• Tidak ada hasil yang ditemukan

TENTANG NAFKAH ANAK

B. Upaya Hukum Pihak Ibu dalam Mendapatkan Hak Nafkah Anak

Apabila perkawinan sudah berakhir dengan suatu perceraian maka yang menanggung akibatnya adalah seluruh keluarga10 sehingga kelahiran anak sebagai peristiwa hukum yang terjadi karena hubungan hukum akan membawa konsekuensi hukum, berupa hak dan kewajiban secara timbal balik antara orang tua dengan anaknya.11 Dengan demikian bagi orang tua sangat berkaitan dengan pemenuhan hak-hak anak, diantaranya mengenai pemeliharaan anak, mendidik, memberikan perhatian kepada anak serta pemberian nafkah baik pakaian, pendidikan yang tujuannya untuk kesejahteraan anak.

Perihal pemenuhan hak bagi anak yang belum dewasa, berada dalam pengasuhan orang tua12 sehingga diantara suami dan istri haruslah menerima salah satu pihak mengasuh serta merawat anaknya. Orang tua memiliki kewajiban yang sangat berkaitan dengan pemenuhan hak-hak anak, baik mengenai pemeliharaan anak, mendidik, memberikan perhatian kepada anak serta pemberian nafkah baik pakaian, pendidikan yang tujuannya untuk kesejahteraan anak.

Kendatipun demikian, perkara Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU di atas sebagaimana majelis hakim memberikan pemeliharaan anak kepada istri sebagai

10

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam, h. 1-2.

11

L.J. Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980), h. 53.

12

Kompilasi Bidang Hukum Keluarga (Badan Pembinanaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, 2009), h. 29.

kedekatan secara psikologis antara anak dengan ibu sehingga pemeliharaan anak oleh ibu tidak semata-mata menutup kemungkinan kepada mantan suami tidak dapat mengunjungi anaknya. Bagi ayah yang tidak memperoleh “care and control” (actual custody), diberikan hak untuk mengunjungi anak (access).13

Pemberian nafkah anak sebagaimana yang terdapat di dalam amar putusan merupakan perwujudan hak anak atas kewajiban seorang ayah. Amar putusan dalam perkara Nomor 0836/Pdt.G/2014/PA.JU ini, karena isi dari amar putusan tersebut menghukum maka menjadi kewajiban yang secara khusus sebagai pemenuhan prestasi yang diberikan kepada pihak istri untuk diberikan kepada anak. Hal ini sejalan dengan prinsip dasar yang menjadi asas hukum perdata, bahwa setiap orang yang merasa mempunyai hak dan ingin menuntutnya atau ingin mempertahankan atau membelanya, berwewenang untuk bertindak selaku pihak, baik selaku penggugat maupun tergugat (legitima persona standi in judicio).14 Pemenuhan nafkah kepada anak sejatinya hanya untuk kesejahteraan anak, sehingga atas bentuk antisipasi dari pihak suami yang tidak melaksanakan ketentuan putusan pengadilan maka istri dapat meminta kepada majelis hakim saat jalannya persidangan melalui gugatan komulatif. Gugatan komulatif ialah beberapa gugatan menjadi satu kesatuan sebagai permintaan kepada Majelis Hakim. Permintaan gugatan komulatif mengenai nafkah anak dalam perkara perceraian yang tercantum di dalam putusan pengadilan, istri menuntut hak dari suaminya sehingga pemenuhan hak yang diajukan tersebut dapat diberikan atas

13

Kompilasi Bidang Hukum Keluarga, h. 54.

14

dasar pertimbangan hakim. Majelis hakim yang memeriksa dan mengadili setiap perkara yang masuk kepadanya tidaklah terlepas dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di pengadilan agama sehingga mengenai pengajuan gugatan dapat dimintakan kepada majelis hakim.

Adanya hak kepada tergugat untuk melakukan rekonpensi (gugat balik) maka bisa diajukan bersama-sama dengan jawaban termasuk akibat thalak, yang berupa nafkah iddah, mut’ah dan hak asuh anak dengan nafkah anak sebagaimana yang terdapat dalam pasal 132 huruf a dan b HIR maka secara formil dapat diterima gugat baliknya.15 Dengan demikian, pengajuan gugatan komulatif dalam gugatan balik (rekonvensi) oleh pihak istri merupakan bentuk upaya dari istri agar hak-hak atas anak dipenuhi oleh suami. Pembebanan nafkah anak yang terdapat dalam isi gugatan tertuang dalam gugatan balik (rekonvensi) kepada pihak istri telah mengajukan permintaan nafkah anak sesuai dengan kemampuan gaji mantan suami dan dalam hal ini permintaan nafkah anak sebagaimana telah tertuang perinciannya dalam gugatan balik (rekonvensi) dengan total Rp. 2.140.000, Penggugat merasa bahwa apa yang ia minta tidak sampai mencapai 50% sehingga sisa yang belum diminta masih banyak sebagaimana penghasilan yang dimiliki oleh suami. Oleh karena itu, adanya struk gaji suaminya yang dilampirkan sebagaimana permintaan dari majelis hakim, dapatlah dijadikan sebagai pembuktian namun dengan pertimbangan lain-lain oleh majelis hakim.16

15

Harmala Harahap, Wawancara pribadi. Jakarta, 7 Mei 2015.

16

Kemudian setelah putusan diberikan oleh majelis hakim sebagaimana amar putusan yang sifatnya kondemnatoir maka pemenuhan melaksanakan isi putusan sebagai kepastian hukum sangatlah ditunggu oleh pihak yang merasa dirugikan. Pemberian nafkah anak pasca putusan perceraian, bahwa pegawai pengadilan agama yang telah memberikan informasi kepada pihak istri bahwa apabila dalam pelaksaaan tidak dilaksanakan maka dapat melakukan pengaduan ke instansi dimana suami bekerja sebagai pemenuhan hak nafkah yang diberikan untuk anak.17 Dengan demikian atas dasar itulah pihak istri karena mengetahui terdapat kelalaian beberapa bulan dikarenakan suami tidak menjalankan kewajibannya maka istri hanya cukup mengadukan hal ini kepada instansi dimana suami bekerja.

Penulis memberikan penafsiran bahwa adanya upaya hukum untuk mendapatkan nafkah anak melalui instansi di tempat suami bekerja merupakan bentuk payung hukum bagi para pencari keadilan sebagaimana PP No. 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil pasal 8 bahwa apabila perceraian terjadi atas kehendak pegawai negeri sipil pria maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-anaknya. Akan tetapi di sini perlu kita kaji bahwa peraturan pemerintah yang secara legalitas merupakan bentuk peraturan bagi pegawai negeri sipil (PNS) sehingga pengajuan yang sebagaimana diajukan oleh istri ke tempat instansi suaminya yang bekerja tidaklah tepat karena belum terdapat ketentuan bagi pegawai non-PNS (swasta) untuk mendapatkan hak nafkah kepada instansi swasta.

17

Ketentuan bagi pegawai swasta, mengenai pengaturan nafkah anak bagi para pegawai Non-PNS tidak terikat dalam pemberian nafkah anak. Akan tetapi pengajuan nafkah anak ke instansi dimana suami bekerja, hal ini bisa saja dilakukan untuk menjadi pertimbangan perusahaannya namun tidak mutlak harus berdasarkan kepada ketentuan sebagaimana yang diatur dalam PNS.18 Inilah kemudian penulis merasa seharusnya prinsip keterbukaan informasi (disclose information) sangat penting, baik yang dicantumkan di dalam bentuk putusan mengenai ketentuan dalam clausul

putusan yang amarnya bentuk antisipasi ketika kelalaian dari pihak suami tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagai bentuk payung hukum terlebih lagi tidak ada ketentuan khusus di dalam peraturan perundang-undangan maupun Kompilasi Hukum Islam yang secara jelas mengatur mengenai pemberian sanksi atau payung hukum pada saat suami tidak melaksanakan putusan pengadilan agama.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dengan upaya-upaya hukum sejak persidangan berjalan sampai melaporkan kelalaian suami ke instansi agar diberikan hak-hak anak sehingga barulah suami melaksanakan putusan yang dalam hal ini dapat dikatan masih memiliki i’tikad baik yang dilakukan oleh suami.

18

68

A.Kesimpulan

Uraian dan analisis di atas pada bab-bab terdahulu, maka penulis dapat memberikan kesimpulan bahwa:

1. Para fuqaha menjelaskan bahwa pemberian nafkah anak menjadi biaya yang wajib dikeluarkan oleh seorang suami sebagai tanggung jawab yang melekat untuk pertumbuhan anak, sampai anak itu dewasa atau berdiri sendiri walaupun suami dan istri telah bercerai. Adapun kewajiban nafkah anak yang terdapat dalam hukum positif yaitu kewajiban bagi seorang ayah karena pada dasarnya ayah lah pemimpin dalam suatu keluarga. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan pasal 105 huruf c, pasal 149 huruf d, pasal 156 KHI huruf d yang menjelaskan bahwa dalam hal terjadinya perceraian, maka pemberian nafkah anak merupakan tanggung jawab ayah sampai anak telah dewasa atau belum berumur 21.

2. Majelis hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus Perkara Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU secara tidak langsung memberikan pembebanan nafkah anak sebesar Rp. 1.500.000,- kepada seorang suami dengan menggunakan metode interpretasi teologi atau sosiologis, dengan melihat kemampuan dan kepatutan seorang suami. Perihal alasan yuridis yang dibangun, majelis hakim lebih mengarah kepada pemberian nafkah iddah, maskan, dan kiswah sebagaimana pasal 80 ayat 4 huruf a Jo. pasal 149 huruf a

dan b diperuntukkan kepada seorang istri (Termohon) sehingga terdapat kealpaan (kelalaian) oleh majelis hakim dengan tidak ada pasal-pasal yang dirujuk mengenai nafkah anak sebagaimana apa yang diminta oleh istri dalam rekonpensinya.

3. Nafkah anak dalam pelaksanaannya sebagaimana yang terdapat di dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Utara atas perkara Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU, terlaksana sebagaimana mestinya walaupun pelaksaan tersebut tidaklah sesuai dengan apa yang terdapat di dalam putusan pengadilan agama yang membebankan suami untuk memberikan nafkah anak sebesar Rp 1.500.000,- perbulan. Pelaksanaan tersebut dapat terlaksana setelah pihak istri mengadukan ke instansi sebagai tempat suami bekerja mengenai pemenuhan nafkah anak.

B. Saran

Penulis memberikan konstruksi keilmuan mengenai hukum keluarga Islam baik segi teoritis maupun praktis melalui saran di bawah ini, diantaranya sebagai berikut:

1. Agar membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

ketentuan yang secara khusus mengenai sanksi bagi mantan suami yang tidak melaksanakan putusan nafkah anak pasca perceraian sehingga diharapkan dalam isi putusan yang diputuskan oleh majelis hakim memenuhi 3 unsur hukum, diantaranya: keadilan, manfaat dan kepastian hukum.

2. Majelis hakim dalam memberikan landasan yuridis lebih teliti dalam memberikan pasal-pasal yang berkaitan dengan peristiwa yang sedang diselesaikannya. Khususnya dalam perkara Nomor 0386/Pdt.G/2014/PA.JU mengenai pasal-pasal yang berkaitan dengan nafkah anak sehingga pasal-pasal yang dimuat dalam putusan, memiliki kekuatan hukum. Diantaranya; kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutorial. Kemudian dalam putusan pengadilan agama lebih baik dicantumkan di dalam

clausul dalam amar putusan mengenai ketentuan apabila suami tidak melaksanakan pembebanan nafkah anak maka pihak istri dapat mengajukan ke instansi di mana suami bekerja dan/atau dapat mengajukan eksekusi nafkah anak.

3. Diberikan pengarahan kepada pihak istri bahwa setiap bulan atau per enam bulan sekali melaporkan ke pengadilan agama mengenai pelaksanaan nafkah anak sebagai bentuk pengawasan (controlling) dari Pengadilan Agama Jakarta Utara dan pada umumnya Peradilan Agama secara keseluruhan serta keterbukaan informasi (disclose information) mengenai langkah yang dapat dilakukan saat suami tidak melaksanakan kewajibannya.

71

Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Bandung: Departemen Agama RI, 2004.

Abbas, Afifi Fauzi. Metodologi Penelitian. Ciputat: Adelina Bersaudara, 2010.

Abdurrahman bin Muhammad „awad al-Jaziry, Al-Fiqhu ‘ala al-madzaahibi al-Arba’ah, juz 1-5 (Kairo: Dar Ibn al-Haitsami, t.th), h. 964.

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet.V. Jakarta: Radar Jaya Offset, 2007.

Abi Thoyyib Muhammad Syamsi, ‘Aunul Ma’bud: Syarah Sunan Abi Daud. Libanon: Dar al-Fikr, 2003, h. 180.

Abidin, Slamet dan Aminuddin. Fiqh Munakahat. Bandung: Pustaka Setia, 1999. Afandi, Ali. Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian. PT Bina

Aksara, 1984.

Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum. Lembaga Penelitian, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Ali, Achmad. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), cet.VI. Jakarta: Kencana, 2015.

Ali, Zainuddin. FilsafatHukum. Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2011.

---. Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet.II. Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Al-Jamal, Ibrahim Muhammad. Fiqhu al-Mar’ah al-Muslimah. Jakarta: PT Multi

Kreasi Singgasana, 1991.

Amiruddin dan Zainal, Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004.

Apeldorn, L.J. Van. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, 1980.

Arifin, Busthanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Ash-Sabuni, M Ali. Rawa’i al-Bayan, Tafsir Ayat al-Ahkam, Makkah: Tnp,t.t., h. 610.

---. (Hadiyatul Afraa Lil’aruusain) Hadiah untuk Pengantin. Jakarta: Mustaqim. Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Penerjemah Abdul Hayyie

al-Kattani, dkk. Jakarta: Gema Insani, 2011.

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Kompilasi Bidang Hukum Kekeluargaan (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Depertemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2007), h. 31.

Bintania, Aris. Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, ed, ke-4. PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Djaelani, Abdul Qadir. KeluargaSakinah.PT. Bina Ilmu, 1995.

Djalil, A Basiq. Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (HukumIslam, Hukum Barat, dan Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh. Jakarta: Kencana, 2010.

Dliyauddin, Ra Didin. “Pelaksanaan Eksekusi Sengketa Hadhanah di Pengedilan Agama Cikarang.” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam

Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.

Firdaweri. Hukum Islam tentang Fasakh Perkawinan. Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1989.

Ghazali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat, cet.IV. Jakarta: Kencana, 2010.

Harahap, M Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 tahun 1989, cet.IV. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

---. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 tahun 1989, cet.V. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007.

Khotib, Mohamad. “Eksekusi Putusan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam Teori dan Praktek.” Tesis S2 Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum

Universitas Islam As-Syafi‟iyah Jakarta, 2008.

Kompilasi Bidang Hukum Keluarga (Badan Pembinanaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, 2009), h. 29.

Kurnia, Titon Slamet. Pengantar Sistem Hukum Indonesia. Bandung: PT. Alumni, 2009.

Latif, Djamil. Aneka Hukum Perceraian di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.

Lubis, Sulaikin, dkk. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, cet.III. Jakarta: Kencana, 2008.

Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam. Jakarta: Kencana, 2006.

Moeliono, Anton M., et al. Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.II. Jakarta: Balai Pustaka, 1988.

Mubarok, Jaih. Peradilan Agama di Indonesia. Bandung: Bani Quraisy, 2004.

Mudjib, Abdul. Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih (Al-qowa’idul Fiqhiyyah). Jakarta: Kalam Mulia, 2001.

Munawir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, cet.XV. Surabaya: Pustaka Progresif, 2002.

Musthofa, Kepaniteraan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana, 2005 Nasir, M. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.

Nova Andriani, “Penetapan Hak Hadhanah Kepada Bapak Bagi Anak Belum Mumayyiz (Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Perkara Nomor

228/Pdt.G/2009/PA.JB),” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum,

Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011).

Nuarini, Sitta. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Kradinya Paramita, 2003.

Prasetyo, Dossy Iskandar dan Bernard L. Tanya, Hukum Etika dan Kekuasaan. Yogyakarta: Genta Publishing, 2011.

Ramulyo, M Idris. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 th. 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Ind-Hillco, 1990.

Rasyid, Chatib dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada Peradilan Agama. Yogyakarta: UII Press, 2009.

Riana, Aziz Angga. “Kewajiban Pembiayaan Hadhanah Anak yang Masih di Bawah Umur Akibat Perceraian (studi kritis terhadap pasal 105 point c dan pasal 156 point d Kompilasi Hukum Islam).” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan

Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010. Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, cet.IV. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

2000.

Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah.Bandung: PT Al-Ma‟rif, 1980.

---. Fikih Sunnah, Penerjemah Abdurrahim dan Masrukhin, cet.II. Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011.

Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik. Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Simorangkir, J.C.T, dkk. Kamus Hukum, cet.XIII. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Soekanto, Soerjono dan Srimudji, Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Rajawali, 1990.

Soeroso, R. Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara dan Proses Persidangan. Jakarta: Sinar Grafika Offset, Juni 1996.

Sopyan, Yayan. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: Buku Ajar.

Subana, M dan Sudrajat, Dasar-dasar Penelitian Ilmiah, cet.II. Bandung: Pustaka Setia, 2005.

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 2003.

Sulaiman, Abdullah. Metode Penulisan Ilmu Hukum. Jakarta: Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (YPPSDM), 2012.

Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum, cet.III. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

Supriyadi, Dedi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam. Bandung: Pustaka Al-Fikriis, 2009.

Syaifuddin, Muhammad, dkk. Hukum Perceraian, cet.II. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan.Jakarta: Kencana, 2007.

Thalib, Sajuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Yayasan penerbit Universitas Indonesia, 1974.

Tihami, M dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

Tresna, MR. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Tiara, 1959.

Triwulan Tutik, Titik. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum National. Jakarta: Kencana: 2010.

Umami, Mushlihatul. Ilmu Hukum. Yogyakarta: Genta, 2007.

Wahyono, Agung dan Ny. Siti Rahayu, Tinjauan tentang Peradilan Anak di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 1993.

Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktek, cet.IV. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Yanggo, Huzaemah Tahido. Fikih Perempuan Kontemporer. Ghalia Indonesia, 2010. Zain, Muhammad dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis (Counter

Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial itu). Jakarta: Grahacipta, 2005.

Zein, Satria Effendi M. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontenporer: Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah. Jakarta: Kencana, 2004.

JURNAL

Manan, Abdul. “Problematika Hadhanah dan Hubungannya dengan Praktek Hukum Acara di Pengadilan Agama”. Mimbar Hukum, Aktualisasi Hukum Islam. No. 49 Thn XI (Juli-Agustus 2000); h. 70.

Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama/Mahkamah Syar‟iyah,

Buku II. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2007, h. 433.

Sabrie, Zuffan. “Khazanah: Anak.” Jurnal Mimbar Hukum; Aktualisasi Hukum Islam IX. No. 38 (Juli-Agustus 1998): h. 79.

UNDANG-UNDANG

Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil

Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Pekawinan.

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Undang-Undang No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

INTERNET

Diakses pada 16 Mei 2015 dari http://www.pa-jakartautara.go.id/yoo/index.php/info

perkara/rekapitulasi-perkara-pengadilan/faktor-penyebab-perceraian-pengadilan

Diakses pada 1 Maret 2015 dari http://www.pa-jakartautara.go.id/yoo/index.php/info perkara/statistik-perkara-pengadi lan/diterima-dan-diputus-pengadilan

Ichsan, Syalaby. “354 pasutri bercerai”, artikel diakses pada 27 Januari 2015 dari http://www.republika.co.id/berita/koran/khazanahkoran/14/08/22/naoz8815-354-ribupasutri-bercerai

WAWANCARA

Harmala Harahap, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara. Jakarta, 7 Mei 2015. Mei Nurrahmah, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara. Jakarta, 3 April 2015. Nurwathon, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara. Jakarta, 17 April 2015. Rogayah, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara. Jakarta, 17 April 2015.