetapi jelas dan kronologis tentang duduk perkaranya, mulai dari awal perkaranya, mulai dari usaha perdamaian, dalil-dalil gugat, jawaban tergugat, replik, duplik, saksi-saksi serta kesimpulan para pihak.

2) Menggambarkan bagaimana hakim mengkonstatir dalil-dalil gugat/peristiwa yang diajukan para pihak.23

b. Pertimbangan Tentang Hukumnya

21 Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama. PT Raja Grafindo Persada. Cet. Ke V,

1996. hal. 198 hal. 198

22 Riduan Syaharani, Op. Cit hal. 120-121 23 Mukti Arto. Op Cit. Hal 263

(38)

26

1) Menggambarkan tentang bagaimana hakim dalam mengkualifisir fakta-fakta/kejadian.

2) Penilaian hakim tentang fakta-fakta yang diajukan.

3) Memuat dasar-dasar hukum yang dipergunakan oleh hakim dalam menilai fakta dan memutus perkara, baik hukum tertulis maupun yang tidak tertulis.

Pertimbangan tentang duduk perkaranya sebenarnya bukanlah pertimbangan dalam arti sebenarnya, karena pertimbangan tentang duduk perkaranya hanya menyebut apa yang terjadi di Pengadilan. Pertimbangan atau alasan-alasan dalam arti yang sebenarnya adalah pertimbangan tentang hukumnya. Pertimbangan tentang hukum inilah yang menentukan nilai dari suatu putusan Pengadilan. Oleh karena itu para hakim harus memperhatikan betul-betul bagian pertimbangan hukum ini secara cermat.24

Di dalam pasal 184 HIR/195 RBG dan pasal 23 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 menegaskan bahwa “ Setiap putusan Pengadilan perkara

perdata harus memuat ringkasan gugatan dan jawaban dengan jelas, alasan

dan dasar daripada putusan, pasal-pasal serta hukum-hukum tidak tertulis,

pokok perkara, serta hadirnya tidaknya para pihak yang berperkara pada

waktu putusan Pengadilan diucapkan “.

4. Amar Putusan

Amar atau dictum putusan merupakan pernyataan (deklarasi) yang berkenaan dengan status dan hubungan hukum antara para pihak dengan

(39)

27

barang yang disengketakan, serta berisi perintah atau penghukuman atau condemnatoir yang ditimpakan kepada para pihak yang berperkara.25

Amar putusan harus jelas dan ringkas perumusannya, dengan acuan sebagai berikut :

1. Gugatan mengandung cacat formil

Gugatan yang mengandung cacat formil, putusan yang dijatuhkan harus jelas dan tegas mencantumkan dalam amar putusan :

a. Cacat formilnya surat kuasa, error in persona, obscure libel,

premature, kedaluwarsa, nebis in idem, maka amar putusannya adalah : “ Menyatakan gugatan tidak dapat diterima “.

b. Cacat formilnya mengenai yuridiksi atau kompetensi, maka amar putusannya berbunyi :

Menyatakan tidak berwenang mengadili atau gugatan tidak dapat

diterima “.

c. Cacat formil yang dijatuhkan berdasarkan eksepsi yang diajukan tergugat, serta tergugat mengajukan rekonvensi, maka amar putusannya berbunyi :

1) Dalam Konvensi

(a) Tentang Eksepsi ( mengabulkan eksepsi)

(b) Dalam pokok perkara (menyatakan gugatan tidak dapat diterima)

2) Dalam Rekonvensi

(40)

28

(a) Menolak Rekonvensi ( apabila tidak terbukti) (b) Mengabulkan seluruh gugatan (apabila terbukti) 2. Gugatan Tidak Terbukti

Didalam suatu proses perkara perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada/tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti di dalam persidangan. 26 Apabila penggugat tidak mampu mengajukan alat bukti yang cukup untuk memenuhi batas minimal pembuktian, maka penggugat dianggap tidak berhasil membuktikan dalil gugatannya. Akibat hukumnya adalah gugatannya ditolak seluruhnya. Maka amar putusannya berbunyi “ Menolak gugatan penggugat

seluruhnya “.

Sehubungan dengan hal tersebut, tata tertib yang perlu diperhatikan hakim dalam merumuskan amar putusannya adalah :

a. Dalam hal seluruh gugatan dikabulkan

Amar putusan yang harus dijatuhkan :

1) Pernyataan deklaratif yang berbunyi “ mengabulkan gugatan

penggugat seluruhnya “.

2) Merinci satu persatu dalam amar putusan, apa saja yang dikabulkan.

b. Dalam hal yang dikabulkan sebagian

26 Retnowulan Sutanto, Iskandar Oeripkartanawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori

(41)

29

Apabila putusan yang dijatuhkan hanya mengabulkan sebagian saja dari gugatan, maka amar putusan harus memuat hal-hal sebagai berikut :

1) Pernyataan yang berbunyi “mengabulkan gugatan untuk sebagian “.

2) Merinci petitum mana saja dari gugatan yang dikabulkan. 3) Pernyataan yang berbunyi “ menolak gugatan selebihnya “.

c. Dalam hal yang dikabulkan sebagian, tetapi ada pula petitum yang tidak dapat diterima

Apabila dari penilaian hakim, sebagian gugatan dapat dikabulkan, sedangkan sebagian lagi tidak dapat dikabulkan, serta ada pula petitum gugat yang tidak dapat diterima, maka amar putusannya adalah :

1) Menyatakan mengabulkan gugatan sebagian

2) Merinci satu persatu petitum gugatan yang dikabulkan 3) Menolak petitum angka…….dan…….

4) Menyatakan petitum gugat angka………... tidak dapat diterima. Perumusan amar yang dikemukakan di atas, ditegaskan dalam Putusan MA No. 797 K/Sip/1972.27

5. Bagian Penutup

Dalam bagian penutup ini disebutkan kapan putusan tersebut dijatuhkan (hari dan tanggal) dan dicantumkan pula nama Hakim ketua dan

(42)

30

Hakim anggota serta Panitera Pengganti yang menyidangkan perkara itu sesuai dengan Penetapan Majelis Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama.28

Disamping itu perlu dicantumkan juga tentang hadir tidaknya Penggugat dalam persidangan sewaktu dibacakan putusan, serta setiap putusan harus diberi materai secukupnya dan ditanda tangani oleh Ketua Majelis, Hakim Anggota dan Panitera Pengganti yang ikut dalam persidangan, sesuai dengan pasal 7 ayat 5 (lima) Undang-Undang No. 13 Tahun 1989 tentang bea cukai.29

Raihan A. Rasyid menyebutkan, bahwa setiap putusan pengadilan harus memuat :

a. Kepala Putusan

b. Nama Pengadilan Agama yang memutus dan jenis perkaranya. c. Identitas Para Pihak

d. Duduk Perkaranya (bagian posita) e. Tentang Pertimbangan Hukumnya f. Dasar Hukum

g. Dictum/Amar Putusan h. Bagian Kaki Putusan

i. Tanda Tangan Hakim dan Panitera serta perincian biaya.30

28 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta :

Yayasan Al Hikmah, 2000, hal. 296

29 Ibid hal. 297

30 Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, PT. Raja Grafindo Persada Cet. Ke-5

(43)

31

D. MACAM-MACAM PUTUSAN

1). Dilihat dari segi fungsinya dalam mengakhiri putusan, dibagi menjadi 2 macam, yaitu :

a. Putusan Akhir (eind vonnis/putusan penghabisan)31

Adalah tindakan atau perbuatan hakim sebagai penguasa atau pelaksana kekuasaan (judikatif power) untuk menyelesaikan dan

mengakhiri sengketa yang terjadi diantara para pihak yang berperkara32. b. Putusan Sela (pasal 185 HIR/196RBg)

Adalah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperlancar jalannya pemeriksaan. Putusan sela tidak mengakhiri pemeriksaan tetapi akan berpengaruh terhadap arah dan jalannya persidangan.

Putusan sela berisi perintah yang harus dilakukan para pihak yang berperkara untuk memudahkan hakim menyelesaikan pemeriksaan perkara, sebelum dia menjatuhkan putusan akhir.33

Beberapa putusan yang timbul karena putusan sela antara lain : 1) Putusan Preparatoir

Adalah putusan sela untuk mempersiapkan putusan akhir tanpa mempengaruhi pokok perkara atau putusan akhir.

Contoh : Putusan untuk menolak pengunduran pemeriksaan saksi34

2) Putusan Interlocutoir

31 Mukti Arto, Op. Cit hal 252

32 Arif S (ed) Kamus Edisi Lengkap,Pustaka Tirta Mas, Surabaya, hal 102 33 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit hal. 168

34 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta :

(44)

32

Adalah Putusan sela yang isinya memerintahkan pembuktian.

Contoh : Putusan untuk memeriksa saksi atau pemeriksaan setempat. Karena putusan ini menyangkut masalah pembuktian, maka putusan interlocutair akan mempengaruhi putusan akhir.

3) Putusan Insidentil

Adalah putusan sela yang berkaitan langsung dengan gugatan insidentil atau yang berkaitan dengan penyitaan yang membebankan pemberian uang jaminan dari pemohon sita, agar sita dapat dilaksanakan. Secara teori, dikenal 2 macam bentuk putusan Insidentil, yaitu :

a. Putusan insidentil atau gugatan intervensi

Gugatan Intervensi adalah memberi hak kepada pihak ketiga yang berkepentingan untuk menggabungkan diri dalam suatu perkara yang masih berlangsung pemeriksaannya pada Pengadilan Tingkat Pertama.

Bentuk gugatan intervensi bisa berbentuk :35

(1) Voeging adalah pihak ketiga ikut serta dalam proses perkara dalam

bentuk tindakan memihak salah satu pihak.

(2) Tussenkomst adalah pihak ketiga ikut bergabung dalam proses

perkara yang sedang berlangsung, demi membela kepentingannya sendiri, karena apa yang disengketakan adalah miliknya.

(45)

33

(3) Vrijwaring adalah intervensi dalam bentuk menarik pihak ketiga

untuk ikut serta sebagai pihak dalam proses perkara yang sedang berlangsung.

b. Putusan insindentil dalam pemberian jaminan atas pelaksanaan sita jaminan.

Adalah putusan yang dikaitkan dengan pelaksanaan sita jaminan (Conservator Beslag). Sebagai contoh pasal 722 Rv yakni penyitaan barang atas barang debitur. Menurut pasal ini, hakim dalam mengabulkan permohonana sita jaminana yang diajukan penggugat dapat memerintahkan kepada tergugat agar membayar uang jaminan yang meliputi kerugian dan bunga yang mungkin timbul akibat penyitaan.

4) Putusan Provisionil

Adalah putusan yang menjawab tuntutan provisi, yaitu permintaan pihak yang berperkara agar diadakan tindakan pendahuluan untuk kepentingan salah satu pihak sebelum putusan dijatuhkan.

Contoh : Dalam perkara perceraian, sebelum perkara pokok diputuskan, istri minta dibebaskan dari kewajiban untuk tinggal bersama dengan suaminya.36

2). Dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat putusan dijatuhkan ada 3 (tiga) macam, yaitu :

a. Putusan Gugur ( pasal 124HIR/148RBG)

36 Abdul Manan, Op. Cit hal. 307

(46)

34

Adalah putusan yang menyatakan bahwa gugatan penggugat/permohonan gugur karena penggugat/pemohon tidak pernah hadir, meskipun telah dipanggil secara resmi. Sedangkan tergugat hadir dan mohon putusan. Putusan gugur dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya, sebelum pembacaan gugatan atau permohonan.37

Syarat-syarat dapat dijatuhkannya putusan gugur adalah :

(1) Penggugat/Pemohon telah dipanggil secara resmi dan patut untuk hadir sidang hari itu.

(2) Penggugat/Pemohon ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut dan tidak pula mewakilkan pada orang lain untuk hadir.

(3) Tergugat/Termohon hadir dalam persidangan. (4) Tergugat/Termohon mohon keputusan.

b. Putusan Verstek ( pasal 125 HIR/149 RBG)

Adalah putusan yang dijatuhkan karena tergugat/termohon tidak pernah hadir meskipun telah dipanggil secara resmi dan penggugat/pemohon hadir dan mohon putusan.

Syarat-syarat dapat dijatuhkannya putusan verstek adalah : (1) Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut

(2) Tergugat tidak pernah hadir dalam sidang dan tidak mewakilkan kepada orang lain, serta tidak ada alasan yang sah.

(3) Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai kewenangan. (4) Penggugat hadir dalam persidangan

37 Mukti Arto, Op. Cit. hal. 255

(47)

35

(5) Penggugat mohon keputusan c. Putusan Kontradiktoir

Adalah putusan akhir yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri salah satu pihak atau para pihak. Dalam pemeriksaan/putusan kontradiktoir disyaratkan bahwa penggugat maupun tergugat pernah hadir dalam persidangan.

3). Dilihat dari segi sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan ada 3 (tiga) macam,38 yaitu :

a. Putusan Deklaratoir

Adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai suatu keadaan yang sah menurut hukum. Contoh : Putusan tentang permohonan dispensasi nikah. Semua perkara voluntair diselesaikan dengan putusan deklaratoir dalam bentuk “ penetapan “

b. Putusan Konstitutif

Adalah putusan yang menciptakan/menimbulkan keadaan hukum baru, berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya.

Contoh : Putusan perceraian dan putusan pembatalan perkawinan.

Putusan Konstitutif selalu berkenaan dengan status hukum seseorang atau hubungan keperdataan satu sama lain. Keadaan hukum baru tersebut dimulai sejak saat putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.

c. Putusan Kondemnatoir

38 Abdul Manan, Op. Cit hal. 297-298

(48)

36

Adalah putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan untuk memenuhi prestasi.39

Putusan Kondemnatoir terdapat pada perkara kontentius, dan

biasanya selalu berbunyi “ menghukum “.

Apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan isi putusan dengan sukarela, maka atas permohonan penggugat, putusan dapat dilaksanakan dengan paksa (execution force) oleh Pengadilan yang memutuskannya. Putusan Kondemnatoir dapat berupa penghukuman untuk : 40

(1) Menyerahkan suatu barang (2) Membayar sejumlah uang

(3) Melakukan suatu perbuatan tertentu (4) Menghentikan suatu perbuatan/keadaan (5) Mengosongkan tanah/rumah

4). Dilihat dari segi isinya terhadap gugatan/perkara ada 2 (dua) macam, yaitu positif dan negatif yang dapat diperinci menjadi 4 ( empat), yaitu :

a Putusan tidak menerima gugatan penggugat (negatif)

Adalah putusan hakim yang menyatakan bahwa hakim ”tidak menerima gugatan penggugat/permohonan pemohon “ atau dengan kata

lain “ gugatan penggugat/permohonan pemohon tidak diterima “ karena

39 Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Op. Cit hal. 309

(49)

37

gugatan/permohonan tidak memenuhi syarat hukum, baik secara formil maupun materiil.

Contoh :

1) Gugatan yang tidak memenuhi syarat formil

Misalnya : Gugatan yang kabur (tidak jelas),penggugat tidak berhak dsb

2) Gugatan yang tidak memenuhi syarat materiil

Misalnya : Gugatan cerai yang diajukan sebelum 2 tahun sejak tergugat meninggalkan kediaman bersama.41

b Putusan menolak gugatan penggugat seluruhnya (negatif)

Adalah putusan akhir yang dijatuhkan setelah semua tahap pemeriksaan dimana dalil-dalil gugatan tidak terbukti.

Dalam memeriksa pokok gugatan (dalil gugat) maka hakim harus terlebih dahulu memeriksa apakah syarat-syarat gugatan telah terpenuhi, agar pokok gugatan dapat diperiksa dan diadili.

c Putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menolak/tidak menerima selebihnya (positif dan negatif)

Putusan ini merupakan putusan akhir. Dalam kasus ini, dalil gugat ada yang terbukti dan ada pula yang tidak terbukti atau tidak memenuhi syarat, sehingga :

1) Dalil gugat yang terbukti, maka tuntutannya dikabulkan 2) Dalil gugat yang tidak terbukti, maka tuntutannya ditolak.

41Ibid hal. 258

(50)

38

3) Dalil gugat yang tidak memenuhi syarat, maka diputus dengan tidak diterima.

d Putusan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya ( positif)

Putusan ini dijatuhkan apabila syarat-syarat gugatan telah terpenuhi dan seluruh dalil-dalil gugat yang mendukung petitum telah terbukti.

Untuk mengabulkan suatu petitum harus didukung dalil-gugatan yang satu sama lainnya saling menguatkan. Pada prinsipnya setiap petitum harus didukung dengan dalil-dalil gugatan.42

E. KEKUATAN PUTUSAN

Putusan pengadilan dalam perkara perdata mempunyai 3 (macam) kekuatan 43 yaitu :

a. Kekuatan Mengikat

Putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara yaitu dengan menetapkan hak dan apa yang merupakan hukumnya, karena pihak-pihak yang berperkara dapat menyelesaikannya segera damai, kemudian menyerahkan penyelesaian perkaranya kepada Pengadilan, maka pihak-pihak yang berperkara tersebut akan tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan Pengadilan. Oleh karena itu putusan yang dijatuhkan Pengadilan harus dihormati oleh pihak-pihak yang berperkara dengan tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan putusan.

42 Mukti Arto, Op. Cit hal. 260

(51)

39

b. Kekuatan Pembuktian

Sejalan dengan sifat kekuatan yang mengikat pada setiap putusan Pengadilan, dengan sendirinya menurut hukum ada pula nilai kekuatan pembuktian yang menjangkau :

1. Para pihak yang berperkara.

2. Orang yang mendapatkan hak dari mereka. 3. Ahli waris mereka.44

Putusan Pengadilan yang tertuang dalam bentuk tertulis ini, merupakan akta outentik yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti oleh pihak-pihak yang berperkara untuk mengajukan banding, kasasi atau pelaksanaannya.

c. Kekuatan Eksekutorial

Putusan Pengadilan mempunyai kekuatan eksekutorial karena Peradilan dilakukan “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa “. Dan kata-kata “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa “, inilah yang memberi kekuatan eksekutorial pada putusan-putusan

Pengadilan, sehingga putusan tersebut dapat dilaksanakan secara paksa terhadap pihak yang tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela.45

44 Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Op. Cit hal. 310

(52)

40

BAB III

PUTUSAN PENGADILAN TINGGI AGAMA SEMARANG No. 140/Pdt.G/2007/PTA.Smg TENTANG PEMBATALAN PUTUSAN

MAJELIS HAKIM PENGADILAN AGAMA SEMARANG.

A. Gambaran Umum Profil Pengadilan Tinggi Agama Semarang 1. Lahirnya Pengadilan Tinggi Agama Semarang

Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama khususnya lewat pasal 106 Lembaga Peradilan Agama

mengalami perubahan-perubahan yang sangat mendasar. Status dan

eksistensinya telah pasti, sebab lewat pasal 106 tersebut keberadaan lembaga

Peradilan Agama yang dibentuk sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 7

Tahun 1989 keberadaannya diakui dan disahkan dengan Undang-undang

Peradilan ini. Dengan demikian Peradilan Agama menjadi mandiri sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dimana ciri-cirinya

antara lain hukum acara dilaksanakan dengan baik dan benar serta tertib

dalam melaksanakan administrasi perkara dan putusan dilaksanakan sendiri

oleh pengadilan yang memutus perkara tersebut.

Diawali dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999

tentang Perubahan UU Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman menentukan:

a. Badan-badan peradilan secara organisatoris, administratif dan finansial

berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Ini berarti kekuasaan

Referensi

Dokumen terkait

Pertimbangan Majelis Hakim pada Mahkamah Agung tersebut merupakan bantahan terhadap pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Niaga yang memberikan pertimbangan dalam

Perihal majelis hakim saat memberikan landasan yuridis yang terdapat di dalam isi putusan, kurang memperhatikan pasal-pasal yang berkaitan dengan pemberian nafkah

Menimbang, bahwa atas dasar apa yang telah dipertimbangkan dan diputus oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama dalam perkara ini, Majelis Hakim Tingkat Banding sependapat dan

Analisis penulis, Putusan Majelis Hakim menafsirkan bahwa perceraian ini lebih berat disebabkan perselisihan dan pertengkaran terus menerus, alasan krisis moral

Perbedaan antara tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan putusan hakim didasarkan pada pertimbangan dan fakta di persidangan bahwa terhadap terdakwa dijatuhkan Pasal 3 Undang-Undang

Pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan tersebut adalah karena penggugat sangat berperan dalam pembangunan rumah, walaupun pembangunan rumah tersebut berasal dari harta

Pertimbangan majelis hakim tingkat pertama pada ketiga putusan tersebut sama sekali tidak memberikan penjelasan terkait apabila ternyata terbukti adanya perbuatan

tentang talak raj`i kepada isteri yang murtad telah sesuai menurut analisis hukum Islam, karena putusan tersebut sejalan dengan KHI Pasal 116 huruf f dan h dan