• Tidak ada hasil yang ditemukan

Narasumber : Dra. Harmala Harahap, S.H., M.H Jabatan : Hakim

1. Karena adanya hak kepada tergugat untuk melakukan rekonpensi (gugat balik) maka bisa diajukan bersama-sama dengan jawaban termasuk akibat thalak, yang berupa nafkah iddah, mut’ah dan hak asuh anak dengan nafkah anak. Karena dari segi yuridisnya bahwa ia mau mengajukan rekonpensi sebagaimana yang terdapat dalam pasal 132 huruf a dan b HIR maka secara formil dapat diterima gugat baliknya. Perihal substansi sebagaimana isi gugatan maka hakim dapat melihat dari perkembangan jalannya persidangan baik jawab menjawab antara Penggugat rekonpensi dengan Tergugat rekonpensi. Apabila gugatan yang diajukan berhubungan erat dengan gugatan pokok, maka hakim boleh mempertimbangkan hal itu bisa dikabulkan mengenai isi itemnya, materinya dan selanjutnya apabila isi gugatan berbentuk nominal, maka majelis hakim akan mempertimbangkannya dengan kondisi kemampuan yang diminta. Hal ini tergantung kesanggupan suami, dan kepatutan suami.

2. Karena berdasarkan hal-hal yang dituangkan dalam isi gugatan maka hakim mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lain suami, baik untuk biaya kontrakan rumah, angsuran motor, kebutuhan sandang pangan, sehingga dikabulkannya sebesar Rp 1.500.000,- yang pada awalnya pihak istri meminta

sebesar Rp. 2.140.000,- sehingga tidak dikabulkan. Suami menyanggupi pemberian nafkah anak sebesar Rp. 1.000.000,- sebab melihat dari pekerjaannya sebagai karyawan pabrik dengan jabatan operator maka digunakan untuk kontrakan, kebutuhan sandang pangan, dan uang nafkah. Perihal yang diminta dalam gugatan pihak istri berdasarkan perincian dengan meminta uang les, uang transport, karena mereka tidak ada kesepakatan, sementara Penggugat rekonpensi menjelaskan perincian tersebut dalam isi jawaban dan rekonpensinya, sehingga dalam Hukum Acara Perdata mengatakan siapa yang mendalilkan maka dia yang membuktikan. Istri dapat minta kepada suaminya berapapun yang ia minta, apabila suaminya juga mempunyai penghasilan besar dan dia bisa buktikan maka majelis bisa mempertimbangkannya sebagaimana alat bukti penghasilan orang tua yang dapat dibuktikan. Pengajuan barang bukti tidak saja berupa surat, dengan mengambil slip gaji suami, akan tapi apabila istri tidak bisa mendapatkan surat gaji suami maka ia juga bisa melalui saksi, misalnya dengan membawa teman kerja suaminya. Apabila memang suami mempunyai gaji 10 juta, maka istri dapat membawa 2 orang saksi yang mengetahui bahwa gaji suami sebesar 10 juta. Jadi karena dia menuntut tapi tidak dapat membuktikan maka majelis tidak hanya mempertimbangkan kelayakan.

Pada prinsipnya berdalillah apa yang mau didalilkan, apapun yang mau dan ingin diminta, maka sampaikan lah dan kabul atau tidaknya nanti dilihat pada pembuktian.

3. Untuk pasal 80 KHI jo. pasal 149, ini ialah landasan yang digunakan untuk

pemberian nafkah iddah, mut’ah hanya saja karena dalam perkara ini suami

yang mangajukan permohonan cerai maka majelis secara ex officio, boleh menghukum suami selagi istrinya tidak nusyuz untuk memberikan nafkah, sebagaimana pada pasal 41 huruf c, yang dikaitkan dengan ada pembebanan pada pasal 149 huruf d, huruf a dan b di kompilasi hukum Islam tentang

mu’ahnya, Dan untuk pembebanan nafkah anak dalam perkara ini, mestinya landasan yuridis pada pasal 105 huruf c dan 156 huruf d itu ada dan sebaiknya memang ada. Akantetapi disini hakim bukan tidak mencantumkannya akan tetapi lebih baiknya mencantumkan.

4. Pada awalnya kitab yang menjadi rujukan dilihat langsung berdasarkan perkara yang diselesaikan. Akan tetapi karena setiap perkara berbeda-beda maka setiap kaidah fikih yang dirujuk seperti kitab al-Asybah Wa Annazair, al-iqna’ Juz II maka pada pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan perkara yang majelis hakim selesaikan dilakukan dengan mengutipnya dan kemudian memang sudah terdapat kumpulan dalil-dalil fikih yang menjadi rujukan majelis hakim.

5. Ia. Para suami banyak yang memiliki i’tikad baik dalam menjalankan isi putusan dalam memberikan nafkah anak. Ada yang belum ikrar saja suami sudah melaksanakan isi putusan tersebut dalam memberikan nafkah anak dan bahkan ketika suami ikrar cukup membawa kwitansi pembayaran nafkah dan

ketika istri tidak datang maka sudah bisa diterapkan. Hal ini berdasarkan pada adanya bukti pembayaran, dan kesepakatan antara suami dan istri.

Akan tetapi untuk perkara Nomor 0386/Pdt.G/2014 ini, karena tidak ada kesepakatan maka majelis yang menentukan berapa nominal pembebanan. 6. Bisa dikatakan PMH karena dapat di eksekusi dalam perkara ini. Terhitung

sejak kapan putusan itu di jatuhkan, bukan in crakh. Karena suami misalnya setahun dia tidak melaksanakan dan terbukti bahwa ada harta yang berada ditangan suaminya maka hal ini bisa dilakukan eksekusi berdasarkan prosedur yang berlaku dengan melakukan pengajuan eksekusi ke pengadilan.

7. Ada sanksi karena ini bisa dikaitkan dengan KDRT, karena tidak mempedulikan anak, keluarga, akan tetapi karena ini bukanlah masuk kedalam kompetensi Peradilan Agama sehingga ini dapat diajukan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

8. Bagi pegawai swasta, mengenai pengaturan nafkah anak bagi para pegawai Non-PNS tidak terikat dalam pemberian nafkah anak. Akan tetapi pengajuan nafkah anak ke instansi dimana suami bekerja, hal ini bisa saja dilakukan untuk menjadi pertimbangan perusahaannya namun tidak mutlak harus berdasarkan kepada ketentuan sebagaimana yang diatur dalam PNS.

Misalnya gaji suami sebesar 2 juta sebagai pegawai tetap di instansi swasta, tapi suami juga bisnis sendiri dengan memperoleh gaji 20 juta maka ini kan bisa rugi, jadi di bawah 1/3 nafkah anak yang diberikan oleh suami. Oleh

karena itu, untuk pembebanan biaya hakim juga melihat, kondisi, situasi dan perkembangan zaman. Dan yang paling prinsip ialah kemampuan.

Majelis membuat pembebanan nafkah anak besar akan tetapi suami tidak sanggup, apa yang mau dia beri? Kemudian apabila istri merasa pembebanan nafkah sebesar Rp. 500.000,- tidak cukup untuk satu dua orang anak, sementara dia hanya mempunyai penghasilan gaji 1 juta setiap bulan, apakah mungkin? Oleh karena itu, perpaduan dari kemampuan kemudian kepatutan dan kelayakan. Untuk menuju prinsip keadilan bagi para pihak.

Untuk menuju prinsip keadilan bagi para pihak. Jangan kita merasa adil, anak harus diberi kan biaya yang banyak agar dia bisa sekolah di tempat yang bagus, bergengsi, disatu sisi kan seperti itu, akan tetapi apakah bapaknya mampu? Berarti adil untuk anak tetapi tidak adil untuk yang mempunyai kewajiban. Dengan demikian harus kita pertimbangkan, pihak yang yang memberikan nafkah merasa tidak keberatan dan begitupun pihak yang menerimanya. Sesuai dengan pembenan yang diberikan majelis hakim, anaknya masih bisa sekolah.

9. Di Pengadilan Agama, belum pernah terlaksana. Biasanya terjadi di pengadilan umum. Seperti kelalaian, misalnya ia punya bisnis yang tidak jalan dengan orang lain dan ia mempunyai hak tapi ia tidak beri sehingga ia sendiri yang menikmatinya. Ketika 1 hari ia tidak berikan kepada pihak ke dua, maka dihitung misalnya 500 rb perhari, dan dapat dilakukan eksekusi.

Kalau memang pengadilan tidak mempunyai hak untuk memberikan

dwongsom maka pengadilan hanya bisa menetapkan, dan hakimlah yang bisa mengabulkan dwongsom. Akan tetapi karena disini perdata agamanya yang banyak, maka jarang yang sampai kesitu. Perihal permasalahan ini selama ibu menjadi hakim, ibu belum pernah menerapkan dwongsom ini.

LEMBAR JAWABAN WAWANCARA Narasumber : Dra. Hj. Nurwathon, S.H., M.H

Jabatan : Hakim

1. Kami mempertimbangan dengan memperhatikan kepentingan anak yang berupa: umur anak, pendidikan, kesejahteraan anak yang masuk kedalam Undang-Undang perlindungan anak sebagaimana UU No. 23 tahun 2002 untuk kepentingan anak dan dalam hal ini bukan untuk kepentingan orang tua, dan intinya demi kepentingan anak dan demi kesejahteraan anak. Oleh karena itu, anak itu kita posisikan baik itu ke ibunya ataukah ke ayahnya semua itu tidak mesti harus seperti kompilasi hukum islam diberikan ke ibunya, tidak seperti itu dan juga selagi ibu tidak cacat moril maka ke ibu, tapi kalau cacat maka ke ayah.

2. Sejauh ini kita tidak mengetahui, ada atau tidak bentuk aduan tersebut karena yang jelas perintah untuk membebankan nafkah anak kepada suami kita sudah memberikan pengertian kepada mereka agar dilaksanakan seperti itu. Kalau

pengasuhan ke ibu, berarti ayah bertanggung jawab untuk memberikan nafkah hadhanah kepada ibunya, sesuai dengan kemampuannya.

3. Apabila ia tidak mampu pada saat kita menetapkan untuk memberikan nafkah anak, bararti ia tidak termasuk kedalam perbuatan melawan hukum. Karena ada pengecualian dalam hal ini, apabila suami tidak mampu untuk memberikan nafkah anak sehingga ibu turut bertanggung jawab dalam hal nafkah anak. Kemudian biasanya saat pihak ibu mengajukan eksekusi nafkak anak ke pengadilan ia merasa gengsi karena saat mengajukan perceraian di pengadilan saja ia sudah merasa gengsinya besar.

4. Tidak bisa dilakukan karena dasar peraturan yang dibentuk tersebut hanya berlaku bagi pegawai PNS.

5. Bisa dilakukan.

6. Sampai saat ini pengajuan dwangsam secara khusus melalui pengajuan eksekusi nafkah anak belum ada, karena kembali kepada konteks tadi bahwa pihak istri dalam hal ini merasa gengsi untuk mengajukan kelalaian mantan suaminya.

LEMBAR JAWABAN WAWANCARA Narasumber : Dra. Hj. Rogayah

Jabatan : Hakim

1. Saat jalannya persidangan dengan melihat kondisi dari anak itu sendiri. Karena pada dasarnya kedekatan kondisi anak itu sangat berpengaruh kepada

psikologis anak, anak itu lebih sayang kepada ayah atau ibu sehingga dengan kedekatannya itu kita tidak bisa melarang anak itu ingin bersama siapa nantinya. Kemudian dengan memperhatikan kesejahteraan anak itu juga sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

2. Berdasarkan perintah yang diberikan dalam putusan sebagaimana pertimbangan majelis hakim, itu dilaksanakan, kalau ke ibu, ayah bertanggung jawab untuk memberikan nafkah hadhanah kepada ibunya, sesuai dengan kemampuannya.

3. Apabila suami mampu untuk memberikan nafkah hadhanah akan tetapi ia tidak mau memberikannya maka jelaslah ini merupakan perbuatan melawan hukum. Karena pada dasarnya ini merupakan kewajiban, dimana kewajiban mantan suami ikut bertanggung jawab terhadap anaknya. Akan tetapi sampai saat ini, perbuatan melawannya seorang bapak yang ini tidak ada sanksi pidananya sebagaimana di Undang-Undang perlindungan anak belum ada sanksinya sehingga apabila tidak ada pengaduan dari salah satu pihak untuk meminta ke pengadilan maka pihak istri harus menerimanya.

4. Permintaan dwangsom itu dapat dilakukan atas dasar permintaan pihak sehingga pada dasarnya dwangsom itu uang paksa, jadi apabila salah satu pihak dapat merugikan maka orang yang tidak melaksanakan kewajibannya perlu di paksa untuk membayar.

5. Prosedur dwangsam yang dapat dilakukan yaitu dicantumkannya kedalam isi gugatan awal atau gugatan pokok dan dwangsam ini bersifat komulatif. Kecuali memang tidak komulatif, dengan menggugat nafkah anak aja. secara otomatis boleh minta dwangsom karena itu merupakan salah satu upaya paksa. Tapi upaya paksa juga harus rinci mengajukannya. Mengenai nafkah, hartanya apa saja yang ingin dilakukan dwangsom.

Secara teori pada dasarnya dapat dilakukan, namun praktek yang terjadi sampai saat ini di Pengadilan Agama Jakarta Utara yang melakukan dwangsom itu belum ada yang mengajukannya kemudian sampai mengeksekusi nafkah anak. Ya apabila diajukan, mungkin dapat dilaksanakan.

LEMBAR JAWABAN WAWANCARA