BAB IV: NEGOSIASI MELALUI AKTIVITAS MELINTAS
C. Aktivitas Keseharian Guru-guru di Jagoi Babang
Adapun pengalaman guru yang melintas batas itu dikarenakan tiga
motivasi yaitu sebagai berikut:
1. Motivasi Keluarga
Letak geografis Jagoi Babang yang berhadapan langsung dengan
Sarawak menjadi potensi adanya pernikahan beda negara. Seperti yang
diakui oleh guru-guru bahwa mereka memiliki keluarga di Serawak. Ada
yang anak dan suami berkewargaan Malaysia, ibu atau ayahnya berasal dari
Serawak dan keluarga besar mereka ada di sana. Karena ikatan darah ini
pula mereka mau tak mau melintas batas.
Perkenalan saya dengan Riska di SDN I Jagoi Babang. Saat itu, dia
baru saja menyelesaikan jam mengajarnya di kelas tiga. Riska menceritakan
itu dijalaninya selama dua tahun sebelum akhirnya ia memutuskan untuk
berhenti, dan kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Terbuka di
Kecamatan Seluas. Ia memilih menjadi guru karena merasa profesi itu
memiliki jaminan masa depan. Tahun 2014, Riska diangkat sebagai guru
PNS di SDN 1 Jagoi Babang. Riska memang berasal dari Jagoi Babang, ia
pun memiliki keluarga yang menetap di Serawak. Tidak hanya keluarga
besar tetapi juga keluarga inti. Ya, dia memiliki suami dan anak yang
berkewargaan Malaysia. Rumah mereka pun terletak di sana (Serikin).
Seperti penuturannya berikut ini;1
Suami dan anak saya warga Malaysia. Rumah saya pun di Malaysia, jadi kalau saya berangkat ngajar, tiap-tiap hari harus melintas batas. Dari waktu kami nikah, saya dan suami berbeda kewargaan. Sempat sulit waktu itu urus nikah beda negara di Indonesia tapi kalau di Malaysia lebih cepat ngurusnya.
Riska sadar betul apa yang sedang dihadapinya, mengingat di satu sisi
ia adalah guru di Jagoi Babang dan di sisi lain, suami dan anaknya
berkewargaan asing yang menetap di Serikin. Untuk itulah Riska melintas
batas setiap hari. Ia pun berharap murid-muridnya tidak bertanya mengapa
dia harus melintas batas setiap hari, karena ia sadar sebagai guru dia punya
tanggungjawab untuk menarasikan tapal batas sebagaimana yang
dinarasikan oleh wacana dominan; orang-orang yang di luar batas teritorial
adalah “mereka” sedangkan rumahnya (suami dan anak) berada di luar batas
teritorial tersebut. Berada di posisi ini, Riska mau tak mau melintas batas
sebagai konsekuensi karena menikah beda negara dan tinggal di antara dua
negara. Meski Riska merasa tidak dapat memperlakukan batas sebagaimana
narasi dominan, namun bukan berarti Riska juga menjadi cair seperti
pandangan masyarakat lokal. Seperti Riska yang merasa kagum dengan
kemajuan dan jaminan kesejahteraan negara suami dan anaknya namun
Riska belum berpikir untuk pindah kewargaan. Karena bisa saja sewaktu
menikah dia pindah kewargaan namun itu tidak dilakukannya dan Riska
justru memutuskan untuk menjadi guru yang otomatis bertentangan dengan
pengalaman kesehariannya. Bagi Riska, Serawak dan Jagoi Babang adalah
rumah. Jagoi Babang adalah rumah di mana ia dilahirkan dan kini menjadi
tempat mengajar sementara Serawak adalah rumah di mana keluarga intinya
berada. Lewat wawancara dengan Riska, saya melihat ia tidak
memperlakukan batas secara kaku dan di satu sisi ia juga tidak secair
masyarakat lokal karena ikatan profesi dan tanah kelahirannya, Jagoi
Babang. Namun Riska justru memilih untuk melintas batas. Yang itu
artinya, dia tidak membebek begitu saja pada wacana dominan, namun tidak
menerima begitu saja pandangan masyarakat lokal yang cair. Karena Riska
masih merasa menjadi bagian dari Indonesia yang disadarinya sejak ia
memilih menjadi guru dan tetap mempertahankan kewargaannya.
2. Motivasi Kultural
Tidak dapat disangkal bahwa orang Bedayuh di Jagoi Babang
makna mereka memiliki ikatan nenek moyang dengan Serawak. Meski
berbeda negara, mereka merayakan upacara adat secara bersama-sama di
rumah adat ini.
Sebagian besar keluarga Mijen berada di Serawak karena kakeknya
berasal dari sana.2 Perjumpaan saya dengan Mijen berlangsung di SMPN 1
Jagoi Babang. Seperti masyarakat lokal yang lain, Mijen mengunjungi
keluarganya di Serawak terutama setiap Gawai (upacara adat setelah panen
padi). Gawai di Jagoi Babang dirayakan secara bersama-sama dengan
Serawak yang jatuh setiap tanggal 1 juni. Mereka merayakan Gawai di
Bung Jagoi yang adalah sebuah bukit tempat rumah adat mereka didirikan.
Bukit ini diyakini sebagai tempat tinggal dari nenek moyang mereka.
Seperti yang diakui oleh Mijen, seharusnya Jagoi bagian dari
Serawak karena batas teritorial yang dipahami oleh nenek moyang mereka
adalah sungai kumba yang membatasi antara orang Bedayuh dengan Bekati.
Akan tetapi, batas yang dipahami oleh kolonial dan kini diwarisi oleh
Indonesia dan Malaysia, justru di Poko Payong, salah satu bukit di Jagoi
Babang yang otomatis menandai Jagoi sebagai teritorial kolonial Belanda
dan kini adalah Indonesia. Perbedaan pemaknaan ini muncul di masayarkat
yang menganggap mereka dengan orang Serawak tidak ada bedanya.
Mijen sadar betul bahwa mereka memiliki ikatan kultural dengan
masyarakat Serawak namun bukan berarti dia serta merta merasa menjadi
bagian dari warga Malaysia. Bahkan berpindah kewargaan belum
terpikirkan. Ia mengakui menjadi warga Indonesia lebih untung karena
boleh punya tanah, sedangkan di Serawak tanah adalah milik negara
sehingga untuk mendirikan rumah atau usaha, status kita adalah penyewa.
Di sana orang serba kredit bahkan untuk keperluan rumah tangga sekalipun.
Aturan ini terutama untuk para pekerja kerajaan. Dengan kata lain, mereka
tidak diperkenankan untuk membayar tunai dan persoalan pajak, di sana
mereka dikenai pajak lebih bervariasi. Selain itu, ia pun terlibat dengan
komunitas perbatasan dari tahun 2007-20103 yang melawan dominasi
saluran radio dari Serawak, dengan mendirikan saluran radio perbatasan.
Mijen pun ikut merintis sekolah yang kini dikenal dengan SMP N 1
Jagoi Babang. Ia merasa prihatin terhadap nasib anak-anak Jagoi yang tamat
SD harus bersekolah ke Seluas dengan jarak yang cukup jauh dan
transportasi pada masa itu belum selancar sekarang. Belum lagi banyak
anak-anak dari Jagoi yang tidak lolos saat mendaftar karena kebanjiran
murid-murid di Seluas. Merasa prihatin atas kondisi itu, ia bersama rekan-
rekannya mulai merintis sekolah sejak tahun 2001 untuk menampung anak-
anak yang tidak lolos tersebut. Awalnya mereka menumpang di gedung SD
selama dua tahun sampai akhirnya punya gedung sendiri.
Lewat keikutsertaannya dalam komunitas perbatasan dan ikut
merintis SMPN 1 Jagoi Babang, menunjukkan Mijen memperlakukan batas
tidak secair masyarakat lokal yang punya ikatan kultural dan tidak pula
3Komunitas perbatasan yang bergerak dalam bidang komunikasi dan informasi yakni,
radio. Pendirian Radio tersebut sebagai respon terhadap radio-radio dari Sarawak yang mendominasi di perbatasan. Namun saat ini komunitas tersebut sedang mati suri karena ada kendala teknis.
sekaku wacana dominan yang membedakan secara kaku karena ia masih
merasa punya ikatan kultural dengan keluarga besarnya di Serawak. Mereka
pun masih merayakan upacara adat secara bersama-sama. Dan setiap Gawai,
Mijen akan berkunjung ke rumah keluarganya. Dari pengalaman ini tampak
Mijen mau tak mau melintas batas.
3. Motivasi Ekonomi
Seperti yang sudah dipaparkan di bab II, barang-barang di Jagoi
Babang berlabel dua harga. Yang itu artinya kondisi ekonomi mereka
bergantung dari pasar Serawak. Seperti di sana ada pasar Serikin yang
langsung menemukan dua masyarakat di perbatasan. Seperti penuturan
beberapa guru yang saya jumpai mereka rata-rata bergantung pada barang-
barang Malaysia dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya itu ada pula
yang ikut berbisnis ke Serawak selepas pulang mengajar.
“Keadaan Indonesia dan Malaysia tidak jauh beda. Namun
untungnya mereka (Malaysia) karena nilai tukar mata uangnya lebih tinggi”,
ungkap Margono.4 Margono adalah guru olahraga SDN I Jagoi Babang. Ia
menjadi guru sejak tahun 1992 dan mengajar di SDN I Jagoi Babang sejak
tahun 1997. Margono berasal dari Jagoi Babang dan memiliki ibu yang
sebelumnya berkewargaan Malaysia. Ia pun memiliki keluarga yang
menetap di Sarawak.
Melintas batas sudah menjadi aktivitasnya sehari-hari dan biasanya
dimanfaatkan untuk menjual babi dan ayam. Kadang juga setelah pulang
sekolah, ia menjadi tukang ojek bagi orang-orang yang hendak melintas
batas. Di matanya, Malaysia dan Indonesia sama saja. Menjadi guru di
Malaysia dan membeli di pasar Malaysia dengan Ringgit sama saja dengan
menjadi guru di Indonesia dan membeli di pasar Indonesia dengan Rupiah.
Yang untungnya, adalah menjadi guru di Malaysia, lalu belanjanya di
Indonesia. Sementara ruginya, menjadi guru di Indonesia tapi belanjanya di
Malaysia karena nilai tukar Ringgit lebih tinggi dari Rupiah.
Apa yang dikatakan Margono berdasarkan pengalamannya yang
sering bisnis ke Malaysia. Bahkan dia merasa guru yang merangkap menjadi
tukang ojek ke Malaysia, sah-sah saja karena mengingat biaya hidup di
Jagoi Babang dengan mengharapkan gaji guru saja tidak mencukupi apalagi
guru-guru yang honorer. Sementara guru-guru yang mendapat sertifikasi
juga diantaranya masih bisnis ke Malaysia. Memang bila kita ke pasar Jagoi
Babang, banyak barang yang berlabel RM (Ringit Malayasia) sehingga
mereka mau tak mau memiliki persediaan Ringgit.
Perjumpaan saya dengan Eko berlangsung di SMA N 1 Jagoi
Babang5 semakin memperjelas posisi Margono di atas. Tidak seperti
Margono, Eko bukan berasal dari Jagoi Babang, lebih tepatnya ia lahir di
Solo, Jawa Tengah. Ia mengajar di SMA N 1 Jagoi Babang mulai tahun
2005, namun sampai saat ini tinggal di Kecamatan Ledo yang berjarak dua
kecamatan dari Jagoi Babang.
Eko tidak memiliki saudara dan bahkan merasa tidak memiliki ikatan
kultural dengan Serawak, tetapi ia tetap melintas batas. Seperti
penuturannya, saat pertama kali menginjakkan kaki ke Jagoi Babang, Eko
merasa risih melihat kiblat masyarakat Jagoi Babang yang lebih banyak
mengarah ke Malaysia. Tidak hanya itu, Eko pun menemukan bahwa murid-
muridnya lebih hapal lagu kebangsaan Malaysia dibandingkan lagu-lagu
nasional. Sebagai guru yang mengampu pelajaran sejarah, Eko sadar
tanggungjawabnya untuk menumbuhkan rasa solidaritas nasional ke pada
peserta didik akan tetapi lingkungan sehari-hari para murid, justru berbicara
sebaliknya. Kondisi inilah yang menghantui pikiran Eko. Ia sadar bahwa
tanggungjawab itu tidak semudah yang dibayangkan sebelumnya. Pernah
sekali, Eko mendengar salah satu muridnya menyanyikan lagu kebangsaan
Malaysia di kantin sekolah, meski itu bukan acara resmi, Eko merasa perlu
untuk menegur murid tersebut dengan mengatakan, “lagu itu bukan punya
anda, lagu anda adalah Indonesia Raya”. Sejak saat itu, Eko bertekad untuk
mengarahkan murid-muridnya agar sadar mereka adalah warga negara
Indonesia.
Lewat mata pelajaran yang diampunya, Eko menegaskan pada
murid-murid untuk tidak merasa kecil karena menjadi orang Indonesia.
Meski di sini (Jagoi Babang) tingkat kesenjangan ekonomi dan infrastruktur
keseluruhan, ia menjelaskan Indonesia adalah negeri yang besar dan kaya.
Sedangkan Malaysia adalah negara yang sering kali mengklaim budaya dan
wilayah Indonesia. Tidak hanya itu, Eko juga memaknai konsep “ganyang
Malaysia” bukan berati fisik namun intelektual. Menurutnya, Indonesia
sudah mengganyang Malaysia lewat tenaga ahli sampai buruh kasar yang
rata-rata adalah orang Indonesia. Yang apabila tenaga kerja itu ditarik
pulang maka Malaysia akan lumpuh. Itulah konsep ganyang yang ia
tularkan kepada murid-muridnya.
Di sekolah, Eko tidak hanya menjadi guru mata pelajaran sejarah
tetapi juga pembina kegiatan ekstrakurikuler Pramuka. Lewat Pramuka, Eko
memupuk kesadaran murid untuk terus melatunkan yel-yel; “NKRI harga
mati dan merah putih tetap di hati” sebagai kegiatan wajib. Upaya-upaya
yang dilakukan Eko semakin menemukan bentuknya dengan terpilihnya
sebagai guru yang berdedikasi tingkat nasional di Jakarta tahun 2013. Eko
menjadi perwakilan guru dari Kalimantan Barat. Lewat kegiatan yang
diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Eko menekankan
pentingnya wacana nasionalisme di perbatasan sehingga menempatkannya
sebagai sepuluh guru yang berdedikasi di tahun 2013.
Meski terpilih menjadi guru yang berdedikasi di tahun 2013, bukan
berarti Eko merasa alergi untuk melintas batas. Seperti yang diakuinya, ia
tetap melintas batas untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Dalam
tataran ini, kita bisa melihat apa yang dilakukan oleh Eko di sekolah dan
terhadap tanah air tidak separalel dengan menggunakan produk berlabel
nasional. Alasannya, sulit membayangkan masyarakat Jagoi Babang tidak
menggunakan produk-produk Malaysia. Ia mengambarkan dengan kasus
gula yang menurutnya di Indonesia kewalahan untuk memenuhi kebutuhan
dalam negeri. Bahkan ia berani bertaruh bahwa produk-produk asal
Indonesia paling hanya mencapai kota Bengkayang, sementara untuk
daerah-daerah pinggiran mau tidak mau tergantung pada produk-produk
Malaysia.
Dalam praktik keseharian Eko pun melintas batas untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Meski di satu sisi ia sangat merong-rong murid untuk
lebih mencintai Indonesia tapi di sisi lain, ia sadar bahwa sulit
membayangkan masyarakat Jagoi Babang tidak mengkonsumsi produk-
produk Malaysia. Pengalaman Eko ini semakin memperjelas bahwa wacana
tapal batas hanya relevan selama berada di lingkungan sekolah.