• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perceraian dan Nafkah Anak dalam Praktek di Pengadilan Agama Putusnya perceraian di pengadilan agama terdapat tiga hal sebagaimana Putusnya perceraian di pengadilan agama terdapat tiga hal sebagaimana

Undang-Undang Perkawinan pasal 38 yaitu; kematian, perceraian dan berdasarkan putusan pengadilan. Adapun mengenai putusnya perkawinan yang disebabkan karena kematian ialah apabila salah satu orang tua meninggal dunia karena suatu kejadian yang tidak satu pun manusia mengetahuinya.

Putusnya perkawinan dalam hal ini meliputi baik fisik, yakni kematiannya diketahui jenazahnya sebagaimana mati disini kematian secara biologis. Maupun kematian secara yuridis, yakni dalam kasus mafqud (hilang tidak diketahui apakah masih hidup ataupun sudah meninggal dunia), lalu melalui proses pengadilan hakim dapat menetapkan kematian suami tersebut.57

56

Firdaweri, Hukum Islam tentang Fasakh Perkawinan (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1989), h. 61.

57

Kemudian Kompilasi Hukum Islam pasal 114 mengatakan bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugat perceraian. Kemudian KHI pasal 115 yang menegaskan bunyi pasal 39 ayat (1) sesuai dengan consern KHI yaitu perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan agama setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak berhasil didamaikan kedua belah pihak.”58

Mengenai alasan-alasan terjadinya perceraian majelis hakim dalam memberikan pertimbangannya berlandaskan pada ketentuan yang terdapat dalam PP Nomor 9 tahun 1975 pasal 19 Jo. pasal 116 Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan

lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;

58

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet.V, (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2007), h. 141.

f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.59

Adapun di dalam KHI terdapat tambahan alasan terjadinya perceraian yang khusus berlaku bagi pasangan perkawinan yang memeluk agama Islam, yaitu:

a. Suami melanggar taklik talak;

b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.60

Perceraian menjadi fokus perhatian penting terlebih lagi dengan meningkatnya angka perceraian setiap tahunnya dibandingkan dengan pasangan yang melakukan pernikahan. Asas-asas hukum perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dapat dikemukakan dan dikembangkan dalam beberapa asas hukum perceraian, yang mengatakan bahwa terdapat asas kepastian pranata dan kelembagaan hukum perceraian sebagaimana terkandung arti asas hukum dalam UU No. 1 tahun 1974 yang meletakkan peraturan perundang-undangan sebagai peranata hukum dan pengadilan sebagai lembaga hukum yang melibatkan dalam proses hukum perceraian.61 Peraturan perundang-undangan penting untuk menciptakan kepastian hukum, karena peraturan perundang-undangan dapat dibaca, dapat dimengerti dengan cara lebih mudah, sehingga sekurang-kurangnya dapat menghindarkan spekulasi di

59

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 141.

60

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 141.

61

antara subjek hukum tentang apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan, tentang apa yang boleh dilakukan, dan tentang apa yang merupakan hak dan kewajiban.62

Perihal pasca putusnya perkawinan terdapat beberapa akibat hukum yang terjadi, baik kepada istri maupun terlebih lagi kepada anak. Anak menjadi korban atas perceraian yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Terkait akibat hukum yang kini menjadi perhatian dikalangan praktisi hukum yaitu mengenai akibat hukum kepada seorang anak. Pemberian hadhanah sebagaimana ketentuan di dalam pasal 105 huruf a bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum umur 12 tahun adalah hak ibunya.

Kendati pun saat memutuskan perkara yang berkaitan dengan pemeliharaan anak maka hakim mempertimbangkan dengan memperhatikan kepentingan anak, berupa umur anak, pendidikan, kesejahteraan anak yang masuk kedalam Undang-Undang perlindungan anak sebagaimana UU No. 23 tahun 2002 untuk kepentingan anak dan dalam hal ini bukan untuk kepentingan orang tua, dan intinya demi kepentingan anak dan demi kesejahteraan anak. Oleh karena itu, pemeliharaan anak tidak hanya diposisikan kepada ayah atau pun ibu sebagaimana Kompilasi Hukum Islam.63 Akan tetapi mengenai kewajiban orang tua dalam memenuhi hak anak sebagaimana terdapat dalam pasal 14:

1. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu

62

Titon Slamet kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia (Bandung: PT. Alumni, 2009), 49.

63

adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.

2. Perihal terjadinya pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anak tetap berhak: (a) Bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua orang tuanya; (b) Mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua orang tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; (c) Memperoleh pembiayaan hidup dari kedua orang tuanya; dan (d) Memperoleh hak anak lainnya”.64 Kewajiban orang tua dalam memenuhi hak-hak anak, berkaitan pula dengan nafkah anak yang dibebankan kepada orang tua (suami) dalam memberikan nafkah anak demi terciptanya kesejahteraan bagi anak. Pembebanan nafkah anak berdasarkan hal-hal yang dituangkan dalam isi gugatan maka hakim mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lain suami.

Pembebanan nafkah anak yang dicantumkan di dalam putusan Pengadilan Agama tentang perceraian menandakan bahwa adanya nafkah anak di dalam putusan memberikan perlindungan kepada anak agar ayahnya yang telah bercerai dapat memberikan haknya demi terpenuhinya kesejahteraan anak sampai anak itu dapat berdiri sendiri atau dewasa (12 tahun). Adapun mengenai kewajiban memberikan nafkah anak juga sebagaimana diatur di dalam pasal 105 huruf c yaitu biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya serta pasal 156 sebagai pertimbangan hukum

64

Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

oleh majelis hakim bahwa semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).65 Oleh karena itu, orang tua memiliki kewajiban yang sama demi terciptanya kesejahteraan anak. Namun, peraturan perundang-undangan dalam hal ini, memberikan ketentuan secara khusus mengenai pemeliharaan anak (hadhanah) sebagai kekhususan bagi ibu yang memiliki ikatan batin yang kuat kepada anak. Adapun mengenai pemberian nafkah anak menjadi kewajiban yang melekat kepada seorang ayah untuk mendorong terwujudnya masa depan anak yang lebih baik.

65

Lihat Impres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 105 huruf c Jo. pasal 156.

41

PERCERAIAN

A. Deskriptif Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara