• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Aktivitas Seksual 1. Pengetahuan

2.3.2. Aktivitas Fisik

Perubahan fisik yang terjadi pada masa menopause menyebabkan rasa panas (Hot flush), gejala ini akan dirasakan mulai dari wajah sampai ke seluruh tubuh, rasa panas disertai warna kemerahan pada kulit dan berkeringat, rasa panas ini akan mempengaruhi pola tidur wanita menopause yang akhirnya akan membuat wanita menopause kekurangan tidur dan mengalami kelelahan didukung oleh pekerjaan sebagai seorang wanita yang mengurus anak dan suami membuat seorang wanita mempunyai peran ganda apalagi jika wanita tersebut wanita karier, sehingga membuat dirinya mencapai titik kelelahan yang sangat berat. Aktivitas seksual membutuhkan waktu dan tenaga, dengan terkurasnya stamina karena bekerja, kurang

tidur dan istirahat maka akan mengalami kelelahan fisik dan ini menyebabkan terjadinya penurunkan gairah seksual. Kondisi tubuh yang lelah selalu jadi alasan yang cukup kuat untuk menolak aktivitas seksual. Fenomena ini sering kita jumpai dalam rumah tangga. Ada beberapa alasan yang membuat gairah seksualitas wanita menopause menurun, salah satunya adalah karena kelelahan. kelelahan bisa disebabkan karena banyaknya aktivitas sehari-hari yang dikerjakan oleh wanita menopause dan kelelahan merupakan respons normal dari aktivitas fisik.

Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi). Aktivitas fisik merupakan setiap gerakan tubuh yang membutuhkan energi untuk mengerjakannya. Aktivitas fisik yang bermanfaat untuk kesehatan usia lansia sebaiknya memenuhi kriteria FITT (Frequensi, Intensity, Time, Type). Frekuensi adalah seberapa sering aktivitas dilakukan oleh individu yaitu berapa hari, berapa kali dalam satu minggu. Intensitas adalah seberapa keras suatu aktivitas dilakukan, biasanya diklasifikasikan dalam intensitas rendah, sedang dan tinggi. Waktu mengacu pada durasi, seberapa lama suatu aktivitas dilakukan dalam satu kali pertemuan, sedangkan jenis aktivitas adalah jenis atau kegiatan-kegiatan fisik yang di lakukan sehari-hari (WHO, 2010). Menurut RDA (Recommeded Dietary Allwances) tahun 1989 mengkategorikan aktivitas fisik ke dalam istirahat tidur, berbaring, atau bersandar), sangat ringan (duduk dan berdiri, melukis, menyetir mobil, pekerjaan laboratorium, mengetik, menyapu, menyetrika, memasak, bermain kartu, bermain alat musik), ringan (berjalan dengan kecepatan 3,5-4 mph, mencabut rumput dan mencangkul, menangis dengan keras, bersepeda,

ski, tenis, menari), berat (berjalan mendaki, menebang pohon, menggali tanah, basket, panjat tebing, sepak bola).

Hasil penelitian Qamariyati (2013) dengan judul hubungan kecemasan dan aktivitas fisik dengan kehidupan seksual pada wanita menopause di kelurahan Sajen wilayah kerja puskesmas Trucuk I kabupaten Klaten terhadap 81 responden dengan metode survey explanatory dan pendekatan yang digunakan cross sectional didapatkan hasil mayoritas responden tidak mengalami kecemasan yaitu 98,8% dan sebagian besar responden yaitu 56,8% memiliki aktivitas fisik dengan level sedang serta responden yang memiliki kehidupan seksual normal sebanyak 74,1%. Dari hasil uji korelasi Rank Sperman dapat diketahui bahwa kecemasan yang dialami responden tidak memiliki hubungan dengan kehidupan seksual responden saat menopause dengan p-value 0,158, dan hasil uji Anova dapat diketahui bahwa aktivitas fisik responden menyebabkan adanya perbedaan yang bermakna pada kehidupan seksual responden saat menopause dengan p-value 0,044.

2.3.3. Cemas

Faktor psikologis seperti kecemasan juga dapat mempengaruhi fungsi seksual seseorang, 70% disfungsi seksual disebabkan karena faktor psikologis (Phanjoo, 2000). Kecemasan timbul karena adanya kekhawatiran dalam menghadapi situasi yang sebelumnya tidak pernah di khawatirkan. Cemas merupakan sesuatu keadaan yang wajar, karena seseorang pasti menginginkan segala sesuatu dalam hidupnya dapat berjalan dengan lancar dan terhindar dari segala bentuk kegagalan serta sesuai dengan harapannya.

Kecemasan adalah satu perasaan takut yang tidak menyenangkan dan tidak dapat dibenarkan yang sering disertai dengan gejala fisiologis. Kecemasan merupakan keadaan emosi yang tidak memiliki objek yang spesifik dan kondisi ini di alami secara subjektif (Stuart, 2001). Tanda dan gejala kecemasan yang ditunjukkan atau dikemukakan oleh seseorang bervariasi, tergantung dari berat atau tingkatan yang dirasakan oleh individu tersebut. Keluhan secara umum pada kecemasan seperti khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung, merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut, gangguan pola tidur, mimpi yang menegangkan, gangguan konsentrasi dan daya ingat, rasa sakit pada otot dan tulang, berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, sakit kepala, gangguan perkemihan, tangan terasa dingin, dsb (Hawari, 2001).

Stuart (2001) mengidentifikasikan kecemasan dalam empat tingkatan yaitu: (1) Cemas ringan merupakan cemas yang normal yang berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan persepsinya. (2) Cemas sedang merupakan cemas yang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan hal yang lain, sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. (3) Cemas berat adalah cemas yang cederung memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik dan tidak dapat berpikir tentang hal lain. (4) Panik berhubungan dengan ketidakmampuan melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan dikarenakan individu tersebut mengalami kehilangan kendali, terjadi peningkatan aktivitas motorik, menurunnya

kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi menyimpang dan kehilangan pemikiran yang rasional.

Tingkat kecemasan dapat diukur dengan menggunakan alat ukur (instrumen) yang dikenal dengan nama Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A) yang terdiri dari 14 kelompok gejala dan masing-masing kelompok gejala akan diberi penilaian angka (score) antara 0-4 dengan penilaian jika nilai 0 tidak ada gejala, nilai 1 gejala ringan, nilai2 gejala sedang, nilai 3 gejala berat dan nilai 4 gejala berat sekali/panik ( Hawari, 2001). Rentang respons kecemasan individu terhadap cemas berfluktuasi antara respons adaptif dan maladaptif. Rentang respons adaptif adalah antisipasi dimana individu siap siaga untuk beradaptasi dengan cemas yang mungkin muncul, sedangkan rentang maladaptif adalah panik dimana individu sudah tidak mampu lagi berespon terhadap cemas yang dihadapi sehingga mengalami gangguan fisik dan psikologis (Stuart, 2001).

Penelitian yang dilakukan oleh Hastuti (2007) di Kabupaten Purworejo (Yogyakarta), terhadap 6698 wanita usia lanjut terdapat 38,52% masih aktif melakukan aktivitas seksual dengan frekuensi aktivitas seksual bulanan yaitu 54,87%, prevalensi disfungsi seksual sebesar 45,20%, yang mengalami kecemasan 34,92% dan kecemasan meningkatkan resiko untuk tidak melakukan aktivitas seksual 63,24%, kecemasan meningkatkan resiko terjadinya disfungsi seksual sebesar 52,72%, resiko ketidakpuasan seksual pada wanita usia lanjut berdasarkan pada kecemasan sebesar 17,94% dan uji statistik yang yang digunakan adalah multinominal logistik regression dengan tingkat kemaknaan p<0,05. Pada analisis ini

dinilai OR, 95% CI, nilai -2log likehood dan derajat bebas (df). Tehnik yang digunakan adalah stepwise. Hasil analisis didapatkan resiko terjadinya disfungsi seksual pada wanita yang mengalami kecemasan berubah menjadi 1,5 kali dibandingkan dengan tidak cemas. Wanita yang mengalami cemas cenderung akan mengalami penurunan frekuensi seksualitasnya.

2.3.4. Nilai

Nilai merupakan sesuatu yang abstrak, yang dijadikan pedoman serta prinsip-prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku. Keterkaitan orang atau kelompok terhadap nilai sangat kuat dan bahkan bersifat emosional. Nilai adalah penghargaan yang diberikan masyarakat kepada segala sesuatu yang baik, penting, luhur, pantas dan mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan dan kebaikan hidup bersama. Tolak ukur nilai sosial adalah daya guna fungsional suatu nilai dan kesungguhan penghargaan, penerimaan atau pengakuan yang diberikan oleh seluruh atau sebahagian besar masyarakat terhadap nilai tersebut. Nilai segala sesuatu bertolak dari nilai instinsik yang melekat pada harkat kemanusiaan. Melalui nilai intrinsik ini kita dapat menerangkan nilai sosial benda tersebut. Nilai intrinsik dan nilai sosial adalah harkat dan martabat manusia itu sendiri. Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sangat sulit menentukan nilai budaya yang diamati oleh seorang, sekelompok atau masyarakat karena nilai budaya itu bersifat relatif (Syafrudin, 2010).

Dalam konteks masyarakat, budaya biasanya di definisikan sebagai nilai-nilai, norma-norma, kepercayaan-kepercayaan, sikap atau sesuatu diyakini (attitude) dan

simbol-simbol (Rumengan, 2013). Menurut E.B. Taylor dalam Syafrudin (2010) Budaya adalah hal-hal yang berhubungan dengan akal. Budaya merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Wujud budaya sebagai kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan peraturan (Prasetya, 2007). Nilai budaya merupakan konsep mengenai yang hidup dalam pikiran sebagian besar dari warga masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberikan arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat sendiri.

Kondisi sosial budaya dan lingkungan sangat mempengaruhi kesehatan reproduksi wanita. Situasi budaya saat ini masih sangat kondusif untuk helm seling behavior dalam masalah kesehatan reproduksi wanita (Muhammad, 1996). Hal ini dikemukakan berdasarkan realita, bahwa masyarakat Indonesia masih beranggapan membicarakan masalah seksualitas merupakan hal yang tabu. Dalam sejarah perkembangan, bangsa Indonesia telah banyak berbuat sesuai dengan perilaku yang nyata dalam kehidupan masyarakat, hal ini dapat dilihat dari budaya dan perilaku bangsa Indonesia yang masih kental dalam hal yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi. Masih banyak perilaku-perilaku yang mencerminkan sikap dan kepribadian yang bertolak belakang dengan budaya asli Indonesia. Kepribadian ini mewariskan Sifat-sifat tertutup terhadap satu hal yang masih tabu, khususnya perilaku seksual (Suhardono dkk, 2003).

Perilaku seksual atau seksualitas pada wanita memang menjadi perdebatan sampai saat ini, terutama seksualitas wanita menopause. Penilaian negatif dari masyarakat tentang seksualitas membuat wanita menopause merasa malu untuk mempertahankan kehidupan seksualitasnya. Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang mendukung serta diperkuat oleh anggapan masyarakat bahwa seksualitas masa tua itu tidak penting dan tabu untuk dibicarakan, masyarakat mengganggap seks pada orang tua itu tidak penting dan bukan prioritas utama, bagi wanita, seks bukan segalanya, apalagi dalam konteks hubungan suami istri dan menganggap seks pada wanita menopause praktis dan pelan-pelan akan hilang sendiri (Padila, 2013).

Dokumen terkait