• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil uji aktivitas antibakteri kulit buah pisang ambon lumut terhadap Staphylococcus aureus setelah inkubasi 24 jam disajikan pada Gambar 4.1. di bawah ini:

Gambar 4.1. Hasil pengukuran rerata zona hambat ekstrak air kulit pisang ambon lumut terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus

Keterangan: K+ : kontrol positif; K- : kontrol negatif

Berdasarkan Gambar 4.1. dapat diketahui rerata zona hambat yang dibentuk oleh setiap perlakuan konsentrasi ekstrak air kulit buah pisang ambon lumut 20% sebesar 1,30 mm, konsentrasi 40% sebesar 3,51 mm, konsentrasi 60% sebesar 3,85 mm, konsentrasi 80% sebesar 4,97 mm, dan konsentrasi 100% sebesar 5,39 mm. Berdasarkan hasil penelitian, konsentrasi ekstrak air kulit buah pisang ambon lumut pada konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100% memiliki aktivitas antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri S. aureus. Aktivitas antibakteri tersebut ditunjukkan dengan adanya zona hambat di sekitar kertas saring yang telah direndam dengan ekstrak air kulit buah pisang ambon lumut. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak air kulit buah pisang ambon lumut, maka semakin tinggi pula rerata zona hambat yang terbentuk. Hasil pengukuran diameter

0 5 10 15 20 25 30 35 40 20 40 60 80 100 K + K-Konsentrasi (%) Z ona ha mbat (mm)

zona hambat ekstrak air kulit buah pisang ambon lumut dan kriteria zona hambatnya dapat diamati pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Hasil pengukuran diameter zona hambat ekstrak air kulit buah pisang ambon lumut terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus

No. Konsentrasi ekstrak (%) Rerata diameter zona hambat (mm) Kriteria Hambat 1. 20 1,30 a Lemah 2. 40 3,51 ab Lemah 3. 60 3,85 b Lemah 4. 80 4,97 b Lemah 5. 100 5,39 b Sedang

Kontrol positif (kloramfenikol) 35,22 c Sangat kuat

Kontrol negatif (akuades steril) 0 Tidak ada

Keterangan: Angka-angka pada lajur yang diikuti huruf kecil yang tidak sama menunjukkan beda nyata pada DNMRT 5%

Berdasarkan kategori zona hambat menurut Davis dan Stout (1971), maka diketahui ekstrak air kulit buah pisang ambon lumut pada konsentrasi 20%, 40%, 60%, dan 80% memiliki daya hambat lemah sedangkan ekstrak air kulit pisang ambon lumut konsentrasi 100% memiliki daya hambat sedang terhadap bakteri uji. Kontrol positif termasuk kategori daya hambat sangat kuat sedangkan kontrol negatif tidak menunjukkan daya hambat terhadap bakteri uji.

Hasil uji statistik One Way Anova menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar perlakuan (lampiran 2). Adanya perbedaan yang signifikan menunjukkan bahwa ekstrak air kulit buah pisang ambon lumut memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri S. aureus. Setelah mendapatkan hasil yang signifikan, kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan. Berdasarkan

hasil uji Duncan (lampiran 3), perlakuan ekstrak air kulit buah pisang ambon lumut konsentrasi 20% tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 40%. Antara perlakuan ekstrak air kulit buah pisang ambon lumut konsentrasi 40%, 60%, 80%, dan 100% juga tidak berbeda nyata. Dari hasil uji Duncan tersebut, diketahui bahwa besarnya zona hambat tidak selalu dipengaruhi oleh kenaikan konsentrasi ekstrak. Menurut Elifah (2010) dan Dewi dalam Tambun (2015), diameter zona hambat tergantung pada kecepatan difusi senyawa antibakteri pada media agar. Kecepatan difusi dapat dipengaruhi oleh perbandingan jumlah pelarut dan zat terlarut. Dalam keadaan tertentu, antibakteri dapat bekerja secara optimal pada konsentrasi yang rendah. Pada konsentrasi yang rendah, jumlah pelarut lebih banyak dibandingkan dengan zat terlarut. Akuades sebagai pelarut dapat mempercepat proses difusi pada media agar. Apabila konsentrasi tinggi, maka kerapatan molekul antar senyawa antibakteri tinggi sehingga lebih lama berdifusi pada media agar dibandingkan dengan konsentrasi yang rendah. Oleh sebab itu, antar perlakuan konsentrasi ekstrak 40%, 60%, 80%, dan 100% tidak berbeda nyata.

Kloramfenikol sebagai kontrol positif berbeda secara nyata dengan perlakuan ekstrak air kulit buah pisang ambon lumut dan memiliki nilai zona hambat paling besar. Kloramfenikol memiliki diameter zona hambat sebesar 35,22 mm sehingga dikategorikan memiliki daya hambat yang sangat kuat. Kloramfenikol memiliki sifat bakteriostatik karena mengganggu proses sintesis protein bakteri.

Kontrol negatif tidak dimasukkan dalam perhitungan statistika karena tidak memiliki nilai diameter zona hambat. Dari hasil penelitian, akuades sebagai kontrol negatif membentuk zona bening di sekitar kertas saring seolah-olah terbentuk zona hambat (lampiran 5 gambar 7.10). Namun hal ini tidak bisa dikatakan zona hambat karena akuades tidak memiliki sifat antibakteri terhadap S. aureus. Zona bening yang terlihat disebabkan oleh teknik sebaran yang tidak rata sehingga koloni bakteri tidak tersebar rata pada media.

Teknik sebaran yang tidak merata juga dapat ditemukan pada perlakuan ekstrak air kulit buah pisang ambon lumut konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100% (lampiran 5). Pada gambar tersebut dapat diamati pertumbuhan bakteri yang tidak merata di permukaan media. Ada daerah dengan koloni bakteri yang padat dan ada daerah dengan koloni bakteri yang jarang. Pengukuran zona hambat didasarkan pada koloni di sekitar kertas saring yang tidak terlalu jauh dengan kertas saring untuk menghindari adanya kerancuan antara teknik sebaran yang tidak merata dan zona hambat. Hal ini merupakan keterbatasan dari penelitian sehingga hasil yang didapatkan kurang maksimal.

Hasil penelitian yang didapatkan berbeda dengan hasil penelitian yang telah dilakukan Chabuck dkk. (2013). Dalam penelitian yang dilakukan Chabuck dkk. (2013), ekstrak air kulit pisang memiliki daya hambat sangat kuat dalam menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus. Hal ini ditunjukkan dengan diameter zona hambat yang terbentuk sebesar 30 mm. Hasil penelitian

ini dapat berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Chabuck dkk. (2013) karena jenis pisang yang digunakan berbeda. Pada penelitian yang dilakukan oleh Chabuck, dkk. (2013), jenis pisang yang digunakan adalah jenis pisang yang memiliki kulit berwarna kuning bila matang sedangkan penelitian ini menggunakan jenis pisang ambon lumut bilamana matang berwarna hijau kekuningan. Perbedaan jenis pisang ini dapat memengaruhi hasil uji aktivitas antibakteri. Kandungan metabolit sekunder seperti flavonoid, tanin, alkaloid, dan saponin dapat berbeda pula. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Babu dkk. (2012), empat varietas Musa acuminata yang diuji secara fitokomia mempunyai kandungan flavonoid dan polifenol yang berbeda-beda.

Perbedaan tempat pengambilan sampel kulit buah pisang juga dapat memengaruhi kandungan metabolit sekunder. Sampel kulit buah pisang yang digunakan oleh Chabuck dkk. (2013) didapatkan di Irak sedangkan dalam penelitian ini sampel kulit buah pisang didapatkan di Yogyakarta, Indonesia. Faktor lingkungan turut memengaruhi jumlah senyawa metabolit sekunder yang dimiliki oleh tanaman pisang. Lingkungan yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman dan nutrisi yang tercukupi menyebabkan metabolit sekunder juga akan terbentuk optimal. Faktor lingkungan antara lain suhu, cahaya, iklim, dan tanah. Meskipun sampel tanaman yang digunakan sama tetapi berasal dari daerah yang berbeda dapat memberikan hasil aktivitas yang berbeda.

Selain perbedaan varietas pisang yang digunakan, strain bakteri yang berbeda akan memberikan reaksi yang berbeda bila diberikan antibakteri yang sama. Penelitian yang dilakukan oleh Poeloengan dkk (2007) membuktikan bahwa bakteri S. aureus hasil isolasi dari sampel susu sapi penderita mastitis dan isolasi bakteri ATCC 25922 menunjukkan zona hambat yang berbeda meskipun keduanya berasal dari spesies yang sama. Bakteri S. aureus juga memiliki daya tahan yang paling kuat di antara bakteri yang tidak memiliki spora. Hampir semua galur S. aureus yang diisolasi dari rumah sakit resisten terhadap semua jenis antibiotik khususnya galur MRSA (methicilin resistant Staphylococcus aureus). MRSA merupakan penyebab utama infeksi nosokomial yang bersifat multiresisten terhadap antibiotik (Radji, 2009).

Menurut Fitrianingsih dan Purwanti (2012) flavonoid dan tanin dapat ditemukan pada kulit buah pisang ambon yang matang. Flavonoid menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara merusak membran plasma. Flavonoid berikatan dengan protein pada membran plasma sehingga tegangan permukaan membran sel menurun dan permeabilitas membran sel meningkat. Akibatnya, terjadi kebocoran molekul atau ion sehingga menyebabkan kerusakan atau kematian sel. Tanin memiliki kemampuan “astringent action”

yang mampu mempresipitasikan protein sehingga memengaruhi peptidoglikan bakteri. Tanin merupakan senyawa polar. Bakteri gram positif seperti S. aureus memiliki dinding sel yang bersifat polar sehingga tanin yang juga bersifat polar dapat menembus dinding sel bakteri. Dinding sel berfungsi untuk mempertahankan bentuk sel dan melindungi isi sel. Apabila dinding sel

rusak maka hal tersebut akan mengganggu kegiatan dalam sel sehingga sel tersebut juga akan rusak dan akhirnya mati. Jadi, tanin berfungsi untuk merusak dinding sel bakteri S. aureus. Tanin juga mengganggu fungsi sitoplasma dan membran plasma, menghambat kinerja enzim, serta menghilangkan substrat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri (Min dkk, 2008).

Pada penelitian yang dilakukan, ekstraksi menggunakan pelarut akuades dengan suhu yang tinggi memengaruhi struktur dinding sel dan membran sel. Dinding sel tersusun atas pektin yang berfungsi untuk melekatkan dinding sel yang satu dengan yang lain. Pektin larut dalam air panas sehingga ikatan antar dinding sel putus dan menyebabkan dinding sel menjadi rusak. Suhu yang tinggi juga memengaruhi permeabilitas membran sel. Membran sel dapat rusak bila berada dalam suhu yang tinggi sehingga sifat permeabilitasnya menurun. Bila dinding sel dan membran sel rusak, maka air dapat melarutkan bahan-bahan yang terdapat dalam sel tumbuhan. Metode ekstraksi dengan seduhan air panas dipilih karena air panas dapat menginaktifkan enzim polifenoloksidase yang dapat menyebabkan rusaknya komponen polifenol dalam kulit pisang (Humairani dalam Fitrianingsih dan Purwanti, 2012).

Faktor lain yang dapat memengaruhi jumlah senyawa antibakteri yang terekstraksi adalah sifat kepolaran pelarut. Air merupakan pelarut universal yang bersifat polar sehingga hanya dapat melarutkan senyawa yang polar. Akibatnya, senyawa non polar tidak dapat larut dalam air. Saponin merupakan

senyawa non polar sehingga tidak dapat larut dalam air. Pelarut yang digunakan pada penelitian ini adalah akuades karena pembuatan obat-obatan tradisional umumnya menggunakan air. Air mudah didapatkan dan pembuatan obat-obatan dengan air juga mudah diaplikasikan oleh masyarakat.

Hasil yang didapatkan dari uji aktivitas antibakteri ini tidak dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi hambat minimum. Meskipun ada zona hambat di sekitar kertas cakram, ada pula koloni bakteri yang bisa menyentuh kertas cakram sehingga jari-jari terpendek zona hambat adalah nol di semua perlakuan konsentrasi. Adanya koloni yang dapat menyentuh kertas saring disebabkan oleh adanya mutan S. aureus yang resisten terhadap ekstrak air kulit buah pisang ambon lumut. Menurut Pratiwi (2008) munculnya mutan bakteri dapat disebabkan kontak bakteri dengan antibakteri dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga bakteri dapat menyesuaikan dirinya dengan antibakteri misalnya dengan perubahan pola enzim untuk melawan efek antibakteri. Resistensi terhadap antibakteri juga dapat dimiliki bakteri dengan cara mengubah dinding selnya menjadi lebih impermebel dan mengubah sisi perlekatan pada dinding sel. Sebagian bakteri hidup dengan melekat pada suatu substrat menggunakan adhesin. Dengan mengubah komposisi lipid dan protein pada outer membrane dinding sel menjadi lebih hidrofobik dan resisten terhadap antibakteri.

Dokumen terkait