• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)"

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)

AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KOMPONEN BIOAKTIF

KEONG IPONG-IPONG (Fasciolaria salmo)

AZWIN APRIANDI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

RINGKASAN

AZWIN APRIANDI. C34070081. Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif Keong Ipong-Ipong (Fasciolaria salmo). Dibimbing oleh NURJANAH dan ASADATUN ABDULLAH.

Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) merupakan salah satu jenis Gastropoda air laut. Sebagai Gastropoda air laut, sampai saat ini keong ipong-ipong hanya dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Masyarakat meyakini bahwa keong ipong-ipong ini bermanfaat untuk meningkatkan stamina tubuh dan vitalitas. Akan tetapi fakta ilmiah yang mendukung manfaat dari keong tersebut belum ada. Sehingga perlu dilakukan pengkajian atau penelitian mengenai komponen bioaktif yang terkandung pada keong ipong-ipong, yang mungkin memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Pengkajian ini dilakukan sebagai salah satu langkah untuk mengetahui pamanfaatan keong ipong-ipong dimasa mendatang.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan rendemen, kandungan zat gizi (air, lemak, protein, abu dan abu tidak larut asam), aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif yang terkandung dalam keong ipong-ipong. Pengujian yang digunakan meliputi analisis proksimat, uji kuantitatif aktivitas antioksidan dengan metode DPPH, dan uji fitokimia.

Keong ipong-ipong pada penelitian ini berasal dari Desa Gebang, Kota Cirebon, Jawa Barat. Rendemen cangkang, isi dan jeroan keong ipong-ipong berturut-turut sebesar 69,69%, 22,08% dan 8,22%, sangat potensial dan ekonomis untuk dimanfaatkan lebih lanjut. Keong ipong-ipong mengandung air sebesar 73,07%, protein sebesar 18,28%, lemak sebesar 0,57%, abu sebesar 2,77%, abu tidak larut asam sebesar 0,15% dan karbohidrat sebesar 5,2%.

Ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong memiliki aktivitas antioksidan yang terlihat dari nilai IC50 yang diperoleh. Nilai IC50 dari ekstrak

(3)

AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KOMPONEN BIOAKTIF

KEONG IPONG-IPONG (Fasciolaria salmo)

AZWIN APRIANDI C34070081

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)

Judul : AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KOMPONEN

BIOAKTIF KEONG IPONG-IPONG

(Fasciolaria salmo)

Nama : Azwin Apriandi NRP : C34070081

Departemen : Teknologi Hasil Perairan

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pemimbing II

Dr. Ir. Nurjanah, MS Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si, M.S.M. NIP.1959 1013 1986 01 2 002 NIP. 1983 0405 2005 01 2 001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP.19610410 198601 1 002

(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini dengan judul “Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif Keong Ipong-Ipong (Fasciolaria salmo) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2010

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan bimbingan-Nya, sehingga penulis dapat meyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan Gelar Sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi hasil penelitian ini berjudul “Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif pada Keong Ipong-ipong (Fasciolaria salmo)”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama penyusunan skripsi ini , terutama kepada:

1. Dr. Ir. Nurjanah, MS dan Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si, M.S.M. selaku dosen pembimbing, atas segala bimbingan, pengarahan serta masukan yang telah diberikan kepada penulis.

2. Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil. selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan.

3. Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl. Biol selaku Ketua Program Studi Departemen Teknologi Hasil Perairan, yang telah banyak membantu penulis selama proses penyusunan skripsi.

4. Pak Haris Fadillah selaku Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Karimun, yang telah memberikan motivasi serta dukungannya kepada penulis. 5. Keluarga terutama Bapak, ibu dan Adik yang telah memberikan semangat,

materil dan doanya, serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Novi Winarti yang telah memberi semangat dan motivasi kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

7. Teman-teman THP 44, 43, 42 yang telah banyak memberikan masukan dan informasi-informasi penting pada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

(7)

Penulis menyadari bahwa masih banyak banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak dalam proses penyempurnaan skripsi ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Bogor, September 2010

Azwin Apriandi

(8)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kepulauan Riau pada tanggal 2 April 1990 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Darwin dan Azizah, S.Pd.I.

Penulis memulai jenjang pendidikan formal di MI Baitul Mubin Alai Kecamatan Kundur (tahun 1995-2001), selanjutnya penulis melanjutkan pendidikannya di MTsN Tanjungbatu Kundur (tahun 2001-2004), pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMAN 1 Kundur dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis memperoleh Beasiswa Utusan Daerah (BUD) untuk melanjutkan pendidikan kuliah ke Institut Pertanian Bogor.

Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan, seperti Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan sebagai anggota divisi peduli pangan. Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah Biokimia Hasil Perairan 2009-2010 dan 2010-2011, asisten praktikum mata kuliah Biotoksikologi Hasil perairan 2010-2011, asisten mata kuliah Teknologi Pengolahan Hasil Perairan 2010-2011 dan koordinator asisten mata kuliah Pengetahuan Bahan Baku Industri Hasil Perairan 2010-2011

Sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif

(9)

DAFTAR ISI

3.3.1 Pengambilan dan preparasi bahan baku..………... 20

(10)

1) Analisis kadar air (AOAC β005) ………. 21

2) Analisis kadar abu (AOAC β005) ……… 21

3) Analisis kadar protein (AOAC 1980) ……….. 22

4) Analisis kadar lemak (AOAC 2005) ……… 22

5) Analisis kadar abu tidak larut asam menurut SNI 01-3836-2000 (BSN β000) ……… 23

3.3.3 Analisis antioksidan dengan metode DPPH…………... 23

1) Ekstraksi bahan aktif (Quinn 1988dalam Darusman et al.1995)……….. 23

2) Uji aktivitas antioksidan (DPPH) (Blois 1958 dalam Hanani et al. 2005) ………. 26

3.3.4 Uji fitokimia (Harborne 1984) ……….. 27

4 HASIL DAN PEMBAHASAN……….... 30

4.1 Karakteristik Keong Ipong-Ipong (Fasciolaria salmo) ……… 30

4.1.1 Rendemen ………. 31

4.2 Ekstraksi Komponen Bioaktif pada Keong Ipong-Ipong ..……….. 37

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

1. Hasil pengamatan karakteristik fisik cangkang, isi cangkang

dan operkulum keong ipong-ipong.……… 30

2. Hasil uji fitokimia ekstrak kasar keong ipong-ipong.………. 40

3. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan BHT………... 50

4. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan ekstrak kasar daging

keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)………... 50 5. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan ekstrak kasar jeroan

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1. Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo).………. 3

2. Reaksi Penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida 6 3. Struktur Diphenylpycrilhydrazil dan Diphenylpycrilhydrazine .. 9

4. Struktur alkaloid ………... 12

5. Struktur steroid ………..………... 13

6. Struktur umum saponin…...……….………. 15

7. Diagram Alir Proses Ekstraksi Daging keong ipong-ipong

(Fasciolaria salmo)……….. 26

8. Keong ipong-ipong yang diambil di perairan Desa Gebang

Cirebon……….. 30

9. Rendemen cangkang dan isi cangkang (daging dan jeroan)

keong ipong-ipong………... 31

10.Hasil uji proksimat keong ipong-ipong (n=2)…..………... 33 11.Rendemen ekstrak kasar keong ipong-ipong …..………... 38 12.Garfik hubungan konsentrasi BHT dengan persen inhibisinya... 51 13.Grafik hubungan konsentrasi ekstrak kasar daging

keong ipong-ipong dengan persen inhibisinya………... 52 14.Grafik hubungan konsentrasi ekstrak kasar jeroan

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Bentuk cangkang keong ipong-ipong….……....……….…... 63

2. Perhitungan rendemen keong ipong-ipong ………. 63

3. Perhitungan analisis proksimat ………..………... 63

4. Data ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong….. 65

5. Perhitungan pembuatan larutan stok dan pengencerannya ... 66

6. Perubahan warna yang mengindikasikan reaksi perdaman DPPH 68

7. Perhitungan persen inhibisi dan IC50..……….… 68

8. Gambar hasil uji fitokimia ekstrak daging dan jeroan keong

ipong-ipong………....……….. 70

(14)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Semakin majunya zaman menyebabkan semakin tingginya tuntutan terhadap aktivitas dunia kerja. Kondisi ini akan memaksa masyarakat untuk berpindah kepada hal-hal yang bersifat instant termasuk pola makannya. Makanan

instant dapat mengandung xenobiotik (pengawet, zat warna, penyedap rasa, pestisida, logam berat atau zat kimia lain) yang beresiko akumulasi jangka panjang. Xenobiotik dapat menjadi radikal bebas di dalam tubuh manusia.

Radikal bebas merupakan salah satu bentuk senyawa reaktif, yang secara umum diketahui sebagai senyawa yang memiliki elektron yang tidak berpasangan di kulit terluarnya (winarsi 2007). Adanya radikal bebas di dalam tubuh manusia dapat menimbulkan berbagai penyakit yaitu serangan jantung, kanker, stroke, gagal ginjal, penuaan dini, dan penyakit kronik lainnya (Prasad et al. 2009; Saha et al. 2008). radikal bebas dapat ditangkal atau diredam dengan pemberian antioksidan atau dengan mengkonsumsi antioksidan (Salimi 2005; Halliwell 2007; Kubola & Siriamornpun 2008; Mohsen & Ammar 2009). Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat diredam (Sunardi 2007). Konsumsi antioksidan dalam jumlah memadai dapat menurunkan resiko terkena penyakit degeneratif yaitu kardiovaskuler, kanker, aterosklerosis, dan lain-lain. Antioksidan terdapat secara alami dalam hampir semua bahan pangan, baik yang berasal dari daratan maupun perairan. Bahan pangan yang berasal dari perairan contohnya kelas Gastropoda, banyak mengandung komponen-komponen antioksidan. Adapun jenis-jenis Gastropoda yang telah diteliti dan mengandung antioksidan antara lain, Lobiger serradifalci dan Oxynoe olivacea (Cavas 2004)

Viviparus ater (Campanella et al. 2005), lintah laut (Discodoris sp.) (Andriani 2009; Nurjanah 2009), keong mata merah (Cerithedia obtusa) (Prabowo 2009), keong mas (Pomacea canaliculata Lamarck) (Susanto 2010), Keong papaya (Melo sp.) (Tias 2010), Lymnaea stagnalis (Vorontsova et al. 2010), adalagi jenis

(15)

mengandung antioksidan, Gastropoda juga mengandung berbagai macam komponen bioaktif yang bermanfaat bagi kesehatan manusia. Komponen-komponen biaoktif tersebut seperti jenis alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, dan lain sebagainya (Harborne 1987).

Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) merupakan salah satu jenis Gastropoda air laut yang pemanfaatannya belum begitu banyak. Secara empiris keong ipong-ipong dipercayai dapat meningkatkan stamina tubuh serta vitalitas. Akan tetapi data-data ilmiah yang mendukung khasiat dari keong tersebut belum ada. Sehingga perlu dilakukan pengkajian mengenai komponen bioaktif yang terkandung di dalam tubuh keong ipong-ipong. Komponen-komponen bioaktif tersebut diharapkan memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Pengkajian ini bermanfaat untuk mengetahui pemanfaatan dari keong ipong-ipong dimasa yang akan datang.

1.2 Tujuan

(16)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Keong Ipong-ipong (Fasciolaria salmo)

Keong ipong-ipong merupakan salah satu spesies dari kelas Gastropoda, dan merupakan kelompok Moluska. Moluska merupakan filum yang paling berhasil menduduki berbagai habitat. Terdapat lebih dari 60.000 spesies hidup dan 15.000 spesies fosil. Hidup sejak periode Cambrian, dan diduga sampai sekarang sedang puncak perkembangan evolusinya (Suwignyo et al. 2005). Berikut dapat kita lihat kalisifikasi toksonomis dari keong ipong-ipong menurut Dance (1977). Filum : Moluska

Kelas : Gastropoda Ordo : Neogastropoda Famili : Fasciolariidae Genus : Fasciolaria

Spesies : Fasciolaria salmo.

Bentuk morfologi cangkang keong ipong-ipong dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)

(17)

worl). Puncak kerucut merupakan bagian yang tertua yang disebut apex, terdapat bulu-bulu kecil sekeliling cangkang dan memiliki warna kuning kehijauan.

Cangkang dari keong terdiri dari 4 lapisan. Lapisan paling luar adalah periostrakum, yang merupakan lapisan tipis terdiri dari bahan protein seperti zat tanduk, disebut conchiolin atau conchin. Lapisan ini terdapat endapan pigmen beraneka warna, yang menjadikan banyak cangkang siput terutama spesies laut termasuk keong ipong-ipong ini yang memiliki warna sangat indah, kuning, hijau cemerlang dengan bercak-bercak merah atau garis-garis cerah. Periostrakum berfungsi untuk melindungi lapisan di bawahnya yang terdiri dari kalsium karbonat terhadap erosi. Lapisan kalsium karbonat terdiri dari 3 lapisan atau lebih, yang terluar adalah prismatik atau palisade, lapisan tengah atau lamella dan paling dalam adalah lapisan nacre atau hypostracum (Suwignyo et al. 2005).

Keong ipong-ipong merupakan kelas Gastropoda yang hidup di laut. Gastropoda yang hidup di laut dapat dijumpai di berbagai jenis lingkungan dan bentuknya telah beradaptasi dengan lingkungannya tersebut (Nontji 1987). Di laut

dalam gastropoda dapat hidup sampai pada kedalaman 5000 meter (Plaziat 1984). Barnes (1987) menyebutkan beberapa jenis dari gastropoda hidup

menempel pada subtrat yang keras, akan tetapi ada juga yang hidup di subtrat seperti pasir dan lumpur. Gastropoda juga dapat hidup di zona litoral, daerah pasang surut dengan menempel pada terumbu karang, laut dalam maupun dangkal bahkan ada yang hidup di air tawar (Berry 1972). Dilingkungan laut gastropoda dapat ditemukan di daerah benthik, antara bebatuan dan pada subtrat lunak (lumpur).

2.2 Antioksidan

(18)

penuaan. Antioksidan diperlukan karena tubuh manusia tidak memiliki sistem pertahanan antioksidan yang berlebihan, sehingga apabila terjadi paparan radikal berlebihan, maka tubuh akan membutuhkan antioksidan eksogen (berasal dari luar) (Wiji dan Sugrani 2009).

2.2.1 Fungsi antioksidan

Fungsi utama antioksidan yaitu dapat digunakan sebagi upaya untuk memperkecil tejadinya proses oksidasi dari lemak dan minyak, memperkecil terjadinya proses kerusakan dalam makanan, memperpanjang masa pemakaian dalam industri makanan, meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam makanan serta mencegah hilangnya kualitas sensori dan nutrisi (Kuncahyo dan Sunardi 2007). Antioksidan juga dapat menetralkan radikal bebas, seperti enzim SOD (Superosida Dismutase), gluthatione, dan katalase. Antioksidan dapat diperoleh dari asupan makanan yang banyak mengandung vitamin C, vitamin E dan berkaroten serta senyawa fenolik (Prakasih 2001; Frei 1994; Trevor 1995 diacu dalam Andayani et al. 2008). Musthafa dan Lawrence (2000) menambahkan bahwa antioksidan juga pada akhirnya berfungsi untuk menetralisir atau meredam dampak negatif dari radikal bebas.

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi utama antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan disingkat (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal bebas. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder, yaitu memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal bebas kebentuk lebih stabil (Gordon 1990).

(19)

tertentu membentuk radikal bebas baru (Gordon 1990). Menurut Hamilton (1983), radikal-radikal antioksidan dapat saling bereaksi membentuk

produk non radikal dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Reaksi Penghambatan antioksidan primer terhadap radikal bebas (Sumber: Gordon 1990).

Antioksidan juga dapat berperan dalam menekan prolifersi (perbanyakan) sel kanker, karena antioksidan berfungsi menutup jalur pembentukan sel ganas (blocking agent) (Trilaksani 2003). Selain itu antioksidan juga berperan sebagai agen antiaging yang melindungi kulit dari proses pengrusakan oleh paparan sinar matahari dan radikal bebas, yang dapat menimbulkan keriput dan penuaan pada kulit (Suryowinoto 2005).

2.2.2 Jenis-jenis antioksidan

Antioksidan sangat beragam jenisnya. Berdasarkan sumbernya antioksidan dibagi dalam dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia) dan antioksidan alami ( antioksidan hasil ekstraksi bahan alami).

2.2.2.1 Antioksidan sintetik

Diantara beberapa contoh antioksidan sintetik yang diizinkan penggunaan untuk makanan yaitu Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen (BHT), propil galat (PG), Tert-Butil Hidoksi Quinon (TBHQ) dan tokoferol. Antioksidan tersebut merupakan antioksidan alami yang telah diproduksi secara sintetis untuk tujuan komersial (Buck 1991). Antioksidan BHA memiliki kemampuan antioksidan yang baik. Hal ini dapat dilihat dari ketahanannya terhadap tahap-tahap pengelolaan maupun stabilitasnya pada produk akhir seperti lemak hewan yang digunakan dalam pemanggangan, akan tetapi BHA relatif tidak efektif jika ditambahkan pada minyak tanaman. Antioksidan BHA bersifat larut lemak dan tidak larut air, berbentuk padat putih dan dijual dalam bentuk tablet atau serpih, bersifat volatil sehingga berguna untuk penambahan ke materi pengemas (Buck 1991; Coppen 1983).

Inisiasi ; R* + AH ---RH + A*

(20)

Antioksidan sintetik BHT memiliki sifat serupa BHA, antioksidan ini akan memberi efek sinergis yang baik jika digunakan bersama antioksidan BHA. Antioksidan BHT berbentuk kristal padat putih dan digunakan secara luas karena relatif murah. Antioksidan sintetik lainnya yaitu propil galat. Propil galat mempunyai karakteristik sensitif terhadap panas, terdekomposisi pada titik cairnya 148⁰C, dapat membentuk komplek warna dengan ion metal, sehingga kemampuan antioksidannya rendah. Selain itu, propil galat memiliki sifat berbentuk kristal padat putih, sedikit tidak larut lemak tetapi larut air, serta memberi efek sinergis dengan BHA dan BHT (Buck 1991).

Antioksidan TBHQ dikenal sebagai antioksidan paling efektif untuk lemak dan minyak, khususnya minyak tanaman karena memiliki kemampuan antioksidan yang baik pada proses penggorengan tetapi rendah pada proses pembakaran. Jika antioksidan TBHQ digabungkan dengan antioksidan BHA, maka akan memiliki kemampuan antioksidan yang baik pada proses pemanggangan dan akan memberikan manfaat yang lebih luas . antioksidan TBHQ dikenal berbentuk bubuk putih sampai coklat terang, mempunyai kelarutan cukup pada lemak dan minyak, tidak membentuk kompleks warna dengan Fe dan Cu tetapi dapat berubah pink dengan adanya basa (Buck 1991).

Tokoferol merupakan antioksidan alami yang dapat ditemukan hampir disetiap minyak tanaman. Akan tetapi saat ini tokoferol telah dapat diproduksi secara kimia. Tokoferol memiliki karakteristik berwarna kuning terang, larut dalam lipid karena rantai C panjang. Pengaruh nutrisi secara lengkap dari tokoferol belum diketahui, tetapi α-tokoferol dikenal sebagai sumber vitamin E.

Di dalam jaringan hidup, aktivitas antioksidan tokoferol cenderung α-> -> ->δ-tokoferol, tetapi dalam makanan aktivitas tokoferol terbalik δ-> -> ->α-tokoferol (Belitz dan Grosch 1987). Urutan tersebut kadang bervariasi

tergantung pada substrat dan kondisi-kondisi lain seperti suhu. 2.2.2.2 Antioksidan Alami

(21)

sebagai bahan tambahan pangan (Pratt 1992). Menurut Pratt dan Hudson (1990), kebanyakan senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami adalah berasal dari tumbuhan.

Menurut Pratt dan Hudson (1990) senyawa antioksidan alami umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid,turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional. Ditambahkan oleh Pratt (1992), golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, kateksin, flavonol dan kalkon. Sementara turunan asam sinamat meliputi asam kafeat, asam ferulat, asam klorogenat, dan lain-lain. Senyawa antioksidan alami polifenolik ini adalah multifungsional dan dapat beraksi sebagai pereduksi, penangkap radikal bebas, pengkelat logam, dan peredam terbentuknya singlet oksigen.

2.3 Uji Aktivitas Antioksidan

Keberadaan senyawa antioksidan dalam suatu bahan dapat diketahui melalui uji aktivitas antioksidan. Terdapat berbagai metode pengukuran aktivitas antioksidan. Pada prisipnya metode-metode tersebut digunakan untuk mengevaluasi adanya aktivitas penghambatan proses oksidasi oleh senyawa antioksidan yang terdapat dalam bahan pangan atau contoh ekstrak bahan alam (Setyaningsih 2003).

Salah satu metode yang umum digunakan yaitu dengan menggunakan radikal bebas stabil diphenilpycrylhydrazil (DPPH). Metode ini, larutan DPPH yang berperan sebagai radikal bebas akan bereaksi dengan senyawa antioksidan, sehingga DPPH akan berubah menjadi diphenilpycrilhydrazine yang bersifat non-radikal yang tidak barbahaya sebagaimana dapat dilihat pada gambar 3. berikut. Meningkatnya jumlah diphenilpycrilhydrazine akan ditandai dengan berubahnya warna ungu pada larutan menjadi warna kuning pucat (Molyneux 2004).

(22)

Hasil dari metode DPPH umumnya dibuat dalam bentuk IC50 (Inhibitor

Concentration 50), yang didefinisikan sebagai konsentrasi larutan substrat atau sampel yang akan menyebabkan tereduksi aktivitas DPPH sebesar 50%. Semakin

besar aktivitas antioksidan maka nilai IC50 akan semakin kecil.

Molyneux (2004) menyatakan bahwa .Suatu senyawa antioksidan dinyatakan baik jika nilai IC50-nya semakin kecil.

2.4 Ekstraksi Senyawa Bioaktif

Ekstraksi merupakan salah satu cara pemisahan yang paling banyak digunakan untuk menarik atau memisahkan komponen bioaktif dari suatu bahan baku. Ekstraksi dapat diartikan sebagai suatu proses penarikan komponen yang diinginkan dari suatu bahan dengan menggunakan pelarut yang dipilih sehingga komponen yang diinginkan dapat larut (Ansel 1989). Winarno et al. (1973), menambahkan ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat menjadi komponen-komponen yang terpisah. Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari suatu bahan yang mengandung komponen-komponen aktif.

Selama proses ekstraksi terdapat gaya yang bekerja akibat adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan cairan ekstraksi di luar sel. Bahan pelarut yang mengalir ke dalam ruang sel akan menyebabkan protoplasma membengkak dan bahan yang terkandung di dalam sel akan terlarut sesuai dengan kelarutannya (Voight 1994).

Menurut Ansel (1989) dan Winarno et al. 1973, ekstraksi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu aqueus phase dan organic phase. Cara aqueus phase

dilakukan dengan menggunakan air, sedangkan cara organic phase dilakukan dengan menggunakan pelarut organik. Berdasarkan prinsipnya, proses ekstraksi dapat berlangsung bila terdapat kesamaan dalam sifat kepolaran antara senyawa yang diekstrak dengan senyawa pelarut. Suatu zat memiliki kemampuan terlarut yang berbeda dalam pelarut yang berbeda. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara zat telarut dengan pelarut. Senyawa polar akan larut pada pelarut polar juga, begitu juga sebaliknya.

(23)

dan lain sebagainya). Hal ini yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah selektivitas, kemampuan untuk mengekstrak, toksisitas, kemudahan untuk diuapkan, dan harga (Harborne 1987). Harborne (1987) mengelompokkan metode ekstraksi menjadi dua, yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus. Ekstraksi sederhana terdiri atas:

a) Maserasi, yaitu metode ekstraksi dengan cara meredam sampel dalam pelarut dengan atau tanpa pengadukan;

b) Perkolasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan;

c) Reperkolasi, yaitu perkolasi dimana hasil perklorasi digunakan untuk melarutkan sampel di dalam perkulator sampai senyawa kimianya terlarut; d) Diakolasi, yaitu perkolasi dengan penambahan tekanan udara.

Ekstraksi khusus terdiri atas:

a) Sokletasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan untuk melarutkan sampel kering dengan menggunakan pelarut bervariasi;

b) Arus balik, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana sampel dan pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang berlawanan;

c) Ultrasonik, yaitu metode ekstraksi dengan menggunakan alat yang menghasilkan frekuensi bunyi atau getaran antara 25-100 KHz

2.5 Metabolit Sekunder

Metabolit sekunder adalah suatu zat yang dibiosintesis terutama dari banyak metabolit-metabolit primer seperti asam amino, asetol koenzim-A, asam mevalonat, dan zat antara (Intermediate) dari alur shikimat (Shikimic acid)

(Herbert 1995). Metabolit sekunder sangat bervariasi jumlah dan jenisnya dari setiap organisme. Beberapa dari senyawa tersebut telah diisolasi sebagian diantaranya memberikan efek fisiologis dan farmakologis yang lebih dikenal sebagai senyawa kimia aktif (Copriady et al. 2005).

(24)

berperan juga pada proses fisiologi. Bahan organik sekunder itu dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu : fenolik, alkaloid dan terpenoid, tetapi pigmen dan porfirin juga termasuk di dalamnya (Purwanti 2009).

Zat metabolit sekunder memiliki banyak jenis, adapun jenis dari metabolit sekunder yang dapat kita ketahui antara lain kumarin (Copriandy et al. 2005), azadirachtin, salanin, meliatriol, nimbin (Samsudin 2008). Pemanfaatan dari zat metabolit sekunder sangat banyak.Metabolit sekunder dapat dimanfaatkan sebagai antioksidan, antibiotik, antikanker, antikoagulan darah, menghambat efek karsinogenik (Copriandy et al. 2005), selain itu metabolit sekunder juga dapat dimanfaatkan sebagai antiagen pengendali hama yang ramah lingkungan (Samsudin 2008).

2.6 Analisis Fitokimia

Analisis fitokimia adalah analisis yang mencangkup pada aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh makhluk hidup, yaitu mengenai struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebarannya secara alamiah dan fungsi biologisnya (Harborne 1987). Senyawa fitokimia bukanlah zat gizi , namun kehadirannya dalam tubuh dapat membuat tubuh lebih sehat, lebih kuat dan lebih bugar (Astawan dan Kasih 2008). Alasan melakukan analisis fitokimia adalah untuk menentukan ciri senyawa aktif penyebab efek racun atau efek bermanfaat, yang ditunjukkan oleh ekstrak kasar bila diuji dengan sistem biologi (Harborne 1987).

2.6.1 Alkaloid

(25)

tumbuhan lainnya sebagai garamnya dan sering diisolasi sebagai Kristal hidroklorida atau pikrat (Harborne 1987).

Senyawa alkaloid dikelompokkan menjadi tiga antara lain, alkaloid sesungguhnya, protoalkaloid, dan pseudoalkaloid. Alkaloid sesungguhnya adalah racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas fisiologis yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa, umumnya mengandung nitrogen dalam cincin heterosiklik, diturunkan dari asam amino, dan biasanya terdapat ditanaman sebagai garam asam organik. Protoalkaloid merupakan amin yang relatif sederhana dimana di dalam nitrogen asam amino tidak terdapat cincin heterosiklik, dan diperoleh berdasarkan biosintesis dari asam amino yang bersifat basa. Pseudoalkaloid tidak diturunkan dari prekursor asam amino, dan biasanya senyawa ini bersifat basa (Sastrohamidjojo 1996). Berikut struktur kimia dari alkaloid pada Gambar 4.

Gambar 4. Struktur alkaloid (Sumber: Pulatova dan Khazanovich 1962) 2.6.2 Steroid/Triterpenoid

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik,

yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Mereka berupa senyawa tanpa warna, berbentuk Kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan optik aktif (Harborne 1987). Triterpenoid dapat dibagi menjadi empat kelompok senyawa, yaitu triterpen sebenarnya, steroid, saponin, dan glokisida jantung (cardiac glycoside). Beberapa triterpen dikenal dengan rasanya, terutama rasa pahit (Sirait 2007).

(26)

Adapun contohnya seperti sterol, sapogenin, glikosida jantung dan vitamin D. Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dari triterpena yaitu lanosterol dan saikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat (Harborne 1987). Hasil penelitian Silva et al. (2002) menunjukkan bahwa komponen steroid yang diekstrak dari daun Agave attenuata

memiliki aktivitas anti-inflamasi, walaupun aktivitas ini diikuti dengan efek

hemolitik yang tidak diinginkan. Komponen steroid dapat meningkatkan aktivitas

hemolitik karena steroid memiliki afinitas lebih tinggi dari kolesterol pada

membran eritrosit. Struktur dari steroid dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Struktur steroid (Sumber: Shaddack 2005)

2.6.3 Flavonoid

Senyawa flavonoid adalah senyawa yang mengandung C15 terdiri atas dua

inti fenolat yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon. Cincin A memiliki karakteristik bentuk hidroksilasi phloroglusinol atau resorsinol, dan cincin B biasanya 4-,3,4-, atau 3,4,5-terhidroksilasi (Sastrohamidjojo 1996). Senyawa ini dapat diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid berupa senyawa fenol, oleh karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amoniak (Harborne 1987).

(27)

mula-mula didasarkan pada telaah sifat kelarutan dan reaksi warna. Terdapat sekitar sepuluh kelas flavonoid yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, khalkon, auron, flavanon dan isoflavon (Harborne 1987)

Flavonoid pada tumbuhan berfungsi dalam pengaturan fotosintesis, kerja antimikroba dan antivirus, dan kerja terhadap serangga (Robinson 1995). Adapun fungsi flavonoid dalam kehidupan manusia yaitu sebagai stimulant pada jantung, hesperidin mempengaruhi pembuluh darah kapiler. Flavon terhidrolisasi berkerja sebagai diuretik dan antioksidan pada lemak (Sirait 2007).

2.6.4 Saponin

Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah terdeteksi dalam lebih dari 90 suku tumbuhan. Glikosida adalah suatu kompleks antara gula pereduksi (glikon) dan bukan gula (aglikon). Glikon bersifat mudah larut dalam air dan glikosida-glikosida mempunyai tegangan permukaan yang kuat (Winarno 1997). Selain itu saponin adalah senyawa aktif permukaan kuat yang menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi rendah sering menyebabkan heomolisis sel darah merah (Robinson 1995). Sifatnya sebagai senyawa aktif permukaan disebabkan adanya kombinasi antara aglikon lipofilik dengan gula yang bersifat hidrofilik (Houghton dan Raman 1998). Banyak saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum ialah asam glukuronat (Harborne 1987). Pembentukan busa yang mantap sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti terpercaya akan adanaya saponin. Saponin jauh lebih polar daripada sapogenin karena ikatan glikosidanya (Harborne 1987). Struktur saponin secara umum disajikan pada Gambat 6.

(28)

2.6.5 Fenol Hidrokuinon

Fenol meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan dan mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil. Flavonoid merupakan golongan fenol yang terbesar, selain itu juga terdapat fenol monosiklik sedarhana, fenilpropanoi, dan kuinon fenolik (Harborne 1987).

Kuinon adalah senyawa bewarna dan mempunyai kromofor dasar, seperti kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Kuinon untuk tujuan identifikasi dapat dipilah menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama biasanya terhidroksilasi dan bersifat senyawa fenol serta mungkin terdapat in vivo

dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinol tanpa warna, kadang-kadang juga bentuk dimer. Dengan demikian diperlukan hidrolisis asam untuk melepaskan kuinon bebasnya (Harborne 1987).

Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glikosida mungkin larut sedikit dalam air, tetapi umunya kuinon lebih mudah larut dalam lemak dan akan terdeteksi dari tumbuhan bersama-sama dengan karotenoid dan klorofil. Reaksi yang khas adalah reduksi bolak-balik yang mengubah kuinon menjadi senyawa tanpa warna, kemudian warna kembali lagi bila terjadi oksidasi oleh udara. Reduksi dapat dilakukan menggunakan natrium borohidrida dan oksidasi ulang dapat terjadi hanya dengan mengocok larutan tersebut diudara (Harborne 1987).

Antioksidan yang termasuk dalam golonhan ini biasanya mempunyai intensitas warna yang rendah atau kadang-kadang tidak bewarna dan banyak digunakan karena tidak beracun. Antioksidan golongan fenol meliputi sebagian besar antioksidan yang dihasilkan oleh alam dan sejumlah kecil antioksidan sintesis, serta banyak digunakan dalam lemak atau bahan pangan berlemak. Beberapa contoh yang termasuk golongan ini antara lain hidrokuinon gossypol, pyrogallol, catechol resorsinol dan eugenoli (Ketaren 1986).

2.6.6 Karbohidrat

(29)

dengan sinar matahari mampu membentuk karbohidrat dari karbon dioksida (CO2)

yang berasal dari udara dan air dari tanah. Proses fotosintesis menghasilkan

karbohidrat sederhana glukosa dan oksigen yang dilepas di udara (Almatsier 2006).

Karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi monosakarida, oligosakarida, serta polisakarida. Monosakarida merupakan suatu molekul yang dapat terdiri dari lima atau enam atom C, sedangkan oligosakarida merupakan polimer dari 2-10 monosakarida, dan pada umumnya polisakarida merupakan polimer yang terdiri lebih dari 10 monomer monosakarida (Winarno 2008). Karbohidrat mempunyai peran penting untuk mencegah pemecahan protein tubuh yang berlebihan, timbulnya ketosis, kehilangan mineral dan berguna untuk metabolisme lemak dan protein dalam tubuh (Budiyanto 2002).

2.6.7 Gula pereduksi

Sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan oleh ada tidaknya gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada glukosa (aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor dua. Sukrosa tidak mempunyai gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat, sedangkan laktosa mempunyai OH bebas pada atom C nomor 1 pada gugus glukosanya (Winarno 2008).

Gula pereduksi teroksidasi oleh zat pengoksidasi lemah, seperti larutan Benedict dan Fehling (reduksi Cu2+ menjadi Cu+) dan peraksi Tollens (reduksi Ag+ menjadi Ag). Beberapa dari reaksi ini digunakan sebagai uji klinis unutk

mendeteksi gula dalam air seni yang menunjukkan penyakit diabetes (Pine et al. 1988) .

Sifat sebagai reduktor pada monosakarida dan beberapa disakarida disebabkan oleh adanya gugus aldehida atau keton bebas dalam molekul karbohidrat. Sifat ini dapat digunakan untuk keperluan identifikasi karbohidrat maupun analisis kuantitatif. Pereaksi Benedict berupa larutan yang mengandung kuprisulfat, natrium karbonat dan natrium sitrat. Glukosa dapat mereduksi ion Cu2+ menjadi Cu+ yang kemudian mengendap sebagai Cu2O. adanya natrium

(30)

endapan ini tergantung pada konsentrasi karbohidrat yang diperiksa (Poedjiadi 1994).

2.6.8 Peptida

Dua asam amino berikatan melalui suatu ikatan peptide (-CONH-) dengan melepas sebuah molekul air. Reaksi keseimbangan ini cenderung untuk berjalan ke arah hidrolisis daripada sintesis. Pembentukan ikatan tersebut memerlukan banyak energi, sedangkan untuk hidrolisis tidak memerlukan energi. Gugus karboksil suatu asam amino berkaitan dengan gugus amino dari molekul asam amino lain menghasilkan suatu dipeptida dengan melepaskan molekul air (Winarno 2008).

2.6.9 Asam amino

Bila suatu protein dihidrolisis dengan asam, alkali, atau enzim akan dihasilkan campuran asam-asam amino. Sebuah asam amino terdiri dari sebuah gugus amino, sebuah gugus karboksil, sebuah atom hydrogen dan gugus R yang terikat pada sebuah atom C yang dikenal sebagai karbon α, serta gugus R merupakan rantai cabang. Semua asam amino berkonfigurasi α dan mempunyai konfigurasi L kecuali glisin yang tidak mempunyai atom C asimetrik. Hanya asam amino L yang merupakan komponen protein (Winarno 2008).

Asam amino dalam kondisi netral (pH isolistrik, pI) berada dalam bentuk ion dipolar atau disebut juga ion zwitter. Pada asam amino yang dipolar, gugus amino mendapat tambahan sebuah proton dan gugus karboksil terdisosiasi. Derajat ionisasi dari asam amino sangat dipengaruhi oleh pH. Pada pH yang rendah misalnya pada pH 1.0 gugus karboksilatnya tidak terdisosiasi, sedang gugus aminonya menjadi ion. Pada pH tinggi misalnya pada pH 11.0 karboksilnya terdisosiasi sedang gugusan aminonya tidak (Winarno 1997).

(31)

3 METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2009 sampai April 2010. Sampel diambil di Desa Gebang, kota Cirebon, Propinsi Jawa Barat. Proses preparasi sampel dan penghitungan rendemen dilakukan di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku, analisis aktivitas antioksidan, pengukuran kadar abu dan abu tidak larut asam dan fitokimia dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis kadar air, protein dan lemak dilaksanakan di Laboratorium Konservasi Satwa Langka dan Harapan, Pusat Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor. Proses evaporasi ekstrak dilakukan di Laboratorium Penelitian 1, Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Identifikasi keong dilakukan di laboratorium Biologi Mikro 1, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan untuk penelitian ini adalah keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo). Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk analisis proksimat meliputi akuades, kjeltab jenis selenium, larutan H2SO4 p.a. pekat,

asam borat (H3BO3) 2% yang mengandung indikator bromcherosol green-methyl

red (1:2)berwarna merah muda, larutan HCl 0.1 N, pelarut lemak (n-heksana p.a), larutan HCl 10%, larutan AgNO3 0.10 N, dan akuades. Bahan-bahan yang

dibutuhkan untuk uji aktivitas antioksidan, yaitu ekstrak keong ipong-ipong, kristal 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH), metanol, antioksidan sintetik BHT (Butylated Hydroxytoluena) sebagai pembanding dan es. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk uji fitokimia meliputi pereaksi Wagner, pereaksi Meyer, pereaksi Dragendroff (uji alkaloid), kloroform, anhidra asetat, asam sulfat pekat (uji steroid), serbuk magnesium, amil alkohol (uji flavonoid), air panas, larutan HCl 2 N (uji saponin), etanol 70%, larutan FeCl3 5% (uji fenol hidrokuinon),

(32)

yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi pisau, sudip, cawan porselen, timbangan digital, aluminium foil, gegep, desikator, oven, kompor listrik, tanur pengabuan, kertas saring Whatman bebas abu dan bebas lemak, kapas bebas lemak, labu lemak, tabung Soxhlet, penangas air, labu Kjeldahl, destilator, labu Erlenmeyer, buret, pipet volumetrik, pipet mikro, gelas ukur, grinder,

homogenizer, sentrifuse, vacuum evaporator, corong terpisah, botol vial, gelas piala, tabung reaksi, spektrofotometer UV-VIS Hitachi U-2800, pipet tetes, tabung reaksi, vortex, sendok plastik dan gelas piala.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu tahapan pengambilan sampel, tahapan perhitungan rendeman, tahap analisis kimia keong ipong-ipong berupa analisis proksimat (kadar air, lemak, protein, abu, dan abu tidak larut asam), tahap pembuatan ekstrak kasar keong ipong-ipong, uji kuantitatif aktivitas antioksidan dan uji fitokimia

3.3.1. Pengambilan dan preparasi bahan baku

Pengambilan sampel keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) dilakukan di pantai kota Cirebon, provinsi Jawa Barat . Pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) pada subtrat lumpur yang ditempati keong tersebut. Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) tersebut kemudian dimasukan dalam wadah berisi air laut perairan tempat hidupnya. Hal ini bertujuan untuk menjaga kelangsungan hidup keong ipong-ipong selama proses transportasi ke laboratorium karakteristik bahan baku di Institut Pertanian Bogor. Setelah sampel diperoleh, dilakukan penentuan ukuran dan berat rata-rata dari 30 ekor keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) secara acak. Kemudian sampel dihitung rendemennya (cangkang dan daging) dengan rumus:

Daging-daging keong ipong-ipong yang telah dipisahkan dari cangkangnya, dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama merupakan daging dalam bentuk segar yang akan diuji kadar air, abu, lemak, protein, dan abu larut asam. Bagian kedua merupakan daging keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)

(33)

dan jeroan yang akan dikeringkan dan nantinya akan diekstrak untuk diuji aktivitas antioksidannya dan fitokimia.

3.3.2. Analisis proksimat (AOAC 2005)

Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk memprediksi komposisi kimia suatu bahan, termasuk di dalamnya analisis kadar air, abu, lemak, protein dan abu larut asam.

1) Analisis kadar air (AOAC 2005)

Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali hingga beratnya konstan, sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan tersebut, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105 oC selama 5 jam atau hingga beratnya konstan. Setelah selesai proses kemudian cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin dan selanjutnya ditimbang kembali.

Perhitungan kadar air :

% Kadar air = B - C x 100%

B - A

Keterangan : A = Berat cawan kosong (gram)

B = Berat cawan yang diisi dengan sampel (gram)

C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (gram) 2) Analisis kadar abu (AOAC 2005)

Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu 105 oC, kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api bunsen hingga tidak berasap lagi. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 oC selama 1 jam, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Kadar abu ditentukan dengan rumus:

(34)

Keterangan : A = Berat cawan porselen kosong (gram) B = Berat cawan dengan sampel (gram)

C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram) 3) Analisis kadar protein (AOAC 1980)

Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan metode mikro Kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 0,25 gram, kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml, lalu ditambahkan 0,25 gram selenium dan 3 ml H2SO4 pekat. Contoh didestruksi pada suhu 410oC selama kurang lebih

1 jam sampai larutan jernih lalu didinginkan. Setelah dingin, ke dalam labu Kjeldahl ditambahkan 50 ml akuades dan 20 ml NaOH 40%, kemudian dilakukan proses destilasi dengan suhu destilator 100 oC. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer 125 ml yang berisi campuran 10 ml asam borat (H3BO3) 2% dan

2 tetes indikator bromcherosol green-methyl red yang berwarna merah muda. Setelah volume destilat mencapai 40 ml dan berwarna hijau kebiruan, maka proses destilasi dihentikan. Lalu destilat dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti contoh.

Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut :

% N = (ml HCl – ml blanko) x N HCl x 14,007 x 100% Mg contoh x faktor koreksi alat *

*) Faktor koreksi alat = 2,5

% Kadar protein = % N x faktor konversi * *) Faktor Konversi = 6,25

4) Analisis kadar lemak (AOAC 2005)

Contoh seberat 5 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring pada

kedua ujung bungkus ditutup dengan kapas bebas lemak dan selanjutnya dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian sampel yang telah dibungkus dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan

(35)

lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven bebas abu dan cuci dengan air suling sampai bebas klorida. Kemudian keringkan kertas saring dalam pengering listrik (oven), setelah dikeringkan kertas saring dimasukkan di dalam cawan porselin yang sudah diketahui berat tetapnya kemudian abukan dalam tanur listrik pada suhu 600⁰C. Setelah dilakukan pengabuan sampel didinginkan di dalam desikator dan kemudian ditimbang beratnya dan diukur kadar abu tidak larut asam dengan rumus:

Kadar abu tidak larut asam = Berat abu (g) x 100% Berat sampel awal (g) 3.3.3. Analisis antioksidan dengan Metode DPPH 1) Ekstraksi bahan aktif (Quinn 1988)

(36)

akan turun hingga 0,80 (batas maksimal) sehingga pertumbuhan mikroba dapat dikurangi dan reaksi-reaksi kimia yang bersifat merusak, seperti hidrolisis atau oksidasi lemak dapat dihindari. Air tipe ini mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimia (Winarno 2008).

Kadar air yang berkurang dalam sampel juga sangat berguna saat dilakukan proses evavorasi. Ketika proses ekstraksi dilakukan pada sampel basah, air akan bermigrasi dari bahan ke dalam lingkungan (pelarut) dalam jumlah yang cukup banyak. Air yang memiliki titik didih lebih tinggi dari pelarut, akan sangat sukar dan lama dipisahkan dari ekstrak dengan menggunakan pemanasan suhu rendah (sesuai dengan titik didih pelarut). Apabila pemanansan dilakukan dengan menggunakan suhu tinggi, yaitu suhu 100 ºC pada tekanan udara 1 atm, maka komponen bioaktif yang memiliki sifat antioksidan dikhawatirkan dapat rusak oleh panas. Sampel yang kering diduga akan menyumbangkan air dalam jumlah yang kecil pada larutan ekstrak.

Isi cangkang keong ipong-ipong (daging dan jeroan) yang telah kering tersebut kemudian dihaluskan dengan blender, sehingga didapat tekstur yang halus. Ukuran sampel yang lebih kecil (bubuk/tepung) diharapkan dapat memperluas permukaan bahan yang dapat berkontak langsung dengan pelarut, sehingga proses ekstraksi komponen bioaktif dapat berjalan dengan maksimal.

Tahap selanjutnya adalah ekstraksi bahan aktif. Metode ekstraksi yang digunakan adalah metode ekstraksi bertingkat (Quinn 1988). Metode ini digunakan tiga macam pelarut berdasarkan tingkat kepolarannya yaitu kloroform p.a. (non polar), etil asetat p.a. (semi polar) dan metanol p.a (polar). Ketiga pelarut ini dipilih karena memiliki titik didih yang lebih rendah dari titik didih air, sehingga dapat mudah diuapkan saat proses vacuum evavorasi (500 mmHg, 50 ºC). pada tekanan udara 1 atm (760 mmHg), kloroform memiliki titik didih sebesar 61 ºC , metanol sebesar 65 ºC dan etil asetat 77 ºC. palarut etanol tidak dipilih untuk menggantikan pelarut metanol (polar) karena titik didihnya jauh lebih tinggi dibandingkan metanol, yaitu 78 ºC (Lehninger 1988).

(37)

ekstraksi tunggal. Proses ekstraksi bertingkat ini justru dipilih karena penelitian ini bertujuan untuk menentukan aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif yang terdapat dalam keong ipong-ipong berdasarkan tingkat kepolarannya. Ekstraksi bertingkat ini diharapkan dapat memisahkan komponen bioaktif dalam sampel yang sama berdasarkan tingkat kepolarannya, tanpa harus komponen bioaktif tersebut terlarut pada pelarut lain yang bukan merupakan pelarutnya. Hal ini diduga dapat terjadi pada proses ekstraksi tunggal menggunakan metanol. Metanol merupakan pelarut polar yang juga dapat melarutkan komponen non polar dan semi polar di dalamnya. Hal yang tidak diinginkan tersebut dapat dihindari dengan melakukan proses ekstraksi bertingkat yang diawali dengan ekstraksi menggunakan pelarut non polar (kloroform p.a) terlebih dahulu, dilanjutkan dengan pelarut semipolar (etil asetat p.a.) dan terakhir menggunakan pelarut polar (metanol p.a.).

Sampel sebanyak 25 g yang telah dihancurkan, dimaserasi dengan pelarut kloroform p.a. sebanyak 100 ml selama 48 jam dengan diberi goyangan menggunakan orbital shaker 8 rpm. Hasil maserasi yang berupa larutan kemudian disaring dengan kertas saring Whatman 42 sehingga didapat filtrat dan residu. Residu yang dihasilkan selanjutnya dimaserasi dengan etil asetat p.a. 100 ml selama 48 jam dengan diberikan goyangan dengan orbital shaker 8 rpm, sedangkan filtrat ekstrak kloroform yang diperoleh dievavorasi hingga pelarut memisah dengan ekstrak menggunakan rotary vacuum evavorator pada suhu 50 ºC.

Hasil proses maserasi ke-2 selanjutnya disaring dengan kertas Whatman 42. Residu yang dihasilkan dilarutkan dengan metanol p.a. sebanyak 100 ml dan dimaserasi selama 48 jam dengan diberi goyangan menggunakan

orbital shaker 8 rpm. Filtrat ekstrak etil asetat yang diperoleh dievaporasi sehingga semua pelarut terpisah dari ekstrak menggunakan rotary vacuum evavorator pada suhu 50 ºC.

(38)

ekstrak kloroform, ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol yang kental. Proses ekstraksi bertingkat ini ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 7. Diagram Alir Proses Ekstraksi Daging keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)

(Sumber: Quinn 1988) 2) Uji aktivitas antioksidan (DPPH) (Blois 1958)

Ekstrak kasar keong ipong-ipong dari hasil ekstraksi bertingkat menggunakan pelarut kloroform p.a. (non polar), pelarut etil asetat p.a. (semi polar), dan pelarut metanol p.a. (polar), dilarutkan dalam metanol p.a. dengan konsentrasi 200, 400, 600 dan 800 ppm. Antioksidan sintetik BHT digunakan sebagai pembanding dan kontrol positif, dibuat dengan cara dilarutkan dalam

25 gr Sampel

Maserasi dengan kloroform selama 48 jam

Penyaringan

Residu

Maserasi dengan etil asetat selama 48 jam

Penyaringan

Evaporasi

Ekstrak kloroform

Maserasi dengan metanol selama 48 jam

Residu

Penyaringan

Residu

Filtrat

Filtrat Evaporasi

Ekstrak etil asetat

Filtrat Evaporasi

(39)

pelarut metanol p.a. dengan konsentrasi 2, 4, 6 dan 8 ppm. Larutan DPPH yang akan digunakan, dibuat dengan melarutkan kristal DPPH dalam pelarut metanol dengan konsentrasi 1 mM. Proses pembuatan larutan DPPH 1 mM dilakukan dalam kondisi suhu rendah dan terlindung dari cahaya matahari.

Larutan ekstrak dan larutan antioksidan pembanding BHT yang telah dibuat, masing-masing diambil 4.5 ml dan direaksikan dengan 500 µ l larutan DPPH 1 mM dalam tabung reaksi yang berbeda dan telah diberi label. Campuran tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit dan diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS Hitachi U-2800

pada panjang gelombang 517 nm. Absorbansi dari larutan blanko juga diukur untuk melakukan perhitungan persen inhibisi. Larutan blanko dibuat dengan mereaksikan 4,5 ml pelarut metanol dengan 500 µ l larutan DPPH 1 mM dalam tabung reaksi. Larutan blanko ini dibuat hanya satu kali ulangan saja. Setelah itu, aktivitas antioksidan dari masing-masing sampel dan antioksidan pembanding BHT dinyatakan dengan persen inhibisi, yang dihitung dengan formulasi sebagai berikut:

% inhibisi = (A blanko – A sampel) x 100% A blanko

Nilai konsentrasi sampel (ekstrak ataupun antioksidan pembanding BHT) dan persen inhibisinya diplot masing-masing pada sumbu x dan y pada persamaan regresi linear. Persamaan regresi linear yang diperoleh dalam bentuk persamaan y = a + bx, digunakan untuk mencari nilai IC50 (inhibitor concentration 50%) dari

masing-masing sampel dengan menyatakan nilai y sebesar 50 dan nilai x yang akan diperoleh sebagai IC50. Nilai IC50 menyatakan besarnya konsentrasi larutan

sampel (ekstrak ataupun antioksidan pembanding BHT) yang dibutuhkan untuk mereduksi radikal bebas DPPH sebesar 50%.

3.3.4. Uji fitokimia (Harborne 1984)

(40)

steroid/triterpenoid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, Molisch, Benedict, Biuret dan Ninhidrin. Metode uji ini berdasarkan Harborne (1984).

a. Alkaloid

Sejumlah sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2N kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu, pereaksi Dragendorff, pereaksi Meyer, dan pereaksi Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, endapan coklat dengan pereaksi Wagner dan endapan merah hingga jingga dengan pereaksi Dragendorff.

Pereaksi Meyer dibuat dengan cara menambahkan 1,36 HgCl2 dengan

0,5 gram KI lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 100 ml dengan labu takar. Pereaksi ini tidak berwarna. Pereaksi Wagner dibuat dengan cara 10 ml akuades dipipet kemudian ditambahkan 2,5 gram iodin dan 2 gram kalium iodida lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 200 ml dalam labu takar. Pereaksi ini berwarna coklat. Pereaksi Dragendorff dibuat dengan cara 0,8 gram bismut subnitrat ditambahkan dengan 10 ml asam asetat dan 40 ml air. Larutan ini dicampur dengan larutan yang dibuat dari 8 gram kalium iodida dalam 20 ml air. Sebelum digunakan, 1 volume campuran ini diencerkan dengan 2,3 volume campuran 20 ml asam asetat glasial dan 100 ml air. Pereaksi ini berwarna jingga.

b. Steroid/ triterpenoid

Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi yang kering. Lalu, ke dalamnya ditambahkan 10 tetes anhidra asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat. Terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau menunjukkan reaksi positif.

c. Flavonoid

(41)

d. Saponin (uji busa)

Saponin dapat dideteksi denan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan adanya saponin.

e. Fenol Hidrokuinon (pereaksi FeCl3)

Sebanyak 1 gram sampel diekstrak dengan 20 ml etanol 70%. Larutan yang dihasilkan diambil sebanyak 1 ml kemudian ditambahkan 2 tetes larutan FeCl3 5%. Terbentuknya warna hijau atau hijau biru menunjukkan adanya

senyawa fenol dalam bahan. f. Uji Molisch

Sebanyak 1 ml larutan sampel diberi 2 tetes pereaksi Molish dan 1 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Uji positif yang menunjukkan adanya karbohidrat ditandai terbentuknya kompleks berwarna ungu diantara 2 lapisan cairan.

g. Uji Benedict

Larutan sampel sebanyak 8 tetes dimasukkan ke dalam 5 ml pereaksi Benedict. Campuran dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Terbentuknya warna hijau, kuning, atau endapan merah bata menunjukkan adanya gula pereduksi.

h. Uji Biuret

Sebanyak 1 ml larutan sampel ditambahkan 4 ml pereaksi Biuret. Campuran dikocok dengan seksama. Terbentuknya larutan berwarna ungu menunjukkan hasil uji positif adanya peptida.

i. Uji Ninhidrin

(42)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Keong Ipong-ipong (Fasciolaria salmo)

Bentuk morfologi keong ipong-ipong yang diambil di perairan Desa Gebang, Cirebon, Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Keong ipong-ipong yang diambil di perairan Desa Gebang Cirebon Sampel keong ipong-ipong yang didapat, dilakukan preparasi untuk mengeluarkan isi cangkang (daging dan jeroan), serta memisahkan dari operkulum yang masih menempel. Bentuk cangkang, isi cangkang (daging dan jeroan) kemudian diamati karakteristik fisiknya. Hasil pengamatan karakteristik fisik cangkang, operkulum dan isi cangkang keong ipong-ipong dapat dilihat pada Tabel 1. Bentuk cangkang dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 1. Hasil pengamatan karakteristik fisik cangkang, isi cangkang dan operkulum keong ipong-ipong

Karakteristik Fisik Cangkang Isi Cangkang Operkulum

(43)

Keong ipong-ipong yang digunakan dalam penelitian ini memiliki warna cangkang coklat kekuningan dan terdapat bulu-bulu halus. Komponen penyusun cangkang keong ipong adalah kalsium karbonat. Isi cangkang keong ipong-ipong dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian daging dan jeroan. Bagian dari daging bewarna krem dan teksturnya kenyal, sedangkan bagian jeroannya yaitu ada yang bewarna hijau, hitam, putih yang merupakan bagian saluran dan kelenjar pencernaan, sedangkan yang bewarna putih krem merupakan bagian gonad. Bagian jeroan ini bersifat lunak dan mudah hancur bila ditekan. Operkulum keong-ipong bewarna coklat cerah, tipis, lembut dan mudah dipatahkan.

Proses karakteristik ini dilakukan guna mengetahui sifat dari bahan baku yang digunakan. Sifat bahan baku ini tidak terbatas pada sifat fisik saja, tetapi juga sifat kimia. Hal ini dikarenakan sifat fisik maupun kimia dari bahan baku yang digunakan berbeda antara yang satu dengan yang lain. Karakteristik fisik keong ipong-ipong yang digunakan dalam penelitian ini telah diamati dan dijelaskan di atas, sehingga perlu dilakukan pengukuran rendemen dan analisis kandungan gizi keong ipong-ipong dengan uji proksimat.

4.1.1 Rendemen

Rendemen adalah persentase perbandingan antara berat bagian bahan yang dapat dimanfaatkan dengan berat total bahan. Nilai rendeman digunakan untuk mengetahui nilai ekonomis suatu produk atau bahan. Semakin tinggi nilai rendemennya, maka semakin tinggi pula nilai ekonomisnya sehingga pemanfaatannya dapat menjadi lebih efektif.

Perhitungan rendemen cangkang, isi cangkang (daging dan jeroan) dapat dilihat di lampiran 2. Nilai rendemen cangkang dan isi cangkang (daging dan jeroan) keong ipong-ipong dapat dilihat pada Gambar 9.

(44)

Rendemen cangkang lebih dari setengah berat keong ipong-ipong utuh, yaitu sebesar 69,69%. Hal ini menunjukkan bahwa cangkang keong ipong-ipong berpotensial untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai sumber kalsium. Suwignyo et al. (2005) menyatakan cangkang gastropoda tersusun atas kalsium karbonat. Lapisan kalsium karbonat yang terdapat pada cangkang terdiri dari 3 lapisan antara lain perismatik, lamella dan nacre.

Rendemen isi cangkang (daging dan jeroan) sebesar 30% yang terdiri dari 22,08% dari daging dan 8,22% dari jeroan. Selain cangkang, isi cangkang keong ipong-ipong juga berpotensi untuk dimanfaatkan dengan jumlahnya yang berkisar 30% tersebut. Pemanfaatannya bisa berupa dijadikan lauk pauk sebagai sumber protein hewani dan asam amino. Protein dan asam-asam amino berfungsi sebagai zat pembangun pada tubuh manusia serta membantu dalam proses metabolisme tubuh manusia (Winarno 2008).

Hasil perhitungan pada Lampiran 2 menunjukkan bahwa cangkang, isi cangkang (daging dan jeroan) memiliki rendemen masing-masing sebesar 69,69%, 22,08% dan 8,22%. Apabila ketiga nilai rendemen tersebut dijumlahkan, maka jumlahnya tidak mencapai 100%. Hal ini diduga sisa berat yang hilang selama proses preparasi merupakan berat air yang terkurung dalam cangkang dan tidak terikat di dalam jaringan. Air ini terbuang ketika isi cangkang dikeluarkan dan ditiriskan terlebih dahulu sebelum ditimbang. Persentasi air yang hilang ini sekitar 0,01%. Air ini terperangkap dalam cangkang saat operkulum menutup rapat lubang aperture.

4.1.2 Komposisi kimia

(45)

menempel pada substrat. Keong ipong-ipong di duga mengandung abu tidak larut asam yang berasal dari mineral-mineral dalam lumpur yang ikut masuk ke dalam saluran pencernaannya, ketika keong ipong-ipong sedang melakukan aktivitas makan. Hasil analisis proksimat isi cangkang keong ipong-ipong dapat dilihat pada Gambar 10 dan cara perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 3.

Gambar 10. Hasil uji proksimat keong ipong-ipong (n=2)

1) Kadar air

(46)

Prinsip análisis kadar air yang dilakukan dalam penelitian ini adalah megukur berat air yang teruapkan dan tidak terikat kuat dalam jaringan bahan dengan bantuan panas. Air yang teruapkan ini merupakan air tipe III (Winarno 2008). Air tipe III ini biasa disebut air bebas dan merupakan air yang hanya terikat secara fisik dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, serat dan lain sebagainya. Air ini dapat dimanfaatkan unutk pertumbuhan mikorba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi (Winarno 2008). Tingginya air tipe III ini pada keong ipong-ipong, dapat menyebabkan keong ipong-ipong mudah sekali mengalami kerusakan (highly perishable) apabila tidak ditangani dengan benar. Hal ini karena air tipe ini dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan juga reaksi kimiawi dalam jaringan yang diduga melibatkan enzim, salah satunya enzim protease seperti katepsin.

2) Kadar lemak

Analisis kadar lemak bertujuan untuk mengetahui kandungan lemak yang terkandung pada isi cangkang keong ipong-ipong. Lemak merupakan komponen yang larut dalam pelarut organik seperti heksan, eter dan kloroform. Menurut Poedjiadi (1994), lemak hewan umumnya berupa padatan pada suhu ruang, sedangkan lemak yang berasal dari tumbuhan berupa zat cair. Lemak dapat dikatakan sebagai sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Hal ini dikarenakan 1 gram lemak dapat menghasilkan 9 kkal, dimana nilai tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan energi yang dihasilkan oleh 1 gram protein dan karbohidrat, yaitu 4 kkal. Lemak juga dapat digunakan sebagai sumber asam lemak esensial dan vitamin (A, D, E dan K) (Winarno 2008; Belitz et al. 2009).

(47)

Kandungan lemak keong ipong-ipong ini lebih rendah daripada kandungan lemak pada daging keong air laut lainnya dari Genus Cerithidea, yaitu sebesar 2,55% (Prabowo 2009). Perbedaan ini dapat terjadi karena pengaruh beberapa faktor, yaitu umur, hábitat, ukuran dan tingkat kematangan gonad.

3) Protein

Pengukuran protein pada bahan pangan digunakan untuk mengetahui kemampuan bahan pangan sebagai sumber protein atau tidak. Protein merupakan makromolekul yang terbentuk dari asam-asam amino yang berikatan peptida. Protein berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh, serta berperan sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein merupakan sumber asam amino yang mengandung unsur C, H, O dan N yang tidak dimiliki oleh lemak ataupun karbohidrat. Molekul protein juga mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga (Winarno 2008).

Protein merupakan komponen terbesar setelah air pada sebagian besar jaringan tubuh (Winarno 2008). Hal ini terbukti dari hasi análisis proksimat keong ipong yang disajikan pada Gambar 10. Nilai kadar protein keong ipong-ipong merupakan nilai terbesar kedua setelah air. Komponen lemak, abu, abu tidak larut asam dan karbohidrat memiliki jumlah yang lebih kecil dibandingkan dengan protein.

Hasil pengujian kadar protein menunjukkan bahwa keong ipong-pong memiliki protein dalam jumlah yang tinggi, yaitu sebesar 18,28%. jumlah ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan keong air laut lainnya seperti dari Genus

Cerithidea yang mengandung protein sebesar 9,85% (Prabowo 2009). Variasi ini dapat disebabkan oleh bebrapa faktor, yaitu hábitat, umur, makanan yang dicerna, laju metabolisme, laju pergerakan dan tingkat kematangan gonad.

4) Kadar abu

(48)

Hasil pengujian kadar abu total menunjukakan bahwa keong ipong-ipong mengandung kadar abu sebesar 2,77%, ini jauh lebih rendah dari kadar abu yang terkandung dalam Genus Cerithidea yaitu sebesar 5,73% (Prabowo 2009). Tinggi rendahnya kadar abu dapat disebabkan oleh perbedaan hábitat dan lingkungan hidup yang berbeda. Setiap lingkungan perairan dapat menyediakan asupan mineral yang berbeda-beda bagi organisme akuatik yang hidup di dalamnya. Masing-masing individu organisme juga memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam meregulasi dan mengabsorbsi mineral, sehingga hal ini nantinya akan memberikan pengaruh pada nilai kadar abu dalam masing-masing bahan.

5) Kadar abu tidak larut asam

Abu tidak larut asam adalah garam-garam klorida yang tidak larut asam, yang sebagian merupakan garam-garam logam berat dan silika. Kadar abu tidak larut asam yang tinggi menunjukkan adanya kontaminasi residu mineral atau logam yang tidak dapat larut asam pada suatu produk. Kadar abu tidak larut asam juga dapat digunakan sebagai kriteria dalam menentukan tingkat kebersihan dalam proses pengolahan suatu produk (Basmal et al. 2003).

Hasil pengujian kadar abu tidak larut asam menunjukkan bahwa keong ipong-ipong mengandung residu abu tidak larut asam sebesar 0,15%. Nilai kadar abu yang diperoleh pada penelitian ini masih di bawah 1%, seperti yang disyaratkan oleh Food Chemical Codex (1991) untuk produk kappa-karaginan

Gambar

Gambar 7. Diagram Alir Proses Ekstraksi Daging keong ipong-ipong
Tabel 1. Hasil pengamatan karakteristik fisik cangkang, isi cangkang dan operkulum keong ipong-ipong
Gambar 9. Rendemen cangkang dan isi cangkang (daging dan jeroan) keong ipong-ipong
Gambar 10. Hasil uji proksimat keong ipong-ipong (n=2)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengujian pada Tabel 5 menunjukkan bahwa ekstrak kasar daging dan jeroan kerang menggunakan pelarut metanol mengandung komponen bioaktif yang lebih banyak dibandingkan

Hasil uji aktivitas antioksidan (Gambar 9), menunjukkan bahwa pada konsentrasi 50 µg/ml, ekstrak etil asetat keong matah merah memiliki persentase inhibisi tertinggi

Taurin.. salmo) memiliki rendemen cangkang 62% dan daging 28%. Pengukusan mengakibatkan perbedaan kadar air, protein, dan abu tak larut asam dengan daging keong segar.

Hasil uji Duncan menunjukkan kadar abu keong yang direbus dalam larutan garam berbeda dengan metode pengolahan lain, hal ini disebabkan oleh perebusan dengan

Tujuan penelitian ini adalah menentukan ren- demen keong ipong-ipong, kandungan kimia (lemak, protein, dan abu), abu tak larut asam; menentukan asam amino dan taurin dari daging

Hasil pengujian senyawa kimia pada Tabel 3 menunjukkan bahwa ekstrak metanol kerang pisau mengandung komponen bioaktif yang lebih banyak dibandingkan ekstrak etil

komponen anorganiknya tidak, karena itulah disebut sebagai kadar abu (Winarno 2008). Hasil pengujian kadar abu total menunjukkan bahwa keong mas

Hasil pengujian asam amino dengan menggunakan pereaksi Ninhidrin 0,10% menunjukkan bahwa hanya ekstrak kasar metanol semanggi air saja yang positif mengandung