• Tidak ada hasil yang ditemukan

6) Kadar karbohidrat

4.3 Aktivitas Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan, membersihkan, menahan pembentukan ataupun memadukan efek spesies oksigen reaktif (Kuncahyo dan Sunardi 2007). Keberadaan senyawa antioksidan ini dalam suatu bahan dapat dideteksi dengan melakukan uji aktivitas antioksidan. Uji aktivitas antioksidan pada tiga ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong yang memiliki tingkat kepolaran yang berbeda, dilakukan dengan menggunakan metode uji DPPH.

Metode uji DPPH merupakan salah satu metode yang paling banyak digunakan untuk memperkirakan efisiensi kinerja dari substansi yang berperan sebagai antioksidan (Molyneux 2004). Metode pengujian ini berdasarkan pada kemampuan substansi antioksidan tersebut dalam menetralisir radikal bebas. Radikal bebas yang digunakan adalah 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH) (Vattem dan Shetty 2006). Radikal bebas DPPH merupakan radikal sintetik yang stabil pada suhu kamar dan larut dalam pelarut polar seperti metanol dan etanol (Molyneux 2004). Sifat stabil ini dikarenakan radikal bebas ini memiliki satu elektron yang didelokalisir dari molekul utuhnya, sehingga molekul tersebut tidak

reaktif sebagaimana radikal bebas lain. Delokalisasi ini akan memberikan sebuah warna ungu gelap dengan absorbansi maksimum pada 517 nm dalam larutan etanol ataupun metanol (Molyneux 2004).

Metode uji aktivitas antioksidan dengan menggunakan radikal bebas DPPH dipilih karena metode ini sederhana, mudah, cepat, peka dan hanya memerlukan sedikit sampel, akan tetapi jumlah pelarut pengencer yang diperlukan dalam pengujian ini cukup banyak. Pelarut yang digunakan adalah metanol. metanol dipilih sebagai pelarut karena metanol dapat melarutkan kristal DPPH (Molyneux 2004; Suratmo 2009) dan juga memiliki sifat yang dapat melarutkan komponen non polar di dalamnya, hal ini mengingat ketiga ekstrak yang diuji memiliki tingkat kepolaran yang berbeda-beda.

Antioksidan pembanding yang digunakan pada penelitian ini adalah antioksidan sintetik BHT (butylated hydroxytoluene). Larutan BHT pada penelitian ini dibuat dengan konsentrasi 2, 4, 6 dan 8 ppm melalui proses pengenceran larutan stok BHT 250 ppm. Konsentrasi larutan ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong yang diuji dengan metode DPPH ini adalah sebesar 200, 400, 600 dan 800 ppm. Konsentrasi tersebut diperoleh melalui proses pengenceran dari masing-masing larutan stok ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong 1000 ppm. Perhitungan pembuatan larutan stok dan proses pengencerannya dapat dilihat pada Lampiran 5.

Suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya pada radikal DPPH,

yang ditandai dengan perubahan warna ungu menjadi kuning pucat (Molyneux 20004). Perubahan warna ini hanya tampak pada larutan BHT yang

diberi larutan DPPH 1 mM dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37 oC, sedangkan pada larutan ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong yang telah diberi perlakuan sama tidak terlalu menunjukkan perubahan warna yang signifikan. Hal ini diduga karena konsentrasi ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong yang diuji terlalu kecil dan jauh dari nilai konsentrasi ekstrak yang dapat meredam radikal DPPH sebanyak 50% (IC50). Perubahan warna yang mengindikasikan adanya reaksi peredaman radikal bebas DPPH oleh senyawa

antioksidan pada larutan BHT dan larutan ekstrak daging dan jeroan keong ipong-ipong, dapat dilihat pada Lampiran 6.

Intensitas perubahan warna yang terjadi pada larutan BHT dan larutan ekstrak kasar keong ipong-ipong ini dapat diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 517 nm. Setelah itu, perhitungan persen inhibisi dan IC50 dari antioksidan BHT dan masing-masing ekstrak kasar keong ipong-ipong dapat dilakukan. Persen inhibisi adalah kemampuan suatu bahan untuk menghambat aktivitas radikal bebas, yang berhubungan dengan konsentrasi suatu bahan. Nilai IC50 sendiri merupakan salah satu parameter yang biasa digunakan untuk menginterpretasikan hasil dari pengujian DPPH. Nilai IC50 ini dapat didefinisikan sebagai konsentrasi substrat yang dapat menyebabkan berkurangnya 50% aktivitas DPPH. Semakin kecil nilai IC50 berarti aktivitas antioksidannya semakin tinggi (Molyneux 2004). Perhitungan persen inhibisi dan IC50 dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil uji aktivitas antioksidan BHT dapat dilihat pada Tabel 3 dan hasil uji antioksidan masing-masing ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.

Tabel 3. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan BHT

Sampel % Inhibisi IC50 (ppm)

BHT 2 ppm 4 ppm 6 ppm 8 ppm 4,91

12,55 23,67 79,37 89,45

Tabel 4. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan ekstrak kasar daging keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)

Sampel Daging % Inhibisi IC50 (ppm)

200 ppm 400 ppm 600 ppm 800 ppm

Ekstrak Kloroform 22,90 24,14 24,61 25,19 9210 Ekstrak Etil Asetat 23,85 24,23 24,42 26,52 6825 Ekstrak Metanol 33,93 34,60 38,02 41,82 1513,8

Tabel 5. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan ekstrak kasar jeroan keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)

Sampel Jeroan % Inhibisi IC50 (ppm)

200 ppm 400 ppm 600 ppm 800 ppm

Ekstrak Kloroform 13,49 15,30 21,19 21,38 2825 Ekstrak Etil Asetat 15,39 15,87 17,96 20,24 4600 Ekstrak Metanol 19,96 28,13 33,84 43,63 994,47

Empat konsentrasi larutan BHT (2, 4, 6 dan 8 ppm) yang digunakan dalam penelitian ini dipilih berdasarkan hasil penelitian Hanani et al. (2005), dimana dengan menguji keempat konsentrasi tersebut, diperoleh nilai IC50 BHT sebesar 3,81 ppm. Penelitian ini, nilai IC50 BHT yang diperoleh sebesar 4,91 ppm. Nilai IC50 BHT ini tidak jauh berbeda dengan nilai yang diperoleh Hanani et al. (2005) dalam penelitiannya, dan tetap menunjukkan bahwa antioksidan BHT merupakan antioksidan dengan aktivitas yang sangat kuat (< 50 ppm) menurut klasifikasi Blois (1958) dalam Molyneux (2004). Pengujian aktivitas antioksidan BHT ini menghasilkan hubungan antara konsentrasi BHT yang digunakan dengan persen inhibisinya, yang dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Garfik hubungan konsentrasi BHT dengan persen inhibisinya Berdasarkan hasil pada Tabel 4 dan 5 menunjukkan bahwa ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong juga memiliki aktivitas antioksidan seperti BHT, walaupun aktivitasnya tergolong lemah. Ketiga ekstrak kasar daging dan

jeroan keong ipong-ipong ini memiliki kekuatan penghambatan yang berbeda-beda antara yang satu dengan lainnya. Pengujian aktivitas antioksidan dari masing-masaing ekstrak kasar menghasilkan hubungan antara konsentrasi ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong yang digunakan dengan persen inhibisinya, yang dapat dilihat pada Gambar 14 dan Gambar 15.

Gambar 14. Grafik hubungan konsentrasi ekstrak kasar daging keong ipong-ipong dengan persen inhibisinya.

Gambar 15. Grafik hubungan konsentrasi ekstrak kasar jeroan keong ipong-ipong dengan persen inhibisinya.

Grafik pada Gambar 14 dan 15 menunjukkan bahwa persen inhibisi tertinggi selalu dihasilkan oleh larutan yang mengandung konsentrasi ektrak kasar daging dan jeroan yang terbanyak, yaitu larutan dengan konsentrasi 800 ppm (pada masing-masing ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong). Sedangkan, persen inhibisi terendah selalu dihasilkan oleh larutan yang mengandung konsentrasi atau ekstrak kasar daging dan jeroan paling sedikit, yaitu larutan dengan konsentrasi 200 ppm (pada masing-masing ekstrak kasar daging dan jeroan). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong yang ditambahkan, maka semakin tinggi pula persen inhibisi yang akan dihasilkan. Pernyataan ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hanani et al. (2005), yang menyatakan bahwa persentase penghambatan (persen inhibisi) terhadap aktivitas radikal bebas akan ikut meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak.

Semakin kecil nilai IC50 berarti aktivitas antioksidannya semakin tinggi (Molyneux 2004). Tabel 4 dan 5 di atas menunjukkan bahwa ekstrak metanol daging dan jeroan keong ipong-ipong memiliki aktivitas antioksidan yang lebih besar dari dua ekstrak yang lainnya, ditandai dengan nilai IC50-nya yang terkecil, yaitu 1513,8 dan 994,47 ppm. Sedangkan, ekstrak kloroform dari daging keong ipong-ipong merupakan ekstrak yang memiliki aktivitas antioksidan yang paling lemah. Hal ini terbukti dari nilai IC50-nya yang terbesar, yaitu 9210 ppm. Akan tetapi pada ekstrak kasar jeroan, ekstrak jeroan dengan etil asetat memiliki aktivitas antioksidan yang paling lemah yaitu sebesar 4600 ppm.

Walaupun rendemen ekstrak kloroform lebih sedikit dari rendemen ektrak kasar jeroan dengan kloroform, tetapi aktivitas antioksidannya lebih kuat. Hal ini diduga karena pada ekstrak kasar jeroan dengan kloroform terdapat komponen bioaktif tertentu seperti alkaloid. Alkaloid telah diketahui memiliki aktivitas antioksidan. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Porto et al. (2009), yang menunjukkan bahwa komponen alkaloid pada daun Psychotria brachyceras yaitu

brachycerine, memiliki aktivitas antioksidan dan berperan sebagai pelindung dari radiasi sinar UV (UV-B dan UV-C).

Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat apabila nilai IC50 kurang dari 0,05 mg/ml, kuat apabila nilai IC50 antara 0,05-0,10 mg/ml,

sedang apabila nilai IC50 berkisar antara 0,10-0,15 mg/ml, dan lemah apabila nilai IC50 berkisar antara 0,15-0,20 mg/ml (Blois 1958 dalam Molyneux 2004). Menurut klasifikasi ini, ketiga esktrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang sangat lemah, karena nilai IC50-nya lebih besar dari 0,20 mg/ml atau 200 ppm. Hal ini jauh berbeda dengan aktivitas antioksidan dari BHT.

Data-data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa antioksidan BHT memiliki aktivitas yang lebih kuat dari senyawa-senyawa antioksidan yang terdapat pada ketiga ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong. Hal ini terlihat dari nilai IC50 BHT yang jauh berbeda dengan nilai IC50 dari masing-masing ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong. Nilai IC50 antioksidan BHT jauh lebih kecil dari nilai IC50 ketiga ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong. Hal ini dapat terjadi dikarena ekstrak daging dan jeroan keong ipong-ipong yang digunakan dalam pengujian ini masih tergolong sebagai ekstrak kasar (crude). Ekstrak kasar ini masih mengandung senyawa lain yang bukan merupakan senyawa antioksidan. Senyawa lain tersebut ikut terekstrak dalam pelarut selama proses ekstraksi.

Senyawa-senyawa ini dapat meningkatkan nilai rendemen ekstrak, tetapi tidak dapat meningkatkan aktivitas antioksidan ekstrak tersebut. Senyawa murni dari ekstrak kasar ini diduga memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi. Contohnya adalah komponen alkaloid yang terdeteksi pada ekstrak kasar jeroan pada ketiga pelarut dan ekstrak daging pada etil asetat dan metanol. Komponen alkaloid murni dari ekstrak daging dan jeroan keong ipong-ipong diduga memiliki aktivitas antioksidan yang jauh lebih tinggi dari ekstrak kasarnya. Hal ini menunjukan bahwa perlu dilakukan pemurnian pada ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong tersebut. Setelah ekstrak yang telah dimurnikan tersebut diperoleh,maka pengujian aktivitas antioksidannya pun perlu dilakukan.

Ekstrak kasar daging dengan kloroform dari keong ipong-ipong yang bersifat non polar tidak sepenuhnya benar jika dinyatakan memiliki aktivitas antioksidan yang paling lemah, walaupun berdasarkan hasil uji DPPH menunjukkan bahwa nilai IC50-nya cukup besar. Hal ini dapat terjadi apabila pelarut yang digunakan untuk melarutkan ekstrak memiliki sifat kepolaran yang

berbeda dengan ekstrak tersebut. Pelarut yang digunakan untuk melarutkan DPPH pada penenlitian ini adalah metanol yang memiliki sifat polar, sehingga dapat diduga bahwa komponen bioaktif yang bersifat non polar pada ekstrak kloroform tidak larut sepenuhnya pada pelarut ini. Jumlah komponen bioaktif yang terlarut pada masing-masing pelarut akan berbeda dan pada akhirnya akan berpengaruh pada nilai IC50 yang dihasilkan. Nilai IC50 akan semakin besar jika ekstrak yang terlarut pada pelarut yang digunakan semakin sedikit. Hal ini menyebabkan perlu dilakukan pengujian aktivitas antioksidan dengan menggunakan metode pengujian lainnya yang universal, baik untuk komponen bioaktif yang bersifat polar, semi polar ataupun non polar. Metode DPPH merupakan salah satu metode pengujian aktivitas antioksidan yang paling cocok bagi komponen antioksidan yang bersifat polar, karena kristal DPPH sendiri hanya dapat larut dan memberikan absorbansi maksimum pada pelarut etanol ataupun metanol seperti yang dikemukakan oleh Vattem dan Shetty (2006) ; Amrun dan Umiyah (2005); serta Molyneux (2004).

Dokumen terkait