• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Pengelolaan Kalium Klorida Pekat Sebagai High Alert Medication di RSUP.Fatmawati

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil Pengelolaan Kalium Klorida Pekat Sebagai High Alert Medication di RSUP.Fatmawati"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

PROFIL PENGELOLAAN KALIUM KLORIDA PEKAT

SEBAGAI

HIGH ALERT MEDICATION

DI RSUP. FATMAWATI

SKRIPSI

HESTIAWATI

1111102000110

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI

(2)

Profil Pengelolaan Kalium Klorida Pekat

Sebagai

High Alert Medication

di RSUP. Fatmawati

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

HESTIAWATI 1111102000110

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI

(3)
(4)
(5)
(6)

Judul : PROFIL PENGELOLAAN KALIUM KLORIDA PEKAT SEBAGAI HIGH ALERT MEDICATION DI RSUP.FATMAWATI

Obat-obatan yang sering disebutkan dalam isu keselamatan pasien adalah pemberian elektrolit konsentrat secara tidak sengaja misalnya, kalium klorida 2meq/ml yang merupakan high alert medication. (Permenkes, 2011). High-alert medication adalah Obat yang harus diwaspadai karena sering menyebabkan terjadinya kesalahan serius (sentinel event) sehingga rumah sakit perlu mengembangkan kebijakan pengelolaan obat untuk meningkatkan keamanan pasien (Permenkes 2014). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan profil pengelolaan kalium klorida pekat meliputi penyimpanan, penandaan, penyiapan dan pemberian kalium klorida pekat berdasarkan kebijakan RSUP.Fatmawati yang sudah berstandar JCI (Joint Commission International). Penelitian ini menggunakan metode observasional dengan desain cross sectional, pengambilan data (checklist dan rekam medis) dilakukan pengamatan secara prospektif. Hasil penelitian menunjukkan observasi gudang farmasi meliputi penyimpanan 58,82%, penandaan 75%, depo farmasi teratai meliputi penyimpanan 100%, penandaan 74,36%, penyiapan 100%, dan HCU 3 Selatan meliputi penyimpanan 65,55%, penandaan 57,78%, pemberian 88,89%. Medication error meliputi penyimpanan KCL pekat (3,33%), penggunaan KCL premix melebihi waktu kadaluarsa (3,33%), penyimpanan KCL premix expired date (46,67%). Penilaian standar ini berpedoman pada tata laksana survei akreditas rumah sakit oleh KARS (komisi akreditas rumah sakit) 2014 menghasilkan nilai persentase bagi standar sebagai berikut tercapai penuh diberikan skor 10(80-100%), tercapai sebagian diberikan skor 5 (20% -79%), tidak tercapai diberikan skor 0 (< 19 %).

(7)

Tittle : PROFILE MANAGEMENT POTASSIUM CHLORIDE CONCENTRATE AS HIGH ALERT MEDICATION IN RSUP.FATMAWATI

Drugs that are frequently mentioned in patient safety issue is administration electrolyte concentrate inadvertently, for example, potassium chloride 2 mEq / ml or more concentrated which is a high alert medication. (Permenkes, 2011). High-alert medication is drugs to watch out because it often causes an error occurs / serious errors (sentinel event) and high-risk drugs reaction (ROTD) so that hospitals need to develop drug management policies for improving patient safety (Permenkes 2014). This study aims to describe profile of management potassium chloride concentrate include storage, labeling, preparation and administration of potassium chloride concentrate in pharmaceutical warehouses, depo farmasi teratai and high care unit (HCU) 3 selatan based on policies of RSUP.Fatmawati that are already standard JCI (Joint Commission International). This study was an observational study with cross sectional design, data collection (checklist and medical records) was observed prospective. The result showed pharmaceutical warehouse include storage 58.82%, labeling 75%, depo farmasi teratai include storage 100%, labeling 74,36%, preparation 100%, and HCU 3 selatan storage 65.55%, labeling 57.78%, administration 88.89%. Medication error include storage of potassium chloride concentrate (3.33%), storage potassium chloride premix expired date (46.67%), and use of potassium chloride premix that exceeds expiration time (3.33%), Assessment based on the standard of governance hospital accreditation survey by KARS (hospital accreditation commission) 2014 resulted in a percentage value for the following standards achieved given the full score of 10 (80-100%), achieved partly given a score of 5 (20% -79%), was not achieved given a score of 0 (<19%).

(8)

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi dengan judul “Profil Pengelolaan Kalium Klorida Pekat Sebagai High Alert Medication di RSUP.Fatmawati” dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

 Dr.H.Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

 Bapak Yardi, Ph.D, Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

 Bapak Yardi, Ph.D, Apt selaku pembimbing pertama dan Bapak Ahmad Subhan, S.Si, M.Si, Apt pembimbing kedua, yang memiliki andil besar dalam proses penelitian dan penyelesaian tugas akhir saya ini, semoga segala bantuan dan bimbingan bapak mendapat imbalan yang lebih baik di sisi-Nya.

 Bapak dan Ibu staf pengajar dan karyawan yang telah memberikan bimbingan dan

bantuan selama saya menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

 Sahabat penulis Ageng Hasna F, Khairunnisa, Miyadah Samiyah, Qodrina Sufy, Beryl Zahyin.A.,Vina Fauziah, Lela Laelatu dan rekan-rekan mahasiwa Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

(9)

doa yang selalu dihaturkan kepada Allah S.W.T sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, semoga segala amalan dan jerih payah keduanya mendapat balasan yang jauh lebih baik disisi-Nya.

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat dan faedah bagi pengembangan ilmu.

Ciputat, Juli 2015

(10)
(11)

HALAMAN JUDUL ... ...ii

LEMBAR ORISINALITAS………..... ...iii

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI ...iv

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ...v

ABSTRAK...vi

ABSTRACT...vii

KATA PENGANTAR...viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...x

DAFTAR ISI...xi

DAFTAR TABEL...xvi

DAFTAR GRAFIK...xvii

DAFTAR BAGAN...xviii

DAFTAR LAMPIRAN...xix

BAB 1. PENDAHULUAN ... ...1

1.1. Latar Belakang ... ...1

1.2. Rumusan Masalah ... ...3

1.3. Pertanyaan Penelitian ... ...4

1.4. Tujuan Penelitian ... ...4

1.5. Manfaat Penelitian ... ...5

1.6. Ruang lingkup ... ...6

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... ...7

2.1. Kualitas dan akreditas ... ...7

2.2. Akreditas oleh KARS dan JCI ... ...9

2.2.1. Manfaat JCI... ...11

2.2.2. Standar Manual JCI ... ...11

2.3. Rumah Sakit ... ....12

2.3.1. Definisi Rumah Sakit ... ...12

2.3.2. Tugas Rumah Sakit ... ...13

2.3.3. Fungsi Rumah Sakit ... ...13

2.3.4. Klasifikasi Rumah Sakit ... ...14

(12)

2.6. Asuhan Kefarmasian ...20

2.7. High Alert Medication ... ...21

2.8. Kalium Klorida... ...22

2.8.1. Kalium ... ...22

2.8.2. Hipokalemia ... ...25

2.8.3. Interaksi Obat Lain Dengan Kalium Klorida...27

2.8.4. Pedoman Umum Penggunaan Kalium ... ...28

2.9. Penyimpanan, Pelabelan , Peresepan, Pencampuran, dan Pemberian Kalium Klorida ...28

2.9.1. Definisi Kalium Pekat ...29

2.9.2. Penyimpanan Kalium Intravena ...29

2.9.3. Masalah Peresepan Kalium ...30

2.9.4. Administrasi Kalium Klorida...31

2.9.5. Pemberian Obat...32

2.10. Peraturan Penyimpanan, Penandaan, Penyiapan, Penggunaan Kalium Klorida Pekat di RSUP.Fatmawati Nomor Dokumen (HK.03/05/II.1/1649/2012 (025/FAR)...32

2.11. Kerangka Konsep...37

2.12. Definisi Operasional...38

BAB 3. Metode Penelitian ... ...41

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... ...41

3.1.1. Lokasi Penelitian ... ...41

3.1.2. Waktu Penelitian ... ...41

3.2. Rancangan Penelitian ... ..41

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... ..41

3.3.1 Populasi Penelitian ... .41

3.3.2 Sampel Penelitian ... ..41

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... ....42

3.4.1. Kriteria Inklusi ... .42

3.4.2. Kriteria Eksklusi ... 42

(13)

3.7. Rencana Teknik Analisis Data ... 44

3.8. Ketentuan Penilaian Berdasarkan Pedoman Tata Laksana Survei Akreditas Rumah Sakit Oleh KARS...45

3.8.1. Penentuan Skor Sepuluh...45

3.8.2. Penentuan Skor Lima...45

3.8.3. Penentuan Skor Nol...45

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN...46

4.1. Ketentuan Penilaian Kesesuaian Standar...46

4.2. Penilaian Standar Pengelolaan Kalium Klorida di Gudang Farmasi...46

4.2.1. Penilaian Standar Variabel Penelitian Penyimpanan di Gudang Farmasi...46

4.2.2. Penilaian Standar Variabel Penelitian Penyimpanan di Gudang Farmasi...48

4.3. Penilaian Standar Pengelolaan Kalium Klorida Pekat di Depo Farmasi Teratai...49

4.3.1. Penilaian Standar Variabel Penelitian Penyimpanan di Depo Farmasi Teratai...49

4.3.2. Penilaian Standar Variabel Penelitian Penandaan di Depo Farmasi Teratai...50

4.3.3. Penilaian Standar Variabel Penelitian Penyiapan di Depo Farmasi Teratai...53

4.4. Penilaian Standar Pengelolaan Kalium Klorida di HCU 3 Selatan...54

4.4.1. Penilaian Standar Variabel Penelitian Penyimpanan di High Care Unit 3 Selatan...54

4.4.2. Penilaian Standar Variabel Penelitian Penandaan di High Care Unit 3 Selatan ...56

4.4.3. Penilaian Standar Variabel Penelitian Pemberian di High Care Unit 3 Selatan...57

4.5. Penilaian Standar Pengelolaan Kalium Klorida Pekat di Gudang Farmasi, Depo Farmasi Teratai, HCU 3 Selatan...59

(14)
(15)
(16)

Tabel 1. Istilah-istilah dalam kejadian keselamatan pasien...19 Tabel 2. Daftar High Alert Medications in Acute Care Settings...23 Tabel 3. Sediaan Farmasi Larutan Kalium Klorida...27 Tabel 4. Interaksi Obat Dengan Kalium

Tabel 5. Hasil Penilaian Variabel Penyimpanan KCL Pekat

di Gudang Farmasi RSUP.Fatmawati...45 Tabel 6. Hasil Penilaian Variabel Penandaan KCL Pekat

di Gudang Farmasi RSUP.Fatmawati...46 Tabel 7. Hasil Penilaian Variabel Penyimpanan KCL Pekat

di Depo Farmasi Teratai RSUP.Fatmawati...48 Tabel 8. Hasil Penilaian Variabel Penandaan KCL Pekat

di Depo Farmasi Teratai RSUP.Fatmawati...49 Tabel 9. Hasil Penilaian Variabel Penyiapan KCL Pekat

di Depo Farmasi Teratai RSUP.Fatmawati...51 Tabel 10. Hasil Penilaian Variabel Penyimpanan KCL Pekat

di High Care Unit 3 Selatan RSUP.Fatmawati...52 Tabel 11. Hasil Penilaian Variabel Penandaan KCL Pekat

di High Care Unit 3 Selatan RSUP.Fatmawati...54 Tabel 12. Hasil Penilaian Variabel Pemberian KCL Pekat

(17)

DAFTAR GRAFIK

(18)
(19)

Lampiran 1. Formulir Penelitian Kerja...70

Lampiran 2. Analisis High Consentrate ( Kalium Klorida Pekat )...73

Lampiran 3. Hasil Observasi dan Visitasi...74

(20)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Pelayanan kefarmasian di rumah sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik (Permenkes, 2014).

Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait obat. Tuntutan pasien dan masyarakat akan peningkatan mutu Pelayanan Kefarmasian, mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama yang berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan filosofi Pelayanan Kefarmasian (pharmaceutical care) (Permenkes,2014).

Asuhan kefarmasian (Pharmaceutical care) adalah tanggung jawab langsung apoteker pada pelayanan yang berhubungan dengan pengobatan pasien bertujuan mencapai hasil yang ditetapkan yaitu memperbaiki kualitas hidup pasien. Asuhan kefarmasian tidak hanya melibatkan terapi obat tetapi juga keputusan tentang penggunaan obat pada pasien. Termasuk keputusan untuk menggunakan terapi obat, pertimbangan pemilihan obat, dosis, rute dan metoda pemberian, pemantauan terapi obat serta pemberian informasi dan konseling pada pasien (American Society of Hospital Pharmacists, 1993).

(21)

suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (Menkes,2010).

Namun insiden keselamatan pasien mengenai high alert medication masih sering terjadi. Misalnya, Insiden yang ditemukan pada bulan maret 2004 yaitu seorang pasien melakukan hemofiltrasi di ICU Foothills Medical Centre meninggal dunia. Hal tersebut terjadi karena staff farmasi tidak sengaja mengambil kalium klorida yang seharusnya natrium klorida untuk digunakan sebagai larutan selama dialisis berlangsung sehingga pasien mengalami hiperkalemia dengan dampak lebih lanjut yaitu asidosis dan nekrosis jaringan (CMAJ, 2004). Akibat fatal yang terjadi karena kesalahan administrasi dari kalium klorida telah diakui bertahun-tahun dari ketidaksengajaan pemberian kalium klorida yang seharusnya water for injection atau furosemid dikarenakan bentuk sediaan hampir sama (A J Lankshear,2005).

Internatitional Journal Quality in Health juga menyatakan bahwa 5

peringkat teratas high alert medication adalah insulin, opiates dan narkotik, injeksi konsentrasi kalium klorida (atau fosfat), intravena antikoagulan (heparin), dan larutan natrium klorida 0,9 % (Tina, 2000). Masalah keamanan obat yang sering dikutip lainnya adalah administrasi yang salah atau tidak disengaja dari injeksi elektrolit pekat (misalnya, kalium klorida (sama dengan atau lebih besar dari 2 mEq/mL). Biasanya masalah ini terjadi karena kesalahan dari tenaga kesehatan dalam penggunaan dan pemakaian serta kurangnya orientasi yang baik antara tenaga kesehatan dengan pasien dalam keadaan darurat ( JCI, 2014).

Penelitian di Amerika mengidentifikasi resiko kesalahan pada pasien yaitu pemberian intravena larutan kalium. Pada 31 Oktober 2002, NHS (National Patient Safety Agency) menetapkan tindakan awal pada kondisi bahaya tersebut

meliputi penyimpanan dan penanganan kalium klorida pekat dan larutan kalium kuat lainnya, persiapan pengenceran larutan yang mengandung kalium, peresepan larutan yang mengandung kalium, pemeriksaan penggunaan larutan kalium pekat di rumah sakit (NHS, 2012).

(22)

dan memastikan keamanan bagi pasien yang menggunakan injeksi kalium klorida berkelanjutan di ICU (Intensive Care Unit) (NHS,2012).

Sehingga dalam prakteknya, peranan farmasis di rumah sakit sangatlah penting dalam penggunaan dan pemakaian obat-obatan high alert medication dalam meningkatkan pelayanan kesehatan serta mencegah terjadinya insiden.

Rumah sakit juga memiliki peranan dalam menyusun kebijakan terkait manajemen pengunaan obat yang efektif. Kebijakan tersebut harus ditinjau ulang sekurang-kurangnya sekali setahun. Peninjauan ulang sangat membantu rumah sakit memahami kebutuhan dan prioritas dari perbaikan sistem mutu dan keselamatan penggunaan obat yang berkelanjutan (Permenkes,2014). Peninjauan tersebut didukung dengan adanya rumah sakit berstandar JCI (standar pelayanan kesehatan dengan akreditas bertaraf international) maka diharapkan tujuan tersebut akan semakin mudah untuk dicapai. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pengaturan high alert medication yang telah berstandar JCI di rumah sakit fatmawati.

1.2. Rumusan masalah

Pada umumnya permasalahan yang terjadi pada obat-obatan high alert khususnya injeksi kalium klorida dikarenakan terjadinya kesalahan pada administrasi/ pemberian obat oleh tenaga kesehatan yang dapat mengancam jiwa pasien. Studi yang dilakukan Bagian Farmakologi Universitas Gajah Mada (UGM) antara 2001-2003 menunjukkan bahwa medication error terjadi pada 97% pasien Intensive Care Unit (ICU) antara lain dalam bentuk dosis berlebihan atau kurang, frekuensi pemberian keliru dan cara pemberian yang tidak tepat.

(23)

1.3. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana proses penyimpanan kalium klorida pekat/25 Meq sebagai high alert medication di RSUP. Fatmawati ?

2. Bagaimana proses penandaan kalium klorida pekat/25 Meq sebagai high alert medication di RSUP. Fatmawati ?

3. Bagaimana proses penyiapan kalium klorida pekat/25 Meq sebagai high alert medication di RSUP. Fatmawati ?

4. Bagaimana proses pemberian kalium klorida pekat/25 Meq sebagai high alert medication di RSUP. Fatmawati ?

1.4. Tujuan penelitian 1.4.1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengelolaan kalium klorida pekat sesuai dengan penerapan yang telah diatur Joint Commission International dan KARS yang telah diadopsi oleh pihak RSUP. Fatmawati

berlangsung dari gudang pusat farmasi, depo farmasi teratai, instalasi Rawat Inap teratai High Care Unit 3 Selatan Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati.

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi pengaturan mengenai penyimpanan high alert medication, salah satunya adalah kalium klorida pekat di RSUP.

Fatmawati yang telah distandarisasi.

2. Mengidentifikasi pengaturan penandaan high alert medication, salah satunya adalah injeksi kalium klorida pekat di RSUP. Fatmawati yang telah distandarisasi.

3. Mengidentifikasi pengaturan penyiapan high alert medication, salah satunya adalah kalium klorida pekat di RSUP. Fatmawati yang telah distandarisasi.

(24)

1.5. Manfaat penelitian 1. Secara Teoritis

Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan bagi perkembangan kefarmasian di rumah sakit dan menambah kajian ilmu manajerial farmasi khususnya dalam pengelolaan obat yang harus diwaspadai (High alert) salah satunya adalah kalium klorida pekat.

2. Secara Metodelogi

Metode penelitian ini dapat menjadi contoh atau dapat dijadikan metode untuk mengetahui kasus medication error pada pemakaian kalium klorida pekat yang tergolong high alert medication.

3. Secara Aplikatif

a. Bagi pihak RSUP. Fatmawati sebagai data dasar untuk mengetahui tingkat keberhasilan peningkatan mutu pelayanan kesehatan pada keamanan pasien terkait pemberian obat high alert khususnya kalium klorida pekat oleh tenaga kesehatan

setelah distandarisasi oleh JCI dan KARS yang telah diadopsi pihak RSUP.Fatmawati.

(25)

1.6. Ruang Lingkup

Permasalahan medication error pada high alert medication yang cukup luas menjadi perhatian khusus pada tenaga kesehatan. Dalam penelitian ini dibatasi hanya pada studi profil pengelolaan kalium klorida pekat sebagai high alert medication yang sudah berstandar JCI dan KARS yang telah diadopsi pihak

(26)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kualitas dan Akreditas

Kualitas adalah sesuatu yang sangat penting, dilakukan oleh kedua belah pihak, baik pemberi layanan kesehatan ataupun penerima layanan dalam proses membangun pondasi yang kuat bagi suatu institusi kesehatan (S.L.Goel, 2002). Kualitas itu sendiri bukanlah sesuatu yang didapatkan secara kebetulan melainkan diperlukan suatu upaya yang harus dilakukan oleh semua orang di setiap level dan pada berbagai tahapan dari suatu sistem penyedia layanan kesehatan. (S.L.Goel, 2002). Oleh karena itu, rumah sakit merupakan instalasi penting dalam memberikan pelayanan kesehatan yang baik terukur dari kualitas yang dimilikinya.

Akreditas adalah suatu proses pengakuan atau legalisasi, penerimaan, dan kepercayaan yang diberikan oleh badan akreditas kepada suatu rumah sakit dalam hal pemenuhan standar pelayanan, sehingga rumah sakit tersebut dapat dinilai kemampuannya dalam mengupayakan peningkatan mutu pelayanan (Mulyadi, 1997). Akreditas bukanlah hal yang baru didunia perumahsakitan, kata Akreditas sudah ada bahkan sejak tahun 1950-an.Bahkan pengakreditasan untuk rumah sakit pertama di dunia telah dilakukan sejak 40 tahun yang lalu (Ratcliffe.R.L, 2009). Dalam hal ini lembaga yang mempunyai peranan penting dalam “Akreditas” untuk rumah sakit adalah Joint Commission yang berdiri sejak tahun 1951. The Joint Commission on Acreditation of Healthcare Organization (JCAHO) atau

yang biasa dikenal JCI telah melakukan akreditas untuk lebih dari 95% rumah sakit di Amerika. Organisasi pertama kali dibentuk dengan misi untuk “melawan” terjadinya kesalahan pada pelayanan medis (medical error) dan melakukan perbaikan kepada rumah sakit diseluruh Amerika (HSCM, 2005).

(27)

negara lain seperti Singapore (National University Hospital) yang mendapatkan akreditas JCI pada tahun 2005, dan pada Januari tahun 2012 untuk Indonesia sendiri telah ada lima rumah sakit yang telah mendapatkan akreditas JCI.

Jika kita ingin mencoba untuk membandingkan berapa persentase rumah sakit yang sudah mendapatkan akreditas International maka kita akan tercengang karena dari 1800 rumah sakit di seluruh Indonesia dan dari 111 rumah sakit yang ada di Jakarta baru lima rumah sakit yang mendapatkan akreditas International. Jadi dapat disimpulkan bahwa kurang dari 1% rumah sakit di Indonesia yang telah diakreditasi (Depkes R.I, 2008).

Dengan melihat kondisi tersebut, maka sejak tahun 1995 Depkes RI telah menggiatkan akreditas terhadap rumah sakit yang ada di Indonesia melalui Komisis Akreditas Rumah Sakit (KARS). Tujuan dilakukannya akreditas rumah sakit adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan perlindungan terhadap pasien. Hal ini sejalan dengan UU nomor 8 tahun 2000 tentang perlindungan terhadap konsumen.

Menurut Depkes : Akreditas Rumah Sakit adalah suatu pengakuan yang diberikan oleh pemerintah pada rumah sakit karena telah memenuhi standar yang ditentukan (Depkes RI, 2008). Definisi akreditas menurut Joint Commission International adalah proses dimana suatu lembaga, yang terpisah dan berbeda dari

organisasi pelayanan kesehatan biasanya nonpemerintah, melakukan penilaian terhadap organisasi pelayanan kesehatan (JCI, 1999).

Tujuan akreditas menurut Joint Commission International untuk menentukan apakah organisasi tersebut telah memenuhi seperangkat persyaratan (standar) yang dirancang untuk memperbaiki keselamatan dan kualitas pelayanan. Selain tujuan akreditas, seharusnya dapat memberikan manfaat bagi rumah sakit yang melakukannya. Menurut Joint Commission manfaat akreditas itu sendiri adalah :

a. Meningkatkan kepercayaan masyarakat bahwa organisasi itu menitikberatkan sasarannya pada keselamatan pasien dan kualitas perawatan yang diberikan.

(28)

c. Bernegosiasi dengan sumber daya pendanaan yang akan menanggung biaya perawatan berdasarkan data kualitas perawatan yang disediakannya.

d. Mendengarkan pasien dan keluarga mereka, menghormati hak-hak mereka serta melibatkan mereka sebagai mitra dalam proses perawatan.

e. Menciptakan budaya mau belajar dari laporan-laporan kasus efek samping yang dicatat berdasarkan waktu kejadian dan hal-hal lain terkait keselamatan.

f. Membangun kepemimpinan yang mengutamakan kerjasama. Kepemimpinan ini menetapkan prioritas untuk dan demi terciptanya kepemimpinan berkelanjutan untuk meraih kualitas dan keselamatan pasien disegala tingkatan (JCR, 2010).

2.2. Akreditas oleh KARS (Komisi Akreditas Rumah Sakit) dan Joint Commission International

Menurut Depkes dalam 417/MENKES/PER/2011 tentang Komisi Akreditas Rumah Sakit mendefinisikan KARS sebagai Lembaga Independen pelaksana akreditas rumah sakit yang bersifat fungsional, non – struktural, dan bertanggung jawab kepada menteri. Pengorganisasian KARS termasuk surveyor ditetapkan oleh Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan. Penilaiannya difokuskan pada kebutuhan dan harapan konsumen dan dengan komponen pelayanan yang menjawab EEQS (Equity, Efficiently, Quality and Sustainability) agar rumah sakit dapat bersaing di tingkat regional bahkan internasional. Didalamnya, terdapat ahli-ahli yang bertindak sebagai surveyor, yang direkrut dari daerah-daerah dan dipilih sesuai kualifikasi dibidangnya. Sehingga KARS inilah yang bertanggung jawab terhadap hasil penilaian program akreditas.

(29)

Sama halnya dengan JCI (Joint Commission International) merupakan badan akreditas international yang merupakan bagian dari Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organization (JCAHO-USA). JCI adalah suatu

organisasi yang independen, nonprofit, dan bukan lembaga pemerintahan (Shelly, 2011). JCI adalah versi international dari The Joint Commission (USA) yang bergerak dibidang akreditas rumah sakit. JCI berdiri sejak tahun 1951 dan merupakan Joint Venture antara American Colledge of Surgeons, American College of Physician, American Hospital Association, American Medical

Association, American Medical Association (JCAHO, 2005).

Akreditas rumah sakit dilakukan secara sukarela dan sesuai dengan standar komisi rumah sakit yang menunjukkan potensi untuk memberikan perawatan berkualitas tinggi (JCAHO, 2005). Misi JCI adalah memperbaiki kualitas dan keamanan pelayanan kesehatan pada masyarakat international. Selama lebih dari 75 tahun, The Jonit Commission (USA) dan organisasi pendahulunya didedikasikan untuk meningkatkan kualitas dan keamanan pelayanan kesehatan (JCAHO, 2005).

Sejak Joint Comission mulai menemukan kejadian sentinel pada tahun 1995, The Accreditation Comittee of The Joint Commission’s Board of Commissioners mengevaluasi 89 kasus yang berhubungan dengan medication

error/kesalahan pengobatan. Kesalahan pengobatan adalah salah satu penyebab

bahaya pada pasien (JCI, 1999).

Pada tahun 1975 JCI telah mengakreditasi hampir 80% rumah sakit di Amerika serikat. Perubahan besar yang dilakukan pada proses akreditas JCI tahun 2006 adalah menfokuskan kepada pelayanan perawatan pasien (JCAHO, 2005).

Pada bulan Juli 2010, JCI mengeluarkan revisi standar baru yang dimplementasikan pada januari 2011. Standar baru ini diciptakan melalui proses berikut :

a. Kelompok Penasihat Regional International b. Proses peninjauan lapangan

(30)

2.2.1. Manfaat JCI

JCI merupakan standar international karena memiliki manfaat :

a. Memperlihatkan komitmen nyata suatu organisasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan pasien, untuk memastikan lingkungan aman, dan secara berkesinambungan mengurangi resiko terhadap pasien dan staf.

b. Bertujuan optimum dalam pencapaian ekspektasi. c. Fokus pada pasien.

d. Desain untuk menginterpretasikan atau mensurvei di dalam kultur dan perundang-undangan yang berlaku.

e. Memacu perbaikan berkesinambungan.

2.2.2. Standar Manual JCI

Dalam JCI terdapat 565 standar yang dibagi menjadi 197 standar inti yang harus dipenuhi untuk mencapai akreditas dan 368 standar lain yang dapat membawa suatu organisasi kesehatan ke dalam tingkatan “best practice” atau praktek yang terbaik. Standar-standar ini lebih lanjut akan dibagi menjadi 1033 ukuran parameter, yang berfokus pada aspek seperti keselamatan pasien, hak-hak pasien, fasilitas dan kualitas dokter. Standar manual dibagi menjadi dua bagian : Patient Centered Function (Fungsi yang berpusat pada pasien) dan Organization

Function (Fungsi organisasi).

Untuk Patient Centered Functions adalah semua standar yang berhubungan dengan pasien terdiri dari empat belas pembagian atau chapter yaitu:

1. International Patient Safety Goals (IPSG) 2. Access to Care and Continuity of Care (ACC) 3. Patient and Family Right (PFR)

4. Assesment of Patients (AOP)

5. Care of Patients (COP)

6. Anesthesia and Surgical Care (ASG)

7. Medication Management and Use (MMU)

8. Patient and Family Education (PFE)

Sedangkan Organization Function terdiri dari :

(31)

10.Prevention and Control of Infection (PCI) 11.Governance, Leadership and direction (GLD) 12.Facility Management and Safety (FMS) 13.Staf Qualification and Education (SQE)

14.Management of Communication and Information (MCI)

Dalam hal ini masing-masing chapter mempunyai standar-standar yang harus diikuti sebagai persyaratan kelulusan dalam penilaian akreditas JCI pada saat survei akreditas atau full survey nantinya (JCR, 2010).

Standar diorganisir memiliki fungsi penting umum untuk semua organisasi perawatan kesehatan. Standar organisasi fungsional sekarang yang paling banyak digunakan di seluruh dunia dan telah divalidasi oleh Penelitian ilmiah, pengujian, dan aplikasi. Standar dikelompokkan oleh fungsi yang terkait untuk menyediakan perawatan pasien berhubungan dengan menyediakan keamanan, organisasi efektif, dan pengelolaan yang baik dan untuk rumah sakit pusat medis akademis saja, yang berhubungan dengan program penelitian pendidikan profesional medis dan subyek manusia. Standar ini berlaku untuk seluruh organisasi serta masing-masing departemen, unit, atau layanan dalam organisasi. Proses survei informasi kepatuhan standar di seluruh organisasi dan keputusan akreditasi didasarkan pada keseluruhan tingkat kepatuhan ditemukan di seluruh organisasi (JCR, 2010).

2.3. Rumah Sakit

2.3.1. Definisi Rumah Sakit

Menurut Peraturan Menkes RI Nomor 340/Menkes/PER/III/2010, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

(32)

mahasiswa kedokteran, perawat dan berbagai tenaga profesi kedokteran lainnya (Anwar,1996).

2.3.2. Tugas Rumah Sakit

Pada umunya tugas rumah sakit adalah menyediakan keperluan untuk pemeliharaan dan pemulihan kesehatan. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.983/Menkes/SK/XI/1992, tugas rumah sakit umum adalah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemeliharaan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan rujukan.

2.3.3. Fungsi Rumah Sakit

Milton Roemer dan Friedman dalam buku Doctors in Hospital (1971) menyatakan bahwa rumah sakit setidaknya memiliki 5 fungsi adalah :

a. Harus ada pelayanan rawat inap dengan fasilitas diagnostik dan terapeutiknya. Berbagai jenis spesialisasi, baik bedah maupun non bedah, harus tersedia. Pelayanan rawat inap juga meliputi pelayanan keperawatan, gizi, farmasi, laboratorium,radiologi dan berbagai pelayanan lainnya.

b. Harus memiliki pelayanan rawat jalan. c. Melakukan pendidikan dan pelatihan.

d. Melakukan penelitian di bidang kedokteran dan kesehatan karena keberadaan pasien di rumah sakit merupakan modal dasar untuk penelitian.

e. Mempenuyai tanggungjawab untuk program pencegahan penyakit dan penyuluhan kesehatan bagi populasi di sekitarnya.

Menurut Undang-undang Nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit, fungsi rumah sakit adalah :

a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemilihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.

(33)

c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.

d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

2.3.4. Klasifikasi Rumah Sakit

Menurut Peraturan Menkes RI Nomor 340/Menkes/PER/III/2010, rumah sakit diklasifikasikan berdasarkan jenis pelayanan :

a. Rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. Berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan, Rumah Sakit Umum diklasifikasikan menjadi : 1. Rumah sakit umum kelas A, harus mempunyai fasilitas dan kemampuan

pelayanan medik paling sedkit 4 pelayanan medik Spesialis Dasar, 5 Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 12 Pelayanan Medik Spesialis Lain dan 13 Pelayanan Medik Sub Spesialis.

2. Rumah Sakit Umum Kelas B, harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 4 Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 8 Pelayanan Medik Spesialis Lainnya dan 2 Pelayanan Spesialis Penunjang Medik.

3. Rumah Sakit Umum kelas C, harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 Pelayanan Medik Spesialis Dasar dan 4 Pelayanan Spesialis Penunjang Medik.

4. Rumah Sakit Umum Kelas D, harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik Spesialis Dasar.

(34)

Ginjal, Kulit dan Kelamin. Berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan, Rumah Sakit Khusus diklasifikasikan menjadi :

1. Rumah Sakit Khusus Kelas A 2. Rumah Sakit Khusus Kelas B 3. Rumah Sakit Khusus Kelas C

2.4. Akreditas JCI Yang Diberikan Pada RSUP. Fatmawati

Pada tanggal 1 Januari 2014 Wakil Menteri Kesehatan RI, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc, PhD, menerima sertifikat akreditasi Joint Commission Internasional (JCI) yang diserahkan oleh Direktur Utama RSUP Fatmawati, Dr. Andi Wahyuningsih Attas, SpAn. Ini berarti mutu RSUP Fatmawati telah diakui secara internasional, ujar Prof. Ghufron (Depkes.go.id).

Dewasa ini, kita telah mempunyai tiga rumah sakit Pemerintah yang terakreditasi JCI, yaitu: 1) RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo (Jakarta), 2) RSUP Sanglah (Denpasar), dan 3) RSUP Fatmawati (Jakarta). Beberapa rumah sakit swasta juga telah terakreditasi JCI. Di samping itu, 3 rumah sakit Pemerintah juga sedang dipersiapkan agar dapat segera meraih akreditasi JCI, yaitu: 1) RSUP Dr Sardjito (Yogyakarta); 2) RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo (Makassar); dan 3) RSUP Adam Malik (Medan). Kepada jajaran RSUP Fatmawati, Prof. Ghufron menyampaikan apresiasi atas kerja keras dan kerja cerdas yang telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pelayanannya sehingga mencapai pelayanan kelas dunia atau world class health care. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah berperan mendukung RSUP Fatmawati dalam meraih Sertifikasi Akreditasi JCI (Depkes.go.id).

Prof. Ghufron berpesan kepada seluruh Direksi dan karyawan/karyawati RSUP Fatmawati untuk: 1) mempertahankan pelayanan kesehatan yang bermutu dan berstandar internasional yang telah dicapai; 2) menjadi model bagi rumah sakit lainnya dalam upaya peningkatan mutu pelayanan; dan 3) memberikan pelayanan kesehatan terbaik bagi seluruh masyarakat, tanpa memperhatikan tingkat sosial ekonominya dan tanpa mempertimbangkan dari kelompok mana pasien berasal (Depkes.go.id).

(35)

pelayanan rumah sakit. Dengan demikian, pelayanan yang terstandar, wajib disediakan oleh seluruh rumah sakit di Indonesia. Pelayanan yang sesuai standar harus mendapatkan pengakuan dari Pemerintah dan lembaga akreditasi yang ditunjuk yaitu Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) untuk akreditasi nasional dan Joint Commission Internasional (JCI) untuk akreditasi internasional (Depkes.go.id).

2.5. Keselamatan Pasien

Keselamatan pasien (Patient safety) secara sederhana didefinisikan sebagai suatu upaya untuk mencegah bahaya yang terjadi pada pasien. Walaupun mempunyai definisi yang sangat sederhana, tetapi upaya untuk menjamin keselamatan pasien di fasilitas kesehatan sangatlah kompleks dan banyak hambatan (Depkes, 2008).

Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari WHO Patient Safety (2007) yang digunakan juga oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI (KKPRS PERSI), dan dari Joint Commission International (JCI) (Permenkes, 2014).

Pada tanggal 18 Januari 2002, WHO telah mengeluarkan suatu resolusi untuk membentuk program manajemen risiko untuk keselamatan pasien yang terdiri dari 4 aspek utama:

1. Penentuan tentang norma-norma global, standar dan pedoman untuk definisi, pengukuran dan pelaporan dalam mengambil tindakan pencegahan, dan menerapkan ukuran untuk mengurangi resiko

(36)

3. Pengembangan mekanisme melalui akreditasi dan instrumen lain, untuk mengenali karakteristik penyedia pelayanan kesehatan yang unggul dalam keselamatan pasien secara internasional

4. Mendorong penelitian tentang keselamatan pasien (Depkes, 2008).

Seorang Apoteker yang berperan di dalam mikrosistem (apotek, puskesmas, instalasi farmasi rumah sakit, dan sarana pelayanan farmasi lain) dalam membangun keselamatan pasien harus mampu mengelola dengan baik elemen-elemen dalam mikrosistem tersebut, yaitu sistem pelayanan, sumber daya, sistem inventori, keuangan dan teknologi informasi (Depkes, 2008).

2.5.1. Keselamatan Pasien Dalam Kefarmasian

Apoteker harus mampu mengenali istilah-istilah yang tertera dalam kolom beserta contohnya sehingga dapat membedakan dan mengidentifikasi kejadian-kejadian yang berkaitan dengan cedera akibat penggunaan obat dalam melaksanakan program keselamatan pasien. Dalam membangun keselamatan pasien banyak istilah-istilah yang perlu dipahami dan disepakati bersama. Istilah-istilah tersebut diantaranya adalah:

a. Kejadian Tidak Diharapkan/KTD (Adverse Event) b. Kejadian Nyaris Cedera/KNC (Near miss)

c. Kejadian Sentinel

d. Adverse Drug Event

e. Adverse Drug Reaction

f. Medication Error

g. Efek samping obat ( depkes RI, 2008).

Menurut Nebeker JR dkk. dalam tulisannya Clarifying Adverse Drug

Events: A Clinician’s Guide to terminology, Documentation, and Reporting, serta

dari Glossary AHRQ (Agency for Healthcare Research and Quality) disimpulkan

sebagai berikut :

Tabel 1. Istilah-istilah dalam kejadian keselamatan pasien

Istilah Definisi Contoh

Kejadian yang tidak diharapkan (Adverse

Kejadian cedera pada pasien selama proses

(37)

event) terapi/ penatalaksanaan medis mencakup seluruh aspek pelayanan termasuk diagnosa, terapi, kegagalan diagnosa/terapi, sistem peralatan untuk pelayanan, adverse event dapat dicegah atau tidak dicegah

Jatuh dari tempat tidur.

Reaksi obat yang tidak diharapkan (adverse drug reaction)

Kejadian cedera pada pasien selama proses terapi akibat penggunaan obat.

Steven-johnson syndrom : Sulfa, obat epilepsi, dlln.

Kejadian tentang pada penggunaan obat dosis normal. Reaksi Obat Yang Tidak Diharapkan (ROTD) ada yang berkaitan dengan efek farmakologi (efek samping) ada yang tidak berkaitan dengan efek farmakologi (reaksi hipersensitivitas).

(38)

Medication Error Kejadian yang dapat

dicegah akibat

penggunaan obat, yang menyebabkan cedera.

Peresepan obat yang tidak rasional. Kesalahan perhitungan dosis pada peracikan.

Masalah terkait obat (Drug-Related Problem/DRPs) oleh Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) didefinisikan sebagai setiap kejadian yang melibatkan terapi obat yang secara nyata atau potensial terjadi akan mempengaruhi hasil terapi yang diinginkan. Suatu kejadian dapat disebut masalah terkait obat bila pasien mengalami kejadian tidak diinginkan baik berupa keluhan medis atau gejala dan ada hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi obat. PCNE mengidentifikasi permasalahan yang terkait dengan obat, yaitu: (1) Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki/ROTD ,(2) masalah pemilihan obat, (3) masalah pemberian dosis obat, (4) masalah pemberian/penggunaan obat, (5) interaksi obat, (6) masalah lainnya. (Pharmaceutical Care Network Europe, 2006). Sedapat mungkin sasaran secara umum difokuskan pada solusi-solusi yang menyeluruh. Enam sasaran keselamatan pasien adalah tercapainya hal-hal sebagai berikut:

a. Sasaran I : Ketepatan identifikasi pasien

b. Sasaran II : Peningkatan Komunikasi yang efektif

c. Sasaran III : Peningkatan keamanan obat yang harus diwaspadai d. Sasaran IV : Kepastian tepat-lokasi, tepat–prosedur, tepat-pasien e. Sasaran V : Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan f. Sasaran VI : Pengurangan risiko pasien jatuh

(39)

Maksud dari Sasaran Keselamatan Pasien adalah mendorong perbaikan spesifik dalam keselamatan pasien. Sasaran menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi dari konsensus berbasis bukti dan keahlian atas permasalahan ini. Diakui bahwa desain sistem yang baik secara intrinsik adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu tinggi (Permenkes, 2011).

2.6. Asuhan Kefarmasian

Asuhan kefarmasian (Pharmaceutical care) adalah tanggung jawab langsung apoteker pada pelayanan yang berhubungan dengan pengobatan pasien dengan tujuan mencapai hasil yang ditetapkan yang memperbaiki kualitas hidup pasien. Asuhan kefarmasian tidak hanya melibatkan terapi obat tetapi juga keputusan tentang penggunaan obat pada pasien. Termasuk keputusan untuk tidak menggunakan terapi obat, pertimbangan pemilihan obat, dosis, rute dan metoda pemberian, pemantauan terapi obat dan pemberian informasi dan konseling pada pasien (American Society of Hospital Pharmacists, 1993).

Seorang Apoteker yang berperan di dalam mikrosistem (apotek, puskesmas, instalasi farmasi rumah sakit, dan sarana pelayanan farmasi lain) dalam membangun keselamatan pasien harus mampu mengelola dengan baik elemen-elemen dalam mikrosistem tersebut, yaitu sistem pelayanan, sumber daya, sistem inventori, keuangan dan teknologi informasi. (Depkes RI, 2008).

(40)

2.7. High Alert Medication

Pada poin sasaran III yakni peningkatan keamanan obat yang harus diwaspadai. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit berdasarkan sasaran III mengenai peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (high alert) dalam Standar SKP III, Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai (high alert), Bila obat-obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien, manajemen harus berperan secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien (Permenkes, 2011).

Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high-alert medications) adalah obat yang sering menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan serius (sentinel event), obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome) seperti obat-obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Soun Alike/LASA). Obat-obatan yang sering disebutkan dalam isu keselamatan pasien adalah pemberian elektrolit konsentrat secara tidak sengaja (misalnya, kalium klorida 2meq/ml atau yang lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0.9%, dan magnesium sulfat = 50% atau lebih pekat) (Permenkes, 2011).

Menurut ISMP (Institute for Safe Medication Practices) daftar High Alert Medications in Acute Care Settings sebagai berikut :

Tabel 2. daftar High Alert Medications in Acute Care Settings

Kelas Pengobatan Pengobatan spesifik

Adrenergik agonists, IV (epinefrin, phenylephrine, norepinefrin)

Epinefrin subkutan

Adrenergik antagonis IV (propanolol, metoprolol, labetolol)

Epoprostenol (flolan), IV

Antiaritmia (lidokain, amiodaron) Insulin U-500

Antitrombotik agen Injeksi magnesium sulfat

Larutan kardioplegik Metotreksat

Kemoterapi agen, parenteral dan oral Injeksi kalium klorida pekat Dekstrosa, dan lain-lain Injeksi kalium fosfat

(41)

Standar SKP III Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai (high-alert). Maksud dan Tujuan Sasaran III, Kesalahan ini bisa terjadi bila perawat tidak mendapatkan orientasi dengan baik di unit pelayanan pasien, atau bila perawat kontrak tidak diorientasikan terlebih dahulu sebelum ditugaskan, atau pada keadaan gawat darurat. Cara yang paling efektif untuk mengurangi atau mengeliminasi kejadian tersebut adalah dengan meningkatkan proses pengelolaan obat-obat yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien ke farmasi. Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk membuat daftar obat-obat yang perlu diwaspadai berdasarkan data yang ada di rumah sakit. Kebijakan dan/atau prosedur juga mengidentifikasi area mana saja yang membutuhkan elektrolit konsentrat, seperti di IGD atau kamar operasi, serta pemberian label secara benar pada elektrolit dan bagaimana penyimpanannya di area tersebut, sehingga membatasi akses, untuk mencegah pemberian yang tidak sengaja/kurang hati-hati (permenkes, 2011).

Elemen Penilaian Sasaran III

1. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses identifikasi, menetapkan lokasi, pemberian label, dan penyimpanan elektrolit konsentrat.

2. Implementasi kebijakan dan prosedur.

3. Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian yang kurang hati-hati di area tersebut sesuai kebijakan.

4. Elektrolit konsentrat yang disimpan pada unit pelayanan pasien harus diberi label yang jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted) (Permenkes, 2011).

2.8. Kalium Klorida 2.8.1. Kalium

(42)

elektrolit paling banyak terdapat dalam sel (kalium, magnesium, dan sebagian kalsium), dalam cairan ekstraselular (CES) yang terdapat pembuluh darah dan ruang antar jaringan (natrium dan sebagian kalsium), dan dalam saluran

gastrointestinal. Dimana anion akan berdampingan dengan kation (Kee, Joycee L, 1996).

Kadar normal dalam plasma atau serum untuk kalium adalah 3,5 -5,3 mEq/L. Keadaan dimana kadar kalium serum kurang dari 3,5mEq/L disebut hipokalemia, dan kadar kalium serum lebih besar dari 3,5 mEq/L disebut hiperkalemia. Terlalu sedikit kalium (dibawah 2,5 mEq) atau terlalu banyak kalium (hiperkalemia) diatas 7,0 mEq/L dapat menimbulkan henti jantung. Masukkan kalium yang dianjurkan adalah dianjurkan adalah 40-60 mEq/L setiap hari didapatkan dari makanan seperti buah-buahan dan sayur-sayuran, atau dalam bentuk suplemen kalium.

Larutan Kalium klorida (KCl) pekat dan kalium kuat lainnya. Tindakan pencegahan harus diterapkan dalam konsentrasi kalium klorida yaitu :

a. 10% (1 gram kalium dalam 10 ml) b. 15% (1,5 gram kalium dalam 10 ml)

c. 20% (1 gram kalium dalam 5 ml) dalam ampul dan vial. (Cohn JN,2000)

Area perawatan yang menggunakan kalium klorida adalah Unit perawatan intensif, unit perawatan ketergantungan yang tinggi, unit perawatan jantung, lainnya, area khusus perawatan kritis khusus seperti unit ginjal, jantung, neonatal, unit perawatan intensif dan beberapa kecelakaan dan keadaan darurat (Cohn JN, 2000).

(43)

Monografi Kalium Klorida

Nama dagang : injeksi kalium klorida terkonsentrat, kalium klorida pekat steril.

Golongan obat : elektrolit (suplemen kalium)

Kekuatan sediaan : ampul mengandung 0,75g/10 ml (10 mmol/10 ml), 1g/4ml (13,4 mmol/4 ml), 1g/10ml (13,4 mmol/10ml), 1,5 g/10 ml (20 mmol/10 ml), 2 g/10 ml (26,8 mmol/10 ml).

Kekuatan kantung infus kalium premix antara 10-40 mmol dalam 500-1000 ml dalam cairan yang sesuai.

Isotonis kantung infus KCL premix termasuk :

a. 10 mmol KCL dalam 100 ml NaCL 0,26% b. 30 mmol KCL dalam 500 ml NaCL 0,53% c. 40 mmol KCL dalam 1 L NaCL 0,584%

Dosis yang menyebabkan kematian 25 mEq.

PH : 4-8

Administrasi : injeksi IM : tidak direkomendasikan

Injeksi subkutan : tidak direkomendasikan

Injeksi IV : kontraindikasi (harus dilarutkan jika akan diberikan)

Infus IV : ampul harus dilarutkan dengan larutan yang kompatibel melalui IV. Pencampuran harus berhati-hati dan harus dilakukan pengenceran terlebih dahulu.

Pada pasien yang memiliki serum dibawah 2,5 mmol/L maka kecepatan infus tidak boleh melebihi 10 mmol/jam.

Pada pasien hipokalemia berat kecepatan infus tidak boleh melebihi 20 mmol/jam.

Untuk bayi dan anak-anak : melalui vena perifer dan vena sentral konsentrasi yang digunakan 60 mmol/L.

(44)

Kompatibilitas : Cairan kompatibel : glukosa 5%,glukosa 10%,larutan glukosa dan natrium klorida,Ringer,NaCL 0,45%,NaCL 0,9%.

Obat yang kompatibel : aminophiline, amiodarone, kalsium glukonat, cefepime, ceftazidine, kloramfenikol, klindamisin, ciprofloksasin.

Inkompatibilitas : Cairan inkompatibel : mannitol

Obat inkompatibel : amoksilin, amfoterisin B, azitromisin, benzilpenisilin, klorpromazine.

Produsen : PT.Otsuka Indonesia, PT.Abbott, PT.Fahrenheit, PT.Widatra Bhakti, PT.Sanbe Farma (ISO,2012).

( The Australian Council for Safety and Quality, 2003)

2.8.2. Hipokalemia

Hipokalemia merupakan kejadian yang sering dijumpai. Penyebab hipokalemia dapat dibagi sebagai berikut (Unit Pendidikan Kedokteran- Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan FKUI, 2007) :

1) Asupan Kalium Kurang

Asupan kalium normal berkisar antara 40-120 mEq per hari. Hipokalemia akibat asupan kalium kurang biasanya disertai oleh masalah lain misalnya pada pemberian diuretik atau pemberian diet rendah kalori pada program menurunkan berat badan (Unit Pendidikan Kedokteran-Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan FKUI, 2007).

2) Pengeluaran Kalium Berlebihan

(45)

Kalium masuk ke dalam sel dapat terjadi pada alkalosis ekstrasel, pemberian insulin, peningkatan aktivitas beta-adrenergik, paralisis periodik hipokalemik, hipotermia. Defisit ion kalium tergantung pada lamanya kontak dengan penyebab dan konsentrasi ion kalium serum (Unit Pendidikan Kedokteran-Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan FKUI, 2007).

Tanda-tanda dan gejala yang terjadi pada hipokalemia yaitu keletihan, kelemahan otot, kram kaki, otot lembek atau kendur, mual, muntah, ileus, parestesia, peningkatan efek digitalis, penurunan konsentrasi urin (Horne, 2001).

Setiap sel-sel mengalami kerusakkan karena trauma, cedera, pembedahan, atau syok, kalium akan keluar dari sel ke dalam cairan intravaskular dan diekskresikan oleh ginjal. Dengan hilangnya kalium dari sel, kalium akan pindah dari plasma ke dalam sel untuk memulihkan keseimbangan kalium selular. Jika ginjal tidak bekerja atau terserang penyakit kalium akan menumpuk di dalam cairan intravaskulardan terjadi hiperkalemia. Jika kadar kalium serum diantara 3,0-3,5 mEq/L, 100-200 mEq/L kalium klorida (KCL) diperlukan untuk meningkatkan kadar kalium serum sebanyak 1 mEq ( 3,0-4,0 mEq/L). Namun, kalium klorida tidak dapat dengan cepat memperbaiki kekurangan kalium yang berat (Cohn JN, 2000).

Kalium dapat diberikan secara oral atau intravena dan digabung dengan suatu anion seperti klorida atau bikarbonat. Kalium oral dapat diberikan dalam bentuk cair, bubuk, atau tablet. Kalium dapat mengiritasi lambung dan usus halus sehingga harus diberikan dengan sedikitnya setengah gelas cairan (sari buah-buahan atau air) dan akan lebih baik dengan segelas air (Singer GC, 1998).

Kalium intravena harus diencerkan dalam cairan karena tidak dapat diberikan sebagai obat IV yang disuntikkan atau berupa bolus IV.

Tabel 3. Sedian Farmasi Larutan Kalium Klorida

Preparat Obat

Cairan oral Kalium kloria 10% = 20 mEq/15 ml,

(46)

jarang dipakai.

Tablet/Kapsul oral Kalium klorida (tablet enteric-coated), Kaon CL ( kalium klorida), Slow K (kalium klorida 8 mEq), K-lyte- CL (tablet effervescent), kdur, microtab.

Kalium intravena Kalium klorida dalam cairan jernih dalam vial multidosis / ampul

(2 mEq/L). (Kee, Joycee L, 1996)

Tanda-tanda dan gejala hipokalemia adalah mual dan muntah, aritmia, perut kembung dan otot yang kendur. Obat-obat tertentu menambah kehilangan kalium seperti diuretik yang membuang kalium yaitu hidroklorotiazid (Hydrodiuril), furosemid (Lasix), asam etakrinat (Edecrin), dan preparat kortison. Pasien yang menerima obat-obatan tersebut harus menambah masukan kalium dengan makanan yang kaya akan kalium atau suplemen kalium. (Singer GC, 1998).

2.8.3. Interaksi Obat Lain Dengan Kalium Klorida

Tabel 4. Interaksi Obat Lain Dengan Kalium Klorida

Nama Obat Efek

ACE Inhibitor garam kalium meningkatkan efek

hiperkalemi dari ACE inhibitor.

Angiotensin II Reseptor Bloker garam kalium meningkatkan efek hiperkalemi dari Angiotensin II Reseptor Bloker.

Antikolinergik dapat meningkatkan efek ulserogenik dari kalium klorida.

Eplerenone dapat meningkatkan efek dari garam kalium.

Diuretik hemat kalium um dapat meningkatkan efek hiperkalemia dari diuretik hemat kalium.

(47)

2.8.4. Pedoman Umum Penggunaan Kalium

1. terapi harus dilengkapi dengan konsumsi makanan dari makanan kaya kalium

2. individu pada diet natrium terbatas sudah dianjurkan untuk menerima suplementasi kalium

3. individu rawan mual, muntah, diare, bulimia, atau diuretik / pencahar penyalahgunaan sudah dianjurkan untuk menerima suplemen kalium. 4. untuk mengisi kalium, mengelola dosis moderat dari kalium atas beberapa

hari sampai minggu

5. untuk lebih akurat penilaian total kalium tubuh, harus diukur ekskresi kalium 24 jam dalam pasien berisiko tinggi

6. meningkatkan kepatuhan pasien dengan mengembangkan rejimen dosis yang aman

7. meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan dosis rejimen seperti formulasi mikroenkapsulasi, yang menurunkan pencernaan yang merugikan efek tidak diinginkan

8. dosis kalium pada umumnya untuk pencegahan hypokalemia adalah 20 meq / hari dan biasa pengobatan dosis adalah 40 sampai rp100 meq per hari.

(Schultz NJ, 1999).

2.9. Penyimpanan, Pelabelan , Peresepan, Pencampuran, dan Pemberian Kalium Klorida

(48)

organisasi kesehatan memiliki sistem dan proses untuk praktek aman penggunaan kalium klorida dan larutan elektrolit pekat lainnya.

rekomendasi:

a. Sangat penting bahwa ketersediaan, akses / penyimpanan, resep, pemesanan, penyiapan, distribusi, pelabelan, verifikasi, administrasi dan pengawasan terhadap agen tersebut dipandu sedemikian rupa sehingga potensi untuk kesalahan diminimalkan atau dihilangkan.

b. Pendekatan untuk masalah ini harus multidisiplin dan melibatkan tenaga medis, keperawatan, keselamatan pasien dan perwakilan farmasi.

2.9.1. Definisi Kalium pekat

Joint Commission International (JCI) mendefinisikan kalium klorida

pekat dengan konsentrasi lebih besar dari atau sama dengan 2 mmol/mL (JCI, 2012). Australian Commission for Safety & Quality in Healthcare berfokus pada pemindahan ampul kalium klorida dalam penyimpanan, dan pentingnya pengenceran sebelum digunakan daripada mendefinisikan konsentrasi secara spesifik. Bahaya yang terkait dengan kalium dapat memiliki konsekuensi sama walaupun dalam konsentrasi rendah , personalia di rumah sakit mungkin memiliki definisi beragam apa yang dianggap terkonsentrasi. Sehingga hal tersebut menjadi hal penting bahwa setiap rumah sakit mengembangkan definisi yang disepakati sendiri " individu terkonsentrasi" yang menjadi dasar kebijakan lokal (The Australian Council for Safety & Quality, 2013).

2.9.2. Penyimpanan Kalium Intravena

Pemindahan larutan elektrolit pekat, khususnya kalium klorida, dari unit perawatan pasien memiliki dampak positif ditandai pada pengurangan kematian dan mencegah terjadinya cedera yang terkait dengan agents tersebut (JCI,2007).

a. Idealnya, pemindahan kalium pekat dari daerah perawatan pasien sesuai tujuan.

b. Larutan infus kalium siap-campuran (prefilled bags) harus digunakan bila dimungkinkan.

(49)

d. Minimal, kalium pekat harus dipisahkan dari obat lain misalnya, dalam lemari terpisah/aman atau terkendali di lemari obat. Rumah sakit mungkin dapat mempertimbangkan pengobatan produk kalium pekat sebagai obat yang dikontrol dalam bentuk pencatatan. Hal tersebut baik dilakukan di dalam apotek dan di daerah perawatan pasien.

e. Kalium pekat harus disimpan dan disiapkan di daerah klinis, risiko menggunakan produk ini harus dikelola dengan menerapkan beberapa tindakan pencegahan termasuk :

1. Menyesuaikan dengan stok baku kalium pekat dengan kemiripan pada pelabelan dan kemasan.

2. Memisahkan penyimpanan kalium pekat dari obat-obatan lain. 3. Membatasi akses kalium pekat hanya pada staff berkualitas. 4. Membatasi jumlah kalium pekat yang disimpan di area klinis.

2.9.3. Masalah Peresepan Kalium

Kalium oral dapat diresepkan bersama dengan IV kalium ( Mount et Al,2012). 1. Kalium intravena harus ditentukan kekuatan yang memungkinkan tersedia

siap dicampur dalam larutan infus kalium (prefilled bags) untuk penggunaan yang dimungkinkan.

2. Departemen farmasi harus memberikan resep dengan daftar yang tersedia dalam kantung infus kalium yang siap dicampur.

3. Selalu mempersiapkan spesifitas (penentuan konsentrasi) kalium (Fosfat atau klorida) yang akan digunakan.

Menentukan kelarutan cairan dan volume 1. Volume akhir harus selalu ditentukan.

2. Terapi awal penggantian kalium tidak harus melibatkan infus glukosa, karena glukosa mungkin menyebabkan penurunan lebih lanjut dalam konsentrasi plasma kalium (Mount et al., 2012).

(50)

4. Tentukan laju administrasi. Laju administrasi : pedoman praktek saat ini, didukung oleh IMSN menyarankan resep yang memiliki laju maksimum 10 mmol kalium klorida / jam untuk daerah bangsal umum.

5. Administrasi lebih cepat hanya dianjurkan dan monitoring jantung yang memungkinkan. Dalam situasi ini, IMSN merekomendasikan laju maksimum 20 mmol kalium/jam. Setiap rumah sakit harus memiliki standar yang disepakati sebagai maksimum administrasi (ISMN, 2013).

2.9.4. Administrasi Kalium klorida

Praktek pemberian obat yang aman : Infus kalium cepat dapat berakibat toksik bagi hati dan fatal. Jika kalium pekat harus ditambahkan ke kantung infus harus diambil dan dipastikan dapat dicampur. Pencampuran yang tidak sempurna dapat menyebabkan lapisan kalium terkonsentrasi pada dasar kantung infus dan administrasi tidak tepat pada bolus berakibat toksisitas. Untuk menghindari risiko ini, setelah penghitungan jumlah kalium pekat dengan benar telah ditambahkan, campurkan secara menyeluruh dengan menekan dan membalik kantung infus setidaknya 10 kali (Gray et al., 2012).

1. Infus Kalium harus selalu dikelola dengan menggunakan pompa infus terkontrol (Gahart, 2013). ini harus diperhitungkan ketika membawa pasien di daerah klinis.

2. Pertimbangan untuk menggunakan label peringatan berisiko tinggi pada larutan kalium intravena sebelum pemberian.

3. Tingkat administrasi : pedoman praktek saat ini, didukung oleh IMSN tersebut, menyarankan resep dengan laju maksimum pemberian 0.2 mmol/kg /jam. (tidak melebihi 10 mmol/jam) kalium klorida untuk daerah bangsal umum. Tingkatan administrasi lebih cepat hanya dianjurkan bila central line dan monitoring jantung yang memungkinkan. Dalam situasi ini, IMSN merekomendasikan laju maksimum adalah 20 mmol kalium/jam.

(51)

5. Pengukuran berulang konsentrasi plasma kalium diperlukan untuk menentukan apakah infus lebih lanjut diperlukan, dan untuk menghindari perkembangan hiperkalemia.

2.9.5. Pemberian Obat

Larutan infus kalium Siap-campuran (prefilled bags) harus disiapkan dan digunakan bila memungkinkan, dalam bentuk ampul kalium pekat, (WHO, 2010). Departemen Farmasi harus memberikan resep dengan daftar yang tersedia siap dicampur dalam kantung infus kalium. Pelabelan : vial kalium, jika disimpan di tempat perawatan pasien, harus memiliki label peringatan yang menyatakan "HARUS DILARUTKAN". WHO merekomendasikan bahwa ini harus menjadi peringatan (WHO, 2010). Penyiapan kalium pekat di rumah sakit harus memastikan bahwa prosedur tertentu melibatkan lokasi, penyimpanan dan penggunaan kalium dalam area penggunaan spesialis (IMSN, 2013).

2.10. Peraturan Penyimpanan, Penandaan, Penyiapan, dan Penggunaan Kalium

Klorida Pekat Di RSUP. Fatmawati (Nomor Dokumen

HK.03/05/II.1/1649/2012 (025/FAR)

Penyimpanan obat high alert yang diterima dengan memeriksa : 1. Nama obat high alert.

2. Jumlah obat high alert.

3. Tanggal kadaluarsa obat high alert. 4. Kondisi fisik obat high alert.

5. Kondisi penyimpanan khusus obat high alert.

Pemberian penanda khusus (stiker high alert) oleh petugas farmasi di gudang atau depo farmasi diberikan pada kemasan fisik (vial/ampul/syringe/flesh). Pencatatan stok obat high alert yang diterima, pencatatan dilakukan oleh petugas dalam sistem informasi rumah sakit (SIRS) dan kartu stok obat high alert sebagai penambahan jumlah.

Penempatan obat high alert oleh petugas pada lemari penyimpanan obat yang bertanda khusus (list merah dan stiker high alert) dengan kriteria (khusus kalium klorida pekat) :

a. Elektrolit pekat injeksi KCL dan NaCL 3% hanya disimpan di instalasi farmasi (depo dan gudang) dalam troly emergency (IBS, ICU, ICCU, NICU, PICU, resusitasi IGD).

(52)

1. Obat high alert yang dipersyaratkan disimpan pada suhu dingin antara 2-80C maka disimpan dalam lemari pharmaceutical refrigerator.

2. Obat high alert yang dipersyaratkan disimpan pada suhu ruangan yaitu 250C maka disimpan dalam lemari yang diberikan penanda khusus.

Pelaksanaan teknik pencampuran obat injeksi high alert secara aseptik oleh petugas pencampuran obat :

1. Prosedur Mengambil Larutan Dari Ampul atau

2. Prosedur Mengambil Larutan Dari Vial (sesuai dengan sediaan obat yang dikerjakan.

Penyiapan obat high alert dengan pemberian obat high alert dan label

“identitas” yang sesuai pada setiap syringe atau infus yang sudah berisi obat oleh petugas pencampuran obat. Label “identitas” berisi data tentang :

1. Nama Pasien

2. Nomor Rekam Medik 3. Nama Obat

4. Dosis obat

5. Pelarut dan volume pelarut 6. Rute Pemberian

7. Tanggal Pembuatan

(53)
(54)

pasien yang Bagan 2. Proses Permintaan Kalium klorida di Foothills Medical Centre

kecepatan pemberian dan volume pemberian.

(55)

Pelaksanaan pemberian obat high alert kepada pasien dengan verifikasi tujuh BENAR oleh DPJP atau oleh dengan pasien IRNA di ruangan :

1. Benar obat

2. Benar waktu pemberian dan frekuensi pemberian 3. Benar dosis

4. Benar rute pemberian 5. Benar pasien

6. Benar informasi 7. Benar dokumentasi

Pelaksanaan pemberian obat high alert pada pasien pengguna KCL : a. Apabila obat high alert Dalam sediaan khusus maka dokter DPJP

atau perawat yang melakukan pemberian obat langsung pada pasien. Bentuk sediaan tersebut adalah :

1. Enteral (Sublingual, Rektal)

2. Parenteral ( intravaskular,intra Muscular, Subcutan)

3. Lain-lain (inhalasi,intranasal, intratekal,topikal, transdermal)

b. KCL 7,46% injeksi (konsentrasi sediaan yang ada adalah 1 Meq = 1 ml) harus diencerkan sebelum digunakan dengan perbandingan 1 ml KCL : 10 ml pelarut (WFI/NaCL 0,9%). Konsentrasi dalam larutan maksimum adalah 10 Meq/100 ml. Pemberian KCL injeksi melalui perifer diberikan secara perlahan-lahan dengan kecepatan infus 10 Meq/jam (atau 10 Eq KCL dalam 100 ml pelarut/jam). Pemberian obat KCL melalui central line (vena sentral), konsentrasi maksimum adalah 20 Meq/100ml, kecepatan infus maksimum 20 Meq/jam (atau 20 Meq KCL dalam 100 ml pelarut/jam).

Pelaksanaan pencatatan dan pendokumentasian penerimaan obat High Alert yaitu :

1. Bila pasien dalam keadaan kondisi sadar dan koperatif maka pasien memberikan tanda tangan dalam kolom “paraf pasien” pada formulir pencatatan dan pemantauan penggunaan obat pasien.

2. Bila pasien tidak sadar atau tidak kooperatif maka keluarga pasien memberikan tanda tangan.

(56)

2.11. Kerangka Konsep

PROBLEM

"High Alert Medication" High Consentrat

"KCL Pekat"

1. Penyimpanan

2. Pelabelan

3. Penyiapan (Preparing)

4. Pemberian / administrasi

STANDAR

Standarisasi Pelayanan

* Joint Commission International ( JCI) (2012)

* KARS (2012)

Persentase Sesuai Standar

Persentase Tidak Sesuai Standar

TARGET Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan

(57)

2.12. Definisi Operasional

Materi Definisi

Profil Gambaran mengenai penyimpanan,

penandaan, penyiapan dan pemberian obat high alert medication yaitu kalium klorida pekat.

Pengelolaan Meliputi proses pemilihan, perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, Pemusnahan dan Penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai

(Permenkes, 2014).

High Alert Medication Obat-obatan yang perlu diwaspadai

(high-alert medications) adalah obat yang sering menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan serius (sentinel event), obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome) (Permenkes, 2011).

Kalium klorida terkonsentrat The National Patient Safety Agency (UK) mendefinisikan konsentrasi lebih besar dari 1.34mmol / mL kalium klorida (KCL) dan setiap kalium fosfat botol / ampul atau Miniplasco® sebagai larutan terkonsentrat (National Patient Safety Agency, 2002).

Metode Observasional Survei/visitasi guna penilaian objek yang sedang diamati disesuaikan dengan jadwal yang telah dibuat dalam penelitian.

Cross sectional Suatu penelitian dimana variabel

independen/faktor penyebab/faktor risiko dan variabel dependen/faktor akibat/faktor efek dikumpulkan pada saat bersamaan (Supardi, 2002).

Gambar

Grafik 1. Perbandingan Persentase Pengelolaan Kalium Klorida Pekat Pada Objek
Tabel 1. Istilah-istilah dalam kejadian keselamatan pasien
Tabel 2. daftar High Alert Medications in Acute Care Settings
Tabel 3. Sedian Farmasi Larutan Kalium Klorida
+7

Referensi

Dokumen terkait