• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3 Kearifan Lokal Masyarakat .1 Karakteristik responden

5.3.2 Aksi konservasi masyarakat suku Lampung Pesisir

Pengetahuan terkait dengan kearifan lokal dalam pemanfaatan tumbuhan yang dilakukan oleh masyarakat Suku Lampung Pesisir dilakukan secara turun-temurun. Interaksi masyarakat dengan sumberdaya alam yang ada mengharuskan masyarakat untuk tetap mempertahankan pengetahuan lokal untuk hidup selaras dengan alam. Pengetahuan tradisional masyarakat atau kearifan lokal berbeda satu sama lain tergantung budaya dan wilayah setempat. Melakukan konservasi tumbuhan tentunya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan konservasi sumber daya alam hayati secara keseluruhan. Konservasi sumber daya alam hayati adalah sebagai upaya pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya senantiasa memperhitungkan kelangsungan persediannya dengan tetap memelihara serta meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Tujuan dilakukannya konservasi tersebut adalah untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam dan keseimbangan ekosistemnya,

sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat serta mutu kehidupan manusia (UU No.05 tahun 1990).

a. Kegiatan budidaya tumbuhan

Permasalahan dalam konservasi tumbuhan secara umum, dan tumbuhanobat khususnya adalah masalah budidaya tumbuhannya. Hingga saat ini belum menggairahkan petani, disebabkan kurangnya informasi dan publikasi hasil penelitian mengenai teknik budidaya serta belum adanya sistem pemasaran hasil yang mantap. Selain itu penelitian sebagai upaya memperoleh data dasar yang diperlukan bagi pelestarian pemanfaatan tumbuhan potensial mulai dari penelitian bioekologi hingga teknik budidayanya dan eksplorasi bahan aktif yang berguna belum dilakukan secara intensif (Zuhud & Haryanto 1991). Kegiatan budidaya yang dilakukan oleh masyarakat, yaitu di lahan-lahan pekarangan, kebun, dan sawah. Penanaman spesies tanaman di pekarangan disesuaikan dengan fungsinya, yaitu sebagai sumber karbohidrat, protein, vitamin dan mineral, tanaman obat, dan lain-lain.

Minat masyarakat terhadap budidaya tumbuhan disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya yaitu masih tersedianya tumbuhan yang dibutuhkan di sekitar mereka (pekarangan, tepi jalan, kebun, hutan, dan lain-lain), adanya pengetahuan mengenai tumbuhan tersebut, kebutuhan hidup sehari-sehari, pemenuhan kebutuhan terkait ekonomi, dan adanya informasi mengenai tumbuhan-tumbuhan tersebut. Budidaya tumbuhan obat dalam skala ekonomi belum menjadi bagian kebudayaan dan kelembagaan para petani, khususnya di Indonesia (Afrianti 2007). Kegiatan budidaya yang dilakukan di kebun oleh masyarakat Suku Lampung Pesisir biasa disebut dengan repong, repong terdiri dari berbagai macam tanaman keras yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan memiliki nilai ekonomi seperti kakao (Theobroma cacao), duku (Lansium domesticum), lansat (Lansium domesticum var. pubescens), kokosan (Lansium domesticum var.

aqueum), durian (Durio zibethinus), petai (Parkia speciosa), jengkol

(Pithecellobium lobatum), dan lain-lain.

Diutamakannya penanaman tanaman keras, terkait dengan kelestarian kawasan melalui ditanamanya tumbuhan yang memiliki tajuk tinggi ataupun tajuk sedang dan tidak dilakukannya penebangan menghindari terjadinya erosi dan

hal-hal yang dapat mengancam kelestarian kawasan. Lahan di kawasan kepemilikannya berdasarkan turun temurun dari generasi sebelumnya dan tidak diperbolehkannya pindah kepemilikan pada anggota selain keluarga. Hal ini selain merupakan kearifan lokal masyarakat Suku Lampung Pesisir, menjadi salah satu peraturan dari Tahura WAR terkait kelestarian kawasan.

Dari berbagai bentuk pemanfaatan tumbuhan pangan oleh masyarakat terdapat spesies-spesies tumbuhan yang dipasarkan oleh masyarakat. Sebagian besar merupakan spesies tanaman pertanian yang telah dibudidayakan di kebun dan pekarangan. Pada umumnya diperdagangkan dalam bentuk utuh. Spesies-spesies yang diperdagangkan, diantaranya yaitu petai (Parkia speciosa), durian

(Durio zibethinus), duku (Lansium domesticum), lansat (Lansium domesticum

var. pubescens), kokosan (Lansium domesticum var. aqueum), kakao (Theobroma cacao), dan lain-lain. Harga petai yang biasa dipasarkan masyarakat, yaitu sekitar Rp 60000,- sebanyak 100 papan petai (satu empong). Masing-masing harga per Kg duku dan lansat, yaitu rata-rata Rp 4000,- dan Rp 500,-. Harga satu gandeng durian rata-rata sebesar Rp 15000,-. Satu gandeng berisi dua buah durian. Kokosan merupakan tumbuhan yang musim berbuahnya paling akhir setelah duku dan lansat, harga buah ini satu timpuy sebesar Rp 500,- (Gambar 9). Selain tumbuhan di atas, masyarakat banyak pula menjual biji coklat. Penjualan biji coklat dilakukan di Dusun Margadalom sendiri karena di Dusun sudah ada penampung biji coklat yang masyarakat jual. Harga biji coklat sekitar Rp 15000,-/ Kg. Selain penampung penjualan biji coklat, terdapat pula industri rumah tangga untuk pengepakkan pisang yang akan dikirim ke luar kota.

Pengambilan atau pemanenan tumbuhan yang ada di lahan repong, dilakukan saat masa waktu panen atau buah siap dipanen. Pemanenan durian dilakukan dengan menunggu durian yang matang jatuh dengan sendirinya, kira-kira sebanyak 75%, setelah terpenuhi sekitar 75% pemanenan dilakukan dengan unduhan. Selain durian, pemanenan yang dilakukan masyarakat terkait dengan kelestarian adalah pemanenan duku, yaitu ditunggu hingga duku matang setelah itu baru diunduh. Kegiatan pemanenan ini dilakukan tanpa penebangan. Pengambilan atau pemanenan tumbuhan-tumbuhan pangan, selain menggunakan karung, beberapa masyarakat menggunakan wadah dari anyaman bambu sering disebut dengan pecandang (Gambar 10).

Sedangkan pengambilan spesies-spesies tumbuhan obat disesuaikan dengan kebutuhan pengobatan atau saat masyarakat sedang menderita suatu penyakit. Selama ini biasanya masyarakat mengambil tumbuhan obat hanya pada saat membutuhkan saja, hanya spesies-spesies tertentu yang mempunyai fungsi sekunder sebagai tumbuhan obat seperti papaya (carica papaya), pinang (Areca catechu), cabe (Capsicum frutescens), laos (Languas galanga) dan kelapa hijau

(Cocos nucifera) yang sudah ditanam (Kartikawati 2004).

Gambar 10 Pecandang.

Kegiatan penanaman yang dilakukan oleh masyarakat Suku Lampung Pesisir, yaitu diperolehnya biji dan bibit tumbuhan pangan dan obat dari pemungutan di bawah pohon dan di kebun, pekarangan, dan sawah, baik milik sendiri ataupun tetangga serta di sekitar jalan dan hutan.

Penggunaan tumbuhan dalam kehidupan masyarakat dapat terlihat tri-stimulus yaitu alamiah, manfaat, dan religius (AMAR) (Zuhud et al. 2007). Stimulus alamiah yaitu berupa pengetahuan alami masyarakat terhadap tumbuhan, stimulus manfaat berkaitan dengan manfaat atau kepentingan masyarakat terhadap tumbuhan, dan stimulus religius/spiritual merupakan sikap rela dan akhlak masyarakat untuk melakukan aksi konservasi.

Masyarakat suku Lampung Pesisir memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di sekitar, khususnya terkait tumbuhan pangan dan obat. Hubungan pemanfaatan yang dilakukan dengan masyarakat terkait dengan peran stimulus mengarah pada kepentingan pemanfaatan secara lestari. Aksi konservasi yang dilakukan oleh masyarakat yang mengarah pada stimulus alamiah yaitu budidaya tumbuhan pangan dan obat. Masyarakat melakukan budidaya terbatas pada tumbuhan yang memang benar-benar mereka butuhkan sebagai pemenuh kebutuhan kehidupan keseharian mereka. Pembudidayaan dilakukan pada lahan pekarangan dan kebun sekitar.

Stimulus manfaat yang telah diterapkan dan dirasakan oleh masyarakat, diantaranya yaitu adanya pemanfaatan kakao (Theobroma cacao), duku (Lansium domesticum), durian (Durio zibethinus), lansat (Lansium domesticum var.

pubescens), kokosan (Lansium domesticum var. aqueum) yang merupakan tumbuhan yang memiliki nilai manfaat ekonomi tinggi. Selain tumbuhan pangan, tumbuhan obat juga memilki nilai manfaat tinggi dengan adanya spesies-spesies yang sering digunakan untuk mengobati lebih dari satu macam penyakit. Untuk stimulus religius dalam hal pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari, yaitu sikap rela berkorban untuk mewujudkan praktek konservasi sumberdaya alam sekitar.

b. Budaya gotong royong

Suatu budaya kerja yang dilakukan oleh masyarakat Suku Lampung Pesisir. Gotong royong dilakukan pada jalanan menuju kawasan Tahura WAR dan lingkungan Dusun. Gotong royong pada jalan menuju kawasan dilakukan tiap seminggu sekali, sedangkan gotong royong di lingkungan Dusun dilakukan lima hingga enam bulan sekali. Selain di lingkungan Dusun, gotong royong dilakukan

untuk membersihkan aliran irigasi untuk pemenuhan kebutuhan lahan sawah yang digarap (Gambar 11). Kegiatan gotong royong yang dilakukan sering disebut dengan Pekhaga.

Gambar 11 Aliran irigasi.