• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "4 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Keong Mas

Morfologi keong mas yang diambil dari areal sawah padi Desa Carang Pulang, Kelurahan Cikarawang, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16. Keong mas yang diambil dari sawah padi Desa Carang Pulang Sampel keong mas yang diperoleh, kemudian dipreparasi untuk mengeluarkan isi cangkang (daging dan jeroan), serta memisahkannya dari operkulum yang masih menempel. Bentuk cangkang, isi cangkang dan operkulum keong mas kemudian diamati karakteristik fisiknya. Hasil pengamatan karakteristik fisik cangkang, isi cangkang dan operkulum keong mas dapat dilihat pada Tabel 4. Bentuk cangkang, isi cangkang dan operkulumnya dapat dilihat pada Lampiran 3.

Tabel 4. Hasil pengamatan karakteristik fisik cangkang, isi cangkang dan operkulum keong mas

Karakteristik Fisik Cangkang Isi Cangkang Operkulum

Warna

Coklat gelap dengan pola garis-garis hitam.

Daging:

krem kecoklatan.

Jeroan:

Coklat, hitam dengan bintik-bintik putih (saluran dan kelenjar pencernaan) dan merah muda (gonad).

Coklat gelap.

Tekstur Keras.

Daging: kenyal.

Jeroan:

lunak dan mudah hancur bila ditekan.

Tipis, keras tetapi mudah dipatahkan.

(2)

Keong mas yang digunakan dalam penelitian ini memiliki warna cangkang coklat gelap dan terdapat pola garis-garis hitam yang mengarah ke lubang aperture, umbilicus terbuka dan diameternya pun bervariasi. Komponen penyusun cangkang keong mas adalah kalsium karbonat. Isi cangkang keong mas dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian daging (otot kaki) dan bagian jeroan.

Bagian daging berwarna krem kecoklatan dan teksturnya kenyal, sedangkan bagian jeroan ada yang berwarna hitam dengan bintik-bintik putih, coklat dan merah muda. Bagian yang berwarna coklat dan hitam dengan bintik-bintik putih adalah saluran dan kelenjar pencernaan, sedangkan bagian yang berwarna merah muda adalah gonad. Bagian jeroan ini bersifat lunak dan mudah hancur bila ditekan. Operkulum keong mas mengandung kitin, tipe konsentris dan berwarna coklat gelap. Operkulum keong mas ini tipis dan keras, tetapi mudah untuk dipatahkan.

Proses karakterisasi ini dilakukan guna mengetahui sifat dari bahan baku yang digunakan. Sifat bahan baku ini tidak terbatas pada sifat fisik saja, tetapi juga sifat kimia. Hal ini dikarenakan sifat fisik maupun kimia dari bahan baku yang digunakan berbeda antara yang satu dengan yang lain. Karakteristik fisik keong mas yang digunakan dalam penelitian ini telah diamati dan dijelaskan di atas, sehingga perlu dilakukan pengukuran rendemen dan analisis kandungan gizi keong mas dengan uji proksimat.

4.1.1 Rendemen

Rendemen merupakan presentase perbandingan antara berat bagian bahan yang dapat dimanfaatkan dengan berat total bahan. Nilai rendemen digunakan untuk mengetahui nilai ekonomis suatu produk atau bahan. Semakin tinggi nilai rendemennya, maka semakin tinggi pula nilai ekonomisnya sehingga pemanfaatannya dapat menjadi lebih efektif.

Perhitungan rendemen cangkang, isi cangkang dan operkulum keong mas dapat dilihat pada Lampiran 4. Nilai rendemen cangkang, isi cangkang dan operkulum keong mas dapat dilihat pada Gambar 17.

(3)

27,10

48,35

1,46 0

10 20 30 40 50 60

Cangkang Isi cangkang Operkulum

Rendemen (%)

Bagian tubuh

Gambar 17. Rendemen cangkang, isi cangkang dan operkulum keong mas Rendemen isi cangkang keong mas hampir mencapai setengah dari berat keseluruhan keong mas utuh, yaitu 48,35%. Hal ini menunjukkan bahwa isi cangkang keong mas sangat potensial bila dimanfaatkan lebih lanjut sebagai sumber asam amino esensial dalam pangan ataupun pakan nantinya. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian Kamil et al. (1998) yang menunjukkan bahwa tepung keong mas mengadung asam amino esensial yang lengkap. Asam amino esensial ini sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia, salah satunya asama amino lisin. Jumlah asam amino lisin yang cukup tinggi (41,29 mg/g protein) pada tepung keong mas, menunjukkan bahwa keong mas juga dapat dimanfaatkan sebagai suplemen pada bahan pangan atau pakan yang kurang lisin, mengingat lisin sering menjadi komponen asam amino pembatas dalam pakan ternak.

Rendemen cangkang keong mas yang tidak terlalu besar, yaitu 27,10%, menunjukkan bahwa bagian cangkang keong mas cukup potensial apabila dimanfaatkan lebih lanjut. Cangkang keong mas tersusun dari molekul-molekul kalsium dalam bentuk kalsium karbonat (Suwignyo et al. 2005; Castro dan Huber 2007), sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber kalsium setelah melalui proses pengolahan dan pemurnian terlebih dahulu. Proses pengolahan dan pemurnian perlu dilakukan untuk menghilangkan pigmen-pigmen pada lapisan pertama cangkang Gastropoda, yaitu pada lapisan periostrakum yang melindungi lapisan kalsium karbonat di bawahnya. Kalsium karbonat terdapat pada 3 lapisan

(4)

di bawah periostrakum, yaitu lapisan prismatik, lapisan lamella dan lapisan hypostracum (Suwignyo et al. 2005).

Operkulum keong mas mengandung molekul-molekul kitin (Pennak 1989), akan tetapi rendemennya yang sangat kecil (1,46%) tidak

memungkinkan operkulum tersebut untuk dimanfaatkan dalam industri pembuatan kitin-kitosan karena tidak akan ekonomis dan efektif. Hal ini dikarenakan industri pembuatan kitin-kitosan memerlukan bahan baku yang cukup banyak.

Hasil perhitungan pada Lampiran 4 menunjukkan bahwa cangkang, isi cangkang dan operkulum memiliki rendemen masing-masing sebesar 27,10%, 48,35% dan 1,46%. Apabila ketiga nilai rendemen tersebut dijumlahkan, maka jumlahnya tidak mencapai 100%. Hal ini dikarenakan sisa berat yang hilang selama proses preparasi merupakan berat air yang terkurung dalam cangkang dan tidak terikat dalam jaringan. Air ini terbuang ketika isi cangkang dikeluarkan dan ditiriskan terlebih dahulu sebelum ditimbang. Persentasi berat air yang hilang ini mencapai 23,09%. Air ini terperangkap dalam cangkang saat operkulum menutup rapat lubang aperture.

4.1.2 Kandungan gizi

Kandungan gizi pada isi cangkang keong mas dapat diketahui melalui analisis proksimat. Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk memprediksi komposisi kimia suatu bahan, termasuk didalamnya kandungan air, lemak, protein, abu dan karbohidrat. Kadar karbohidrat dalam keong mas diperoleh melalui perhitungan by difference. Selain analisis proksimat (kadar air, lemak, protein dan abu), pengujian kadar abu tidak larut asam juga dilakukan. Pengujian kadar abu tidak larut asam pada sampel keong mas dilandasi karena keong mas merupakan golongan Gastropoda yang hidup di perairan tawar berlumpur dan menempel pada substrat. Keong mas diduga mengandung residu abu tidak larut asam yang berasal dari mineral-mineral dalam lumpur yang ikut masuk ke dalam saluran pencernaannya, ketika keong mas sedang melakukan aktivitas makan. Hasil analisis proksimat isi cangkang keong mas dapat dilihat pada Tabel 5 dan cara perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 5.

(5)

Tabel 5. Hasil uji proksimat keong mas (n=2)

Komponen Kandungan (% bb)

Kadar air 81,19

Kadar lemak 0,51

Kadar protein 10,30

Kadar abu 4,07

Kadar abu tidak larut asam 0,30

Kadar karbohidrat 3,93

1) Kadar air

Air merupakan senyawa yang paling berlimpah di dalam sistem hidup dan mencakup 70% atau lebih dari bobot hampir semua bentuk kehidupan. Hal ini karena air mengisi semua bagian dari tiap sel, air merupakan medium tempat berlangsungnya transport nutrien, reaksi-reaksi enzimatis metabolisme, dan transfer energi kimia (Lehninger 1988). Kandungan air dalam bahan makanan

ikut menentukan daya terima, kesegaran dan daya tahan bahan tersebut (Winarno 2008).

Analisis kadar air dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah air yang terkandung dalam isi cangkang keong mas. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa keong mas memiliki kadar air yang cukup tinggi, yaitu sebesar 81,19%. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan nilai kadar air daging keong mas yang telah diuji oleh Nurjanah et al. (1996) dan Kamil et al. (1998) pada penelitian-penelitian terdahulu. Nilai tersebut sedikit berbeda dengan nilai kadar air keong mas yang diuji oleh Departemen Pertanian Filipina, yaitu 77,60%

(DA-PhilRice 2001). Perbedaan ini terjadi diduga karena adanya pengaruh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang diduga kuat menjadi penyebab perbedaan ini adalah sifat genetik antara keong mas yang terdapat di Indonesia berbeda dengan keong mas yang terdapat di Filipina. Faktor eksternal yang diduga berpengaruh adalah habitat dan kondisi lingkungan yang berbeda. Sifat genetik, habitat dan kondisi lingkungan yang berbeda ini diduga berpengaruh pada kadar komponen gizi lain dalam tubuh keong mas, seperti kadar protein dan kadar lemak. Jika proporsi kedua zat gizi ini berbeda dalam tubuh organisme, maka kadar air dalam tubuh organisme tersebut pun akan berbeda proporsinya.

Prinsip analisis kadar air yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengukur berat air bebas yang teruapkan dan tidak terikat kuat dalam jaringan

(6)

bahan dengan bantuan panas. Air yang teruapkan ini merupakan air tipe III (Winarno 2008). Air tipe III ini biasa disebut air bebas dan merupakan air yang hanya terikat secara fisik dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, serat dan lain sebagainya. Air ini dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi (Winarno 2008). Tingginya kadar air tipe III ini pada keong mas, dapat menyebabkan keong mas mudah sekali mengalami kerusakan (highly perishable) apabila tidak ditangani dengan benar.

Hal ini karena air tipe ini dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan juga reaksi kimiawi dalam jaringan yang diduga melibatkan enzim, salah satunya enzim protease seperti katepsin.

2) Kadar lemak

Analisis kadar lemak yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan lemak yang terdapat pada isi cangkang keong mas.

Lemak sendiri merupakan komponen yang dibentuk dari unit struktural yang bersifat hidrofobik. Lemak larut pada pelarut organik (non polar) dan tidak larut dalam air (polar) (Belitz et al. 2009), sehingga penelitian ini menggunakan pelarut organik n-heksana yang bersifat non polar, untuk mengekstrak lemak dari dalam bahan (isi cangkang keong mas).

Lemak dapat dikatakan sebagai sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Hal ini karena 1 gram lemak dapat menghasilkan 9 kkal, dimana nilai tersebut lebih besar dibandingakn dengan energi yang dihasilkan oleh 1 gram karbohidrat atau protein, yaitu 4 kkal. Lemak juga dapat digunakan sebagai sumber asam lemak esensial dan vitamin (vitamin A, D, E dan K) (Winarno 2008; Belitz et al. 2009).

Hasil pengujian menunjukkan bahwa keong mas mengandung lemak dalam kadar yang cukup rendah, yaitu hanya sebesar 0,51%. Nilai ini tidak jauh

berbeda dengan hasil pengujian kadar lemak keong mas yang dilakukan oleh Nurjanah et al. (1996), Kamil et al. (1998) dan Departemen Pertanian Filipina

(DA-PhilRice 2001), dimana kadar lemak keong mas pada penelitian-penelitian tersebut berkisar antara 0,40% hingga 0,91%.

Kadar lemak yang rendah dapat disebabkan karena kandungan air dalam keong mas sangat tinggi, sehingga secara proporsional persentase kadar lemak

(7)

akan turun drastis. Hal ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa kadar air umumnya berhubungan terbalik dengan kadar lemak (Yunizal et al. 1998).

Hubungan tersebut mengakibatkan semakin rendahnya kadar lemak, apabila kadar air yang terkandung dalam bahan jumlahnya cukup tinggi.

Kandungan lemak keong mas ini lebih rendah daripada kandungan lemak pada daging jenis keong air tawar lainnya dari famili Viviparidae, yaitu sebesar 2,80% (Krzynowek dan Murphy 1987). Perbedaan ini dapat terjadi karena pengaruh beberapa faktor, yaitu umur, habitat, ukuran dan tingkat kematangan gonad.

3) Kadar protein

Protein merupakan makromolekul yang dibentuk dari asam amino-asam amino yang berikatan peptida. Protein berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh, serta berperan sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein merupakan sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O dan N yang tidak dimiliki oleh lemak ataupun karbohidrat. Molekul protein juga mengandung fosfor, belerang dan ada pula jenis protein yang mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga (Winarno 2008).

Protein merupakan komponen terbesar setelah air pada sebagian besar jaringan tubuh (Winarno 2008). Hal ini terbukti dari hasil analisis proksimat keong mas yang disajikan pada Tabel 4. Nilai kadar protein keong mas merupakan nilai terbesar kedua setelah kadar air. Komponen lemak, abu, abu tidak larut asam dan karbohidrat memiliki jumlah yang lebih kecil dibandingkan protein.

Hasil pengujian kadar protein menunjukkan bahwa keong mas memiliki protein dalam jumlah sedang, yaitu sebesar 10,30%. Jumlah ini tidak jauh

berbeda dengan kadar protein daging keong mas yang diuji oleh Nurjanah et al. (1996), tetapi jumlah tersebut sedikit berbeda dengan kadar protein

keong mas yang dikemukakan oleh Kamil et al. (1998) dan Departemen Pertanian Filipina (DA-PhilRice 2001), yaitu sebesar 8,69% dan 12,20%. Variasi ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu habitat, umur, makanan yang dicerna, laju metabolisme, laju pergerakan dan tingkat kematangan gonad.

(8)

Walaupun hasil analisis menunjukkan bahwa keong mas mengandung

protein dalam jumlah yang terbilang sedang, akan tetapi hasil penelitian Kamil et al. (1998) menunjukkan bahwa keong mas mengandung asam amino

esensial yang cukup lengkap, yaitu sebanyak 9 asam amino esensial, kecuali triptofan (Tabel 2). Asam amino lisin yang biasanya menjadi asam amino pembatas, ternyata pada tepung keong mas memiliki skor kimia yang cukup (41,29 mg/g protein), oleh karena itu keong mas dapat dimanfaatkan sebagai suplemen pada bahan pangan atau pakan yang kurang lisin.

4) Kadar abu

Bahan makanan terdiri dari 96% bahan organik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Unsur juga dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik akan terbakar tetapi

komponen anorganiknya tidak, karena itulah disebut sebagai kadar abu (Winarno 2008).

Hasil pengujian kadar abu total menunjukkan bahwa keong mas mengandung mineral dalam jumlah yang cukup tinggi, yaitu sebesar 4,06%. Nilai tersebut jauh berbeda dengan nilai kadar abu keong mas yang diuji oleh Nurjanah et al. (1996), Kamil et al. (1998) dan Departemen Pertanian Filipina (DA-PhilRice 2001). Tinggi rendahnya kadar abu dapat disebabkan oleh perbedaan habitat dan lingkungan hidup yang berbeda. Setiap lingkungan perairan dapat menyediakan asupan mineral yang berbeda-beda bagi organisme akuatik yang hidup di dalamnya. Data kadar abu tersebut menunjukkan bahwa lingkungan perairan sawah padi di Desa Carang Pulang menyediakan asupan mineral yang cukup tinggi bagi organisme perairan yang hidup di dalamnya.

Selain itu juga, masing-masing individu organisme juga memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam meregulasi dan mengabsorbsi mineral, sehingga hal ini nantinya akan memberikan pengaruh pada nilai kadar abu dalam masing-masing bahan.

5) Kadar abu tidak larut asam

Abu tidak larut asam adalah garam-garam klorida yang tidak larut asam, yang sebagian merupakan garam-garam logam berat dan silika. Kadar abu tidak larut asam yang tinggi menunjukkan adanya kontaminasi residu mineral atau

(9)

logam yang tidak dapat larut asam pada suatu produk. Kadar abu tidak larut asam juga dapat digunakan sebagai kriteria dalam menentukan tingkat kebersihan dalam proses pengolahan suatu produk (Basmal et al. 2003).

Hasil pengujian kadar abu tidak larut asam menunjukkan bahwa keong mas mengandung residu abu tak larut asam sebesar 0,30%. Nilai kadar abu yang diperoleh pada penelitian ini masih di bawah 1%, seperti yang disyaratkan oleh Food Chemical Codex (1991) yang diacu oleh Basmal et al. (2003) untuk produk kappa-karaginan food grade. Kadar abu tidak larut asam ini diduga berasal dari material-material abu yang tidak larut asam yang terdapat di perairan tempat keong mas hidup, seperti pasir, lumpur, silika dan batu. Material tak larut asam ini ikut masuk ke dalam saluran pencernaan keong mas ketika keong mas sedang melakukan aktivitas makan, kemudian mengendap di dalamnya karena tidak dapat diekskresikan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian-penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Nurjanah (2009) dan Adriyanti (2009) pada lintah laut (Discodoris sp.) yang juga termasuk dalam kelas Gastropoda dan hidup menempel pada substrat dasar. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa lintah laut yang telah dibuang jeroannya memiliki kadar abu tidak larut asam yang lebih rendah daripada lintah laut yang tidak dibuang jeroannya, sehingga dapat disimpulkan bahwa tempat tertimbunnya material tidak larut asam dalam tubuh Gastropoda adalah pada bagian jeroannya. Nurjanah (2009) menambahkan bahwa komponen abu tidak larut asam ini dapat merusak kinerja organ ginjal jika dikonsumsi dalam jumlah yang besar.

6) Kadar karbohidrat

Karbohidrat merupakan komponen organik yang paling banyak tersebar di permukaan bumi. Karbohidrat sangat berperan dalam metabolisme hewan dan tumbuhan. Karbohidrat merupakan salah satu nutrisi dasar dan paling banyak digunakan sebagai sumber energi utama. Energi yang disumbangkan dari karbohidrat sebesar 17 kJ/g atau sebesar 4 kkal (Belitz et al. 2009). Karbohidrat juga mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, seperti rasa, warna, tekstur dan lain-lainnya (Winarno 2008).

Hasil perhitungan kadar karbohidrat dengan metode by difference menunjukkan bahwa keong mas mengandung karbohidrat sebesar 3,93%. Hasil

(10)

perhitungan karbohidrat dengan metode by difference ini merupakan metode penentuan kadar karbohidrat dalam bahan pangan secara kasar, dimana serat kasar juga terhitung sebagai karbohidrat (Winarno 2008). Pengertian tersebut menegaskan bahwa nilai kadar karbohidrat keong mas pada penelitian ini relatif sama dengan kadar karbohidrat keong mas pada penelitian Nurjanah et al. (1996), tetapi nilai tersebut cukup berbeda dengan hasil perhitungan kadar karbohidrat yang diperoleh oleh Kamil et al. (1998) dan Departemen Pertanian Filipina (DA-PhilRice 2001), yaitu sebesar 6,68% dan 6,60%. Variasi ini dapat terjadi karena perbedaan habitat dan lingkungan hidup, perbedaan ketersediaan bahan pangan, serta dominasi jenis bahan pangan yang dimakan mengingat keong mas merupakan hewan omnivora.

Kadar karbohidrat yang terhitung ini diduga berupa glikogen dan serat kasar. Hal ini dikarenakan karbohidrat yang terdapat pada hewan umumnya berbentuk glikogen (Winarno 2008). Selain itu, hasil penelitian Nurjanah et al. (1996) dan Kamil et al. (1998) menunjukkan bahwa keong mas

juga mengandung komponen serat kasar, yang mana komponen ini justru mendominasi kadar karbohidrat pada keong mas (Tabel 1).

4.2 Ekstraksi Komponen Bioaktif Keong Mas

Ekstraksi merupakan proses penarikan komponen zat aktif suatu bahan dengan menggunakan pelarut tertentu. Tujuan dari proses ini adalah untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen- komponen aktif (Harborne 1984). Proses ekstraksi pada penelitian ini meliputi proses pengeringan sampel, penghancuran sampel menjadi bentuk bubuk, maserasi dalam pelarut dengan penggoyangan menggunakan orbital shaker, penyaringan dan evaporasi menggunakan rotary vacuum evaporator. Sampel yang digunakan merupakan keseluruhan isi cangkang (jeroan dan daging) keong mas. Proses ekstraksi yang dilakukan merupakan ekstraksi bertingkat menggunakan pelarut kloroform p.a. (non polar), etil asetat p.a. (semipolar) dan metanol p.a. (polar).

4.2.1 Ekstrak kasar

Proses evaporasi filtrat dari masing-masing hasil maserasi pelarut akan menghasilkan ekstrak kasar keong mas yang kental dan berbeda tingkat

(11)

kepolarannya. Selain itu, masing-masing ekstrak juga memiliki karakteristik yang berbeda-beda pula. Ekstrak kloroform berwarna coklat tua dan pekat, ekstrak etil asetat memiliki warna coklat tua yang lebih muda dibandingkan warna ekstrak kloroform, sedangkan ekstrak metanol memiliki warna coklat kehijauan. Ketiga ekstrak tersebut berbentuk pasta kental dan memiliki aroma khas menyerupai produk petis. Ekstrak kasar keong mas tersebut dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18. Ekstrak kasar keong mas

(Kiri-kanan: ekstrak kloroform, etil asetat dan metanol)

Hasil ekstraksi menggunakan tiga jenis pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang berbeda-beda, akan menghasilkan rendemen ekstrak yang berbeda-beda pula. Rendemen ekstrak merupakan perbandingan antara jumlah ekstrak yang dihasilkan dengan jumlah sampel awal yang diekstrak. Rendemen ekstrak dinyatakan dalam persen, sama halnya dengan nilai rendemen bahan.

Nilai rendemen ekstrak dari masing-masing pelarut dapat dilihat pada diagram batang Gambar 19. Proses perhitungan rendemen ekstrak dari masing-masing pelarut dapat dilihat pada Lampiran 6.

Gambar 19. Rendemen ekstrak kasar keong mas

1,59

0,79

8,21

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Kloroform Etil Asetat Metanol

Rendemen (%)

Jenis pelarut

(12)

Diagram batang di atas menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat memiliki persentase rendemen terkecil, yaitu 0,79%, sedangkan ekstrak metanol merupakan ektrak yang memiliki rendemen terbesar, yaitu 8,21%. Data tersebut menunjukkan bahwa komponen bioaktif yang paling banyak terkandung dalam jaringan tubuh keong mas merupakan komponen bioaktif yang memiliki sifat polar karena dapat larut pada pelarut polar, yaitu metanol. Komponen bioaktif keong mas yang bersifat non polar dan semipolar terdapat dalam jumlah yang lebih kecil.

Hasil ekstrak yang diperoleh akan sangat bergantung pada beberapa faktor, yaitu kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi, serta

perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel (Harborne 1984;

Darusman et al. 1995; Rita et al. 2009). Hasil penelitian Salamah et al. (2008) menunjukkan bahwa maserasi dengan jenis pelarut yang berbeda akan menghasilkan rendemen ekstrak yang berbeda pula. Pernyataan tersebut mendukung hasil penelitian ini, dimana kadar komponen bioaktif yang bersifat polar, semipolar dan nonpolar terdapat dalam jumlah yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan pelarut yang berbeda akan melarutkan senyawa-senyawa yang berbeda-beda bergantung tingkat kepolarannya dan tingkat ketersediaanya dalam bahan yang diekstrak.

Kandungan komponen biaktif yang bersifat polar pada filum Molusca umumnya terdapat dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan komponen- komponen bioaktif lain yang bersifat non polar dan semipolar. Hal ini terbukti dari hasil penelitian ini, dimana kadar ekstrak metanol (polar) keong mas terdapat dalam jumlah yang paling banyak. Pernyataan di atas juga didukung oleh hasil penelitian Salamah et al. (2008) pada kijing taiwan (Anadonta woodiana Lea.) dan Nurjanah (2009) pada lintah laut (Discodoris sp.), yang mana ekstrak polar dari masing-masing komoditas tersebut terdapat dalam jumlah yang lebih banyak jika dibandingkan dengan ekstrak semipolar dan non polar.

4.2.2 Komponen bioaktif pada ekstrak kasar

Ekstrak kasar keong mas yang diperoleh dari proses ekstraksi tepung keong mas menggunakan pelarut kloroform p.a. (non polar), pelarut etil asetat p.a.

(13)

(semipolar) dan pelarut metanol p.a. (polar) diuji kandungan komponen bioaktif menggunakan metode uji fitokimia. Uji ini akan menunjukkan komponen bioaktif apa saja yang terlarut pada masing-masing pelarut.

Uji fitokimia dipilih karena uji ini dapat mendeteksi komponen bioaktif yang tidak terbatas hanya pada metabolit sekunder saja, tetapi juga termasuk metabolit primer yang memberikan aktivitas biologis fungsional, seperti protein dan peptida (Kannan et al. 2009). Penapisan komponen bioaktif pada masing- masing ekstrak dilakukan dengan metode uji fitokimia yang meliputi pengujian komponen karbohidrat, gula pereduksi, peptida, asam amino (metabolit primer), alkaloid, steroid, flavonoid, saponin dan fenol hidrokuinon (metabolit sekunder) (Harborne 1984; Harborne 1999). Uji firokimia yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi uji alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, uji Molisch, uji Benedict, uji Biuret dan uji Ninhidrin. Hasil uji fitokimia pada pada masing-masing ekstrak kasar keong mas dapat dilihat pada Tabel 6.

Hasil pengujian fitokimia pada Tabel 6 menunjukkan bahwa ekstrak metanol keong mas mengandung komponen bioaktif yang lebih banyak dibandingkan dua ekstrak lainnya. Komponen bioaktif pada ekstrak metanol meliputi komponen alkaloid, steroid, flavonoid, karbohidrat dan asam amino.

Komponen bioaktif yang terdeteksi pada ekstrak etil asetat diantaranya komponen steroid, flavonoid dan karbohidrat, sedangkan ekstrak kloroform hanya mengandung komponen steroid dan karbohidrat saja. Diagram batang pada Gambar 20 menunjukkan bahwa ekstrak kloroform memiliki rendemen yang lebih besar dari ekstrak etil asetat, sehingga dapat ditarik dua hipotesis awal, yaitu ekstrak kloroform mengandung komponen lain selain kedua komponen bioaktif yang dikandungnya dan/atau ekstrak kloroform mengandung komponen steroid atau karbohidrat dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan ekstrak etil asetat.

Hal ini dikarenakan ekstrak yang diperoleh dari proses ekstraksi pada penelitian ini masih berupa ekstrak kasar, sehingga perlu diuji lebih lanjut menggunakan kromatografi untuk mengetahui komponen lain apa saja yang terkandung dalam ekstrak tersebut beserta kadarnya. Hasil uji fitokimia ini menunjukkan bahwa keong mas mengandung 5 dari 9 komponen yang diuji dengan metode fitokimia Harborne (1984).

(14)

Tabel 6. Hasil uji fitokimia ekstrak kasar keong mas Uji Fitokimia

Jenis Pelarut

Standar (warna) Kloroform Etil

Asetat Metanol Alkaloid:

a. Dragendorff b. Meyer c. Wagner

- - -

- - -

+ - +

Endapan merah atau jingga Endapan putih kekuningan Endapan coklat

Steroid/triterpenoid + + + Perubahan dari merah menjadi biru/hijau

Flavonoid - + +

Lapisan amil alkohol berwarna

merah/kuning/hijau

Saponin - - - Terbentuk busa

Fenol Hidrokuinon - - - Warna hijau atau hijau biru

Molisch + + + Warna ungu antara 2 lapisan

Benedict - - - Warna hijau/kuning/endapan

merah bata

Biuret - - - Warna ungu

Ninhidrin - - + Warna biru

1) Alkaloid

Komponen alkaloid didefinisikan sebagai substasi dasar yang memiliki satu atau lebih atom nitrogen yang bersifat basa dan tergabung dalam suatu sistem siklis, yaitu cincin heterosiklik (Harborne 1984). Komponen alkaloid ini hanya ditemukan pada ekstrak kasar metanol (polar) keong mas. Alkaloid umumnya larut pada pelarut organik (non polar), sedangkan beberapa kelompok pseudoalkaloid dan protoalkaloid larut dalam air (polar) (Lenny 2006). Pelarut organik yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelarut kloroform p.a., tetapi ekstrak dari pelarut tersebut tidak menunjukkan reaksi positif adanya alkaloid.

Ekstrak yang menunjukkan reaksi positif mengandung alkaloid justru ekstrak metanol (polar). Hal ini menunjukkan bahwa keong mas tidak mengandung alkaloid (sesungguhnya) yang bersifat racun, tetapi hanya mengandung protoalkaloid dan pseudoalkaloid saja. Menurut Hegnauer, protoalakaloid merupakan amin yang relatif sederhana dimana nitrogen-nitrogen asam amino tidak terdapat dalam cincin heterosiklik, sedangkan pseudoalkaloid merupakan

(15)

komponen alkaloid yang tidak diturunkan dari prekursor asam amino dan biasanya bersifat basa (Lenny 2006).

Alkaloid yang terdapat pada ekstrak metanol keong mas ini dapat digolongkan sebagai hasil metabolisme sekunder dari keong mas sendiri.

Menurut Kutchan (1995), alkaloid digolongkan sebagai metabolit sekunder karena kelompok molekul ini merupakan substansi organik yang tidak bersifat vital bagi organisme yang menghasilkannya, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa komponen alkaloid pada keong mas ini juga berasal dari tumbuh-tumbuhan yang dimakan oleh keong mas, mengingat keong mas merupakan hewan omnivora.

Alkaloid diketahui berasal dari sejumlah kecil asam amino yaitu ornitin dan lisin yang menurunkan alkaloid alisiklik; fenilalanin dan tirosin yang menurunkan alkaloid jenis isokuinolin; dan triftopan yang menurunkan alkaloid indol. Reaksi utama yang mendasari biosintesis senyawa alkaloid adalah reaksi Mannich, dimana menurut reaksi ini suatu aldehid berkondensasi dengan suatu amina menghasilkan suatu ikatan karbon-nitrogen dalam bentuk imina atau garam iminium, diikuti oleh serangan suatu atom karbon nukleofilik yang dapat berupa suatu enol atau fenol (Lenny 2006). Reaksi Mannich ini terjadi juga dalam jaringan tubuh keong mas yang turut menghasilkan alkaloid. Hasil penelitian Kamil et al. (1998) menunjukkan bahwa keong mas mengandung asam amino esensial lisin dan fenilalanin, serta asam amino non esensial tirosin, tetapi tidak mengandung asam amino esensial triptofan. Informasi tersebut menunjukkan bahwa komponen alkaloid yang dihasilkan oleh keong mas melalui reaksi Mannich dalam tubuhnya diduga merupakan alkaloid jenis alisiklik dan isokuinolin.

Alkaloid kerap kali bersifat racun pada manusia, tetapi ada juga yang memiliki aktivitas fisiologis pada kesehatan manusia sehingga digunakan secara luas dalam pengobatan (Harborne 1984). Alkaloid pada ekstrak keong mas ini diduga juga memiliki sifat antioksidan, sama seperti jenis alkaloid yang ditemukan oleh Porto et al. (2009) pada daun Psychotria brachyceras yaitu brachycerine, yang memiliki aktivitas antioksidan dan juga berperan sebagai pelindung dari radiasi sinar UV (UV-B dan UV-C). Alkaloid jenis isokuinolin diduga berhubungan erat dengan senyawa alkaloid tipe quinin, dan diduga pula

(16)

memiliki aktivitas sebagai obat malaria seperti quinin (Putra 2007). Hal ini menekankan bahwa perlu dilakukan identifikasi lebih lanjut tentang jenis alkaloid yang terkandung dalam ekstrak metanol dengan menggunakan reagen alkaloid, kromatografi, atau metode spektra (UV, IR, MS dan NMR) (Harborne 1984).

Ketika jenis alkaloidnya telah diketahui dengan jelas, maka fungsi fisiologisnya pun dapat ditentukan dengan tepat.

2) Steroid/triterpenoid

Pengujian yang telah digunakan secara luas untuk mendeteksi triterpenoid adalah dengan pereaksi Liebermann-Burchard, yang memberikan warna biru-hijau pada triterpenoid dan steroid. Triterpenoid merupakan komponen dengan kerangka karbon yang tersusun oleh 6 unit isoprene dan dibuat secara biosintesis dari skualen (C30 hidrokarbon asiklik). Triterpenoid memiliki struktur siklik yang kompleks, sebagian besar terdiri atas alkohol, aldehid, atau asam karboksilat.

Triterpenoid tidak berwarna, jernih, memiliki titik lebur tinggi dan merupakan komponen aktif yang sulit dikarakterisasi (Harborne 1984).

Steroid merupakan golongan triterpena yang tersusun atas sistem cincin cyclopetana perhydrophenanthrene. Steroid pada mulanya dipertimbangkan hanya sebagai komponen pada substansi hewan saja (sebagai hormon seks, hormon adrenal, asam empedu, dan lain sebagainya), akan tetapi akhir-akhir ini steroid juga ditemukan pada substansi tumbuhan (Harborne 1984). Steroid yag terdeteksi pada ekstrak keong mas ini diduga merupakan hormon adrenal dan hormon seks (progesterone, 17-β-estradiol, testosterone, 4-androstene-dione dan cortisol) seperti steroid yang terdeteksi pada Achatina fulica yang juga merupakan Gastropoda air tawar seperti keong mas (Bose et al. 1997). Steroid ini diduga memiliki efek peningkat stamina tubuh (aprodisiaka) dan anti-inflamasi.

Aktivitas anti-inflamasi ini ditunjukkan oleh hasil penelitian Silva et al. (2002) bahwa komponen steroid yang diekstrak dari daun Agave attenuata memiliki aktivitas anti-inflamasi, walaupun aktivitas ini diikuti dengan efek hemolitik yang tidak diinginkan.

Komponen triterpenoid yang terdeteksi pada ekstrak kasar keong mas ini diduga juga memiliki aktivitas antitumor. Hal ini dikarenakan triterpenoid pada keong mas termasuk triterpenoid alami. Menurut hasil penelitian Setzer (2008),

(17)

triterpenoid alami memiliki aktivitas antitumor karena mempunyai kemampuan menghambat kinerja enzim topoisomerase II, dengan cara berikatan dengan sisi aktif enzim yang nantinya akan mengikat DNA dan membelahnya. Hal ini menyebabkan enzim menjadi terkunci dan tidak dapat mengikat DNA.

Hasil pengujian fitokimia menunjukkan bahwa komponen triterpenoid/steroid ini terdeteksi pada ketiga ekstrak kasar keong mas yang memiliki tingkat polaritas yang berbeda. Prekursor dari pembentukan triterpenoid/steroid adalah kolesterol yang bersifat non polar (Harborne 1984), sehingga diduga triterpenoid/steroid dapat larut pada pelarut organik (non polar).

Hal ini menekankan bahwa sangatlah wajar apabila triterpenoid/steroid terdeteksi pada ekstrak kloroform (non polar) ataupun ekstrak etil asetat (semipolar) keong mas. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa triterpenoid/steroid juga terdeteksi pada ekstrak metanol (polar). Hal ini dapat terjadi mengingat metanol merupakan pelarut polar, yang juga dapat mengekstrak komponen lainnya yang bersifat non polar ataupun semipolar. Schimidt dan Steinhart (2001) menyatakan bahwa kandungan steroid pada ekstrak polar dan non polar tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata.

3) Flavonoid

Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa polifenol, karena itu larutan ekstrak yang mengandung komponen flavonoid akan berubah warna jika

diberi larutan basa atau ammonia. Flavonoid dapat dikelompokan menjadi 9 kelas, yaitu anthosianin, proanthosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon,

biflavonil, chlacone dan aurone, flavanon, serta isoflavon. Flavonoid pada tanaman berikatan dengan gula sebagai glikosida dan adapula yang berada dalam aglikon (Harborne 1984).

Hasil pengujian fitokimia menunjukkan bahwa hanya ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol saja yang mengandung komponen bioaktif flavonoid, yang ditunjukkan dengan terbentuknya warna kuning pada lapisan amil alkohol.

Flavonoid yang larut pada pelarut polar seperti metanol, menunjukkan bahwa komponen flavonoid bersifat polar. Flavonoid umumnya merupakan komponen larut air, sehingga dapat diekstrak dengan etanol 70 % dan tertinggal pada lapisan aqueous (Harborne 1984). Hal ini diduga karena flavonoid berikatan dengan gula

(18)

sebagai glikosida, sehingga flavonoid memiliki sifat polar dan dapat larut pada pelarut polar. Gugus gula inilah yang memberikan sifat polar pada flavonoid karena gula juga bersifat polar (larut air). Sedangkan, flavonoid yang terlarut pada pelarut semipolar seperti etil asetat, menunjukkan juga bahwa flavonoid tersebut juga memiliki sifat kurang polar. Hal ini diduga karena flavonoid tersebut berada dalam bentuk aglikon yang bersifat kurang polar, sehingga terlarut pada pelarut semipolar.

Flavonoid sangat efektif untuk digunakan sebagai antioksidan

(Astawan dan Kasih 2008), dan hal ini pun terbukti dari hasil penelitian Bernardi et al. (2007) yang menunjukkan bahwa seluruh komponen flavonoid

yang diisolasi dari Hypericum ternum memiliki aktivitas antioksidan, walaupun kapasitas peredaman radikal bebas DPPH oleh masing-masing komponen flavonoid tersebut berbeda-beda. Komponen flavonoid yang terdeteksi pada ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol keong mas, diduga juga memiliki aktivitas antioksidan. Ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol keong mas ini telah diuji aktivitas antioksidannya dengan metode DPPH dan hasilnya menunjukkan bahwa dua ekstrak tersebut memiliki aktivitas antioksidan walaupun aktivitasnya lemah.

Hal ini ditandai dengan nilai IC50 dari ekstak etil asetat dan ekstrak metanol keong mas berturut-turut sebesar 1662,36 ppm dan 1270,47 ppm. Flavonoid pada kedua ekstrak keong mas ini diduga turut memberikan andil dalam aktivitas antioksidan yang terukur ini. Pembahasan mengenai aktivitas antioksidan dari masing-masing ekstrak kasar keong mas, dapat dilihat pada subbab selanjutnya.

Senyawa flavonoid dapat mencegah penyakit kardiovaskuler dengan cara menurunkan laju oksidasi lemak. Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa flavonoid dapat menurunkan hiperlipidemia pada manusia. Penghambatan oksidasi LDL pada kasus penyakit jantung oleh flavonoid, dapat mencegah pembentukan sel-sel busa dan kerusakan lipid (Astawan dan Kasih 2008). Selain itu, flavonoid juga memiliki fungsi sebagai antibakteri, anti-inflamasi, antitumor, antialergi, dan mencegah osteoporosis. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Al-Meshal et al. (1985); Syah et al. (2006) dan Sukadana (2009).

(19)

4) Karbohidrat

Karbohidrat merupakan komponen organik kompleks yang dibentuk melalui proses fotosintesis pada tanaman, dan merupakan sumber energi utama dalam respirasi. Karbohidrat berperan dalam penyimpanan energi (pati),

transportasi energi (sukrosa), serta pembangun dinding sel (selulosa) (Harborne 1984). Karbohidrat mempunyai struktur, ukuran dan bentuk molekul

yang berbeda-beda. Karbohidrat umumnya aman untuk dikonsumsi (tidak beracun). Rumus kimia karbohidrat umumnya Cx(H2O)y (Fennema 1996).

Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ketiga ekstra kasar keong mas positif mengandung karbohidrat. Hasil pengujian ini mendukung hasil analisis proksimat karbohidrat keong mas, yaitu sebesar 3,93%. Hasil penelitian Nurjanah et al. (1996) dan Kamil et al. (1998) menunjukkan bahwa hampir sebagian besar komponen karbohidrat yang terkandung dalam tubuh keong mas merupakan komponen serat kasar yang juga termasuk dalam golongan karbohidrat. Komponen serat kasar ini tidak ada yang terlarut pada ketiga pelarut yang digunakan dan tertinggal sebagai residu selama proses filtrasi, sehingga karbohidrat yang terdeteksi dari hasil uji fitokimia pada ketiga ekstrak kasar keong mas bukanlah komponen serat kasar, tetapi komponen glikogen yang terekstrak pada ketiga pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda.

Karbohidrat yang terdapat pada hewan umumnya berbentuk glikogen, dan dapat dipecah menjadi D-glukosa (Winarno 2008).

Karbohidrat yang memiliki berat molekul rendah, umumnya mempunyai banyak kegunaan. Karbohidrat berperan dalam interaksi hewan dan tumbuhan, perlindungan dari luka dan infeksi, serta detoksifikasi dari substansi asing (Harborne 1984). Pada tubuh manusia, karbohidrat berguna untuk mencegah ketosis, pemecahan protein tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral dan berguna untuk membantu metabolisme lemak dan protein (Winarno 2008).

Hasil positif pengujian kandungan karbohidrat dengan menggunakan pereaksi Molisch ini tidak diikuti dengan reaksi positif pengujian kandungan gula pereduksi pada ketiga ekstrak kasar keong mas menggunakan pereaksi Benedict.

Hal ini diduga karena gula pereduksi yang terdapat dalam ketiga ekstrak keong mas ini didominasi oleh gula pereduksi jenis ketosa, bukan jenis aldosa. Pada

(20)

pereaksi Benedict yang tidak alkali, komponen aldosa dapat terdeteksi tetapi komponen ketosa tidak. Ketosa hanya akan terdeteksi pada suasana alkali saja, seperti pada pereaksi Fehling. Hal ini dikarenakan, ketosa akan terisomerisasi menjadi aldosa pada suasana alkali dan dapat mereduksi tembaga (II) menjadi

tembaga (I) yang akan mengendap sebagai Cu2O yang berwarna merah bata (Fennema 1996). Pengujian kandungan gula pereduksi menggunakan

pereaksi Fehling pada ketiga ekstrak keong mas perlu dilakukan untuk meyakinkan hal tersebut.

5) Asam amino

Asam amino merupakan unit struktural dasar dari protein. Asam amino dapat diperoleh dengan menghidrolisis protein dalam asam, alkali, ataupun enzim.

Sebuah asam amino tersusun atas sebuah atom α-carbon yang berikatan secara kovalen dengan sebuah atom hidrogen, sebuah gugus amino, dan sebuah gugus rantai R. Semua asam amino berkonfigurasi α dan mempunyai konfigurasi L, kecuali glisin yang tidak mempunyai atom C asimetrik. Hanya asam amino L yang merupakan komponen protein (Fennema 1996; Winarno 2008).

Hasil pengujian asam amino dengan menggunakan pereaksi Ninhidrin 0,10% menunjukkan bahwa hanya ekstrak metanol keong mas saja yang positif

mengandung komponen asam amino. Hasil pengujian ini didukung oleh hasil penelitian Kamil et al. (1998) mengenai kandungan asam amino pada tepung keong (Tabel 2). Asam amino yang terdeteksi ini diduga asam amino-asam amino yang dihasilkan dari proses hidrolisis protein, serta asam amino-asam amino non protein (bukan penyusun protein). Asam amino-asam amino yang terlarut pada pelarut metanol ini merupakan asam amino yang memiliki sifat polar (hidrofilik), baik yang bermuatan ataupun yang tidak bermuatan, seperti arginin, histidin, lisin (asam amino polar bermuatan), treonin (asam amino polar tak bermuatan) seperti yang dikemukakan dalam hasil penelitian Kamil et al. (1998) pada Tabel 2.

Hasil penelitian Kamil et al. (1998) ini juga menunjukkan bahwa keong mas mengandung asam amino-asam amino non polar, seperti isoleusin, leusin, valin, fenilalanin dan tirosin (Tabel 2). Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak kloroform (non polar) ataupun ekstrak etil asetat (semipolar) tidak mengandung asam amino. Hal ini diduga karena asam amino-asam amino non

(21)

polar ini terdapat dalam jumlah yang sangat kecil pada sampel keong mas yang digunakan dalam penelitian ini, sehingga tidak terdeteksi oleh pereaksi Ninhidrin 0,10% pada ekstrak kloroform ataupun ekstrak etil asetat.

Hasil positif pada pengujian kandungan asam amino ini tidak didahului dengan hasil positif pada pengujian peptida menggunakan pereaksi Biuret pada ketiga ekstrak. Peptida merupakan ikatan kovalen antara dua atau lebih molekul asam amino melalui suatu ikatan amida substitusi. Ikatan ini dibentuk dengan menarik unsur H2O dari gugus karboksil suatu asam amino dan gugus α-amino dari molekul lain, dengan reaksi kondensasi yang kuat (Lehninger 1988;

Belitz et al. 2009). Tidak terdeteksinya komponen-komponen yang berikatan peptida ini diduga karena komponen-komponen tersebut telah terhidrolisis sempurna menghasilkan asam amino-asam amino penyusunnya yang terdeteksi pada uji Ninhidrin ekstrak metanol. Pembentukan ikatan peptida memerlukan banyak energi, sedangkan untuk hidrolisis praktis tidak memerlukan energi, sehingga reaksi keseimbangan ini lebih cenderung untuk berjalan ke arah hidrolisis daripada sintesis (Winarno 2008).

4.3 Aktivitas Antioksidan

Antioksidan adalah komponen yang dapat menunda atau mencegah oksidasi lipid, asam nukleat, atau molekul-molekul lain, dengan cara menghambat inisiasi atau propagasi reaksi oksidasi berantai (Wang 2006). Keberadaan senyawa antioksidan ini dalam suatu bahan dapat dideteksi dengan melakukan uji aktivitas antioksidan. Uji aktivitas antioksidan pada tiga ekstrak kasar keong mas yang memiliki tingkat kepolaran yang berbeda, dilakukan dengan menggunakan metode uji DPPH.

Metode uji DPPH merupakan salah satu metode yang paling banyak digunakan untuk memperkirakan efisiensi kinerja dari substansi yang berperan sebagai antioksidan (Molyneux 2004). Metode pengujian ini berdasarkan pada kemampuan substansi antioksidan tersebut dalam menetralisir radikal bebas.

Radikal bebas yang digunakan adalah 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH) (Vattem dan Shetty 2006). Radikal bebas DPPH merupakan radikal sintetik yang stabil pada suhu kamar dan larut dalam pelarut polar seperti metanol dan etanol (Molyneux 2004; Suratmo 2009). Sifat stabil ini dikarenakan radikal bebas ini

(22)

memiliki satu elektron yang didelokalisir dari molekul utuhnya, sehingga molekul tersebut tidak reaktif sebagaimana radikal bebas lain. Delokalisasi ini akan

memberikan sebuah warna ungu gelap dengan absorbansi maksimum pada 517 nm dalam larutan etanol ataupun metanol (Molyneux 2004; Amrun dan

Umiyah 2005; Vattem dan Shetty 2006).

Metode uji aktivitas antioksidan dengan menggunakan radikal bebas DPPH dipilih karena metode ini sederhana, mudah, cepat, peka dan hanya memerlukan sedikit sampel, akan tetapi jumlah pelarut pengencer yang diperlukan dalam pengujian ini cukup banyak. Metanol dipilih sebagai pelarut karena metanol dapat melarutkan kristal DPPH (Molyneux 2004; Suratmo 2009) dan juga memiliki sifat yang dapat melarutkan komponen non polar di dalamnya, mengingat ketiga ekstrak yang diuji memiliki tingkat kepolaran yang berbeda- beda.

Antioksidan pembanding yang digunakan pada penelitian ini adalah antioksidan sintetik BHT (butylated hydroxytoluene). Larutan BHT pada penelitian ini dibuat dengan konsentrasi 2, 4, 6 dan 8 ppm melalui proses pengenceran larutan stok BHT 250 ppm. Konsentrasi larutan ekstrak kasar keong

mas yang diuji dengan metode DPPH ini adalah sebesar 200, 400, 600 dan 800 ppm. Konsentrasi tersebut diperoleh melalui proses pengenceran dari

masing-masing larutan stok ekstrak kasar keong mas 1000 ppm. Perhitungan

pembuatan larutan stok dan proses pengencerannya dapat dilihat pada Lampiran 7.

Suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya pada radikal DPPH,

yang ditandai dengan perubahan warna ungu menjadi kuning pucat (Molyneux 20004). Perubahan warna ini hanya tampak pada larutan BHT yang

diberi larutan DPPH 1 mM dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37 oC, sedangkan pada larutan ekstrak kasar keong mas yang telah diberi perlakuan sama tidak terlalu menunjukkan perubahan warna yang mencolok. Hal ini diduga karena konsentrasi ekstrak kasar keong mas yang diuji terlalu kecil dan jauh dari nilai konsentrasi ekstrak yang dapat meredam radikal DPPH sebanyak 50% (IC50).

Perubahan warna yang mengindikasikan adanya reaksi peredaman radikal bebas

(23)

DPPH oleh senyawa antioksidan pada larutan BHT dan larutan ekstrak keong mas, dapat dilihat pada Gambar 20.

BHT + DPPH 1 mM Ekstrak Kloroform + DPPH 1 mM

Ekstrak Etil Asetat + DPPH 1 mM Ekstrak Metanol + DPPH 1 mM Gambar 20. Perubahan warna yang mengidikasikan reaksi peredaman DPPH

Intensitas perubahan warna yang terjadi pada larutan BHT dan larutan ekstrak kasar keong mas ini dapat diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 517 nm. Setelah itu, perhitungan persen inhibisi dan IC50 dari antioksidan BHT dan masing-masing ekstrak kasar keong mas dapat dilakukan. Persen inhibisi adalah kemampuan suatu bahan untuk menghambat aktivitas radikal bebas, yang berhubungan dengan konsentrasi suatu bahan. IC50 sendiri merupakan salah satu parameter yang biasa digunakan untuk menginterpretasikan hasil dari pengujian DPPH. Nilai IC50 ini dapat didefinisikan sebagai konsentrasi substrat yang dapat menyebabkan berkurangnya 50% aktivitas DPPH. Semakin kecil nilai IC50 berarti aktivitas antioksidannya semakin tinggi (Molyneux 2004). Perhitungan persen inhibisi dan IC50 dapat

(24)

y = 14,32x - 20,34 R² = 0,909

0 20 40 60 80 100

0 2 4 6 8 10

% Inhibisi

Konsentrasi (ppm)

dilihat pada Lampiran 8. Hasil uji aktivitas antioksidan BHT dan masing-masing ekstrak kasar keong mas dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil uji aktivitas antioksidan

Sampel % Inhibisi IC50

(ppm)

IC50 Rata-rata (ppm)

BHT 2 ppm 4 ppm 6 ppm 8 ppm

4,91

12,55 23,67 79,37 89,45

200 ppm 400 ppm 600 ppm 800 ppm Ekstrak

Kloroform

0,19 5,70 8,84 10,93 2912,50

3458,37±771,98

3,99 6,65 9,51 10,74 4004,25

Ekstrak Etil Asetat

5,04 9,79 17,20 25,09 1547,47

1662,36±162,48

7,32 10,55 14,64 24,71 1777,25

Ekstrak Metanol

0,66 13,69 24,43 27,47 1222,33

1270,47±68,08

6,27 12,74 25,76 28,14 1318,61

Empat konsentrasi larutan BHT (2, 4, 6 dan 8 ppm) yang digunakan dalam penelitian ini dipilih berdasarkan hasil penelitian Hanani et al. (2005), dimana dengan menguji keempat konsentrasi tersebut, diperoleh nilai IC50 BHT sebesar 3,81 ppm. Pada penelitian ini, nilai IC50 BHT yang diperoleh sebesar 4,91 ppm.

Nilai IC50 BHT ini tidak jauh berbeda dengan nilai yang diperoleh Hanani et al. (2005) dalam penelitiannya, dan tetap menunjukkan bahwa

antioksidan BHT merupakan antioksidan dengan aktivitas yang sangat kuat (<50 ppm) menurut klasifikasi Blois (1958) dalam Molyneux (2004). Pengujian

aktivitas antioksidan BHT ini menghasilkan hubungan antara konsentrasi BHT yang digunakan dengan persen inhibisinya, yang dapat dilihat pada Gambar 21.

Gambar 21. Grafik hubungan konsentrasi BHT dengan persen inhibisinya Tabel 7 menunjukkan bahwa ketiga ekstrak kasar keong mas juga memiliki aktivitas antioksidan seperti BHT, walaupun aktivitasnya tergolong

(25)

lemah. Ketiga ekstrak kasar keong mas ini memiliki kekuatan penghambat yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Pengujian aktivitas antioksidan dari masing-masing ekstrak kasar menghasilkan hubungan antara konsentrasi ekstrak kasar yang digunakan dengan persen inhibisinya, yang dapat dilihat pada Gambar 22.

Gambar 22. Grafik hubungan konsentrasi ekstrak kasar keong mas dengan rata-rata persen inhibisinya, ∆ = ekstrak metanol, □ = ekstrak etil asetat dan ◊ = ekstrak kloroform

Grafik pada Gambar 21 dan 22 merupakan kurva regresi linear yang digunakan untuk menentukan nilai IC50 dari BHT dan ketiga ekstrak keong mas.

Persamaan regresi linear secara umum adalah y = a + bx, dimana a merupakan intersep atau perpotongan dengan sumbu tegak, dan b merupakan kemiringan atau gradiennya (Walpole 1997). Grafik regresi linear umumnya digunakan untuk mengetahui hubungan fungsional (pengaruh atau meramalkan pengaruh) antara variabel yang mempengaruhi (lambang x) dan variabel yang dipengaruhi (lambang y) (Usman dan Akbar 2008). Variabel yang mempengaruhi pada kedua grafik (Gambar 21 dan 22) adalah konsentrasi, sedangkan variabel yang dipengaruhi adalah persen inhibisi (% inhibisi).

Koefisien arah regresi linear dinyatakan oleh huruf b yang juga menyatakan perubahan rata-rata y untuk setiap perubahan x sebesar 1 bagian.

Huruf a merupakan bilangan konstan (Usman dan Akbar 2008). Grafik pada Gambar 21 dan 22 menunjukan bahwa konsentrasi dan % inhibisi memiliki hubungan yang positif dan berkorelasi kuat (r), terihat dari nilai b pada persamaan

y = 0,014x - 0,238 R² = 0,966 y = 0,029x - 0,784

R² = 0,975 y = 0,042x - 3,826

R² = 0,950

0 5 10 15 20 25 30 35

0 200 400 600 800 1000

% Inhibisi

Konsentrasi (ppm)

(26)

3458,37

1662,36

1270,47

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000

Kloroform Etil Asetat Metanol

Rata-rata IC50(ppm)

Jenis pelarut

regresi linearnya yang bernilai positif, serta nilai determinasinya (r2) yang lebih besar dari 0,90. Hal ini berarti semakin besar konsentrasinya maka semakin besar pula % inhibisi yang dihasilkan. Hubungan tersebut dibuktikan oleh data

% inhibisi yang meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi BHT atau ekstrak yang ditambahkan, seperti yang tertulis pada Tabel 7. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Hanani et al. (2005), yang menyatakan bahwa persentase penghambatan (persen inhibisi) terhadap aktivitas radikal bebas akan ikut meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak. Hal serupa juga terjadi pada hasil pengujian aktivitas antioksidan BHT.

Positif atau negatifnya nilai a tidak akan memberikan pengaruh pada kemiringan atau arah kurva regresi linear yang dihasilkan, tetapi akan mempengaruhi besar nilai y yang dihasilkan (Lampiran 8 poin b dan c). Hal ini dikarenakan nilai a merupakan konstanta yang dapat menambah atau mengurangi nilai y yang akan diperoleh dan berperan sebagai faktor koreksi. Jika nilai a positif, maka setiap kenaikan 1 bagian nilai x akan menyebabkan nilai y bertambah sebanyak a, begitu pula sebaliknya. Positif atau negatifnya nilai a dapat disebabkan oleh adanya pencilan, adanya asumsi yang tidak terpenuhi, serta faktor-faktor lainnya.

Salah satu parameter yang biasa digunakan untuk menginterpretasikan hasil dari pengujian DPPH adalah efficient concentration 50 value (EC50 value) atau biasa dikenal dengan inhibition concentration 50 value (IC50 value) seperti yang disebutkan di atas. Nilai ini dapat didefinisikan sebagai konsentrasi substrat yang dapat menyebabkan berkurangnya 50% aktivitas DPPH (Molyneux 2004).

Nilai rata-rata IC50 ekstrak kasar keong mas dari ketiga pelarut yang digunakan, dapat dilihat pada Gambar 23.

Gambar 23. Nilai rata-rata IC50 ekstrak kasar keong mas

(27)

Semakin kecil nilai IC50 berarti aktivitas antioksidannya semakin tinggi (Molyneux 2004). Diagram batang pada Gambar 23 ini menunjukkan bahwa ekstrak metanol keong mas memiliki aktivitas antioksidan yang lebih besar dari dua ekstrak yang lainnya, ditandai dengan nilai IC50-nya yang terkecil, yaitu 1270,47 ppm. Sedangkan, ekstrak kloroform keong mas merupakan ekstrak yang memiliki aktivitas antioksidan yang paling lemah. Hal ini terbukti dari nilai IC50- nya yang terbesar, yaitu 3458,37 ppm.

Walaupun rendemen ekstrak etil asetat lebih sedikit dari rendemen kloroform, tetapi aktivitas antioksidannya lebih kuat. Hal ini diduga karena pada ekstrak etil asetat terdapat komponen flavonoid yang terdeteksi melalui uji fitokimia, sedangkan pada ekstrak kloroform tidak. Flavonoid diketahui sangat

efektif untuk digunakan sebagai antioksidan (Astawan dan Kasih 2008).

Peran flavonoid sebagai antioksidan ini terbukti dari hasil penelitian Bernardi et al. (2007) yang menunjukkan bahwa seluruh komponen flavonoid

yang diisolasi dari tumbuhan Hypericum ternum memiliki aktivitas antioksidan.

Komponen flavonoid pada ekstrak metanol keong mas juga terdeteksi, akan tetapi aktivitas antioksidannya lebih kuat dari ekstrak etil asetat keong mas.

Hal ini diduga karena pada ekstrak metanol keong mas juga terkandung komponen alkaloid. Alkaloid juga telah diketahui memiliki aktivitas antioksidan.

Hal ini terbukti dari hasil penelitian Porto et al. (2009), yang menunjukkan bahwa komponen alkaloid pada daun Psychotria brachyceras yaitu brachycerine,

memiliki aktivitas antioksidan dan berperan sebagai pelindung dari radiasi sinar UV (UV-B dan UV-C).

Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat apabila nilai IC50

kurang dari 0,05 mg/ml, kuat apabila nilai IC50 antara 0,05-0,10 mg/ml, sedang apabila nilai IC50 berkisar antara 0,10-0,15 mg/ml, dan lemah apabila nilai IC50

berkisar antara 0,15-0,20 mg/ml (Blois 1958 dalam Molyneux 2004). Menurut klasifikasi ini, ketiga esktrak kasar keong mas tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang sangat lemah, karena nilai IC50-nya lebih besar dari 0,20 mg/ml atau 200 ppm. Hal ini jauh berbeda dengan aktivitas antioksidan BHT.

Data-data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa antioksidan BHT memiliki aktivitas yang lebih kuat dari senyawa-senyawa antioksidan yang terdapat pada

(28)

ketiga ekstrak kasar keong mas. Hal ini terlihat dari nilai IC50 BHT yang jauh berbeda dengan nilai IC50 dari masing-masing ekstrak kasar keong mas. Nilai IC50 antioksidan BHT jauh lebih kecil dari nilai IC50 ketiga ekstrak kasar keong mas. Hal ini dapat terjadi karena ekstrak keong mas yang digunakan dalam pengujian ini masih tergolong sebagai ekstrak kasar (crude). Ekstrak kasar ini masih mengandung senyawa lain yang bukan merupakan senyawa antioksidan.

Senyawa lain tersebut ikut terekstrak dalam pelarut selama proses ekstraksi.

Senyawa-senyawa ini dapat meningkatkan nilai rendemen ekstrak, tetapi tidak dapat meningkatkan aktivitas antioksidan ekstrak tersebut. Senyawa murni dari ekstrak kasar ini diduga memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi.

Contohnya adalah komponen flavonoid yang terdeteksi pada ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol. Komponen flavonoid murni dari ekstrak keong mas diduga memiliki aktivitas antioksidan yang jauh lebih tinggi dari ekstrak kasarnya. Hal ini menunjukan bahwa perlu dilakukan pemurnian pada ekstrak kasar keong mas tersebut. Setelah ekstrak yang telah dimurnikan tersebut diperoleh, maka pengujian aktivitas antioksidannya pun perlu dilakukan.

Ekstrak kloroform keong mas yang bersifat non polar tidak sepenuhnya benar jika dinyatakan memiliki aktivitas antioksidan yang paling lemah, walaupun hasil pengujian dengan metode DPPH menunjukan bahwa nilai IC50-nya cukup besar. Hal ini daqpat terjadi apabila pelarut yang digunakan untuk melarutkan ekstrak, memiliki sifat kepolaran yang berbeda dengan ekstrak tersebut. Pelarut yang digunakan untuk melarutkan ekstrak dan kristal DPPH pada penelitian ini adalah metanol yang bersifat polar, sehingga diduga komponen bioaktif yang bersifat non polar pada ekstrak kloroform tidak terlarut sepenuhnya pada pelarut ini, baik pada ulangan 1 ataupun ulangan 2. Jumlah komponen bioaktif yang terlarut pun pada masing-masing ulangan akan berbeda dan pada akhirnya akan berpengaruh pada nilai IC50 yang dihasilkan dari masing-masing ulangan. Hal ini terbukti dari nilai IC50 ekstrak kloroform pada Tabel 7, dimana selisih nilai IC50

antara ulangan 1 dan ulangan 2 sangat besar yang tentunya juga akan memperbesar nilai standar deviasinya. Nilai IC50 akan semakin besar jika ekstrak yang terlarut pada pelarut yang digunakan semakin sedikit. Hal ini mengisyaratkan bahwa perlu dilakukan pengujian aktivitas antioksidan dengan

(29)

menggunakan metode pengujian lainnya yang universal, baik untuk komponen bioaktif yang bersifat polar, semipolar, ataupun non polar. Metode uji DPPH merupakan metode pengujian aktivitas antioksidan yang paling cocok bagi komponen antioksidan yang bersifat polar, karena kristal DPPH hanya dapat larut dan memberikan absorbansi maksimum pada pelarut etanol ataupun metanol seperti yang dikemukakan oleh Molyneux (2004); Amrun dan Umiyah (2005);

serta Vattem dan Shetty (2006).

Referensi

Dokumen terkait

Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh penambahan abu cangkang keong mas (Pomacea canaliculata L.) yang telah diaktifkan sebagai adsorben pada kadar ion besi (Fe 3+ )

Proses pengolahan (pengukusan dan perebusan) dapat menurunkan kadar abu daging keong mas. Pada umumnya proses pengolahan dengan suhu tinggi dapat mempengaruhi

Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hasil bahwa penambahan kombinasi tepung keong mas (Pomacea canaliculata) dan tepung paku air (Azolla pinnata) terfermentasi

Kadar abu tak larut asam rumput laut Gracilaria verrucosa kering pada metode penanaman, bobot bibit, dan umur panen yang berbeda.. 4.4 Karakteristik Fisiko-Kimia Agar

Judul : Pengaruh Penambahan Abu Cangkang Keong Mas ( Pomacea Canaliculata.L ) yang telah diaktifkan Sebagai Adsorben Pada Kadar Ion Besi (Fe 3+ ) Dan Tembaga (Cu 2+ ) dalam Air

kondisi pertumbuhan, yang memiliki aktivitas antibakteri terendah terhadap ketiga bakteri uji adalah pada perlakuan inkubator, meskipun total kadar asam laktatnya memiliki

Pengujian pada kelompok pangan lain (selain produk pangan berbasis susu atau mengandung susu asal Cina) menunjukkan kadar melamin yang cukup rendah (di bawah 8 ppm), yaitu

Berikut hasil penetapan parameter standar simplisia dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel V.1Hasil penetapan parameter standar simplisia Simplisia Kadar air 4% Kadar abu total