(Analisis dan Implementasi Putusan Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
RACHMATULLAH TIFLEN NIM. 1111044100035
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
v ABSTRAK
Rachmatullah Tiflen. NIM 1111044100035. Judul skripsi ini adalah “Nafkah Anak Pasca Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara (Analisis dan Implementasi Putusan Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU).” Fokus utama studi ini adalah bagaimana nafkah anak pasca perceraian dalam perspektif fikih dan ijtihad hakim di Pengadilan Agama Jakarta Utara serta pelaksanaan putusan Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU. Program Studi Hukum Keluarga Islam, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H / 2015 M. xii + 77 halaman + 50 halaman lampiran.
Pertanyaan ini penting diajukan karena untuk mengetahui lebih mendalam mengenai: pertama, bagaimana perspektif fikih dan hukum positif tentang nafkah anak pasca perceraian; kedua, mengetahui ijtihad hakim dalam putusan Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU mengenai pertimbangan nafkah anak kepada ayah pasca perceraian; ketiga, bagaimana pelaksanaan putusan pengadilan agama tentang nafkah anak pasca perceraian.
Metode pendekatan yang dilakukan dalam studi ini ialah melalui pendekatan empirik. Pendekatan empirik merupakan istilah lain yang digunakan dalam hukum sosiologis yang berdasarkan pada penelitian lapangan. Metode penelitian hukum
empiric sosiologis memiliki asumsi dasar yaitu membangun antara hukum positif tertulis dengan hukum yang hidup di masyarakat.
Studi ini menyimpulkan bahwa fikih maupun hukum positif mewajibkan pemberian nafkah anak oleh orang tua khususnya ayah demi mendorong proses pengembangan anak, baik berupa pakaian, makanan maupun kebutuhan lainnya sampai anak dapat berdiri sendiri. Perihal majelis hakim saat memberikan landasan yuridis yang terdapat di dalam isi putusan, kurang memperhatikan pasal-pasal yang berkaitan dengan pemberian nafkah anak yang dijadikan sebagai pertimbangan bahwa majelis hakim tidak hanya fokus kepada para pihak yang bercerai saja, akan tetapi akibat hukum pasca perceraian. Kemudian terkait pelaksanaan putusan Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU bahwa pemberian nafkah anak telah terlaksana setelah putusan memiliki kekuatan hukum tetap, walaupun tidak sesuai dengan isi putusan majelis hakim sehingga dari pelaksanaan putusan ini kurang adanya controlling bagi para pencari keadilan untuk mendapatkan haknya sesuai dengan isi putusan pengadilan.
Kata kunci : Perceraian, Nafkah Anak
Pembimbing : Dr. H. Abdul Halim, M.Ag.
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum wr. wb
Segala puji bagi Allah Swt. yang telah memberikan nikmat dan karunia yang
tidak terhingga kepada saya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta
salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw.
kepada keluarga, sahabat, dan seluruh umat Islam yang setia hingga akhir zaman.
Alhamdulillah atas karunia Allah sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini yang berjudul “Nafkah Anak Pasca Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara (Analisis dan Implementasi Putusan Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU)”
sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Syari‟ah di Fakultas Syari‟ah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Perihal penyelesaian studi ini, banyak pelajaran serta manfaat yang
didapatkan dan kesan yang bermakna. Oleh karena itu, atas tersusunnya skripsi ini
saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik
dalam membimbing, petunjuk, do‟a serta dukungan terutama kepada kedua orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayangnya yang terus-menerus tiada hentinya,
semoga Allah Swt. selalu memberikan keberkahan serta pahala disisi Allah Swt.
Amin.
Pada kesempatan ini patut mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
vii
kemajuan kualitas spiritual dan intelektual Mahasiswa/i Fakultas Syariah dan
Hukum.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. selaku ketua Program Studi Ahwal
al-Syakhshiyyah sekaligus sebagai dosen Pembimbing, sekertaris Program Studi
Ahwal al-Syakhshiyyah Arip Purkon, M.A., serta dosen Penasehat Akademik
Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A., yang tiada henti memberikan dukungan,
motivasi, serta bimbingan demi kelancaran penulisan skripsi ini.
3. Ketua Pengadilan Agama Jakarta Utara Drs. H. Achmad Zainullah, SH.,M.H.,
dan para hakim khususnya Dra. Harmala Harahap, S.H.,M.H., Dra. Hj.
Nurwathon, S.H.,M.H dan Dra. Hj. Rogayah selaku hakim Pengadilan Agama
Jakarta Utara kemudian Ahmad selaku Jurusita Pengganti serta staf-staf yang
telah membantu untuk memperoleh data-data dalam penyelesaian studi ini.
4. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mengamalkan ilmunya
dan terutama kepada H. Kamarusdiana, S.Ag.,M.H., Sri Hidayati, M.Ag., Dr.
Hj. Mesraini, M.Ag., Hotnidah Nasution, MA., Mara Sutan Rambe, S.HI,
M.H., yang telah memberikan cakrawala dalam berpikir kepada saya semoga
menjadi ilmu yang bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat.
5. Seluruh staf perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan perpustakaan
Fakultas Syariah dan Hukum atas pelayanannya yang sangat membantu dalam
viii
6. Untuk orang tua saya yang tercinta, ayahanda H. Imanudin Tiflen, S.H., M.H.,
serta ibunda tercinta Hj. Hadijah, paman saya bapak Albab Tiflen beserta
keluarga kemudian kakanda Muhammad Arief Tiflen, S.Kom., serta adik-adik
tersayang yang telah memberikan dukungan yang tak terhingga, nasehat, serta
do‟a kepada saya.
7. Seluruh sahabat-sahabat di pondok Pesantren Luhur Sabilussalam khususnya
S-11, Mahasiswa Kahfi Motivator School terutama angkatan 15 C,
Mahasiswa Double Degree Ilmu Hukum angkatan 2014, L-Drom Institut
Latanza 2014; Tika Yulianti, Ila, Fikri I, Fikri II, Rahmat I, Rahmat II,
Khairul Anwar, S.Pd., Baihaqi, Ibas, Ibad, Zaki, Yanto, Dadan.
Sahabat-sahabat; Fitria Pelangi, Nurlela, Annis Fitriana, S.Pd., Zusna Munfaricha, Gita
Ramadhani, Hendra Laksono serta khususnya teman-teman seperjuangan;
Badru Tamam, Andi Asyraf Rahman, A. Robian, M. Syaikhoni, Daniel
Alfaruqi, S.Sy., Syams Elias Bahri, S.Sy., Hendrawan, S.Sy., Triana
Apriyanita, S.Sy., Safira Maharani, S.Sy., Lilis Sumiyati, S.Sy., Denis Silvia,
S.Sy., Zahrotul Kamilah, S.Sy., Kamelia Sari, Nadia Nursyaida, Epi Yulianti,
dan teman-teman lainnya di Jurusan Peradilan Agama- A dan B serta AKI
Fakultas Syariah dan Hukum angkatan 2011 yang telah mewarnai hari-hari
penulis dengan hal-hal positif serta memberikan kesan tersendiri selama
ix
Oleh karenanya, Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh komponen
yang telah berjasa dan memberikan kontribusinya. Penulis tidak bisa membalas
kebaikan mereka kecuali do‟a semoga Allah Swt membalas amal perbuatan semuanya. Amin.
Jakarta, 1 Juli 2015
x DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL . . . i
PERSETUJUAN PEMBIMBING . . . ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI . . . iii
LEMBAR PERNYATAAN . . . iv
ABSTRAK . . . v
KATA PENGANTAR . . . vi
DAFTAR ISI . . . x
BAB I PENDAHULUAN . . . 1
A. Latar Belakang Masalah . . . 1
B. Rumusan Masalah . . . 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian . . . 6
D. Review Studi Terdahulu . . . 7
E. Metode Penelitian . . . 9
F. Sistematika Penulisan . . . 14
BAB II NAFKAH ANAK PASCA PERCERAIAN . . . 15
A. Perceraian dan Nafkah Anak dalam Fikih . . . 15
1. Akibat Hukum Pasca Perceraian . . . 15
2. Nafkah Anak dan Kewajiban Orang Tua terhadap Nafkah Anak . . . 20
B. Perceraian dan Nafkah Anak dalam Perundang-undangan . . . 24
1. Akibat Hukum Pasca Perceraian . . . 24
2. Nafkah Anak dan Kewajiban Orang Tua terhadap Nafkah Anak . . . 32
xi
BAB III PUTUSAN PENGADILAN AGAMA TENTANG NAFKAH
ANAK PASCA PERCERAIAN . . . 41
A. Deskripsi Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara . . . 41
B. Analisis Putusan Nomor: 0386/Pdt.G/2014/PA.JU . . . 43
C. Metode Ijtihad Hakim . . . 50
BAB IV PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA UTARA TENTANG NAFKAH ANAK . . . 58
A. Pelaksanaan Putusan Nafkah Anak Nomor 0386/Pdt.G/2014/ PA.JU . . . 58
B. Upaya Hukum Ibu dalam Mendapatkan Nafkah Anak . . . 63
BAB V PENUTUP . . . 68
A. Kesimpulan . . . 68
B. Saran . . . 69
DAFTAR PUSTAKA . . . 70
xii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lembar Permohonan Proposal
2. Lembar Pengesahan Proposal
3. Surat Permohonan Pembimbing Skripsi
4. Surat Permohonan Data Wawancara
5. Surat Keterangan Pengadilan Agama Jakarta Utara
6. Lembar Hasil Wawancara
7. Putusan Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU
8. Lembar Permohonan Cerai Talak
9. Lembar Jawaban Permohonan Cerai
1
A. Latar Belakang Masalah
Peradilan Agama merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia,
bersama lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan
Militer.1 Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu.2 Peradilan Agama
berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara perdata bagi yang beragama
Islam3 sesuai dengan kewenangan relatif dan absolutnya.4 Kewenangan Peradilan
Agama di Indonesia meliputi: perkara-perkara perdata perkawinan, warisan, wasiat,
hibah, wakaf dan sadaqah serta ekonomi syariah.5 Namun, kompetensi absolutnya
secara umum didominasi oleh persoalan-persoalan hukum keluarga (family law)6, dan
lebih spesifik lagi adalah perkara-perkara di bidang perkawinan, seperti kasus
1
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 tahun 1989, cet.IV, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 136.
2
Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 2.
3
Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada Peradilan Agama (Yogyakarta: UII Press, 2009), h. 117.
4
Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan peradilan yang sejenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan tingkatannya. Adapun kekuasaan absolut, yakni pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya. Lihat A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, dan Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh, h. 146.
5
Lihat UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan lihat UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 49.
6
perceraian. Bahkan perkara yang diterima pengadilan agama 80 persen adalah
masalah perceraian.7
Berdasarkan data perceraian pada tahun 2012 terdapat 403.545 kasus menjadi
432.253 kasus perceraian pada 2013 dan terakhir meningkat menjadi 459.758 kasus
perceraian pada tahun 2014 diseluruh Peradilan Agama yang berada di Indonesia.8
Pada tahun 2012 angka perceraian yang masuk ke Pangadilan Agama Jakarta Utara
hanya sampai 1.631 perkara yang masuk. Adapun pada tahun berikutnya yaitu 2013
perkara yang masuk mengalami peningkatan mencapai 1.720 perkara yang masuk di
Pengadilan Agama Jakarta Utara kemudian jumlah perkara pada tahun 2014 yang
masuk sampai sekisar angka 2.073 perkara.9
Mencermati tingginya angka perceraian di atas, telah tergambar perbedaan
disetiap tahunnya, maka hal yang patut untuk diperhatikan ialah masalah kesadaran
masyarakat tentang perceraian mengalami peningkatan khususnya pada masyarakat
Jakarta Utara sehingga peran hakim yang diperlukan. Apakah meningkatnya angka
perceraian di atas disebabkan karena kegagalan hakim mediasi dalam mendamaikan
suami dan istri yang ingin bercerai, atau kah para hakim yang terlalu mudah
mengabulkan gugatan cerai tersebut sehingga aspek-aspek yang memungkinkan
kedua belah pihak untuk dapat memperbaiki perkawinannya menjadi kurang
diperhatikan.
7
Syalaby Ichsan, “354 pasutri bercerai”, artikel diakses pada 27 Januari 2015 dari http://www.republika.co.id/berita/koran/khazanah-koran/14/08/22/naoz8815-354-ribupasutri-bercerai.
8
Diakses pada 1 Maret 2015 dari www.Infoperkara.badilag.net
9
Tidak dapat dipungkiri bahwa perceraian akan mendatangkan dampak negatif
bagi perkembangan anak-anak mereka, bukan saja secara psikis tetapi juga terhadap
kebutuhan material mereka meskipun dalam setiap putusan hakim telah memerlukan
kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab pihak suami pasca perceraian, namun
akibat hukum perceraian terhadap kedudukan dan perlindungan hak-hak anak juga
perlu diperhatikan sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan pasal 41 huruf a ialah baik bapak maupun ibu tetap mempunyai
kewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan
kepentingan anak.10 Bagi anak yang belum mumayyiz pemeliharaan menjadi prioritas
ibunya, sedangkan biaya pemeliharaan tersebut tetap dibebankan kepada ayahnya.
Tanggung jawab ini tidak hilang meskipun mereka telah bercerai sebagaimana
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 34 ayat (1); “suami
mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan memberi segala kepentingan biaya yang
diperlukan dalam kehidupan rumah tangganya.”11
Kekuasaan bagi orang tua terhadap anak perlu ditetapkan agar mereka dapat
menjalankan dan memenuhi kewajibannya terhadap anak-anak, yaitu kewajiban
memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Jadi, pemberian
kekuasaan orang tua ini tidak diberikan untuk kepentingan orang tua semata,
10
Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, cet.II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 371.
melainkan untuk kepentingan anak.12 Terlebih lagi mengenai hak hadhanah,
menunjukkan bahwa anak yang sekaligus kewajiban untuk memelihara serta
mendidik anak-anak pada hakikatnya mengantarkan mereka pada masa depan yang
cemerlang.13 Oleh karenanya, keberanjakan (point of departure) hukum keluarga
Islam dari fikih konvensional kepada peraturan perundang-undangan pun
memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan hukum Islam, terutama dalam
kasus perceraian.14 Akan tetapi adanya kelalaian untuk memberikan nafkah sehingga
pihak yang wajib dinafkahi menjadi terlantar, merupakan permasalahan yang sering
terjadi dikalangan masyarakat Islam. Kenyataan seperti itu sering terjadi terutama
dalam masyarakat yang kurang pengetahuannya tentang bagaimana cara memperoleh
suatu hak.15
Berbagai persoalan yang terjadi di atas, kasus yang sangat menarik untuk
dilihat adalah apa yang terjadi dalam putusan di Pengadilan Agama Jakarta Utara
mengenai nafkah anak yang terdapat dalam putusan Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU.
Landasan hukum majelis dalam memberikan pembebanan nafkah anak kepada
seorang suami tidak sesuai dengan metode ijtihad yang dilakukan. Hakim
sebagaimana hukum acara Peradilan Agama memiliki sifat pasif, dalam perkara ini
tidak memuat dasar-dasar hukum yang berkaitan dengan pembebanan nafkah anak
12
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Kompilasi Bidang Hukum Kekeluargaan (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Depertemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2007), h. 31.
13
Mushlihatul Umami, Ilmu Hukum (Yogyakarta: Genta, 2007), h. 64.
14
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 230.
15
sebagai ijtihad yang dilakukannya. Padahal majelis sebelum membebankan nafkah
anak kepada suami sebesar Rp. 1.500.000,- perbulan, majelis hakim telah menolak
jumlah nafkah anak yang diminta oleh istri sebesar Rp. 2.140.000,- perbulan.
Oleh karenanya penulis merasa pentingnya studi ini diteliti, untuk
menganalisa dasar-dasar hukum yang digunakan hakim dalam memberikan
pembebanan nafkah anak pasca perceraian, pelaksanaan putusan nafkah anak serta
upaya istri dalam mendapatkan hak nafkah anak pasca perceraian demi terciptanya
keadilan, kepastian hukum dan manfaat bagi istri khususnya bagi anak. Hal ini
terangkai dalam judul yang penulis angkat yaitu Nafkah Anak Pasca Perceraian di
Pengadilan Agama Jakarta Utara (Analisis dan Implementasi Putusan Nomor
0386/Pdt.G/2014/PA.JU).
B. Perumusan Masalah
Fokus utama untuk mempermudah penelitian ini, terbagi ke dalam beberapa
bagian, yaitu:
1. Bagaimana perspektif fikih dan hukum positif tentang kewajiban nafkah anak
pasca perceraian?
2. Bagaimana pertimbangan majelis hakim dalam putusan Nomor
0386/Pdt.G/2014/PA.JU mengenai pembebanan nafkah anak kepada ayah pasca
perceraian?
3. Bagaimanakah pelaksanaan putusan pengadilan agama tentang nafkah anak
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Mengetahui pandangan fikih dan hukum positif tentang kewajiban nafkah
anak pasca perceraian.
b. Mengetahui pertimbangan majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta
Utara dalam membebankan nafkah anak kepada orang tua (ayah) pasca
perceraian.
c. Mengetahui pelaksanaan putusan pengadilan agama tentang nafkah anak
pasca perceraian.
2. Manfaat Penelitian
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
a. Dapat memberikan wawasan mengenai kewajiban hukum pihak suami
dan istri pasca perceraian dalam memberikan hak nafkah kepada anak.
b. Dapat menjadi rujukan bagi akademisi tentang bagaimana pelaksanaan
nafkah anak itu dilakukan.
c. Diharapkan sebagai perbaikan dalam sistem pelaksanaan putusan bagi
Peradilan Agama.
d. Diharapkan memupuknya khazanah keilmuan bidang hukum keluarga
D. Review Studi Terdahulu
Studi ini bukan merupakan kajian yang baru di hukum keluarga di Indonesia,
telah banyak peneliti-peneliti yang membahas ini sebelumnya dan mengangkat
sebagai fokus kajian, diantaranya:
Mohamad Khotib, menjelaskan mengenai pelaksanaan eksekusi riil di
pengadilan agama yang sering menghadapi kendala dan hambatan baik teknis
maupun non-teknis karena dalam ketentuan Hukum Acara Perdata (HIR, RBg, dan
RV) tidak menjelaskan secara mendetail sehingga dalam pelaksanaan putusan
pengadilan perlu dibuatkannya peraturan atau ketentuan hak untuk menjual harta
milik pihak yang dibebankan untuk menyerahkan kepada salah satu pihak baik
penggugat atau tergugat.16 Perbedaan studi ini, fokus kepada pelaksanaan putusan
nafkah anak di Pengadilan Agama Jakarta Utara yang terlaksana karena i’tikad baik
suami walaupun tidak sesuai dengan jumlah isi putusan sehingga dibutuhkan
controlling atas jumlah nafkah anak. Kemudian analisis dasar-dasar hukum yang
dilakukan hakim sehingga terdapat kelalaian dalam pemberian pasal yang berkaitan
dengan pembebanan nafkah anak
Aziz Angga Riana, menjelaskan mengenai masalah hadhanah dan mengkritisi
pasal 105 point c dan pasal 156 point d Kompilasi Hukum Islam mengenai kewajiban
pembiayaan pemeliharaan anak pasca perceraian, kemudian menjelaskan bahwa
Kompilasi Hukum Islam (KHI) seyogyanya memberikan pengecualian terhadap ayah
16Mohamad Khotib, “Eksekusi Putusan di Pengadilan Ag
ama Jakarta Selatan dalam Teori
mengenai kewajiban hadhanah anak, agar tidak menghadapi kasus yang bersifat
kasuistik seperti penyelesaian kewajiban hadhanah akibat perceraian karena ayah
tidak memiliki kemampuan dan tidak mau bertanggung jawab mengenai masalah
tersebut sehingga hakim saat berpedoman kepada KHI tidak melewatkan pasal itu
serta agar hakim dapat mengambil pertimbangan hukum dengan mempertimbangkan
anak.17 Perbedaan dalam studi ini yaitu hakim dalam ijtihadnya menggunakan metode
pendekatan interpretasi teologis atau sosiologis dalam memberikan pembebanan
jumlah nafkah anak kepada pemohon (suami). Akan tetapi landasan hukum majelis
dalam memberikan pembebanan nafkah anak kepada seorang suami tidak lah sesuai
dengan metode ijtihad yang dilakukan.
Nova Andriani, menjelaskan apabila terjadi perselisihan dalam rumah tangga
hendaknya diselesaikan dengan jalan damai dan musyawarah terlebih dahulu. Cara
terbaik dalam menyelesaikan sebuah permasalahan adalah dengan kepala dingin dan
tidak bersikap emosional sehingga perselisihan yang terjadi dalam sebuah rumah
tangga tidak langsung diselesaikan dengan jalan pengadilan. Kemudian perlu
diperhatikan anak sebagai dampak yang akan ditimbulkan dari perceraian tersebut.18
Perbedaan dalam studi ini ialah saat memberikan landasan hukum dalam
17Aziz Angga Riana, “Kewajiban Pembiayaan
Hadhanah Anak yang Masih di Bawah Umur Akibat Perceraian (studi kritis terhadap pasal 105 point c dan pasal 156 point d Kompilasi Hukum
Islam),” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010).
18 Nova Andriani, “Penetapan Hak Hadhanah Kepada Bapak Bagi Anak Belum
Mumayyiz
pertimbangan majelis hakim sebaiknya juga memperhatikan akibat hukum pasca
perceraian, khususnya pada anak baik dalam bentuk materil maupun non materil.
Ra Didin Dliyauddin, menjelaskan bagaimana pelaksanaan putusan mengenai
hadhanah di wilayah Pengadilan Agama Cikarang dan menjelaskan upaya
Pengadilan Agama Cikarang untuk terlaksananya pelaksanaan putusan hadhanah
serta memberikan langkah dalam mencegah kemungkinan-kemungkinan hampanya
putusan hadhanah salah satu langkahnya yaitu dengan melakukan mediasi sebagai
penyelesaian alternatif dan lain sebagainya.19 Perbedaan dengan penulis yaitu,
analisis putusan Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU tentang dasar-dasar hukum yang
dilakukan hakim sehingga terdapat kelalaian dalam pemberian pasal yang berkaitan
dengan pembebanan nafkah anak dan pelaksanaan putusan nafkah yang dilakukan
karena i’tikad baik suami, namun kurang adanya controlling atas jumlah nafkah anak
yang tidak sesuai dengan isi putusan pengadilan. Kemudian upaya hukum dalam
menafsirkan ketentuan/aturan mengenai nafkah anak pasca perceraian bagi Non-PNS,
ditinjau berdasarkan PP Nomor 45 tahun 1990 tentang Perubahan atas PP No. 10
tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
E. Metode Penelitian
Penelitian sebagai metode yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala dengan jalan menganalisa dan mengadakan pemeriksaan yang
19
mendalam terhadap fakta-fakta untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
masalah-masalah yang ditimbulkan berdasarkan fakta-fakta.20 Oleh karena itu,
diperlukan beberapa metode, diantaranya:
1. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang dilakukan dalam studi ini ialah melalui pendekatan
empirik. Pendekatan empirik merupakan istilah lain yang digunakan dalam hukum
sosiologis yang berdasarkan pada penelitian lapangan.21 Metode penelitian hukum
empiric sosiologis ini, asumsi dasarnya yaitu yang membangun antara hukum positif
tertulis dengan hukum yang hidup di masyarakat.22
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini termasuk kedalam penelitian secara kualitatif yang
menitikberatkan kepada kualitas sesuai dengan pemahaman deskriptif.23 Penelitian
kualitatif bersifat deskriptif, karena data yang dianalisis tidak untuk menerima atau
untuk menolak hipotesis (jika ada), melainkan hasil analisis itu berupa deskripsi dari
gejala-gejala yang diamati, yang tidak selalu berbentuk angka-angka atau bilangan.24
Adapun selain dari pendekatan melalui kualitatif, penelitian ini tidak pula terlepas
20
Afifi Fauzi Abbas, Metodologi Penelitian (Ciputat: Adelina Bersaudara, 2010), h. 54. Lihat Jujun Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Jakarta: PT: Gramedia, 1985), h. 12.
21
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, cet.IV, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 15-16.
22
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum (Lembaga penelitian, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 48.
23
Penelitian deskripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan aktual terhadap suatu populasi atau daerah tertentu mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu. Lihat Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, cet.III, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 36.
24
juga dari pendekatan secara kuantitatif. Adanya data kuantitatif dalam penulisan ini
adalah sebagai pelengkap.25
3. Sumber Data
Adapun sumber data yang digunakan terdiri dari sumber primer dan
sekunder.26 Diantara data tersebut yaitu:
a. Data Primer
Putusan Peradilan Agama tentang kewajiban nafkah terhadap anak pasca
perceraian dalam Perkara Nomor: 0386/Pdt.G/2014/PA.JU.
Wawancara mendalam (Indept Interview) kepada; Majelis Hakim, yaitu
Dra. Harmala Harahap, S.H., M.H, Dra. Hj. Nurwathon, S.H., M.H dan
Dra. Hj. Rogayah. Kemudian wawancara langsung yang dilakukan dengan
responden berinisial MNCH sebagai istri berkaitan dengan putusan
perceraian yang di dalamnya terkandung nafkah anak untuk mendapatkan
informasi mengenai pelaksanaan putusan Pengadilan Agama Jakarta Utara
serta upaya hukumnya.
b. Data Sekunder:
Sumber data sekunder antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi,
buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, dan sebagainya.27 Adapun
dokumen dalam studi ini terdiri dari:
25
Abdullah Sulaiman, Metode Penulisan Ilmu Hukum (Jakarta: Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (YPPSDM), 2012), h. 26. Lihat I. A. Suparman Statistik Sosial (Jakarta: Rajawali 1988), h. 1.
26
1) Kitab-kitab fikih seperti Al-Fiqhu ‘Ala al-madzaahibi al-Arba’ah, Rawa’i
al-Bayan dan Fiqih Islam Wa Adillatuhu.
2) Jurnal-jurnal yang berkenaan dengan nafkah anak.
3) Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Undang-Undang No. 35 tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang No. 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Impres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dan
Undang-Undang lainnya yang berkaitan dengan studi ini.
4) Internet sebagai data tambahan.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Studi Dokumen (library research) yang dilakukan untuk memperoleh data
sekunder sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan di atas. Adapun
dokumen yang akan diteliti dalam studi ini, yaitu putusan dan berita acara
dalam perkara Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU serta grafik perkara
SIADPA tahun 2012-2014.
b. Studi lapangan (field research) yang dilakukan untuk mendukung studi
dokumen dalam memperoleh data primer.28 Penelitian lapangan baik
kepada hakim, maupun kepada pihak yang berperkara.
27
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), h. 30
28
5. Analisis Data
a. Induktif, analisis data yang berawal pada data yang bersifat khusus ke
umum berdasarkan hubungan dan permasalahan. Kemudian deduktif yaitu
berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum kemudian diaplikasikan
untuk menjelaskan tentang seperangkat data atau menunjukkan komparasi
atau hubungan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain.29
b. Deskriptif, digunakan untuk menjelaskan bunyi suatu
perundang-undangan, pengutipan data dan menganalisis data agar tidak keluar dari
sample.
c. Komparatif, menguraikan beberapa pendapat kemudian
membandingkannya untuk mencapai keabsahan dari sebuah data.
6. Teknik penulisan
Teknik penulisan dalam studi ini, merujuk pada pedoman penulisan skripsi,
tesis, disertasi, disertai dengan buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan
Jaminan Mutu (PPJM) Fakutas Syariah dan Hukum Jakarta 2012 dengan sedikit
pengecualian dalam penulisan yaitu:
a. Terjemahan Alquran dan hadis diketik satu spasi sekalipun kurang dari enam
baris, dengan diberi tanda petik di awal dan di akhir kalimat.
29
b. Kutipan yang berasal dari bahasa asing (kecuali Alquran dan hadis)
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.
c. Istilah-istilah asing dan catatan-catatan yang terdapat di dalam penulisan,
ditulis dengan cetakan miring.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini, penulis membagi sistematika penulisan skripsi kedalam
lima bab, diantaranya sebagai berikut:
Bab pertama, pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah,
pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review
studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi. Bab kedua,
menjelaskan tentang nafkah anak pasca perceraian yang terdiri dari: perceraian dan
nafkah anak dalam fikih, perceraian dan nafkah anak dalam perundang-undangan,
perceraian dan nafkah anak dalam praktek di pengadilan agama, dan sanksi pidana
dalam hukum keluarga. Bab ketiga, menguraikan dan menggambarkan tentang
putusan Pengadilan Agama Jakarta Utara tentang nafkah anak pasca perceraian:
deskripssi perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara, analisis putusan
Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU, dan metode ijtihad hakim. Bab keempat, berisikan
hasil penelitian mengenai pelaksanaan putusan Pengadilan Agama Jakarta Utara
tentang nafkah anak dan upaya hukum ibu dalam mendapatkan nafkah anak. Bab
kelima yaitu penutup yang berisikan: kesimpulan dan saran-saran yang konstruktif
15
A.
Perceraian dan Nafkah Anak dalam Fikih1.
Akibat Hukum Pasca Perceraian a. Pengertian PerceraianPerceraian atau talak berasal dari bahasa arab yaitu kata ُ ُل ْطَي ـ َ َل َط (
thalaqa-yathluqu) yang artinya lepas dari ikatannya, berpisah, bercerai.1 Sedangkan menurut
istilah melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.2 Al-Jaziri
menafsirkan mengenai thalak yaitu kata thalaq secara bahasa:
دي و ، ر ا دي ك ، ًاي سح نا ءاوس ، دي ا ح ةغلا ِِ ُهاَنْعَم
انا دي ك ، ًاونعم وأأ . رسألا
.
3
Artinya: “Makna thalak secara bahasa ialah melepaskan ikatan baik secara hissi (eksplisit) seperti melepaskan ikatan kuda, dan ikatan tawanan; atau secara ma’nawi (implisit) seperti melepaskan ikatan pernikahan”.
Wahbah Az-Zuhaili mengatakan talak menurut istilah adalah terlepasnya
ikatan perkawinan, dan terputusnya hubungan di antara suami-istri akibat salah satu
dari beberapa sebab4 yang mengakibatkan timbulnya perceraian. Keutuhan dan
kelanggengan kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang digariskan Islam.
Akad nikah merupakan suatu perjanjian untuk selamanya agar suami istri bisa hidup
bersama dalam mewujudkan rumah tangga sebagai tempat berlindung, memberikan
1
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, cet.XV, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), h. 861.
2
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (Bandung: PT Al-Ma‟rif, 1980) h. 7.
3Abdurrahman bin Muhammad „awad al
-Jaziry, Al-Fiqhu ‘ala al-Madzaahibi al-Arba’ah, juz 1-5 (Kairo: Dar Ibn al-Haitsami, t.t), h. 964.
4
kasih sayang, dan untuk memelihara serta mendidik anak hingga menjadi anak yang
saleh/salehah. Karena itu, perkawinan dinyatakan sebagai ikatan antara suami istri
dengan ikatan yang paling suci dan paling kokoh. Istilah ikatan suci dan kokohantara
suami istri oleh Alquran disebut dengan mitsaqan galidzan.5
Al-Jaziry mendefinisikan:
كِنلا ةلازا ََطلا
ا
صْوصْخم ظْ لب هِلح ناصْقن ْوا ح
. 6Artinya; “Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu”.
Perceraian dalam hukum Islam adalah suatu perbuatan halal yang mempunyai
prinsip dilarang oleh Allah Swt. Berdasarkan hadis Nabi Muhammad Saw. sebagai
berikut.
ََِإ ِل َََْْا ُضَغْ بَا
هّللا
َلَج َو َزَع
ُق َََطلا
وادوبا هاور(
2178
:
)
. 7
Artinya: “Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak/perceraian. (Riwayat Abu Dawud: 2178)”.
Perceraian merupakan alternatif terakhir (pintu darurat) bagi suami istri bila
ikatan perkawinan (rumah tangga) tidak dapat dipertahankan lagi.8 Beberapa situasi
dalam kehidupan suami istri yang menunjukkan adanya keretakan dalam rumah
tangga yang dapat berujung pada perceraian sebagaimana digambarkan di dalam
Alquran. Keretakan dan kemelut rumah tangga bermula dari tidak berjalannya aturan
yang ditetapkan Allah bagi kehidupan suami dan istri dalam bentuk hak dan
5
Abdul Qadir Djaelani, KeluargaSakinah (PT. Bina Ilmu, 1995), h. 316.
6Abdurrahman bin Muhammad „Awad al
-Jaziry, Al-Fiqhu ‘Ala al-Madzaahibi al-Arba’ah, h. 964.
7
Abi Thoyyib Muhammad Syamsi, ‘Aunul Ma’bud: Syarah Sunan Abi Daud (Libanon: Dar al-Fikr, 2003), h. 180.
8
kewajiban yang mesti dipenuhi kedua belah pihak.9 Oleh karena itu, Islam
menunjukkan agar sebelum terjadinya talak atau perceraian agar dapat ditempuh
usaha-usaha perdamaian antara kedua belah pihak, baik melalui hakam (arbitrator)
dari kedua belah pihak.10
b. Akibat Hukum pasca Perceraian
Putusnya perkawinan menimbulkan dampak hukum bagi kehidupan
keluarga11 dari adanya perceraian adalah masalah pemeliharaan anak. Pemeliharaan
anak menjadi salah satu faktor penting yang harus diperhatikan oleh orang tua yang
telah terpisah, agar nantinya masa depan anak dapat terjamin dengan baik, terutama
yang menyangkut pendidikan akhlaknya dan bukan sekedar kebutuhan lahiriahnya.12
Akibat hukum setelah perceraian diantaranya yaitu:13
a. Memberi Mut’ah
Mut’ah ialah sesuatu (uang, barang, dsb) yang diberikan suami kepada istri
yang diceraikannya sebagai bekal hidup (penghibur hati) kepada bekas istrinya.14
Nafkah dalam perceraian sebagaimana terdapat dalam kitab tafsir ash-Sabuni, bahwa
nafkah diartikan pemberian seorang suami kepada istrinya yang diceraikan, baik
berupa uang, pakaian atau pembekalan apa saja sebagai bantuan dan penghormatan
9
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2007), h. 190.
10
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet.IV, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), h. 269.
11
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 282.
12
Jaih Mubarok, Peradilan Agama di Indonesia (Bandung: Bani Quraisy, 2004), h. 193.
13
M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 th. 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Ind-Hillco, 1990), h. 84-85.
14
kepada istrinya serta menghindari dari kekejaman talak yang dijatuhkannya.15
Pemberian nafkah mut’ah ini sebagaimana yang terdapat di dalam firman Allah Swt.
QS. Al-Baqarah [2]: 241.
ر با(
/
241: 2
)
Artinya: “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa”.
Ayat-ayat ini memerintahkan untuk perempuan-perempuan yang ditalak harus
berikanlah mut’ah itu maka boleh meminta kepada hakim untuk menetapkan
kadarnya mengingat keadaan dan kedudukan suami. Sayyid Sabiq mengatakan
apabila seorang laki-laki menceraikan istrinya sebelum terjadi hubungan badan dan
dia belum menentukan mahar baginya, maka dia harus memberikan mut’ah sebagai
imbalan baginya.16 Pemberian mut’ah ini dengan tujuan untuk menyenangan hati istri
karena telah diceraikan.17 Oleh karena itu pemberian mut’ah oleh suami menjadi hal
yang diwajibkan sebagai pemberian kenang-kenangan untuk seorang istri.
b. Memberi Nafkah
Memberi nafkah, pakaian dan tempat kediaman untuk istri yang ditalak
selama ia masih dalam keadaan iddah. Apabila habis pula masa iddahnya maka
habislah memberi kewajiban memberi nafkahnya, pakaian dan tempat kediaman.
Sesuai dengan firman Allah Swt. dalam QS. Ath-Thalaq [65] : 6 yang menyatakan:
15
M. Ali ash-Sabuni, Rawa’i al-Bayan, Tafsir Ayat al-Ahkam (Makkah: Tnp,t.t.,) h. 610.
16
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah Abdurrahim dan Masrukhin, cet.II, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011), h. 423.
17
قاطا(
/
6 : 65
)
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.
Ayat di atas menerangkan bahwa berikanlah mereka itu (perempuan yang
ditalak) tempat kediaman seperti tempat kediaman kamu dari kekayaanmu. Suami
wajib memberi tempat kediaman untuk istri yang telah di talak, sedangkan memberi
makanan dan pakaian sebagaimana dikiaskan kepadanya.
c. Membayar atau Melunaskan Mas Kawin
Membayar atau melunaskan mas kawin, apabila suami menjatuhkan talaq
kepada istrinya, maka wajiblah membayarkan atau melunaskan mas kawin itu
sekali.18
d. Membayar Nafkah untuk Anak-Anaknya
Membayar nafkah untuk anak-anaknya, yaitu belanja untuk memelihara dan
keperluan pendidikan anak-anaknya itu, sekedar yang patut menurut kedudukan
suami. Kewajiban memberi nafkah anak harus dilakukan secara terus-menerus
18
sampai anak baliq lagi berakal serta mempunyai penghasilan sebagaimana yang
terdapat di dalam QS. Ath-Thalaq [65] : 6 yang menjelaskan bahwa suami wajib
membayar upah kepada mantan istrinya untuk menjaga anak-anaknya baik berupa
memberikan belanja untuk keperluan anak-anaknya dan keperluan lainnya. Dengan
demikian jelaslah bahwa pemberian nafkah untuk istri dan anak menjadi kewajiban
suami yang tetap berlaku meskipun istri telah diceraikan oleh suaminya. Bahkan
bekas istri berhak meminta upah kepada bekas suaminya untuk menyusukan
anaknya.19 Karena pada dasarnya pemberian nafkah anak menjadi kewajiban khusus
bagi seorang suami kepada anaknya demi terciptanya kesejahteraan anak.
2. Nafkah Anak dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak
a. Pengertian Nafkah Anak
Nafkah berasal dari bahasa arab ( ةق ن ـ ْني ـ ن) nafaqa-yanfuqu-nafaqatan
yang artinya biaya, belanja, pengeluaran uang.20 Sedangkan menurut istilah lain
nafkah diartikan sebagai belanja untuk hidup berupa; uang pendapatan.21
Wahbah Az-Zuhaili menafsirkan bahwa nafkah ( ن ) nafaqa berasal dari kata
( ا ا ْن ) infaq yang artinya mengeluarkan dan kata ini tidak digunakan selain untuk
hal-hal kebaikan. Bentuk jamak dari kata nafkah adalah nafaqaat yang secara bahasa
19
Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1974), h. 147.
20
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, h. 1449.
21
artinya sesuatu yang diinfakkan atau dikeluarkan oleh seseorang untuk keperluan
keluarganya.22
Dalam terminologi fikih, fuqaha memberikan definisi nafkah sebagai biaya
yang wajib dikeluarkan seseorang, terhadap sesuatu yang berada dalam
tanggungannya meliputi biaya untuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan,
termasuk juga kebutuhan sekunder seperti perabotan rumah tangga.23 Adapun
pengertian lain dari nafkah ialah yang dikeluarkan kepada wanita, seperti makanan,
pakaian, harta dan lain sebagainya.24 Dengan demikian, pemberian nafkah oleh
seorang suami merupakan tanggung jawab yang terus melekat walaupun telah
bercerai, dan diberikan untuk pertumbuhan anak sampai ia dewasa atau sudah bisa
hidup mandiri.
Nafkah ialah harta yang diwajibkan Allah bagi para suami agar diberikan
kepada para istri mereka yang ditalak sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah [2]: 241.
Artinya: “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa”.
Meskipun telah putusnya hubungan suami dan istri maka tetaplah memiliki
kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami kepada para istri-istrinya sebagai
kewajiban serta memiliki hikmah dibalik semua kejadian. Karena itu, Allah ta‟ala berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2]: 242:
22
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 10. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2011),h. 94.
23Abdurrahman bin Muhammad „
Awad al-Jaziry, Al-Fiqhu ‘Ala al-madzaahibi al-Arba’ah, h. 1113.
24
(
ر با
/
2 : 242
)
Artinya: “Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya”.
b. Kewajiban Orang Tua terhadap Anak
Anak bagi orang tua (ibu dan ayah) merupakan amanat Allah dan menjadi
tanggung jawab untuk mendidiknya, menguatkan iman, akhlak mulia dan amal saleh
kepada seorang anak karena pada dasarnya setiap anak yang dilahirkan adalah
memiliki fitrah (suci), maka ibu bapaknyalah yang akan meyahudikan, menasranikan
dan memajusikan anaknya.25 Mendidik anak adalah tanggung jawab bersama antara
ayah dan ibu, walaupun secara teori, yang paling dekat kepada anak adalah ibunya.
Kewajiban mendidik anak adalah sebagai tanggung jawab ayah dan ibu. Oleh karena
itu, seorang anak berkewajiban berbakti kepada kedua orang tuanya dan senantiasa
mendoakan ibu-ayahnya sebagai manifestasi dari kewajiban berbakti kepada kedua
orang tuanya. Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam QS. Al-Israa‟ [17] : 24.
ءارا(
24:17 /
)
Artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".
Sebagaimana firman Allah Swt di atas, ayah berkewajiban memberi nafkah
kepada anak-anaknya.26 Anak ditinjau di dalam konsep Islam merupakan amanat dari
25
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer (Ghalia Indonesia, 2010), h. 79.
26
Allah Swt. ia harus dipelihara, diberi bekal hidup dan dididik agar kelak menjadi
manusia yang dewasa secara fisik dan mental.27 Hal ini berdasarkan hadis Nabi
Muhammad Saw:
ِّيَط اَِا ُهَ ُ ْرَي ََ ْنَا َو َةَياَمِّراَو َةَح اَب ِّ سا َو َةَباَتِ ْا ُهَمِّلَعُي ْنَا ِ َِاَو َََع ِ َََوْا ُ َح
)ي ـهبا هاو ( اًب
Artinya: “Hak seorang anak kepada orang tuanya adalah mendapatkan pendidikan
menulis, renang, memanah, dan mendapatkan rezeki yang halal. (Riwayat Baihaqi)”.
Kemudian mengenai hukum pemberian nafkah anak ulama fuqaha
mengatakan bahwa:
هب فصوت يا اهمح اما
دي سا وأأ , ألا وأأ , وزا َع ةبجاو ة ن : لو تف , بجاو ا وهف ,
.
28
Artinya: “Adapun hukumnya berkaitan dengan hal itu (nafkah) adalah wajib, maka dapat dikatakan nafkah itu wajib bagi suami, atau bapak, atau majikan”.
Beberapa hal yang menjadi ketentuan di atas maka kewajiban ayah dalam
memberikan nafkah anak memiliki ketentuan yang harus diperhatikan sebagai syarat
dalam pemenuhan kewajiban ayah. Diantara syarat-syarat tersebut yaitu: pertama,
anak yang membutuhkan nafkah dan tidak mampu bekerja; baik anak yang belum
dewasa atau pun telah dewasa akan tetapi tidak mendapatkan pekerjaan; kedua, anak
yang menjadi tulang punggung kehidupannya.29 Dengan demikian, pemeliharaan
anak menjadi tanggung jawab yang sama bagi kedua orang tua, akan tetapi khususnya
pemberian nafkah anak menjadi kewajiban suami demi masa depan anak serta
terpenuhinya hak-hak anak.
27Zuffan Sabrie, “Khazanah: Anak”,
Jurnal Mimbar Hukum; Aktualisasi Hukum Islam IX, no. 38 (Juli-Agustus 1998): h. 79.
28
Abdurrahman bin Muhammad „Awad al-Jaziry, Al-Fiqhu ‘Ala al-madzaahibi al-Arba’ah, h. 1113.
29
B. Perceraian dan Nafkah Anak dalam Perundang-Undangan
1. Akibat Hukum Perceraian
a. Pengertian Perceraian
Perceraian adalah istilah yang digunakan untuk menegaskan terjadinya
peristiwa hukum berupa putusnya perkawinan antara suami dan istri dengan
alasan-alasan hukum, proses hukum dan akibat-akibat hukum tertentu yang harus dinyatakan
secara tegas di depan sidang pengadilan.30 Perceraian merupakan bagian dari hukum
perkawinan, tidak ada perkawinan tentu tidak ada perceraian. Oleh karena itu,
perkawinan ialah awal hidup bersama sebagai suami istri dan perceraian akhir hidup
bersama suami istri, atau dengan kata lain bahwa perceraian itu adalah sebagai way
out pintu darurat bagi suami dan istri demi kebahagiaan yang dapat diharapkan
sesudah terjadinya perceraian.31
Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena berbagai hal, antara lain
karena terjadinya talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya, atau karena
perceraian yang terjadi antara keduanya, atau karena sebab-sebab lain.32 Putusnya
perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak yang
diucapkan suami di depan pengadilan setelah pengadilan mengizinkan suami
mengikrarkannya melalui penetapan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap
30
Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, h. 18.
31
Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), h. 27.
32
(in cracht). Perceraian dapat pula terjadi karena putusan pengadilan yang sudah in
cracht terhadap gugatan perceraian dari pihak istri.
Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hukum atau
tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.33 Di sisi lain, ahli hukum Sarwono di
dalam bukunya Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik menerangkan bahwa
perceraian ialah apabila suatu perkawinan antara suami dan istri sudah tidak ada
kecocokan lagi untuk membentuk rumah tangga atau keluarga yang bahagia baik lahir
maupun batin dapat dijadikan sebagai alasan yang sah untuk mengajukan gugatan
perceraian kepersidangan pengadilan sebagaimana terdapat dalam pasal 19 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.34
Adapun pengertian perceraian dapat dijelaskan dari beberapa perspektif
hukum, yaitu perceraian dalam hukum positif sebagaimana tercangkup sebagai
berikut: pertama perceraian dalam pengertian cerai talak, yaitu perceraian yang
diajukan permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada pengadilan
agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak saat
perceraian itu dinyatakan (diikrarkan) di depan pengadilan agama. Kedua perceraian
dalam pengertian cerai gugat, yaitu perceraian yang diajukan gugatannya oleh dan
atas inisiatif istri kepada pengadilan agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta
segala akibat hukumnya sejak jatuhnya putusan pengadilan agama yang telah
33
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 2003), h. 42.
34
mempunyai kekuatan hukum tetap.35 Ketentuan di atas, menjadi unsur pengajuan
gugatan yang dapat dilakukan dengan mengajukan ke depan pengadilan agama
sebagai dasar tidak dapat lagi hidup bersama dalam satu keluarga.
b. Akibat Hukum Perceraian dalam Perundang-undangan
Akibat dari perceraian ini terbagi atas dua macam: pertama ialah akibat bagi
istri dan harta kekayaan dan; kedua ialah akibat bagi anak-anak yang belum dewasa.36
1. Akibat hukum Perceraian bagi Istri dan Harta Bersama
Akibat hukum perceraian terhadap bekas suami/istri menurut pasal 41 huruf c
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 ialah Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas
suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban
bagi bekas isteri. Ketentuan dalam pasal 41 huruf c UU No. 1 tahun 1974 ini
mempunyai kaitan dengan pasal 11 UU No. 1 tahun 1974 yang memuat ketentuan
normatif bahwa seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu
tunggu, yang kemudian dijelaskan berdasarkan ketentuan imperatif bahwa bagi
seorang janda yang perkawinannya putus karena perceraian, maka waktu tunggu bagi
janda yang masih datang bulan ditetapkan tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya
90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak datang bulan ditetapkan 90 bulan
35
Lihat Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 38 dan pasal 39 yang telah dijabarkan dalam PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
36
(sembilan puluh) hari. Apabila perkawinan putus, janda tersebut dalam keadaan
hamil, maka waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan.37
Adanya iddah bagi suami yang mentalak istrinya memiliki ketentuan
sebagaimana yang terdapat di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 151 yang
menyatakan bahwa bekas istri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya dengan
tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain. Adanya iddah antara
lain dimaksud untuk memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk rukun
kembali.38
UU No. 1 tahun 1974 pasal 37 dan penjelasan pasalnya dikatakan mengenai
akibat hukum perceraian terhadap harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing, yang mencangkup hukum agama, hukum adat atau hukum yang lain. Harta
bersama dalam perkawinan adalah harta suami istri yang diperoleh selama dalam
ikatan perkawianan, baik dengan cara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama
tanpa mempersoalkan atas nama siapa harta itu terdaftar.39
Harta bersama baru dapat dibagi bila putusnya hubungan perkawinan karena
kematian mempunyai ketentuan hukum yang pasti sejak kematian salah satu pihak,
formal mulai saat itu harta bersama sudah boleh dibagi. Apabila keputusan hakim
yang menentukan putusnya hubungan perkawinan belum mempunyai kekuatan
hukum pasti, maka harta bersama antara suami belum dapat dibagi. Akan tetapi
37
Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, h. 400. Lihat UU No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 39.
38
Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007), h. 32.
39
dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 156 ditentukan bahwa akibat hukumnya
perkawinan karena perceraian terhadap harta bersama dibagi menurut ketentuan
sebagaimana tersebut dalam pasal 97 yang memuat ketentuan bahwa janda atau duda
cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.40 Dengan demikian maka, akibat hukum
pasca perceraian memiliki ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam peraturan
perundang-undangan. Istri memiliki masa iddah untuk diberikan nafkah sebagai
tanggung jawab seorang suami yang telah bercerai. Kemudian harta yang dimiliki
oleh suami selagi tidak memiliki perjanjian perkawinan maka harta yang dimilikinya
dapat dibagi rata kepada istri.
2. Akibat Hukum terhadap Anak
Akibat hukum yang muncul ketika putus ikatan antara seorang suami dengan
seorang istri dapat dilihat beberapa garis hukum, baik yang tercantum dalam
Undang-Undang perkawinan maupun yang tertulis dalam KHI.41 Akibat hukum perceraian
terhadap kedudukan dan perlindungan hak-hak anak menurut pasal 41 huruf a UU
No. 1 tahun 1974 ialah baik bapak maupun ibu tetap mempunyai kewajiban
memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak,
maka pengadilan yang memberikan keputusannya.
Akibat hukum perceraian terhadap anak ini tentu saja hanya berlaku terhadap
suami dan istri yang mempunyai anak dalam perkawinan, tetapi tidak berlaku
40
Muhammad Syaifuddin, dkk, HukumPerceraian, h. 428-429.
41
terhadap suami dan istri yang tidak mempunyai anak dalam perkawinan mereka.42
Anak merupakan titipan yang diberikan oleh Allah Swt kepada setiap pasangan suami
istri yang dikehendaki-Nya. Oleh karena itu seharusnya orang tua yang diberikan
anak haruslah memberikan kesejahteraan bagi anak serta sebagai orang tua
melaksanakan kewajibannya.
Kewajiban dan tanggung jawab orang tua, sesuai ketentuan Undang-Undang
Perlindungan Anak pasal 26, adalah untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan
melindunginya. Pemeliharaan anak memiliki tujuan untuk menumbuh kembangkan
sesuai kemampuan, bakat, dan minatnya dan mencegah terjadinya perkawinan usia
dini. Apabila orang tua tidak ada atau karena sebab tidak dapat melaksanakan
kewajiban dan tanggung jawabnya maka kewajiban dapat dialihkan kepada
keluarga.43
Kompilasi Hukum Islam (KHI) khususnya pasal 105 yang menyebutkan
bahwa dalam hal terjadinya perceraian, maka pemeliharaan anak yang belum
mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibu. Adapun pemeliharaan anak
yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih antara ayah atau ibunya
sebagai pemegang hak pemeliharaannya.44 Kemudian mengenai pembiayaan
pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam
pasal 149 KHI Jo. pasal 156, menyatakan bahwa apabila perkawinan putus karena
42
Muhammad Syaifuddin, dkk, HukumPerceraian, h. 371.
43
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 209.
44
perceraian maka biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi kewajiban ayah
sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dapat berdiri sendiri (umur 21 tahun). Hadhanah
yang dimaksud sebagaimana dalam pasal 1 huruf g Kompilasi Hukum Islam adalah
pemeliharaan anak, yaitu kegiatan mengasuh, memelihara, dan mendidik anak hingga
dewasa atau mampu berdiri sendiri.45
Akan tetapi, apabila terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
maka pengadilan agama memberikan keputusan berdasarkan aturan-aturan di atas,
bahkan pengadilan dapat pula menetapkan nominal biaya pemeliharaan dan
pendidikan anak dengan mengingat kemampuan ayah meskipun anak-anak itu tidak
turut tinggal bersamanya.46
Adapun akibat lain yang akan timbul bagi seorang anak dari perceraian kedua
orang tuanya yaitu kekuasaan orang tua (ouderlijke macht) karena hal ini akan
45
Muhammad Syaifuddin, dkk, HukumPerceraian, h. 381.
46
Kompilasi Hukum Islam pasal 156 huruf a, b, c, d, e, f.
a.Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh;
1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; 2. Ayah;
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
b.Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya;
c.Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi maka atas permintaann kerabat yang bersangkutan pengadilan agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;
d.Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya,sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);
e.Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, pengadilan agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a),(b), dan (d);
berakhir dan berubah menjadi perwalian (voogdij). Karena itu, perwalian yang
dilakukan terhadap anak-anak yang masih di bawah umur maka dilakukan dengan
wali hakim. Penetapan wali oleh hakim dapat dilakukan setelah mendengar keluarga
dari pihak ayah maupun dari pihak ibu yang rapat hubungannya dengan anak-anak
tersebut. Hakim bebas menetapkan ayah atau ibu menjadi wali dari anak-anaknya dan
penetapan wali ini juga dapat ditinjau kembali oleh hakim atas permintaan ayah dan
ibu berdasarkan keadaan.47
Namun bila orang tua justru melalaikan kewajibannya, dapat dilakukan
tindakan pengawasan bahkan kuasa orang tua dapat dicabut melalui penetapan
pengadilan.48 Permohonan penetapan pengadilan ini dapat dimintakan oleh salah satu
orang tua, saudara kandung atau keluarga sampai derajat ketiga. Pencabutan kuasa
orang tua dapat juga diajukan oleh pejabat atau lembaga yang berwewenang,
selanjutnya pengadilan dapat menunjuk orang, yang harus seagama, atau lembaga
pemerintah/masyarakat sebagai walinya. Penetapan itu juga harus memuat pernyataan
bahwa perwalian tidak memutus hubungan darah antara anak dengan orang tua
kandungnya atau menghilangkan kewajiban orang tua untuk membiayai anaknya dan
adanya penyebutan batas waktu pencabutan.49 Dengan demikian, kewajiban orang tua
kepada anak merupakan tanggung jawab yang terus melekat walaupun pasangan
47
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, h. 44.
48
UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 30 yang telah di amandemen menjadi UU No. 35 tahun 2014.
49
suami istri telah bercerai. Hal ini menjadi akibat hukum demi terwujudnya
kesejehteraan anak.
2. Nafkah Anak dan Kewajiban Orang Tua Kepada Anak Pasca
Perceraian
a. Pengertian Nafkah Anak
Nafkah ialah yang dikeluarkan kepada wanita, seperti makanan, pakaian, harta
dan lain sebagainya.50 Sedangkan menurut istilah, nafkah berarti: sesuatu kewajiban
sang suami memberikan suatu penghasilan pekerjaan (nafkah) kepada dirinya,
istrinya, dan anak-anaknya.51 Anak diartikan sebagai keturunan, anak juga
mengandung pengertian sebagai manusia yang masih kecil. Selain itu, anak pada
hakekatnya seorang yang berada pada satu masa perkembangan tertentu dan
mempunyai potensi untuk menjadi dewasa.52
Pada pasal 1 ayat (1) UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang
dikatakan sebagai anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.53 Dilihat dari pengertian anak
menurut UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dapat dilihat bahwa seorang anak
memerlukan perlindungan dan pengawasan, agar dapat tumbuh dan berkembang
50
Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhu Al-Mar’ah al-Muslimah, h. 115.
51
Ash-Shabuni, (Hadiyatul Afraa Lil’aruusain) Hadiah untuk Pengantin (Jakarta: Mustaqim), h. 229.
52
Anto M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 30.
53
secara optimal untuk masa yang akan datang. Anak dalam UU No. 3 tahun 1997
tercantum dalam pasal 1 ayat (1) yang berbunyi:54 “Anak adalah orang yang dalam
perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18
tahun dan belum pernah menikah”.
Hal ini terdapat persyaratan yang dikatakan sebagai anak yaitu: pertama anak
dibatasi dengan usia 8 tahun sampai 18 tahun. Kedua anak tersebut belum pernah
melangsungkan pernikahan artinya dalam hal ini anak tersebut belum pernah terikat
dalam suatu perkawinan dan bercerai. Apabila anak tersebut sedang dalam ikatan
perkawinan atau perkawinan tersebut putus karena perceraian, maka anak tersebut
dikatakan sudah dewasa walaupun anak tersebut belum berusia 18 tahun. Adapun
pengertian anak menurut Undang-Undang No 1 tahun 1974 tidak mengatur secara
langsung pengertian tentang kapan seseorang dikatakan sebagai anak, akan tetapi hal
tersebut dapat dilihat dalam pasal 6 ayat (2) yang memuat tentang syarat perkawinan
bagi orang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang
tuanya. Hal ini diatur dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang ini memuat batas
minumim usia untuk dapat menikah, bagi pria berumur 19 (sembilan belas) tahun dan
untuk wanita berumur 16 (enam belas) tahun.
Sejalan dengan hal di atas maka yang dimaksud nafkah anak ialah pemberian
dari seorang suami sebagai bentuk kewajiban kepada seorang anak, berupa materi
maupun non materi. Hal ini sebagaimana terdapat dalam ketentuan pasal 149 Jo.
pasal 156 KHI, menyatakan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian maka
54
biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi kewajiban ayah sekurang-kurangnya
sampai anak tersebut dapat berdiri sendiri (umur 21 tahun).
b. Kewajiban Orang Tua kepada Anak Pasca Perceraian
Nafkah merupakan kewajiban suami terhadap istrinya dalam bentuk materi,
karena kata nafaqah itu sendiri berkonotasi materi. Sedangkan kewajiban dalam
bentuk non materi, seperti memuaskan hajat seksual istri tidak termasuk dalam artian
nafaqah, meskipun dilakukan suami terhadap istri.55
Masalah hak dan kewajiban suami istri dalam Undang-Undang Perkawinan
diatur dalam Bab VI pasal 30 sampai dengan pasal 34, sementara dalam Kompilasi
Hukum