• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Akreditas JCI Yang Diberikan Pada RSUP. Fatmawati

Pada tanggal 1 Januari 2014 Wakil Menteri Kesehatan RI, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc, PhD, menerima sertifikat akreditasi Joint Commission Internasional (JCI) yang diserahkan oleh Direktur Utama RSUP Fatmawati, Dr. Andi Wahyuningsih Attas, SpAn. Ini berarti mutu RSUP Fatmawati telah diakui secara internasional, ujar Prof. Ghufron (Depkes.go.id).

Dewasa ini, kita telah mempunyai tiga rumah sakit Pemerintah yang terakreditasi JCI, yaitu: 1) RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo (Jakarta), 2) RSUP Sanglah (Denpasar), dan 3) RSUP Fatmawati (Jakarta). Beberapa rumah sakit swasta juga telah terakreditasi JCI. Di samping itu, 3 rumah sakit Pemerintah juga sedang dipersiapkan agar dapat segera meraih akreditasi JCI, yaitu: 1) RSUP Dr Sardjito (Yogyakarta); 2) RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo (Makassar); dan 3) RSUP Adam Malik (Medan). Kepada jajaran RSUP Fatmawati, Prof. Ghufron menyampaikan apresiasi atas kerja keras dan kerja cerdas yang telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pelayanannya sehingga mencapai pelayanan kelas dunia atau world class health care. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah berperan mendukung RSUP Fatmawati dalam meraih Sertifikasi Akreditasi JCI (Depkes.go.id).

Prof. Ghufron berpesan kepada seluruh Direksi dan karyawan/karyawati RSUP Fatmawati untuk: 1) mempertahankan pelayanan kesehatan yang bermutu dan berstandar internasional yang telah dicapai; 2) menjadi model bagi rumah sakit lainnya dalam upaya peningkatan mutu pelayanan; dan 3) memberikan pelayanan kesehatan terbaik bagi seluruh masyarakat, tanpa memperhatikan tingkat sosial ekonominya dan tanpa mempertimbangkan dari kelompok mana pasien berasal (Depkes.go.id).

Undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit mengamanatkan agar rumah sakit selalu meningkatkan mutu dan mempertahankan standar

pelayanan rumah sakit. Dengan demikian, pelayanan yang terstandar, wajib disediakan oleh seluruh rumah sakit di Indonesia. Pelayanan yang sesuai standar harus mendapatkan pengakuan dari Pemerintah dan lembaga akreditasi yang ditunjuk yaitu Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) untuk akreditasi nasional dan Joint Commission Internasional (JCI) untuk akreditasi internasional (Depkes.go.id).

2.5. Keselamatan Pasien

Keselamatan pasien (Patient safety) secara sederhana didefinisikan sebagai suatu upaya untuk mencegah bahaya yang terjadi pada pasien. Walaupun mempunyai definisi yang sangat sederhana, tetapi upaya untuk menjamin keselamatan pasien di fasilitas kesehatan sangatlah kompleks dan banyak hambatan (Depkes, 2008).

Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari WHO Patient Safety (2007) yang digunakan juga oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI (KKPRS PERSI), dan dari Joint Commission International (JCI) (Permenkes, 2014).

Pada tanggal 18 Januari 2002, WHO telah mengeluarkan suatu resolusi untuk membentuk program manajemen risiko untuk keselamatan pasien yang terdiri dari 4 aspek utama:

1. Penentuan tentang norma-norma global, standar dan pedoman untuk definisi, pengukuran dan pelaporan dalam mengambil tindakan pencegahan, dan menerapkan ukuran untuk mengurangi resiko

2. Penyusunan kebijakan berdasarkan bukti (evidence-based) dalam standar global yang akan meningkatkan pelayanan kepada pasien dengan penekanan tertentu pada beberapa aspek seperti keamanan produk, praktek klinik yang aman sesuai dengan pedoman, penggunaan produk obat dan alat kesehatan yang aman dan menciptakan suatu budaya keselamatan pada petugas kesehatan dan institusi pendidikan.

3. Pengembangan mekanisme melalui akreditasi dan instrumen lain, untuk mengenali karakteristik penyedia pelayanan kesehatan yang unggul dalam keselamatan pasien secara internasional

4. Mendorong penelitian tentang keselamatan pasien (Depkes, 2008).

Seorang Apoteker yang berperan di dalam mikrosistem (apotek, puskesmas, instalasi farmasi rumah sakit, dan sarana pelayanan farmasi lain) dalam membangun keselamatan pasien harus mampu mengelola dengan baik elemen-elemen dalam mikrosistem tersebut, yaitu sistem pelayanan, sumber daya, sistem inventori, keuangan dan teknologi informasi (Depkes, 2008).

2.5.1. Keselamatan Pasien Dalam Kefarmasian

Apoteker harus mampu mengenali istilah-istilah yang tertera dalam kolom beserta contohnya sehingga dapat membedakan dan mengidentifikasi kejadian-kejadian yang berkaitan dengan cedera akibat penggunaan obat dalam melaksanakan program keselamatan pasien. Dalam membangun keselamatan pasien banyak istilah-istilah yang perlu dipahami dan disepakati bersama. Istilah-istilah tersebut diantaranya adalah:

a. Kejadian Tidak Diharapkan/KTD (Adverse Event) b. Kejadian Nyaris Cedera/KNC (Near miss)

c. Kejadian Sentinel

d. Adverse Drug Event

e. Adverse Drug Reaction

f. Medication Error

g. Efek samping obat ( depkes RI, 2008).

Menurut Nebeker JR dkk. dalam tulisannya Clarifying Adverse Drug

Events: A Clinician’s Guide to terminology, Documentation, and Reporting, serta

dari Glossary AHRQ (Agency for Healthcare Research and Quality) disimpulkan sebagai berikut :

Tabel 1. Istilah-istilah dalam kejadian keselamatan pasien

Istilah Definisi Contoh

Kejadian yang tidak diharapkan (Adverse

Kejadian cedera pada pasien selama proses

Infeksi pada kulit karena penggunaan perban.

event) terapi/ penatalaksanaan medis mencakup seluruh aspek pelayanan termasuk diagnosa, terapi, kegagalan diagnosa/terapi, sistem peralatan untuk pelayanan, adverse event dapat dicegah atau tidak dicegah

Jatuh dari tempat tidur.

Reaksi obat yang tidak diharapkan (adverse drug reaction)

Kejadian cedera pada pasien selama proses terapi akibat penggunaan obat.

Steven-johnson syndrom : Sulfa, obat epilepsi, dlln.

Kejadian tentang

obat yang tidak diharapkan (Adverse Drug Event)

Respons yang tidak diharapkan terhadap terapi obat dan mengganggu atau menimbulkan cedera pada penggunaan obat dosis normal. Reaksi Obat Yang Tidak Diharapkan (ROTD) ada yang berkaitan dengan efek farmakologi (efek samping) ada yang tidak berkaitan dengan efek farmakologi (reaksi hipersensitivitas).

Shok anafilaksis pada penggunaan antibiotik golongan penisilin,

Mengantuk pada

penggunaan CTM

Efek obat yang tidak diharapkan (Adverse drug effect)

Respons yang tidak diharapkan terhadap terapi obat dan mengganggu atau menimbulkan cedera pada penggunaan obat dosis lazim Sama dengan ROTD tapi dilihat dari sudut pandang obat. ROTD dilihat dari sudut pandang pasien.

Shok anafilaksis pada penggunaan antibiotik golongan penisilin. Mengantuk pada penggunaan CTM

Cedera dapat terjadi atau tidak terjadi

Medication Error Kejadian yang dapat

dicegah akibat

penggunaan obat, yang menyebabkan cedera.

Peresepan obat yang tidak rasional. Kesalahan perhitungan dosis pada peracikan.

Ketidakpatuhan pasien sehingga terjadi dosis berlebih.

Efek samping Efek yang dapat

diprediksi, tergantung pada dosis, yang bukan efek tujuan obat. Efek

samping dapat

dikehendaki, tidak dikehendaki, atau tidak ada kaitannya.

(sebaiknya istilah ini dihindarkan)

(Depkes RI, 2008)

Masalah terkait obat (Drug-Related Problem/DRPs) oleh Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) didefinisikan sebagai setiap kejadian yang melibatkan terapi obat yang secara nyata atau potensial terjadi akan mempengaruhi hasil terapi yang diinginkan. Suatu kejadian dapat disebut masalah terkait obat bila pasien mengalami kejadian tidak diinginkan baik berupa keluhan medis atau gejala dan ada hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi obat. PCNE mengidentifikasi permasalahan yang terkait dengan obat, yaitu: (1) Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki/ROTD ,(2) masalah pemilihan obat, (3) masalah pemberian dosis obat, (4) masalah pemberian/penggunaan obat, (5) interaksi obat, (6) masalah lainnya. (Pharmaceutical Care Network Europe, 2006). Sedapat mungkin sasaran secara umum difokuskan pada solusi-solusi yang menyeluruh. Enam sasaran keselamatan pasien adalah tercapainya hal-hal sebagai berikut:

a. Sasaran I : Ketepatan identifikasi pasien

b. Sasaran II : Peningkatan Komunikasi yang efektif

c. Sasaran III : Peningkatan keamanan obat yang harus diwaspadai d. Sasaran IV : Kepastian tepat-lokasi, tepat–prosedur, tepat-pasien e. Sasaran V : Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan f. Sasaran VI : Pengurangan risiko pasien jatuh

Maksud dari Sasaran Keselamatan Pasien adalah mendorong perbaikan spesifik dalam keselamatan pasien. Sasaran menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi dari konsensus berbasis bukti dan keahlian atas permasalahan ini. Diakui bahwa desain sistem yang baik secara intrinsik adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu tinggi (Permenkes, 2011).

Dokumen terkait