BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
E. Analisis Pembebanan Jembatan Keduang
2. Aksi transien
Aksi transien adalah aksi akibat pembebanan sementara dan bersifat berulang ulang seperti beban lalu lintas (beban lajur “D” atau beban “T”), beban rem, aliran air (banjir), dan lain sebagainya.
a. Aksi Lalu Lintas
Beban lalu lintas untuk perencanaan jembatan terdiri dari beban lajur "D" dan beban truk "T". Beban lajur "D" bekerja pada seluruh lebar jalur kendaraan dan menimbulkan pengaruh pada jembatan yang ekuivalen dengan suatu iring-iringan kendaraan yang sebenarnya. Jumlah total beban lajur "D" yang bekerja tergantung pada lebar jalur kendaraan itu sendiri. Beban truk "T" adalah satu kendaraan berat dengan 3 as yang ditempatkan pada beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana. Tiap as terdiri dari dua bidang kontak pembebanan yang dimaksud sebagai simulasi pengaruh roda kendaraan berat. Hanya satu truk "T" diterapkan per lajur lalu-lintas rencana.
Secara umum, beban "D" akan menentukan dalam perhitungan yang mempunyai bentang mulai dari sedang sampai panjang, sedangkan beban "T" digunakan untuk bentang pendek dan lantai kendaraan. Penggunaan beban lajur lalu lintas dapat dipilih salah satu
Lajur lalu-lintas rencana harus mempunyai lebar 2,75 m. Jumlah maksimum lajur lalu-lintas yang digunakan untuk berbagai lebar jembatan bisa dilihat dalam Tabel 3.6.
1) Beban lajur “D”
Beban lajur "D" bekerja pada seluruh lebar jalur kendaraan dan menimbulkan pengaruh pada jembatan yang ekuivalen dengan suatu iring- iringan kendaraan yang sebenarnya. Jumlah total beban lajur "D" yang bekerja tergantung pada lebar jalur kendaraan itu sendiri (Tabel 3.6).
Tabel 3.6 Jumlah lajur lalu-lintas rencana
Tipe Jembatan (1) Lebar Jalur Kendaraan (m) (2)
Jumlah Lajur Lalu-lintas Rencana (nl)
Satu lajur 4,0 - 5,0 1
Dua arah, tanpa median 5,5 - 8,25 11,3 - 15,0 2 (3) 4 Banyak arah 8,25 - 11,25 11,3 - 15,0 15,1 - 18,75 18,8 - 22,5 3 4 5 6
CATATAN 1 Untuk jembatan tipe lain, jumlah lajur lalu-lintas rencana harus ditentukan oleh Instansi yang berwenang.
CATATAN 2 Lebar jalur kendaraan adalah jarak minimum antara kerb atau rintangan untuk satu arah atau jarak antara kerb/rintangan/median dengan median untuk banyak arah. CATATAN 3 Lebar minimum yang aman untuk dua-lajur kendaraan
adalah 6.0 m. Lebar jembatan antara 5,0 m sampai 6,0 m harus dihindari oleh karena hal ini akan memberikan kesan kepada pengemudi seolah-olah memungkinkan untuk menyalip.
(sumber: Peraturan Pembebanan untuk Jembatan, RSNI T 02-2005)
Beban lajur "D" terdiri dari beban tersebar merata (BTR) yang digabung dengan beban garis (BGT) seperti terlihat dalam Gambar 3.1.
Gambar 3.1. Beban lajur “D”.
a) Beban Terbagi Rata
Beban terbagi rata (BTR) mempunyai intensitas q kPa, dimana besarnya q tergantung pada panjang total yang dibebani L seperti berikut: L≤ 30 m : q = 8,0 kPa L > 30 m : q = 8,0 ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + L 15 5 , 0 kPa dengan pengertian: q = intensitas beban BTR
L = panjang total jembatan yang dibebani b) Beban Garis Terpusat
Beban garis terpusat (BGT) mempunyai dengan intensitas p kN/m harus ditempatkan tegak lurus terhadap arah lalu-lintas pada jembatan. Besarnya intensitas p adalah 44,0 kN/m. Untuk mendapatkan momen lentur negatif maksimum pada jembatan menerus, BGT kedua yang identik harus ditempatkan pada posisi dalam arah melintang jembatan pada bentang lainnya.
Penyebaran beban "D" pada arah melintang harus disusun pada arah melintang sedemikian rupa sehingga menimbulkan momen maksimum. Penyusunan komponen-komponen BTR dan BGT dari beban "D" pada arah melintang harus sama. Bila lebar jalur kendaraan jembatan kurang atau sama dengan 5,5 m, maka beban "D" harus ditempatkan pada seluruh jalur dengan intensitas 100 %. Apabila lebar jalur lebih besar dari 5,5 m, beban "D" harus ditempatkan pada jumlah lajur lalu-lintas rencana (n1)
beban garis ekuivalen sebesar n1 x 2,75 q kN/m dan beban terpusat
ekuivalen sebesar n1 x 2,75 p kN, kedua-duanya bekerja berupa strip
pada jalur selebar n1 x 2,75 m.
Lajur lalu-lintas rencana yang membentuk strip ini bisa ditempatkan dimana saja pada jalur jembatan. Beban "D" tambahan harus ditempatkan pada seluruh lebar sisa dari jalur dengan intensitas sebesar 50 %. Susunan pembebanan ini dapat dilihat pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2 Penyebaran pembebanan ”D” arah melintang (sumber: Peraturan Pembebanan untuk Jembatan, RSNI T-02 2005)
2) Gaya Rem
Pengaruh gaya rem diperhitungkan senilai dengan 5% dari beban lajur D yang dianggap ada pada semua jalur lalu lintas tanpa dikalikan dengan faktor beban dinamis dan dalam satu jurusan. Gaya rem tersebut dianggap bekerja horisontal dalam arah sumbu jembatan dengan titik tangkap setinggi 1,8 m di atas permukaan lantai kendaraan.
Faktor beban akibat gaya rem menurut RSNI T-02-2005 sebesar 1,0 pada daya layan dan 2,0 pada daya ultimit.
3) Pembebanan untuk Pejalan Kaki
Semua elemen dari trotoar atau jembatan penyeberangan yang langsung memikul pejalan kaki harus direncanakan untuk beban nominal 5 kPa. Jembatan pejalan kaki dan trotoar pada jembatan jalan raya harus direncanakan untuk memikul beban per m2 dari luas yang dibebani seperti pada Gambar 3.3. Faktor beban akibat beban pejalan kaki menurut RSNI T-02-2005 sebesar 1,0 pada daya layan dan 2,0 pada daya ultimit.
Gambar 3.3 Pembebanan untuk pejalan kaki
b. Aksi lingkungan
1) Gesekan pada perletakan
Gesekan pada perletakan termasuk pengaruh kekakuan geser dari perletakan elastomer. Gaya akibat gesekan pada perletakan dihitung hanya menggunakan beban tetap, dan harga rata-rata dari koefisien gesekan pada perletakan jembatan dapat dilihat pada Tabel 3.7.
Tabel 3.7 Koefisien gesekan perletakan
Jenis Tumpuan koefisien
gesekan ( ) A. Tumpuan Rol Baja
1. dengan 1 atau 2 rol 2. dengan 3 atau lebih B. Tumpuan Gesekan
1. antara baja dengan campuran tembaga keras dan baja 2. antara baja dengan baja atau besi tuang
3. antara karet dengan baja/beton
0,01 0,05
0,15 0,25 0,15-0,18
(sumber: Bambang S.dan A.S. Muntohar, Jembatan, hal.46)
Faktor beban akibat beban gesekan tumpuan menurut RSNI T-02- 2005 sebesar 1,0 pada daya layan dan 1,3 pada daya ultimit normal dan 0,8 daya ultimit terkurangi.
2) Pengaruh temperatur/suhu
Kondisi temperatur/suhu sangat berpengaruh pada beban yang bekerja pada jembatan karena akan berpengaruh pada kembang-susut material jembatan. Faktor beban akibat beban gesekan tumpuan menurut RSNI T-02-2005 sebesar 1,0 pada daya layan dan 1,2 pada daya ultimit normal dan 0,8 daya ultimit terkurangi
Secara umum temperatur jembatan berbeda sesuai dengan tipe bangunan atas yang digunakan (Tabel 3.8) dan sifat bahannya (Tabel 3.9). Regangan termal εT akan sebanding dengan perubahan temperatur ∆T
sesuai persamaan :
T T =αΔ
Tabel 3.8 Temperatur jembatan rata-rata nominal
Tipe Bangunan Atas
Temperatur Jembatan Rata-rata Minimum
Temperatur Jembatan Rata-rata Maksimum Lantai beton di atas gelagar
atau boks beton.
15°C 40°C
Lantai beton di atas gelagar, boks atau rangka baja.
15°C 40°C
Lantai pelat baja di atas gelagar, boks atau rangka
baja. 15°C 45°C
CATATAN: Temperatur jembatan rata-rata minimum bisa dikurangi 5°C untuk lokasi yang terletak pada ketinggian lebih besar dari 500 m diatas permukaan laut.
(sumber: Peraturan Pembebanan untuk Jembatan, RSNI T 02-2005)
Tabel 3.9 Sifat bahan rata-rata akibat pengaruh temperatur
Bahan Koefisien Perpanjangan
Akibat Suhu (α)
Modulus Elastisitas MPa
Baja 12 x 10-6 per °C 200.000
Beton:
Kuat tekan <30 MPa Kuat tekan >30 MPa
10 x 10-6 per °C 11 x 10-6 per °C
25.000 34.000
Aluminium 24 x 10-6 per °C 70.000
(sumber: Peraturan Pembebanan untuk Jembatan, RSNI T 02-2005)
Momen akibat temperatur ditunjukkan persamaan :
h EI M =εT ...(3.2.a) h T EI M = αΔ ...(3.2b)
3) Beban Angin
Kondisi angin pada suatu tempat merupakan beban yang akan bekerja pada struktur jembatan tertentu dan menjadi faktor yang diperhitungkan pada rencana pembebanan . Faktor beban akibat beban angin menurut RSNI T-02-2005 sebesar 1,0 pada daya layan dan 1,2 pada daya ultimit.
Gaya nominal ultimit dan daya layan jembatan akibat angin tergantung kecepatan angin rencana seperti berikut:
TEW = 0,0006 Cw(Vw)2Ab [ kN ] ...(3.3) dengan pengertian :
VW = kecepatan angin rencana (m/s) untuk keadaan batas yang ditinjau (Tabel 3.10)
CW = koefisien seret (Tabel 3.11)
Ab = luas koefisien bagian samping jembatan (m2)
Jika kendaraan melewati jembatan maka akan bekerja garis merata dengan arah horisontal di permukaan lantai Menurut RSNI T-02-2005 besar kecepatan angin rencana (VW) pada kondisi tersebut ditentukan
dengan persamaan sebagai berikut:
TEW = 0,0012 Cw(Vw)2Ab [ kN ] ...(3.4) dengan pengertian :
VW = kecepatan angin rencana (m/s) untuk keadaan batas yang ditinjau (Tabel 3.10)
Tabel 3.10 Kecepatan angin rencana VW
Lokasi Keadaan Batas
Sampai 5 km dari pantai > 5 km dari pantai
Daya layan 30 m/s 25 m/s
Ultimit 35 m/s 30 m/s
(sumber: Peraturan Pembebanan untuk Jembatan, RSNI T 02-2005)
Tabel 3.11 Koefisien seret CW
Tipe Jembatan CW
Bangunan atas masif: (1), (2)
b/d = 1.0 b/d = 2.0 b/d ≥ 6.0 2.1 (3) 1.5 (3) 1.25 (3)
Bangunan atas rangka 1.2
CATATAN 1 b = lebar keseluruhan jembatan dihitung dari sisi luar sandaran.
d = tinggi bangunan atas, termasuk tinggi bagian sandaran yang masif.
CATATAN 2 Untuk harga antara dari b / d bisa diinterpolasi linier.
CATATAN 3 Apabila bangunan atas mempunyai superelevasi, Cw harus dinaikkan sebesar 3 % untuk setiap derajat superelevasi, dengan kenaikan maksimum 2,5 %.
(sumber: Peraturan Pembebanan untuk Jembatan, RSNI T 02-2005)
4) Beban aliran air
Konstruksi jembatan sangat rentan terhadap beban aliran air khususnya beban air saat banjir. Saat banjir beban akibat aliran air dapat bertambah besar akibat adanya penumpukan sampah dan tumbukan batang kayu pada pilar jembatan.
a) Kecepatan aliran
Kecepatan aliran ini dapat diketahui dengan melakukan analisa hidrologi. Berikut ini langkah-langkah untuk analisa hidrologi:
1. Analisa wilayah hujan
Analisa wilayah hujan dilakukan untuk menghitung besarnya curah hujan berdasarkan daerah pengaruh dari setiap stasiun pengamatan yang letaknya tersebar. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah Methode Thiessen.
Dalam Methode Thiessen Curah hujan daerah dapat dihitung dengan persaman sebagai berikut:
n n n A A A R A R A R A R + + + + + + = ... ... 2 1 2 2 1 1 ...(3.5) dengan pengertian:
A1, A2... An = Luas daerah yang mewakili tiap stasiun
pengamatan
R1, R2... Rn = hasil pencatatan curah hujan tiap stasiun pengamatan
Pembagian daerah A1, A2... An ditentukan dengan cara sebagai berikut :
a. Cantumkan stasiun pengamatan di dalam dan di sekitar daerah itu pada peta rupa bumi. Hubungkan semua stasiun pengamat tersebut dengan garis lurus (dengan demikian akan terlukis jaringan segitiga yang menutupi seluruh daerah).
b. Daerah yang bersangkutan itu dibagi dalam poligon-poligon yang dicatat dengan rnenggambar garis bagi tegak lurus pada
tiap sisi segitiga tersebut di atas. Curah hujan dalam tiap poligon itu dianggap diwakili oleh curah hujan dari stasiun pengamatan dalam tiap poligon itu (Gambar 3.4). Luas tiap poligon itu diukur dengan planimeter atau dengan cara lain.
Gambar 3.4 Penggambaran Poligon Thiessen (sumber: SK SNI M-18-1989-F)
2. Analisis frekuensi
Banyak metode yang digunakan dalam memperkirakan besarnya debit banjir rancangan untuk sebuah bangunan air. Masing-masing cara mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Penetapan cara hitungan akan sangat bergantung dari data yang tersedia dan tingkat ketelitian yang diinginkan. Ada beberapa metode yang banyak dipakai di Indonesia antara lain Metode E.J. Gumbel, Log Pearson Type III,
Rasional, Log Normal, dan lain-lain.
Curah hujan rencana adalah curah hujan tersebar tahunan dengan peluang tertentu yang mungkin terjadi disuatu daerah. Didalam menentukan metode yang sesuai terlebih dahulu akan dihitung
besarnya parameter statistik yaitu Cs (skewness) dan Ck (kurtosis). Adapaun persamaan yang digunakan adalah:
... ...(3.6)
(
)
(
)
(
)
3 3 2 1 n S n X X n ⋅ − ⋅ − − ⋅∑
Cs =(
)
... ... (3.7) Syarat pemilihan metode yang digunakan dalam penentuan besarnyabanjir rancangan adalah jika mempunyai nilai Cs dan Ck yang sesuai dengan batasan yang ada. Adapun batasan yang dimaksud sebagaimana terdapat pada Tabel 3.12.
Tabel 3.12. Syarat Pemilihan Metode Frekuensi
Metode Ck Cs
Gumbel 5,4002 1,196
Normal 3,0 0
Log Pearson Tipe III bebas Bebas (Sumber : Sri Harto, 1993)
Apabila harga Cs dan Ck tidak memenuhi distribusi Gumbel dan Normal maka digunakan metode Log Pearson Type III, karena metode ini dapat dipakai untuk semua sebaran data. Adapun persamaan yang dipakai adalah: ... ...(3.8) ... ...(3.9)
(
) (
) (
)
4 4 2 3 2 1 n n S n X X n k − ⋅ − ⋅ − − ⋅ =∑
C S X X =log + ⋅ log G∑
= ⋅ = X X 1 log n i i n 1 log...
(
)
...(3.10)(
1)
log log 1 2 − − =∑
i= n X X S n iSelanjutnya setelah ditetapkan yang sesuai, maka harus dilakukan uji kesesuaian distribusi yaitu untuk mengetahui kebenaran analisa curah hujan
a. Distribusi Log Normal
Rumus : XT = x + K.Sx ………..……..……...(3.11) dimana:
XT = hujan da!am periode ulang T tahun tertentu
x = harga rata-rata
Sx = standart deviasi
K = standart pariabel untuk periode ulang T tahun (Tabel 3.13) Faktor agian log normal dapat dilihat pada Lampiran B-4.
b. Distribusi Gumbel
Penggambaran sebaran teoritis pada kertas Gumbel mengikuti persamaan sebagai berikut :
XT = x + Sn Yn Yt− Sx ……….………..……..……….(3.12) di mana:
XT = hujan dalam periode ulang T tahun (mm)
x = hujan rata-rata (mm)
SX = standar deviasi
Yt = reduced variate
Yn = harga rata-rata reduced variate
c. Distribusi Log Person III
Penggambaran sebaran teoritis pada kertas Log Person III mengikuti persamaan berikut:
Log XT = Log x + K.S.Log x……….…..……...(3.13)
dimana :
Log XT = Logaritma Naturalis hujan dalam periode ulang T
Log x = 1 1 −
∑
= n Logxi n i ……...…..…...…...(3.13.a)S Log x = Standar deviasi dari logaritma naturalis data
= 1 ) ( 1 2 − −
∑
= n Logx Logxi n i ……...…...(3.13.b)K = Faktor frekuensi tergantung nilai Cs dan T (Lampiran A-4)
Cs = 3 1 2 x) Log 2)(s 1)(n (n x) Log xi (Log − − − −
∑
= n i …...(3.13.c) Cv = x Log x Log s ……….…..…...(3.13.d)Tabel Faktor penyimpangan K pada distribusi Log Pearson Type III dapat dilihat pada Lampiran B-5.
3. Uji distribusi Chi Kuadrat
Uji Chi kuadrat digunakan untuk menguji simpangan secara
vertikal apakah distribusi pengamatan dapat diterima oleh distribusi teoritis. Perhitungannya dengan menggunakan persamaan 3.14.
...(3.14)
( )
∑(
)
= − = k i hit EF OF EF X 1 2 2Jumlah kelas distribusi dihitung dengan rumus (Sri Harto, 1993):
k = + 3,22 log n ...(3.15)
Dk = k – (P + 1 ) ... ...(3.16) dimana :
OF = Nilai yang diamati (observed frequency)
EF = Nilai yang diharapkan (expected frequency)
k = Jumlah kelas distribusi
n = Banyaknya data
Dk = Derajat kebebasan
P = Banyaknya parameter sebaran chi kuadrat (ditetapkan = 2) Agar distribusi frekuensi yang dipilih dapat diterima, maka harga X2 < X2cr. Harga X2cr dapat diperoleh dengan menentukan taraf signifikasi dengan derajat kebebasan (level of significant).
4. Analisa distribusi hujan jam-jaman.
Untuk menghitung hidrograf banjir rancangan dengan cara hidrograf satuan (unit hydrograph) perlu diketahui dahulu sebaran hujan jam-jaman dengan suatu interval tertentu.
Penelitian yang dilakukan oleh Sobriyah (2001), tentang distribusi hujan jam-jaman dengan durasi tertentu untuk DAS Bengawan Solo menunjukkan bahwa durasi terjadinya banjir sejak kejadian hujan hingga terjadinya banjir adalah 1 - 4 jam.
5. Koefisien pengaliran
Pada saat hujan turun sebagian akan meresap ke dalam tanah dan sebagian lagi akan menjadi limpasan permukaan. Koefisien pengaliran
merupakan suatu variabel yang didasarkan pada kondisi daerah pengaliran dan karakteristik hujan yang jatuh di daerah tersebut.
Berdasarkan kondisi fisik wilayah dan jenis penggunaan lahannya besarnya nilai koefisien pengaliran ditentukan Tabel 3.13. Tabel 3.13. Tabel koefisien pengaliran.
Kondisi SubDAS Angka Pengaliran
Pegunungan curam
Pegunungan tersier/perbukitan Tanah bergelombang dan hutan Dataran Pertanian
Persawahan
Sungai di pegunungan
Sungai kecil di daerah dataran
0.75 – 0.90 0.70 – 0.80 0.50 – 0.75 0.45 – 0.60 0.70 – 0.80 0.75 – 0.85 0.45 – 0.75 (sumber: Suyono Sosrodarsono dan Kensaku Takeda,1977)
6. Analisis Debit Banjir
Analisa debit banjir yang umum digunakan di Indonesia adalah Metode Hidrograf Satuan Sintetik (HSS) Gama I dikembangkan berdasarkan penelitian Sri Harto BR, (1987), karena data yang digunakan dalam penyusunan metode ini merupakan data riil kondisi alam di Indonesia sehingga lebih mendekati kondisi sebenarnya.
HSS Gama I dibentuk oleh tiga komponen dasar yaitu waktu naik (TR), debit puncak (Qp) dan waktu dasar (TB). Menurut SK SNI M- 18-1989-F perhitungan HSS gama I dilakukan dengan langkah sebagai berikut:
a. Waktu naik TR = 0,43 3 100SF L ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + 1,0665 SIM + 1,2775…………...(3.17) dengan pengertian:
TR = waktu naik (jam)
L = panjang sungai (km)
SF = faktor sumber yaitu perbandingan antara jumlah panjang sungai tingkat 1 dengan jumlah panjang sungai semua tingkat
SIM = faktor simetri ditetapkan sebagai hasil kali antara faktor lebar (WF) dengan luas relatif DAS sebelah hulu (RUA)
WF = faktor lebar adalah perbandingan antara lebar DAS yang diukur dari titik di sungai yang berjarak ¾ L dan lebar DAS yang diukur dari titik yang berjarak ¼ L dari titik tempat pengukuran
b. Debit Puncak
Qp = 0,1836 A0,5886 JN0,2381TR-0,4008 …...………...(3.18) dengan pengertian:
TR = waktu naik (jam)
JN = jumlah pertemuan sungai
c. Waktu Dasar
TB = 27,4132 TR0,1457 S-0,0956 SN0,7344 RUA0,257...(3.19) dengan pengertian:
TB = waktu dasar (jam)
S = kelandaian sungai rata-rata
SN = frekuensi sumber yaitu perbandingan antara jumlah
segmen sungai-sungai tingkat 1 dengan jumlah sungai semua tingkat
TR = waktu naik (jam)
Secara umum perhitungan pembagian wilayah WF dan RUA dapat dilihat pada Gambar 3.5.
Hujan efektif didapat dengan cara metode ∅ indeks yang dipengaruhi fungsi luas DAS dan frekuensi sumber SN dirumuskan sebagai berikut: ∅ = 10,4903 – 3,589.10-6 A2 + 1,6985.10-13 (A/SN)4...(3.20) dengan pengertian: ∅ = indeks ∅ (mm/jam) A = luas DAS (km2) SN = frekuensi sumber
Aliran dasar dapat didekati sebagai fungsi luas DAS dan kerapatan jaringan sungai yang dirumuskan sebagai berikut:
QB = 0,4751 A0,6444A D0,9430...(3.21) dengan pengertian:
QB = aliran dasar (m3/det)
A = luas DAS (km2)
D = kerapatan jaringan sungai (km/km2)
Hasil analisa hidrologi berupa data debit banjir dengan kala ulang tertentu kemudian diolah hingga mendapatkan kecepatan aliran. Dengan bantuan program komputer analisa kecepatan aliran dapat dengan mudah dilakukan.
Sketsa Penetapan WF Sketsa Penetapan RUA A X U WL WU C AU X – A → 0,25 L X – U → 0,75 L WF ≈ L W U W RUA ≈ A U A TR Qp TB Q (m3/det) t (jam)
Gambar 3.5 Sketsa penetapan WF dan RUA serta Hidrograf Satuan Gama I.
(sumber: SK SNI M – 18 – 1989 -F)
b) Beban akibat aliran 1) Beban aliran air
Beban akibat aliran menyebabkan gaya seret nominal ultimit dan daya layan pada pilar akibat aliran air tergantung kepada kecepatan. Menurut RSNI T-02-2005 besarnya gaya seret dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut:
TEF = 0,5 CD ( Vs )2Ad [ kN ] ...(3.22) dengan pengertian:
Vs = kecepatan air rata-rata (m/s)
CD = koefisien seret - lihat Tabel 3.14.
Ad = luas proyeksi pilar tegak lurus arah aliran (m2) dengan tinggi sama dengan kedalaman aliran.
Tabel 3.14. Koefisien seret dan angkat bermacam-macam bentuk pilar
(sumber: Peraturan Pembebanan untuk Jembatan, RSNI T 02-2005)
2) Benda hanyutan
Menurut RSNI T-02-2005 besarnya gaya akibat benda hanyutan dihitung dengan menggunakan persamaan:
TEF= 0,5 CD( Vs)2 AL [ kN ] ...(3.23) dengan pengertian:
Vs = kecepatan air rata-rata (m/s)
CD = koefisien seret = 1,04
AL = luas proyeksi benda hanyutan tegak lurus arah aliran (m2) Jika tidak ada data yang lebih tepat, luas proyeksi benda hanyutan bisa dihitung seperti berikut:
a. untuk jembatan dimana permukaan air terletak dibawah bangunan atas luas benda hanyutan yang bekerja pada pilar dihitung dengan menganggap bahwa kedalaman minimum dari benda hanyutan adalah 1,2 m dibawah muka air banjir. Panjang hamparan dari benda hanyutan diambil setengahnya dari jumlah bentang yang berdekatan atau 20 m, diambil yang terkecil dari kedua harga ini. b. untuk jembatan dimana bangunan atas terendam, kedalaman benda
hanyutan diambil sama dengan kedalaman bangunan atas termasuk railing atau penghalang lalu-lintas ditambah minimal 1,2 m. Kedalaman maksimum benda hanyutan boleh diambil 3 m kecuali apabila menurut pengalaman setempat menunjukkan bahwa hamparan dari benda hanyutan dapat terakumulasi. Panjang hamparan benda hanyutan yang bekerja pada pilar diambil setengah dari jumlah bentang yang berdekatan.
3) Tumbukan dengan batang kayu
Menurut RSNI T-02-2005 besarnya gaya akibat tumbukan dengan batang kayu dihitung dengan menganggap bahwa batang dengan massa minimum sebesar 2 ton hanyut pada kecepatan aliran rencana harus bisa ditahan dengan gaya maksimum berdasarkan
lendutan elastis ekuivalen dari pilar dengan rumus:
TEF = M ( Va)2 / d [ kN ] ...(3.24) dengan pengertian:
Va = kecepatan air permukaan (m/dt) pada keadaan batas yang ditinjau. dalam hal tidak adanya penyelidikan yang terperinci mengenai bentuk diagram kecepatan aliran air dilokasi jembatan, Va bisa diambil 1,4 kali kecepatan rata-rata Vs.
d = lendutan elastis ekuivalen (m) - lihat Tabel 3.15
Tabel 3.15. Lendutan ekuivalen untuk tumbukan batang kayu
Tipe Pilar d (m)
Pilar beton masif Tiang beton perancah Tiang kayu perancah
0.075 0.150 0.300 (sumber : Peraturan Pembebanan untuk Jembatan, RSNI T 02-2005)
Kombinasi gaya akibat aliran air harus melihat kondisi DAS disekitar lokasi jembatan, sehingga kombinasi yang dilakukan benar- benar sesuai dengan besarnya beban aliran yang akan terjadi.
3. Aksi Khusus (Beban Gempa)
Aksi khusus yang dianalisa sebagai beban yang bekerja pada struktur jembatan adalah beban akibat gempa. Pemilihan prosedur perencanaan tergantung pada tipe jembatan, besarnya koefisien akselerasi gempa dan tingkat kecermatan. Terdapat empat prosedur analisis (Gambar 3.6), dimana prosedur 1 dan 2 sesuai untuk perhitungan tangan dan digunakan untuk jembatan beraturan yang terutama bergetar dalam moda pertama (kategori kinerja seismik A dan B). Prosedur 3 dapat diterapkan pada jembatan tidak beraturan yang bergetar dalam beberapa moda sehingga diperlukan program analisis rangka ruang dengan kemampuan dinamis (kategori kinerja seismik C). Prosedur 4 diperlukan untuk struktur utama dengan geometrik yang rumit dan atau berdekatan dengan patahan gempa aktif.
(kategori kinerja seismik C).secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 3.16 dan 3.17. Prosedur Prosedur Cara Analisis Cara Analisis
Statis-Semi dinamis / dinamis sederhana Statis-Semi dinamis / dinamis sederhana
2. Spektral moda tunggal 2. Spektral moda tunggal
3. Spektral moda majemuk 3. Spektral moda majemuk Rangka ruang, Semi dinamis Rangka ruang, Semi dinamis
4. Riwayat Waktu 4. Riwayat Waktu
Dinamis Dinamis
1. Beban seragam/ koefisien gempa 1. Beban seragam/ koefisien gempa
Prosedur Prosedur Cara Analisis
Cara Analisis
Statis-Semi dinamis / dinamis sederhana Statis-Semi dinamis / dinamis sederhana
2. Spektral moda tunggal 2. Spektral moda tunggal
3. Spektral moda majemuk 3. Spektral moda majemuk Rangka ruang, Semi dinamis Rangka ruang, Semi dinamis 3. Spektral moda majemuk 3. Spektral moda majemuk Rangka ruang, Semi dinamis Rangka ruang, Semi dinamis
4. Riwayat Waktu 4. Riwayat Waktu Dinamis Dinamis 4. Riwayat Waktu 4. Riwayat Waktu Dinamis Dinamis
1. Beban seragam/ koefisien gempa 1. Beban seragam/ koefisien gempa
Gambar 3.6 Prosedur analisis tahan gempa (sumber: Peraturan Gempa untuk Jembatan, RSNI 2004)
Tabel 3.16 Kategori kinerja seismik
Koefisien percepatan puncak di batuan dasar
(A/g)
Klasifikasi kepentingan I (Jembatan utama dengan faktor keutamaan 1,25)
Klasifikasi kepentingan II (Jembatan biasa dengan
faktor keutamaan 1) ≥0,30 0,20-0,29 0,11-0,19 ≤0,10 D C B A C B B A
(sumber: Peraturan Gempa untuk Jembatan, RSNI 2004)
Tabel 3.17 Prosedur analisis berdasarkan kategori perilaku seismik (A-D)
Jumlah bentang D C B A
Tunggal Sederhana 2 atau lebih Menerus 2 atau lebih dengan 1 sendi 2 atau lebih dengan 2 atau lebih sendi Stuktur Rumit 1 2 3 3 4 1 1 2 3 3 1 1 1 1 2 - - - - 1
(sumber: Peraturan Gempa untuk Jembatan, RSNI 2004)
Besarnya beban akibat gempa ditentukan oleh percepatan batuan sesuai dengan konfigurasi lapisan tanah dan periode getar alami dari gempa itu sendiri.
a) Koefisien geser dasar (Celastis)
Percepatan/akselerasi puncak (PGA) zone gempa Indonesia dari dapat dilihat pada Lampiran B.2. Konfigurasi tanah terbagi dalam tiga jenis: tanah teguh dengan kedalaman batuan 0-3 m, tanah sedang dengan kedalaman batuan 3- 25 m, tanah lembek dengan kedalaman batuan melebihi 25 m secara rinci konfigurasi geser tanah dapat dilihat pada Tabel 3.18.
Tabel 3.18 Koefisien profil tanah (S)
S (tanah teguh) S (tanah sedang) S (tanah lembek) S1=1,0 S 2=1,2 S3=1,5
(sumber: Peraturan Gempa untuk Jembatan, RSNI 2004)
Koefisien geser dasar Celastis juga dapat ditentukan dengan rumus berikut:
3 2 . . 2 , 1 T S A
Celastis = dengan syarat Celastis ≤2,5.A...(3.25)
dengan pengertian:
A = akselerasi puncak di batuan dasar (s), Tabel 3.19 T = perioda alami struktur (detik)
S = koefisien profil tanah, Tabel 3.18 Tabel 3.19 Akselerasi PGA di batuan dasar
Rentang akselerasi puncak PGA
Wilayah 1 0,53 – 0,60 Wilayah 2 0,46 – 0,50 Wilayah 3 0,36 – 0,40 Wilayah 4 0,26 – 0,30 Wilayah 5 0,15 – 0,20 Wilayah 6 0,05 – 0,10
b) Periode Getar Alami (“T”)
Waktu dasar getaran jembatan yang digunakan untuk menghitung geser dasar harus dihitung dari analisa yang meninjau seluruh elemen bangunan yang memberikan kekakuan dan fleksibilitas dari sistem fondasi. Untuk bangunan yang mempunyai satu derajat kebebasan yang sederhana, rumus yang digunakan: T = 2 π P W gK TP ...(3.26) dengan pengertian :
T = waktu getar dalam detik
g = percepatan gravitasi (m/dt2)
WTP = berat total nominal bangunan atas termasuk beban mati tambahan ditambah setengah berat dari pilar (kN)
Kp = kekakuan gabungan sebagai gaya horisontal yang diperlukan untuk menimbulkan satu satuan lendutan pada bagian atas pilar (kN/m)
Besar gaya geser yang dapat ditimbulkan oleh percepatan gempa di