PENGALAMAN KESEHARIAN GURU-GURU DI JAGOI
BABANG: NEGOSIASI ATAS WACANA TAPAL BATAS
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humiora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata
Dharma
Oleh :
Ervina Panduwinata Rete
136322010
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
PENGALAMAN KESEHARIAN GURU-GURU DI JAGOI
BABANG: NEGOSIASI ATAS WACANA TAPAL BATAS
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humiora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata
Dharma
Oleh :
Ervina Panduwinata Rete
136322010
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
To survive the Borderlands: you must live
sin fronteras
, be a
crossroads.
KATA PENGANTAR
Tesis ini adalah bagian dari proses saya menuju pendewasaan secara
intelektual. Sebuah perjalanan untuk memberi makna pada lingkungan di
mana saya dilahirkan dan tumbuh-berkembang. Meski tesis ini tidak
berupaya memberi jawaban atas persoalan yang dihadapi oleh masyarakat
perbatasan, tetapi saya yakin tesis ini menyumbangkan pemahaman yang
lain dalam memaknai pengalaman guru di perbatasan sehingga membuka
perspektif yang lebih beragam.
Dalam penyusunan tesis ini tidaklah mulus. Ada tantangan yang
silih berganti. Oleh sebab itu, lewat kesempatan ini saya mau berterima
kasih kepada semua pihak yang sudah banyak membantu dan mendukung
saya selama proses penyusunan tesis ini. Pertama-tama, saya menghaturkan
terima kasih kepada Pak Praktik selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan, saran serta
masukan selama penyusunan tesis ini. Dan juga saya ucapkan terima kasih
kepada seluruh dosen IRB yang dengan caranya masing-masing telah
berperan, baik dalam proses penyusunan tesis ini maupun selama proses
belajar saya di IRB. Tidak lupa juga saya ucapkan terima kasih atas Mbak
Mbak Dita yang menginformasikan jadwal bimbingan, serta Pak Mul yang
diandalkan dalam urusan logistik di IRB.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Pak Anton Haryono,
karena merekomendasikan untuk melanjutkan studi di pasca sarjana di IRB.
Dan juga saya berterima kasih kepada seluruh guru Jagoi Babang yang
bersedia menjadi narasumber dalam penelitian ini, baik guru di SDN 1 Jagoi
Babang, SMPN 1 Jagoi Babang dan SMAN 1 Jagoi Babang serta Pak Viktor
selaku Kepala UPT Pendidikan Jagoi Babang yang telah mengijinkan saya
untuk mewawancarai guru-guru di Jagoi Babang. Terima kasih juga untuk
staf dari Kantor Imigrasi Jagoi Babang dan Bea Cukai yang sudah
mendukung dalam pengambilan data di Jagoi Babang. Tak lupa, saya
berterima kasih kepada teman-teman IRB, terutama untuk angkatan 2013;
Anne, teman diskusi baik dalam penyusunan tesis ini maupun selama saya
berproses belajar di IRB, Daeng Umar yang telah memberi masukan untuk
tesis ini dan teman ngopi dikala pikiran sedang buntu, Hans teman diskusi
dan memberi kesempatan saya untuk mengakses internet di kostnya.
Felomena, teman curhat dan yang menemani saya saat ngelembur. Mas
Noel, yang juga banyak membantu saya selama belajar di IRB terutama
untuk referensi yang berbahasa asing dan persoalan yang berkaitan dengan
media dan teknologi. Romo Koko, teman ngopi, diskusi, dan kadang
nasehatnya bikin saya bersemangat. Padmo, teman diskusi dan ide-idenya
yang menginspirasi saya. Cahyo, teman yang baik hati, serta semua
saya belajar di IRB; Mas Antok, Umi, Kak Jolni, Mas Andre, Kak Phomat,
Lukas, Pak Riwi, Pak Alfons, dan Pak Efraim. Terima kasih juga untuk
kelompok belajar Jangkrik dan teman-teman lintas angkatan yang tidak
dapat saya sebut satu persatu tapi kalian selalu membuat saya bersemangat
untuk ke kampus. Lalu, terima kasih untuk dek Windi yang telah membantu
dan meluangkan waktu bersama saya selama di Jogja.
Saya ucapkan terima kasih yang tidak terhingga untuk orang-orang
yang berharga dalam hidup saya, terutama kedua orang tua saya yaitu;
Lambertus Rete dan Teresia serta ketiga kakak tercinta saya; Yuliana,
Valentina, dan Paulina yang tidak pernah lelah mendukung dan mendoakan
jalan apapun yang saya pilih meski itu terkadang aneh. Saya percaya dengan
terselesainya tesis ini juga karena doa-doa mereka. Saya juga berterima
kasih untuk Uyus dan keluarga yang setia mendukung dan menyemangati
saya untuk menyelesaikan tesis ini. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih
kepada Yesus Kristus atas konspirasi canggihnya.
Yogyakarta, 13 Juli 2017
ABSTRAK
Permasalahan masyarakat perbatasan adalah persoalan ikatan yang melampaui batas. Karena ikatan itu pula mereka kerap diberi label ganda oleh masyarakat lainnya. Pengalaman semacam itu yang dihadapi oleh guru-guru di Jagoi Babang. Sebagai guru-guru, mereka wajib menumbuhkan rasa solidaritas nasional dan sebagai bagian dari masyarakat lokal, mereka memiliki ikatan melampaui batas. Paralel dengan nalar Edwards Soja, penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap yaitu; material, wacana, dan praktik keseharian. Hasilnya, keterkaitan antara Jagoi Babang dengan Serawak sampai pada fase simbolik. Masyarakat lokal mengakui keterkaitan kultural yang melampaui batas sebagaimana yang ditunjukkan lewat material Rumah Adat suku Dayak Bedayuh dan barang-barang yang berlabel ganda (Rupiah dan Ringgit). Sedangkan dari sisi wacana, Jagoi Babang digambarkan sebagai area tapal batas yang kaku dan harus dijaga ketat, diawasi, hingga orang-orangnya pun pantas dicurigai. Dari sisi praktik keseharian, aktivitas melintas batas adalah ruang ketiga, yang menegosiasikan ikatan keluarga, kultural, dan ekonomi yang melampui batas. Dengan kata lain, dalam aktivitas melintas batas itulah ruang ketiga ditemui. Dalam kasus ini, menjadi guru di Jagoi Babang berarti menjadi guru yang melintas batas yang mau tak mau harus bernegosiasi atas wacana tapal batas.
ABSTRACT
The problem faced by people living on the borderline is their social bond that overrides the borderline itself. Thus the bond engenders double labeling attached to them. These conditions experienced by the teachers in Jago Babang. As teachers, they have to nurture national solidarity, at the same time being part of the local society whose bonds that override the borderline. In accordance with Edward Soja’s the way of thinking, this research divided into three spaces, i.e. material, discourses, and daily practice. Furthermore, the relation between Jagoi Babang and Serawak reach the symbolic phase. In the material space, local people acknowledge cultural tie that overrides the borderline as shown on Rumah Adat of Dayak Bedayuh tribe and other materials with double labels (e.g. Rupiah and Ringgit, Indonesian and Malaysian currency). While from the discourse side, Jagoi Babang described as a rigid borderline area, which must be closely guarded, watched, controlled, thus the cross border people deserved suspicion. In terms of daily practice, cross-border activity can be considered as the third space, which negotiates family, cultural, and economic ties beyond the boundaries. In other words, the third space can be found in the crossing-border activity. In this case, being a teacher in Jagoi Babang means to be a crossing-border teacher that inevitably negotiate over the boundary discourse.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAM AN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
PERNYATAAN KEASLIAN... iv
PERNYATAAN PUBLIKASI... v
HALAMAN PERSEMBAHAN... vi
KATA PENGANTAR... vii
ABSTRAK... x
ABSTRACT... xi
DAFTAR ISI... xii
DAFTAR GAMBAR... xiv
DAFTAR TABEL... xv
BAB I: PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Tema Penelitian... 7
C. Rumusan Masalah... 7
D. Tujuan Penelitian... 7
E. Pentingnya Penelitian... 8
F. Kajian Pustaka... 10
H. Metode Penelitian... 23
I. Sistematika Penulisan... 26
BAB II: KONDISI MATERIAL DI JAGOI BABANG... 27
A. Pengantar... 27
B. Gambaran Umum Jagoi Babang... 28
C. Jagoi Babang di Mata Guru-guru... 42
BAB III: WACANA TAPAL BATAS DI JAGOI BABANG ... 50
A. Pengantar... 50
B. Tapal Batas dari Masa ke Masa... 51
C. Tapal Batas Pasca Reformasi... 64
D. Jagoi Babang sebagai Tapal Batas... 66
BAB IV: NEGOSIASI MELALUI AKTIVITAS MELINTAS BATAS... 73
A. Pengantar... 73
B. Jagoi Babang: Titik Temu Antara Area di era Modern Padat dan Cair... 74
C. Aktivitas Keseharian Guru-guru di Jagoi Babang... D. Negosiasi Guru-guru di Jagoi Babang... 77 86 BAB V: PENUTUP... 93
A. Kesimpulan... 93
B. Saran... 96
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Peta Jagoi Babang... 28
Gambar 2 Letak geografi Jagoi Babang... 29
Gambar 3 Tugu Bung Kupuak... 32
Gambar 4 Rumah Adat Sebujit... 33
Gambar 5 Kebun Sawit... 34
Gambar 6 Papan Iklan Bank-Kalbar... 37
Gambar 7 Pasar Serikin... 39
Gambar 8 Tugu Perbatasan Jagoi Babang... 41
Gambar 9 Gambar 10 Gambar 11 Pos Terpadu Jagoi Babang... Kepala Sekolah dan murid-murid SDN I di Jagoi Babang... Surat penghargaan atas penangkapan PGRS dan Paraku.... 41
Tabel 2 Piramida Penduduk Kecamatan Jagoi Babang Tahun 2015.. 31
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat di perbatasan sering diberi label ganda (identitas ganda,
loyalitas ganda, sampai berkewargaan ganda) oleh media. Mereka
digambarkan sedemikian rupa karena memiliki ikatan yang melampaui
batas teritorial. Gambaran semacam ini dapat kita lihat dari fenomena warga
perbatasan di Nunukan, Kalimantan Utara, yang dikabarkan berpindah
kewargaan di akhir tahun 2014 lalu. Berbagai media massa mewacana
fenomena tersebut mulai dari antaranews.com1, liputan6.com2,
merdeka.com3, okezone.com4, beritasatu.com5, republika.com6,
kompas.com7, detik.com8, suara.com9.
Berita dari media itu pun menuliskan bahwa tingkat kemiskinan
yang tinggi, keterbatasan infrastruktur dan pelayanan publik yang tidak
maksimal membuat warga di perbatasan mudah tergiur “janji manis” negara
lain. Pandangan ini kemudian menuai polemik dan menjadi perdebatan di
masyarakat. Seperti yang terjadi dalam pembicaraan kaskus.co.id (diakses,
2016)dengan topik “setuju nggak kalo daerah perbatasan pindah negara?”.
Alih-alih menerima ada ikatan yang melampaui batas, pembicaraan tersebut
justru terbelah antara yang pro dan kontra. Pihak yang pro, cenderung
melihat warga perbatasan itu miskin, kurang perhatian pemerintah sehingga
wajar bila mereka pindah warganegara. Sedangkan pihak yang kontra
merasa warga perbatasan kurang sabar dalam menunggu pembangunan dari
pemerintah. Pemberian label ganda itu tidak hanya terjadi lewat berita di
surat kabar, tetapi juga lewat beberapa film seperti, Batas dan Tanah Surga
Katanya. Kedua film itu merepresentasikan kondisi masyarakat perbatasan
yang mengalami krisis solidaritas nasional. Fenomena di atas
memperlihatkan pandangan dominan orang dalam membicarakan
masyarakat di perbatasan. Masyarakat di perbatasan dengan mudah diberi
atribut ganda tanpa melihat kembali kondisi macam apa yang mereka hadapi
sehari-hari. Karena lahir dan tumbuh di perbatasan, tepatnya di Kecamatan
Seluas, Kabupaten Bengkayang,10 saya terbiasa melihat orang di perbatasan
melintas batas. Karena mereka memiliki ikatan-ikatan yang melampaui
batas. Melintas batas di dua negara yang pernah berperang di era Soekarno
10
peta.http://www.batasnegeri.com/potret-camar-bulan-dusun-terluar-indonesia-di-dan kerap bersengketa karena masalah batas teritorial, olahraga, TKI,
hingga produk budaya. Meski hubungan politis kedua negara naik turun,
orang perbatasan tetap berinteraksi. Interaksi itu mewujud lewat kebiasaan
mendengar siaran radio, menonton siaran tv, mengkonsumsi barang-barang,
sampai hapal lagu kebangsaan negeri jiran itu. Bahkan memiliki saudara
yang menetap di Serawak.
Secara kultural, Serawak hampir tidak ada bedanya dengan
daerah-daerah di Kalimantan Barat. Persamaan itu karena ikatan nenek moyang
(bdk. Eilenberg, 2012:25, Arifin, 2014:168). Ikatan suku Dayak yang
mendiami demarkasi sepanjang 2.004 km sampai hari ini masih kita jumpai
ada dari mereka yang sebahasa. Mereka serumpun berbeda batang yang
dipisahkan kolonial lewat pembentukan garis 4°10” Lintang Utara yang
bermula dari Pantai Timur Kalimantan ditarik ke arah Barat sampai Tanjung
Datu telah membagi Borneo menjadi milik Inggris dan Belanda (Arifin,
2014:101). Batas yang dibagi-bagi kolonial tersebut diwarisi oleh Indonesia
dan Malaysia.
Pembentukan tapal batas membuat pergaulan mereka tidak leluasa
misalnya, untuk berjumpa mereka harus melalui proses interogasi
berkali-kali dan harus melapor di setiap pos penjagaan. Pembatasan atas tubuh itu
dibuat demi menjaga kedaulatan negara yang kehadiran negara di tapal
batas masih sering dipertanyakan. Wacana tentang tapal batas mewarisi
narasi kolonial yang membentuk batas untuk menghadapi migrasi yang
ketat, sampai orang-orangnya pun pantas dicurigai. Narasi kolonial itu pula
tampak pada wacana dominan dalam membayangkan tapal batas yang
cenderung kaku sebagaimana yang tergambarkan lewat kartografi (tetap dan
kaku). Model pembayangan itu pula yang memposisikan orang-orang yang
punya ikatan melampui batas seolah-olah menjadi anak haram. Dan karena
itu, mereka yang kemudian menjadi lahan subur untuk proyek yang
bertemakan nasionalisme. Pendekatan top down semacam itu paling mudah
kita lihat dari pembangunan material yang mewujud lewat pos-pos imigrasi,
tugu perbatasan, patok-patok batas yang disakralkan. Material itu
memperlihatkan seperti apa negara mencerna daerah perbatasan dan
memperlakukan masyarakatnya.
Namun apa yang dibayangkan oleh negara tidak melulu semakna
dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat di perbatasan. Pembentukan
tapal batas tidak berarti melunturkan keterikatan masyarakat yang
melampaui batas. Pengalaman ini persis seperti yang dialami oleh suku
Melayu yang berada di Batam (Dedees,2015). Meski mereka tersebar di tiga
negara yaitu, Indonesia, Malaysia, dan Singapura, namun tidak sertamerta
melunturkan ikatan kemelayuan. Pengalaman hidup orang Melayu di Batam
yang berdektan dengan dua negara lainnya turut memengaruhi mereka
dalam membayangkan menjadi Indonesia. Bahwa orang Melayu di
Kepulauan Batam mengaku mencintai dan membela Indonesia dengan
kondisi yang “terbelah”, karena pada saat yang bersamaan juga beririsan
itu pula membawa konsekuensi pada rasa nasionalisme yang “terbelah”.
Dengan kata lain, pengalaman kesejarahan sebagai warganegara Indonesia
dan ikatan kultural yang melampaui batas menjadi keunikan orang Melayu
di Batam dalam membayangkan menjadi Indonesia.
Kasus di atas memperlihatkan ikatan politis dibayang-bayangi oleh
ikatan kultural. Meski berbeda negara, ikatan kultural di antara orang
Melayu tidak benar-benar luntur. Yang itu artinya persoalan tentang tapal
batas tidak benar-benar selesai. Kondisi itu menunjukkan apa yang
diwacanakan oleh negara belum tentu semakna dengan apa yang dilakukan
oleh masyarakat perbatasan dan itu kemudian yang memotivasi saya untuk
melihat ruang negosiasi macam apa yang dilakukan oleh masyarakat
perbatasan ketika berhadapan dengan wacana dominan tentang tapal batas.
Dengan kata lain, daya negosiasi itu hadir lewat praktik sehari-hari
masyarakat di perbatasan.
Sepakat dengan gagasan Soja (1996) tentang ruang ketiga
(Thirdspace). Soja melampaui ruang yang sering kali didefinisi secara biner
(firstspace dan secondspace) dengan membuka perspektif yang baru atau
yang disebut dengan ruang ketiga. Ruang pertama yang dimaksud oleh Soja
adalah material (real), ruang kedua adalah interpretasi atas ruang pertama
(imagined), di antara real dan imagined itu pula ada ruang yang lain atau
disebut dengan ruang ketiga (praktik keseharian). Ruang ketiga sebagai
strategi menghadapi ruang yang tampak biner tersebut. Ketiga sisi itu saling
diseragamkan. Dengan mengikuti gagasan Soja, saya mengidentifikasi
negosiasi yang dilakukan oleh masyarakat perbatasan yang berada pada
tataran praktik sehari-hari.
Penelusuran tentang negosiasi masyarakat di perbatasan, tepatnya
di Kecamatan Jagoi Babang. Jagoi Babang berbatasan langsung dengan
Serikin, Serawak yang masyakaratnya pun masih memiliki ikatan nenek
moyang (Siagian,1995). Saya melihat persoalan itu dari pengalaman
keseharian guru-guru di Kecamatan Jagoi Babang. Berprofesi sebagai guru,
otomatis orang memiliki tanggungjawab untuk mengenalkan keindonesiaan
kepada peserta didik, yang itu artinya, ia harus tunduk pada wacana
dominan dalam membayangkan tapal batas (ikatan politis) sedangkan dalam
kehidupan sehari-hari, guru memiliki ikatan-ikatan yang melampaui batas.
Oleh karena itu menjadi penting untuk melihat negosiasi macam apa yang
dilakukan oleh guru di Kecamatan Jagoi Babang.
Penelitian yang diberi judul Pengalaman Keseharian Guru-guru di
Jagoi Babang: Negosiasi Atas Wacana Tapal Batas, berbicara mengenai
negosiasi yang dilakukan guru di tengah wacana dominan tentang tapal
batas yang erat kaitannya dengan ikatan politis di tengah ikatan yang
melampaui batas. Penelitian ini terbatas pada pengalaman keseharian guru
dalam memaknai diri agar tidak bertambah asing di tengah kenyataan
B. Tema Penelitian
Negosiasi guru Jagoi Babang sebagai ruang ketiga atas wacana tapal batas.
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, Jagoi Babang adalah salah satu
kecamatan di Kabupaten Bengkayang, yang masyarakatnya memiliki ikatan
melampui batas. Sedangkan berprofesi sebagai guru, orang mau tak mau
tunduk pada wacana dominan dalam membayangkan Jagoi Babang sebagai
tapal batas. Di tengah kondisi tersebut, lantas negosiasi macam apa yang
dilakukan guru? Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Seperti apa kondisi material di Jagoi Babang?
2. Wacana apa yang mendominasi dalam membayangkan Jagoi Babang?
3. Negosiasi macam apa yang dilakukan oleh guru-guru di Jagoi Babang
atas wacana tapal batas?
D. Tujuan Penelitian
1. Melihat kondisi material di Jagoi Babang.
2. Membaca wacana yang mendominasi dalam membayangkan Jagoi
Babang
3. Mengidentifikasi negosiasi yang dilakukan oleh guru-guru di Jagoi
E. Pentingnya Penelitian
Pentingnya penelitian ini sebagai berikut:
1. Pengembangan Ilmu Pengetahuan Humaniora
Penelitian ini untuk menambah ilmu pengetahuan kita dalam
melihat masyarakat di tapal batas. Berangkat dari pandangan dominan yang
memberi label ganda pada masyarakat di tapal batas tanpa memeriksa
terlebih dahulu kondisi macam apa yang dihadapi oleh orang di perbatasan.
Untuk menghadapi pandangan tersebut, saya mengidentifikasi negosiasi
yang dilakukan oleh guru-guru di Jagoi Babang sebagai ruang ketiga atas
kondisi material dan wacana tapal batas. Penelitian ini melalui tiga tahapan
yaitu; material, interpetasi atas material, dan negosiasi. Dengan
mengidentifikasi negosiasi yag dilakukan oleh guru-guru di Jagoi Babang,
membuka perspektif yang lebih beragam dalam melihat masyarakat di
perbatasan.
2. Penulis
Penelitian ini sebagai salah satu cara bagi saya untuk
mendewasakan diri secara intelektual. Dengan mempelajari ilmu humaniora
yang lintas disiplin, saya belajar membaca fenomena di lingkungan sekitar
dengan perspektif kajian budaya. Seperti dalam kasus ini, saya sebagai
orang yang lahir dan tumbuh di perbatasan mencoba melihat kembali
ini saya melihat dengan kacamata kajian budaya yang lintas disiplin. Dalam
kasus ini, saya mengkombinasikan pandangan Edwards Soja dan Zygmunt
Bauman untuk mengidentifikasi negosiasi masyarakat perbatasan lewat
pengalaman keseharian guru Jagoi Babang. Penelitian ini juga sebagai salah
satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan studi pasca
sarjana di program Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
3. Guru dan Pemerhati Perbatasan
Untuk guru di perbatasan penelitian ini adalah refleksi atas
tindakannya sehari-hari. Dengan memahami apa yang mereka lakukan
sehari-hari diharapkan guru tidak bertambah asing di tengah kenyataan
persoalannya dan berposisi atas pandangan yang dominan tentang tapal
batas.
Untuk pemerhati perbatasan, penelitian ini mencoba melihat
pandangan masyarakat setempat dalam mendefinisikan diri di tengah
pandangan yang cenderung top-down. Lewat penelitian ini, saya
mengidentifikasi negosiasi guru-guru di Jagoi Babang di antara kondisi
material dan bayangan tentang Jagoi Babang. Negosiasi ini dapat dijadikan
referensi untuk membicarakan masyarakat di tapal batas dan sebagai upaya
F. Kajian Pustaka
Penelitian tentang masyarakat di perbatasan sudah pernah dilakukan
oleh salah satu mahasiswi Ilmu Religi dan Budaya yaitu Novelina Laleba
(2010). Tesis dengan judul, Identitas Kebangsaan Masyarakat Pulau
Miangas Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara yang berbatasan dengan
Filipina Selatan. Lewat penelitian ini, ia menyatakan bahwa Miangas
sebagai ruang liminal di mana warga beridentitas ambivalen dan resistensi.
Hal ini, terkait dengan resistensi terhadap pendudukan negara Filipina dan
di satu sisi juga resistensi dengan NKRI sehingga terjadi tarik menarik
antara identitas lokal dan nasional (NKRI), yang kemudian muncul
kontestasi antara identitas lokal Miangas dengan identitas yang dibawa oleh
NKRI. Menurutnya, warga Miangas berada sebagai in-between citizenship.
Novelina menggunakan pendekatan pascakolonial dan sensitif
terhadap pengalaman warga Miangas dalam mengidentifikasi diri. Akan
tetapi, konteks perbatasan antara Miangas dan Filipina agak berbeda dengan
perbatasan Kalimantan-Malaysia yang cenderung cair. Di sini, saya akan
mengapresiasi tulisan yang relevan untuk membicarakan perbatasan
Malaysia-Indonesia di pulau Borneo.
1. Keterkaitan Masyarakat di Perbatasan
Kata serumpun berbeda batang tampak relevan untuk membicarakan
masyarakat di tapal batas. Semula ini adalah judul buku dari penelitian yang
masyarakat pulau Sebatik. Sebatik terletak di sebelah timur laut Kalimantan.
Secara administratif, Sebatik bagian dari Provinsi Kalimantan Utara. Pulau
ini terbagi menjadi dua, sebelah utara milik Malaysia dan sebelah selatan
milik Indonesia. Pulau ini dibagi atas konvensi yang pertama (1891) kali
antara Inggris dan Belanda dalam menentukan batas-batas kekuasaan
mereka di pulau Borneo.
Masyarakat Sebatik sering melintas batas ke Tawau (Sabah,
Malaysia). Di Sebatik, melintas batas sudah menjadi kebiasaan sehari-hari
mereka. Ada dua alasan yang memotivasi mereka melintas batas yaitu;
ekonomi dan kultural. Meski demikian, motif ekonomi lebih mendominasi
daripada kultural. Pertama, untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga,
seperti tabung gas, pupuk, alat elektronik, minyak goreng, dan sebagainya.
Di mata orang Sebatik, barang-barang yang mereka peroleh dari Tawau
(Sabah) lebih terjamin kualitasnya dibandingkan dengan barang-barang
produk lokal yang terasa lebih mahal dan tidak sebanding dengan
kualitasnya, kedua, sebagian besar petani di Sebatik menjual hasil pertanian,
perkebunan (kelapa Sawit) dan hutan mereka ke Tawau (Sabah) karena
mengingat pasar di sana lebih potensial dibandingkan kota-kota lokal seperti
Nunukan dan Tarakan, ketiga, untuk mencari pekerjaan. Peluang kerja di
negeri jiran lebih terbuka dengan tingkat kemajuan kota tersebut. Tidak
hanya orang lokal yang melintas batas untuk mencari kerja tetapi juga warga
Aktivitas melintas batas tercatat sejak tahun 1960-an. Seperti yang
kita ketahui di tahun itu terjadi konfrontasi antara Indonesia-Malaysia.
Meski demikian, orang-orang yang tinggal di area tersebut sampai saat ini
masih saling berinteraksi dan tetap melintas batas. Kondisi Tawau yang
lebih maju daripada Sebatik membuat orang-orang berduyun-duyun
mengais rezeki di negeri jiran. Banyak dari mereka yang menjadi TKI dan
ada pula yang menetap menjadi warga Malaysia. Selain karena pekerjaan,
masyarakat Sebatik pun digambarkan sangat bergantung dengan
produk-produk Malaysia bahkan mereka juga menggunakan dua mata uang
sekaligus.
Bila di pulau Sebatik, orang melintas batas lebih didominsi oleh
motivasi ekonomi, penelitian yang dilakukan oleh Eilenberg (2012) yang
mengkaji Dayak Iban yang menetap di perbatasan antara Kabupaten Kapuas
Hulu di Kalimantan Barat dengan Serawak menunjukkan fenomena
melintas batas karena motivasi kultural. Secara etnis, Dayak Iban di
Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, masih memiliki ikatan nenek
moyang dengan Dayak di Serawak. Ikatan kultural ini pula yang turut
berkontribusi pada pembentukan relasi yang cair antar masyarakat di
perbatasan. Menurut Eilenberg (2012), keterikatan ini turut andil dalam
mempengaruhi identitas Dayak Iban yang tampak memiliki loyalitas
melampaui batas-batas teritorialnya. Namun, dapat pula menimbulkan
kebangkitan lokal yang disebabkan loyalitas nasional yang kuat. Lewat
Kalimantan Barat-Sarawak adalah perbatasan yang cair dan fluktuaktif
(Eilenberg, 2012: ). Penelitian Eilenberg (2012) tampak sensitif terhadap
kehidupan warga di perbatasan. Ia memperlihatkan dinamika di perbatasan
itu yang naik-turun sebagai konsekuensi perjalanan historis yang
membentuk area tersebut. Seperti yang ia paparkan bahwa kolonial yang
awal mula membentuk batas-batas di wilayah tersebut dan kemudian
dipertegaskan oleh negara yang mewarisi yaitu; Malaysia dan Indonesia.
Sejak pembentukan awal tapal batas, masyarakat lokal tidak
diikutkan serta (Arifin, 2014). Sejarah mencatat, pembagian wilayah Borneo
dibagi atas dasar kesepakatan antara Inggris dan Belanda dengan melalui
tiga tahap konvensi yaitu; menentukan titik koordinat di peta, di air, dan di
gunung. Penentuan tapal batas yang terkesan semena-mena ini membawa
konsekuensi, seperti yang dikatakan oleh Dave Lumenta (2015),orang yang
menetap di tapal batas (Indonesia-Malaysia) cenderungmoderat dan terbuka
terhadap perubahan. Mereka yang lebih banyak melakukan aktivitas
ekonomi di wilayah Sarawak, nasionalisme menjadi urusan yang semu, dan
dalam berbagai sisi, tidak relevan.Orang di tapal batas cenderung memiliki
ikatan melampaui batas teritorialnya. Batas yang mereka pahami tidak sama
dengan apa yang dimaknai oleh negara yang melihat batas-batas itu secara
kaku sedangkan bagi masyarakat lokal justru sebaliknya.
Konteks di atas memperlihatkan bahwa batas yang kita kenal saat ini
adalah batas yang mengikuti narasi kolonial dan semakin dipertegas oleh
top-down untuk membedakan antara kekuasaan Inggris dan Belanda. Dengan
mengikuti narasi kolonial, batas yang kita kenal saat ini adalah buatan
kolonial yang belum tentu semakna dengan batas yang dipahami oleh
masyarakat lokal yang telah mendiami wilayah itu secara turun temurun.
Seperti yang dipaparkan oleh Eilenberg (2012), Dayak Iban di perbatasan
Kapuas Hulu-Serawak memiliki ikatan primordial. Yang itu artinya batas
yang mereka pahami belum tentu sama dengan batas yang kita pahami saat
ini. Atasnama itu, pengalaman melintas batas dapat dikatakan sebagai cara
mereka hidup.
2. Model Interaksi Antar Masyarakat di Perbatasan
Menurut Arifin (2014) keterkaitan perbatasan antara Kalimantan
Barat-Serawak meliputi berbagai aspek mulai dari ekonomi, kultural, jalan
raya, jaringan informasi dan saat ini yang sedang berjalan adalah impor
listrik dari Malaysia dengan membangun Sutet di sepanjang perbatasan di
Kalimantan Barat. Ada lima kabupaten di Kalimantan Barat yang
berbatasan langsung dengan Serawak yaitu, Sambas, Bengkayang, Sanggau
Kapuas, Sintang, dan Kapuas Hulu. Akan tetapi, diantara itu yang paling
dekat menghubungkan antara Pontianak dan Kuching adalah Jagoi Babang
yang terletak di Kabupaten Bengkayang. Kabupaten Bengkayang sendiri
memiliki dua pintu selain Kecamatan Jagoi Babang, yaitu Siding dan
Interaksi masyarakat di perbatasan Kalimantan Barat-Serawak
menurut Arifin (2014) mendekati kategori Coexistent Borderland yaitu,
interaksi penduduk perbatasan dapat diposisikan pada level on atau off oleh
negaranya masing-masing. Dengan kata lain, penduduk menerima interaksi
yang binasional (ganda) dengan terbatas. Selain itu, model interaksi mereka
mendekati kategori Interdependent Borderlands, di mana interaksi saling
terkait satu dengan yang lain dan saling membutuhkan. Dengan kata lain,
kedua wilayah saling melengkapi.
Kedua kategori di atas mengikuti gagasan Martinez (1994) dalam
membaca dinamika di perbatasan antara USA-Meksiko yang terdiri dari
empat tipe. Selain yang sudah disebutkan di atas, terdapat dua lagi yaitu;
Alienated Borderland, adalah perbatasan yang tegang dan tertutup. Interaksi
di perbatasan sama sekali tidak terjadi. Penduduk diantara dua sisi negara
itu saling mengasingkan. Integrated Borderland, perbatasan yang kuat dan
permanen dan memiliki integrasi ekonomi. Interaksi yang tidak terbatas dan
penduduk perbatasan mengganggap mereka adalah anggota yang sama
dengan satu sistem sosial.
Berdasarkan kategori di atas, tampak model interaksi masyarakat di
perbatasan Kalimanan Barat-Serawak terkait satu dengan yang lain, terbuka
dan saling menopang, misalnya Serawak sebagai kota yang lebih maju,
membuka peluang kerja yang menjadi kesempatan orang lokal di perbatasan
dan hutan di pasar Serawak. Mereka pun merayakan upacara adat secara
bersama-sama.
Dari paparan di atas, semakin memperjelas posisi penelitian saya.
Bahwa masyarakat lokal cenderung memperlakukan batas dengan cair
karena memiliki ikatan yang melampaui batas. Namun, wacana dominan
cenderung membatasi pergaulan mereka. Apa yang tergambarkan oleh
wacana tersebut mengikuti narasi kolonial yang membagi batas untuk
kepentingan kekuasaan dan strategi menghadapi orang-orang yang mereka
anggap sebagai penganggu alias yang melakukan migrasi (Eilenberg, 2012).
Warisan kolonial ini semakin dipertegas oleh sejarah Indonesia dan
Malaysia yang pernah terlibat konfrontasi pada tahun 1960-an dan sampai
saat ini, pengawasan al a militer menjadi dominan di kawasan ini.
Lewat kajian pustaka ini, semakin menunjukkan bahwa mereka
memiliki ikatan yang melampaui batas. Ikatan ini pula yang mewujud lewat
kondisi material meski di sisi lain mereka berhadapan dengan pandangan
dominan yang cenderung membatasi pergerakan. Menyadari kondisi itu
pula, saya mengidentifikasi negosiasi yang mereka lakukan lewat praktik
keseharian guru-guru di Jagoi Babang. Penelusuran negosiasi tersebut
sebagai upaya untuk menghadapi pandangan banal yang dengan mudah
melabel masyarakat perbatasan dengan atribut ganda tanpa melihat lebih
dalam kondisi macam apa yang mereka hadapi sehari-hari.
Berangkat dari situasi itu, penelitian ini melihat praktik keseharian
mengidentifikasi negosiasi macam apa yang mereka lakukan di antara
kondisi material dan wacana tapal batas. Penelitian ini mengikuti gagasan
Edwards Soja tentang ruang ketiga.
G. Kerangka Teori
Penelitian ini mengidentifikasi pengalaman guru-guru di Jagoi Babang
sebagai negosiasi atas wacana tapal batas. Untuk menjelaskan persoalan di
atas, saya merujuk pada gagasan Zygmunt Bauman tentang Liquid
Modernity dan Edwards Soja tentang Thirdspace.
1. Tapal Batas
Menurut Wadley (2005) batas teritorial yang dibayangkan antara
komunitas lokal dengan negara tidak selalu sama. Komunitas lokal
cenderung mendefinisikan batas berdasarkan landscape fisik seperti,
pepohonan, gunung, batu besar, dan sungai, sedangkan di mata negara, batas
adalah patok yang didirikan di sepanjang garis demarkasi dan biasanya
diperlakukan dengan pengawasan militer 24 jam. Dengan kata lain, batas
yang dimaknai oleh masyarakat lokal cenderung lebih fleksibel sedangkan
wacana politis cenderung melihat persoalan tapal batas itu sudah selesai,
persis yang digambarkan lewat kartografi. Area perbatasan diperlakukan
secara kaku dan ketat. Dengan batas, orang-orang dikategorikan secara
hitam dan putih, mereka dan kita, legal dan ilegal. Pos-pos penjagaan yang
dalam memaknai batas ini dapat kita jelaskan dengan mengikuti gagasan
dari Zygmunt Bauman (2000) yang membedakan gambaran area di era
Modern Padat (Solid) dan Cair (Liquid).
“Nowadays we are all on the move” kata Bauman (1998) bahwa
orang-orang bebas bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang
lain. Di tengah kondisi tersebut, Bauman (2000) membedakan antara era
Modern Padat dan Cair. Gagasan tentang era Modern Cair dimulai sejak era
Modern Padat mengalami keterbatasan dalam menamai
konsekuensi-konsekuensi yang dibawanya (Blackshaw, 2005). Modern Cair adalah
Modern Padat yang datang dengan segala konsekuensinya. Pada era Modern
Cair, hampir keseluruhan aspek menuju proses pencairan; tidak menetap,
mudah berubah-ubah, dan fleksibel tanpa terkecuali batas teritorial
(Bauman, 2003). Sedangkan era Modern Padat, adalah di mana negara
memiliki kekuasaan untuk membuat orang patuh, menahan diri dari
perlawanan, dan terobsesi pada size dan berat. Semakin banyak area yang
dapat ditaklukan maka semakin berkuasa. Teritorial sebagai salah satu
penentu kekuasaan. Pada era ini, orang-orang tidak bebas bergerak. Ini
adalah era face-to-face antara masyarakat dengan negara yang berlaku
secara top-down. Singkat kata, ini adalah era dari engagement. Era yang
terobsesi pada tatanan yang fixed sehingga terobsesi untuk mengkategorikan
dan mengklasifikasikan segala sesuatu yang dianggap berserakan.
Gambaran area di era Modern Padat, itu fixed dan rigid, sebaliknya di area
teritorial yang batas-batasnya tidak otomatis mendefinisikan warga yang
menempatinya. Kondisi ini ditandai dengan orang bebas untuk
berpindah-pindah dari wilayah ke wilayah lain. Ini adalah masa di mana batas-batas
teritorial menuju cair.
Mengikuti gagasan Bauman, pandangan dominan cenderung
memperlakukan area batas secara tetap dan kaku dapat ditempatkan sebagai
gambaran dari area di era Modern Padat, di mana negara memegang kontrol
yang kuat untuk membatasi pergerakan warganya. Akan tetapi di daerah
perbatasan antara Kalimantan Barat dan Serawak, kita justru menjumpai
masyarakat yang memiliki ikatan yang melampaui batas teritorial.
Pengalaman tersebut kita tempatkan sebagai gambaran dari area di era
Modern Cair, yang mana batas teritorial tidak dapat mendefinisikan warga
yang menempatinya.
Di tapal batas, kedua pandangan yang tampak bertentangan itu
bertemu. Dengan kata lain, tapal batas yang kita pahami dari penelitian ini
adalah titik temu antara gambaran area di era Modern Padat dan Modern
Cair. Berangkat dari pendapat ini, negosiasi macam apa yang dilakukan oleh
guru-guru di Jagoi Babang tersebut. Untuk menelusuri negosiasi itu dapat
merujuk pada gagasan Edwards Soja (1996) tentang ruang ketiga.
2. Negosiasi Sebagai Ruang Ketiga
Secara harfiah, negosiasi adalah proses tawar menawar dengan jalan
menunjukkan ada pandangan yang tampak bertentangan. Sebagaimana yang
dijelaskan di atas, pertentangan di tapal batas dalam kasus ini disebabkan
pertemuan pandangan dari era Modern Padat dan Modern Cair.
Konsekuensi orang yang tinggal di area tersebut sebagaimana yang dialami
oleh guru-guru di Jagoi Babang mau tak mau harus bernegosiasi. Jalan
negosiasi itu sebagai ruang ketiga.
Ruang ketiga yang dimaksudkan di sini erat kaitannya dengan
praktik spasial di tapal batas sebagaimana gagasan Soja. Gagasan Soja
(1996) tentang ruang ketiga hadir dalam kerangka konseptual trialectics
yaitu, ruang pertama, ruang kedua, dan ruang ketiga, yang ketiganya saling
memengaruhi satu dengan yang lain. Ruang ketiga dalam Soja diasosiasikan
sebagai strategi untuk menghadapi dominasi ruang pertama dan kedua.
Sekilas gagasan Soja (1996) punya kemiripan dengan konsep Lefebvre
tentang produksi ruang yang terdiri dari tiga pilar yaitu; praktik spasial,
representasi ruang, dan ruang representasional (perceived, conceived, live
space). Diakui oleh Soja (1996), konsep Lefebvre tersebut memberi denyut
atas konsep ruang ketiga hanya saja memiliki porsi dan tujuan yang
berbeda. Lefebvre dan Soja sama-sama memberi penekanan terhadap ruang
pertama yang adalah praktik spasial, namun porsi spasial bagi Lefebvre
sebagai panggung dari praktik sosial yang merupakan kekhasannya dengan
berlatar berlakang seorang sosiologi, sedangkan Soja melihat praktik spasial
adalah bagian yang tak terpisahkan dari praktik keseharian. Dengan kata
sehari-hari yang kemudian mempertegas posisi Soja yang berlatar belakang
geografi. Untuk ruang kedua, Lefebvre cenderung melihat wacana yang
dipakai untuk menggambarkan suatu ruang, sedangkan bagi Soja, ruang
kedua adalah interpretasi atas ruang pertama. Dengan kata lain, bila ruang
pertama memberi gambaran material secara umum, natural, dan terkesan
objektif, diruang kedua justru terkesan subkjetif. Sementara ruang ketiga
dari Lefebvre adalah live space yang berisi praktik keseharian, sementara
Soja memperlakukan ruang ketiga sebagai upaya strategi menghadapi
pandangan biner atas ruang (ruang pertama dan kedua). Dalam tataran ini,
ruang ketiga dijadikan kesempatan untuk membuka perspektif yang lebih
beragam atas ruang. Pembacaan ruang ketiga semacam itu seolah-olah mau
mengaburkan persoalan, “either/not but rather about both/and also”
(Soja,1996).
Dalam analisis Soja (1996), ruang pertama atau praktik spasial berisi
data-data kuantitatif yang bisa dibaca ke dalam dua level yaitu, penjelasan
yang terfokus pada apa yang terlihat atau indigenous mode of spatial
analysis dan exogenous mode of spatial analysis atau penjelasan secara
umum tentang suatu ruang. Model penjelasan yang kedua dibutuhkan untuk
melampaui penjelasan data-data kuantitatif tersebut. Sebagaimana ruang
pertama, ruang kedua diinterpretasikan dengan mendalam ke dalam dua
level yaitu, introverted (indigenous) dan extroverted (exogenous).
Interpretasi pertama merupakan pembacaan atas kondisi internal dari ruang
dibayangkan itu sedang diklaim seolah-olah adalah kondisi real atau kondisi
dari ruang pertama. Sementara ruang ketiga hadir sebagai upaya
menghadapi ruang pertama dan kedua. Dengan kata lain, ruang ketiga hadir
di antara yang real (ruang pertama) dan imagined (ruang kedua) sebagai
Thirding-as-Othering atau strategi menghadapi ruang real dan imagined
yang cenderung biner. Penjelasan ruang dalam pandangan Soja tampak
berakar pada persoalan spatiality, historicality, dan sociality.
Ruang ketiga dalam definisi Soja terbuka atas pemaknaan dan
penafsiran yang lebih beragam dan karena itu relevan dengan apa yang
ditelusuri lewat penelitian ini untuk mengidentifikasi negosiasi guru-guru di
Jagoi Babang sebagai upaya menghadapi pandangan banal yang mudah
melabeli atribut ganda terhadap masyarakat perbatasan. Pembacaan kembali
atas fenomena tersebut dengan meminjam gagasan Soja. Penjelasan ruang
pertama merupakan kondisi material di Jagoi Babang yang saya
kombinasikan dengan pengalaman peneliti dan guru-guru di Jagoi Babang.
Pada tataran ini, saya sedikit berbeda dari Soja yang memperlakukan ruang
pertama seolah-olah objektif, sebaliknya dari ruang pertama saya telah
mengambil posisi subjektif atas kondisi material yang saya lihat di Jagoi
Babang. Sedangkan di ruang kedua merupakan pembacaan saya atas kondisi
material Jagoi Babang dengan merujuk pula pada pengalaman historis tapal
batas. Sementara pada ruang ketiga adalah pengalaman keseharian
masyarakat perbatasan yang dibaca lewat pengalaman keseharian guru-guru
Babang sebagai negosiasi atau ruang ketiga untuk menghadapi kondisi
material dan wacana tapal batas.
H. Metode Penelitian
Secara metodologis (Saukko, 2003:56 ) ruang ketiga menurut Soja
adalah pendekatan dengan multiperspektif untuk subjek yang sama.
Pendekatan ini terdiri dari ruang pertama, kedua, dan ketiga yang saling
memengaruhi. Lewat metode ini, kita diajak untuk memahami kondisi
material yang memfasilitasi tindakan kita sehari-hari. Dengan kata lain,
kondisi material tidak diperlakukan hanya sebagai panggung tetapi turut
berkontribusi pada tindakan kita. Mengikuti gagasan Soja di atas, langkah
pertama, saya melakukan pengamatan langsung ke Jagoi Babang untuk
melihat kondisi material, kedua, membaca wacana yang mendominasi di
Jagoi Babang, dan ketiga, berjumpa dengan guru-guru di Jagoi Babang.
Untuk itu, pendekatan ruang ketiga akan dikombinasikan dengan metode
etnografi baru untuk mengidentifikasi negosiasi guru Jagoi Babang atas
wacana tapal batas.
Metode etnografi baru merupakan salah satu model penelitian
sosial yang menerima subjektivitas liyan dan memperhatikan sensitif
terhadap latar belakang dan komitmen si peneliti dalam merefleksikan
pengalaman masyarakat yang ditelitinya. Dalam proses pengambilan data,
si peneliti memperhatikan suara-suara yang berbeda atau polyvocality. Apa
rambu-rambu dalam memaknai pengalaman guru-guru di Jagoi Babang.
Bahwa saya sadar akan latar berlakang yang juga berasal dari kawasan
perbatasan dan mengambil posisi untuk mendengarkan suara-suara guru di
tapal batas dalam memaknai pengalaman keseharian mereka yang melintas
batas.
1. Strategi pendekatan Etnografi Baru
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa pendekatan ini
memiliki fokus pada tiga strategi yang meliputi:
a. Collaboration
Kolaborasi dibutuhkan untuk meningkatkan kedekatan antara si peneliti
dengan realitas yang diteliti. Saya berasal dari kawasan perbatasan. Lebih
tepatnya, saya dari kecamatan Seluas Kabupaten Bengkayang di mana
letaknya bersebelahan dengan kecamatan Jagoi Babang. Kolaborasi ini
tampak dari pengalaman saya dan pengalaman guru-guru di Jagoi Babang.
b. Self-reflexivity
Refleksi peneliti pada diri sendiri agar dapat memediasi antara pemahaman
peneliti tentang kehidupan sendiri dan pemahaman dengan kehidupan
orang lain. Meski sama-sama berasal dari perbatasan di Kabupaten
Bengkayang dan berlatar pendidikan guru namun saya belum punya
c. Polyvocality
Peneliti memperhatikan bahwa pengalaman itu beragam. Oleh karena itu
keharusan peneliti untuk terbuka pada berbagai macam perspektif atau
suara. Lewat gambaran dari perspektif yang berbeda itu pula maka tampak
struktur sosial yang berbeda pula. Analisis ini kemudian dikaitkan dengan
ketidaksamaan struktur dan konteks sosial, bahwa apa yang diwacanakan
oleh struktur tidak selalu semakna dengan praktik sehari-hari guru di
perbatasan.
2. Lokasi Penelitian
Pengambilan data dimulai pada bulan Juli-Agustus 2015 di kota kecamatan
Jagoi Babang. Kecamatan Jagoi Babang merupakan kecamatan yang
terletak paling utara dari kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan
Barat.
3. Sumber data
Sumber data penelitian ini terdiri dari tiga bagian yaitu; pertama sumber
data berasal dari observasi langsung ke Jagoi Babang, kedua, studi pustaka
dan ketiga adalah hasil wawancara dengan guru-guru di Jagoi Babang. Data
wawancara diperoleh dengan cara wawancara dan dokumentasi. Wawancara
dilakukan pada lima belas orang guru yang terdiri dari, lima guru SD, lima
guru SMP, dan lima guru SMA. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat dari
Tabel 1: Tabel Pengumpulan Data
Kategori data Sumber data Teknik pengumpulan data
Ruang Pertama material Jagoi Babang Dokumentasi, wawancara, dan studi pustaka
Ruang Kedua wacana tapal batas Studi pustaka, dokumentasi dan wawancara
Ruang Ketiga pengalaman keseharian guru Jagoi Babang
Wawancara dan dokumentasi
I. Sistematika Penulisan
Secara garis besar penelitian ini dipaparkan secara sistematis dalam lima
bab yaitu sebagai berikut:
Bab pertama : latar belakang penelitian, tema, rumusan masalah, tujuan,
pentingnya penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua : kondisi material di Jagoi Babang
Bab ketiga : wacana tapal batas di Jagoi Babang
Bab keempat : negosiasi guru atas wacana tapal batas
BAB II
KONDISI MATERIAL DI JAGOI BABANG
A. Pengantar
Bab ini merupakan paparan dari kondisi material di Kecamatan
Jagoi Babang. Pemaparan bab ini mengikuti gagasan Soja tentang ruang
pertama. Menurut Soja (1996), ruang pertama merupakan praktik spasial
yang dipaparkan ke dalam dua level yaitu; indigenous mode of spatial
analysis dan exogenous mode of spatial analysis. Analisis indigenous
terletak atas pengalaman melihat material di Jagoi Babang sedangkan
exogenous adalah paparan umum atas material Jagoi Babang. Keduanya
saya kombinasikan untuk menjelaskan kondisi material di Jagoi Babang.
Meski Soja menjelaskan ruang pertama seolah-olah objektif
dengan menampilkan senatural mungkin lewat kondisi geografis dan data
kuantitatif, akan tetapi saya tidak dapat mengklaim bab ini sebagaimana
kerangka kerja Soja tersebut namun saya justru mengambil posisi dalam
menjelaskan ruang pertama yang adalah kolaborasi antara data-data
kuantitatif dan pengalaman guru-guru dalam melihat kondisi material di
Jagoi Babang. Dengan kata lain, subjektivitas sudah muncul di ruang
pertama. Bab ini terdiri dari dua sub-bab yaitu; gambaran umum Kecamatan
B. Gambaran Umum Jagoi Babang
Sumber: http://www.borneoskycam.com/images/peta/kertas%20A3.jpg
Menurut data dari badan statistik (2016), Jagoi Babang adalah
kecamatan paling utara dari Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.
Secara geografis, kecamatan Jagoi Babang terletak di 1°15’16” Lintang
Bujur Timur. Sedangkan secara administratif, di sebelah utara berbatasan
dengan Serawak, Malaysia Timur, di sebelah selatan berbatasan dengan
Kecamatan Seluas, di sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Siding,
dan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sambas. Luas wilayah
Jagoi Babang mencapai 655,00 km² dan terbagi dalam 6 desa yaitu, desa
Jagoi, Kumba, Sinar Baru, Gersik, Semunying Jaya, Jagoi Sekida.
Gambar 2: Letak Geografis Jagoi Babang
Sumber: Arifin, 2014
Kecamatan Jagoi Babang dihuni oleh 9.591 jiwa dengan kepadatan
penduduk sebesar 15 jiwa per km². Sedangkan menurut jenis kelaminnya,
jumlah penduduk laki-laki sebanyak 5.341 jiwa dan penduduk perempuan
Tabel 2: Piramida Penduduk Kecamatan Jagoi Babang Tahun 2015
Sumber: BPS Jagoi Babang 2016
Berdasarkan tabel 2, rasio jenis kelamin Kecamatan Jagoi Babang
pada tahun 2015 adalah 126, yang itu artinya setiap 126 penduduk laki-laki
terdapat 100 penduduk perempuan. Sementara itu, desa yang memiliki
tingkat kepadatan paling tinggi adalah Desa Jagoi. Dengan kepadatan
penduduk sebesar 45 jiwa per kilometer persegi. Penduduk dari desa Jagoi
Babang, didominasi oleh dayak (Bedayuh). Meski demikian ada pula
sub-suku dayak lainnya, Jawa, Melayu, Bugis dan seterusnya. Dari data di atas,
kita dapat melihat kondisi di Jagoi Babang, meski tergolong kota kecil
demikian, masyarakat di Jagoi Babang didominasi oleh Dayak Bedayuh.
Dayak Bedayuh menyebar di berbagai tempat, ada yang di Serawak, ada
yang di kecamatan Jagoi, Siding, dan Seluas. Mereka yang menetap di Jagoi
menyebut diri sebagai Bijagoi. Bijagoi merupakan sub dari dayak Bedayuh.
Meski tersebar di berbagai tempat, mereka sadar betul masih memiliki
kesatuan nenek moyang (Siagian,1995). Kesadaran sebagai Bijagoi,
Bidoyoh, Bidayuh yang mengikat mereka secara emosional sehingga mereka
merasa sah-sah saja merayakan upacara adat bersama-sama. Perayaan adat
secara bersama-sama ini dapat kita lihat lewat dua upacara adat yaitu:
Gawai dan Nyobeng.
Gawai adalah syukuran setelah musim panen padi. Biasanya orang
Dayak merayakan sebagai ungkap syukur terhadap Jubata (Pencipta) yang
telah menganugerahi makanan dan memelihara ladang padi mereka. Gawai
dilaksanakan dengan sangat meriah bahkan lebih meriah daripada perayaan
hari besar keagamaan. Bahkan untuk keperluan Gawai, orang dayak siap
memperbaiki dan mendirikan rumah adat baru demi memaksimalkan
perayaan ini. Dengan kata lain, Gawai adalah hari besar bagi orang dayak
yang biasanya dimeriahkan dengan tari-tarian, musik, sampai makan-minum
secara bersama-sama. Gawai kerap dijadikan acara kumpul keluarga besar
yang saling mengunjungi dari rumah ke rumah. Bagi orang Jagoi, Gawai
dilaksanakan setiap tanggal 1 Juni sebagaimana orang dayak Bedayuh di
Serawak merayakannya. Gawai yang dilaksanakan secara serentak ini pun
melintas batas. Upacara ini dipusatkan di rumah adat dan untuk kasus orang
Jagoi, mereka memilih tempat di Bung Jagoi, sebuah bukit tempat
didirikaknnya tugu Bung Kupuak yang menunjukkan ikatan nenek moyang
orang Dayak Bedayuh baik yang ada Serawak maupun di Kalimantan Barat.
Meski mereka berbeda negara, namun tidak turut serta melunturkan
ikatan kultural diantara mereka. Bahkan dengan sadar mereka memilih
memusatkan tempat perayaan di Tugu Bung Kupuak (gambar 5) yang
menjadi simbol ikatan nenek moyang mereka sebagai orang Bedayuh. Tidak
hanya Gawai, tetapi juga upacara adat Nyobeng. Nyobeng adalah upacara
pemandian tengkorak hasil kayau nenek moyang dan upacara ini masih
menjadi rangkaian dari Gawai.
Gambar 3: Tugu Bung Kupak
Sumber: https://jagoibabang.wordpress.com/author/onakpot2012/page/2/ diunduh 11 Mei 2016
Sebagaimana Gawai, upacara adat Nyobeng juga dirayakan
bersama-sama antar negara. Upacara Nyobeng dimaknai sebagai ungkapan
Selain itu, juga sebagai ungkapan penghormatan kepada nenek moyang.
Tidak seperti Gawai yang dilaksanakan di Bung Jagoi, upacara adat
Nyobeng dilakukan di rumah adat Sebujit yang terletak di Kecamatan
Siding.
Meski berbeda kecamatan, orang Sebujit merupakan bagian dari
dayak Bedayuh, mengingat mereka masih serumpun. Sadar atas penyebaran
ini, di rumah adat Sebujit dihiasi oleh dua bendera, yaitu; Malaysia dan
Indonesia. Kesadaran primordial tumbuh subur diantara orang Bedayuh
yang mengesankan batas-batas yang dibuat oleh negara tidak dapat
membatasi ikatan nenek moyang diantara mereka. Singkatnya, menjadi
Bijagoi berarti memiliki keterkaitan secara kultural dengan dayak Bedayuh
yang berada di Malaysia.
Gambar 4: Rumat Adat Sebujit
Dari gambar di atas, menunjukkan dua bendera yang tepat di
pasang di depan pintu rumah adat. Kedua bendera itu pun menjadi simbol
dari dua warganegara yang menjadi tumpuan dari rumah adat tersebut.
Perayaan di rumah adat ini pula dilakukan selang beberapa hari setelah
gawai. Mereka secara bersama-sama merayakan Nyobeng yang menjadi
bagian dari warisan nenek moyang.
Perkebunan kelapa sawit mendominasi pandangan kita selama
dalam perjalanan. Seperti yang dicatat oleh BPS (2016), perkebunan
kelapa sawit di Jagoi Babang memakan lahan penduduk dan hutan dengan
luas yang mencapai 89.758 ha dari luas wilayah Jagoi Babang sebesar
655,00 km². Yang itu artinya, hampir separuh tanaman yang diberdayakan
di Jagoi Babang adalah kelapa sawit. Adapun perbandingannya dengan
jenis-jenis tanaman lainnya dapat dilihat dari tabel statistik.
Gambar 5: Perkebunan Kelapa Sawit di Jalan Dwikora
Tabel 3: Perkebunan di Jagoi Babang
Sumber: data BPS Jagoi Babang tahun 2016
Perkebunan kelapa sawit tersebut dikelola oleh perusahaan secara
langsung dan tidak langsung. Yang tidak langsung karena bekerjasama
dengan petani. Adapun perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang bercokol
di Jagoi Babang yaitu; PT DJI, PT Led Lestari, PT Wirata, PT Aset Pasifik
Internasional, PT WKN, dan PT Ceria Prima. Perusahaan tersebut ada yang
dikelola oleh nasional dan ada pula yang lintas modal atau lintas negara.
Dengan kata lain, ada investasi asing yang ditanamkan di perkebunan sawit
tersebut. Hasil produksi sawit menduduki peringkat paling atas sebanyak
74.618 ton sementara tanaman karet hanya memproduksi sebanyak 23.703
ton. Dari data BPS tahun 2016, sumber pencaharian masyarakat Jagoi
Babang berasal dari perkebunan kelapa sawit.
Tingkat produksi dari kebun kelapa sawit tidak berbanding lurus
dengan pengembangan sumber daya manusia di Jagoi Babang. Seperti yang
putus sekolah cukup tinggi. Sehingga bisa dibayangkan ada anak yang
memilih bekerja untuk membantu perekonomian keluarga termasuk sebagai
buruh dari perkebunan kelapa sawit.
Kondisi di Jagoi Babang tidak hanya ditunjukkan oleh luasnya
perkebunan kelapa sawit, tetapi juga dari kendaraan mereka.
Kendaraan-kendaraan dengan plat asing berlalu lalang di sepanjang jalan Dwikora. Plat
asal Sarawak itu dengan leluasa mondar-mandir. Walau plat asing tapi
belum tentu si pengendaranya juga warga asing. Mengapa? Jual-beli
kendaraan gelap atau istilah orang Serawak disebut kendaraan gusdur sangat
marak. Gelap karena biasanya itu adalah kendaraan hasil curian yang tidak
punya surat menyurat resmi. Kendaraan gelap ini biasanya dijual dengan
harga miring sehingga laris dibeli oleh masyarakat dengan kemampuan
ekonomi menengah ke bawah. Bahkan karena kendaraan-kendaraan tersebut
secara kualitas masih bagus, tidak jarang juga dibeli oleh orang dengan
kemampuan ekonomi menengah ke atas.
Kendaraan-kendaraan asal negara tetangga cenderung lebih kuat
dengan persoalan jalan di Jagoi Babang yang sebagian masih tanah kuning,
berbatu-batu dan berlumpur bila musim penghujan. Biasanya, kendaraan
gelap, terutama roda dua dipakai warga untuk ke kebun karena jarak tempuh
kebun dengan rumah mereka biasanya jauh. Selain itu, juga digunakan
untuk mengangkut pupuk dan hasil produksi pertanian. Akan tetapi,
kendaraan itu tidak mereka gunakan untuk menjangkau daerah-daerah yang
menggunakan kendaraan umum atau kendaraan yang punya surat-surat
resmi. Meski demikian, setidaknya kendaraan gelap tersebut dapat
membantu mereka melakukan aktivitas sehari-hari, seperti ke kebun,
mencari makanan ternak, dan mengangkut hasil panen, petisida, dan pupuk.
Dalam perjalanan ke Jagoi Babang, kita akan berjumpa dengan
papan iklan seperti gambar 3. Papan iklan itu berdiri, tepat di pinggir jalan
Dwikora dari kota kecamatan Jagoi Babang. Iklan tersebut milik Bank
Kalbar.
Gambar 6: Papan Iklan Bank Kal-Bar
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Sekilas hampir tidak ada yang aneh dari iklan tersebut dan baru
kita sadari ada apa-apanya sampai kita berbelanja barang di pasar Jagoi
Babang. Di pasar kita akan disuguhi pertanyaan oleh si pemilik toko dengan
kalimat, mau beli pakai ringgit atau rupiah? Barang-barang yang kita
temukan di pasar sampai warung-warung kelontong memiliki label ganda,
yaitu ringgit dan rupiah. Membeli dengan uang ringgit satuan harganya
yang berasal dari Serawak, maka masyarakat lokal mau tak mau harus
menyediakan ringgit.
Selain barang-barang yang berlabel ganda, ada pula pasar yang
menyatukan antara Jagoi Babang dan Serawak, yaitu pasar Serikin. Pasar ini
terletak di Serikin, Serawak. Namun biasanya yang berjualan adalah
masyarakat lokal Jagoi Babang dan sekitarnya. Pasar ini buka setiap sabtu
dan minggu. Produk-produk yang dijual oleh orang Jagoi Babang biasanya,
berupa kerajinan tangan, sayur-mayur, makanan, hingga kain. Menurut
catatan dari Kantor Bea Cukai Jagoi Babang, barang-barang yang keluar
dari Indonesia biasanya lebih berupa bahan-bahan mentah atau setengah
jadi, sedangkan yang berasal dari Malaysia justru barang-barang siap pakai.1
Adapun tarif yang dikenai pada barang-barang yang masuk maupun keluar
jumlahnya tidak melebihi RM 600 per bulan atau kurang lebih satu juta lima
ratus ribu rupiah. Barang-barang dari Malaysia yang siap jadi membanjiri
pasar Jagoi Babang.
Sampai hari ini, pasar Serikin masih aktif sebagai tempat berjualan
antar masyarakat lokal di perbatasan (gambar 4). Kondisi ini semakin
dipermudah dengan pembangunan jalan darat yang menghubungkan antara
Jagoi Babang dengan Serawak. Proyek jalan raya lintas negara hingga saat
ini masih berjalan. Dengan terbukanya jalan lintas negara tersebut maka
berpotensi menambah ramainya lalu lintas antar negara.
1Hasil wawancara di kantor Bea Cukai Jagoi Babang /28/07/ 2015. Jagoi
Gambar 7: Pasar Serikin
Sumber:https://www.tripadvisor.co.id
Jalan yang tersedia saat ini dapat dilalui oleh sepeda motor dan
mobil walaupun di sana sini, masih ditemukan jalan berlubang dan jembatan
kayu yang rapuh sehingga untuk melewatinya orang harus mengantri.
Kondisi jalan menuju Serawak terbilang aman bila musim kemarau tapi
jangan ditanyakan musim penghujan, karena kita akan berjumpa dengan
kubangan air dan tanah kuning yang becek.
Di samping jalan darat, mereka juga dihubungkan oleh jaringan
informasi seperti jaringan seluler, radio dan tv. Menjadi masayarakat Jagoi
Babang, kita dengan mudah menonton TV Malaysia; TV 1, TV 2, dan TV 3.
Bila masyarakat Jagoi Babang dengan mudah menonton saluran Malaysia,
sebaliknya untuk menonton saluran asal Indonesia, mereka harus membeli
perangkat seperti; Parabola dan TV Kabel. Bila tidak memakai
perangkat-perangkat semacam itu mereka otomatis tidak dapat menyaksikan saluran
Muzik, sedangkan untuk RRI dibutuhkan lokasi-lokasi yang tepat baru
terdengar. Selain itu, dengan adanya jaringan seluler semakin memperlancar
komunikasi diantara mereka sehingga komunikasi tidak terbatas pada
perjumpaan fisik tetapi juga lewat virtual.
Setelah melewati kota Jagoi Babang, kita pun disambut dengan barisan
pos-pos jaga, tugu perbatasan dan patok batas yang terletak kurang lebih 4
km dari garis sempadan. Di area ini, terdapat barisan pos-pos jaga; Imigrasi,
Bea Cukai, Polisi, dan TNI. Material itu menjadi simbol kecamatan Jagoi
Babang sebagai area tapal batas yang dimaksudkan untuk menandai
kedaulatan negara atas teritorialnya.
Kabupaten Bengkayang memiliki tiga pintu perbatasan; Jagoi
Babang, Siding, dan Separan. Namun, secara geografis kecamatan Jagoi
Babang paling dekat untuk menghubungkan antara Pontianak dan Kucing,
Serawak. Meski demikian, pos lintas batas di Jagoi Babang baru didirikan
atas hasil pembicaraan lewat forum Sosek Malindo pada tanggal 18 Juni
2008 di Pontianak. Sampai saat ini, Jagoi Babang masih berstatus PLB,
yang berarti hanya diperkenankan untuk masyarakat lokal yang hendak
melintas batas dengan menggunakan pas lintas batas (PLB) dengan
Gambar 8: Tugu Perbatasan Jagoi Babang
Sumber: dokumentasi pribadi
Gambar 9: Pos Terpadu di Jagoi Babang
C. Jagoi Babang di Mata Guru-guru
Meski Jagoi Babang adalah kawasan perbatasan, namun sekolah di
kota Kecamatan Jagoi Babang dapat dikatakan lengkap. Di kota Kecamatan
Jagoi Babang tersedia 2 unit TK, 16 unit SD, 4 Unit SMP, dan 2 unit SMA.
Adapun tenaga guru dan jumlah murid di Jagoi Babang perbandingannya
pada tahun 2015 dapat dilihat dari tabel 3.
Tabel 4: Rasio murid terhadap guru
Sumber: Kecamatan Jagoi Babang Dalam Angka 2016
Di tingkat SD dengan murid 1.916, jumlah guru sebanyak 211
orang, SMP dengan jumlah murid 482, tenaga guru yang ada 92 orang, dan
untuk SMA dengan murid 281, jumlah guru 42 orang. Berdasarkan tabel
rasio di atas tampak, rasio murid terhadap guru untuk SD, menurun dari 15
tahun 2013 menjadi 14 di tahun 2015. Rasio guru untuk SMP meningkat
Meski ada peningkatan rasio guru pada jenjang SMP dan SMA namun
angka putus sekolah masih tinggi. Seperti yang dinyatakan oleh Viktor2,
bahwa angka putus sekolah yang masih tinggi karena dipicu juga oleh
tingkat kemiskinan, sehingga anak-anak memilih bekerja ke Malaysia untuk
membantu perekonomian keluarga. Tidak hanya murid-murid yang putus
sekolah dan memilih bekerja ke Malaysia, tetapi adapula guru-guru yang
sesuai mengajar, bekerja sebagai tukang ojek ke perbatasan. Menurut
Viktor, kondisi tersebut sah-sah aja sselama tidak menganggu proses belajar
mengajar. Apalagi mengingat tidak semua guru mendapatkan tunjangan
khusus perbatasan, ucapnya. Sedangkan terkait dengan persoalan
kurikulum, diakui oleh Viktor, meski daerah ini khusus, namun konsep
pendidikannya tidak ada yang khusus. Itu artinya, apa yang diajarkan di
tempat lain, diajarkan juga di daerah ini. Walaupun masyarakat Jagoi
Babang memiliki ikatan kultural dengan masyarakat di Serawak. Seperti
yang diungkapkan oleh Viktor sebagai berikut:
Bagi masyarakat di sini, Malaysia dan Indonesia sama saja. Karena mereka merasa sebahasa dan sesuku. Jadi banyaklah kekeluargaanya.
Menurut Viktor, orang Jagoi menganggap mereka berasal dari
Malaysia seperti yang ditunjukkan oleh rumah adat mereka yang memiliki
gambar dua burung. Dari dua burung itu ada yang menghadap ke Malaysia
yang menunjukkan nenek moyang mereka berasal dari Sarawak. Karena
ikatan itu pula, mereka sering melintas batas, ucapnya. Meski Viktor, adalah
suku pendatang, tepatnya berasal dari Nusa Tenggara Timus, ia pun sering
melintas batas. Ia melintas batas dengan motif ekonomi, apalagi di Jagoi
Babang, barang-barang didominasi dari negeri jiran. Oleh karena, tinggal di
Jagoi Babang mau tak mau harus memiliki persediaan mata uang Ringgit.
Tinggal di Jagoi Babang, orang mau tak mau harus melintas batas. Seperti
yang dialami oleh guru-guru di Jagoi Babang.
Gambar 10: Kepala Sekolah dan murid-murid SDN I di Jagoi Babang
(dokumentasi pribadi.2015)
Lewat wawancara saya dengan guru-guru, saya mendapati mereka
pernah melintas batas dengan beragam motivasi, ada yang sekedar
jalan-jalan dan ada pula untuk bertemu saudara. Dari pengalaman melintas batas
itu, mereka melihat Serawak lebih maju dan bersih. Seperti yang ditutur
“di sudut-sudut kota, kita lebih banyak menemukan peringatan untuk tidak membuang sampah, berbeda dengan di sini, kita akan lebih banyak berjumpa dengan iklan rokok”.
Menurutnya, kota Serawak tidak hanya maju, dan bersih tetapi juga
tertib. Di jalan-jalan raya, kita lebih banyak bertemu pengendara roda
empat dibandingkan roda dua. Bisa dikatakan, orang yang mengendarai
roda dua itu TKI, ungkapnya. Pengendara mobil-mobil di Serawak lebih
teratur, tidak seperti di Jagoi Babang yang pengendaranya sering
ngebut-ngebutan dan menyalip pengendara lain. Selain itu, angkutan umum, di
Serawak lebih tepat waktu, sedangkan di Jagoi Babang, harus menunggu
bus penuh terlebih dahulu.
Meski demikian, bukan berati Serawak selalu unggul, ungkap
Ashadi.4 Menurutnya, di Jagoi Babang hampir setiap kampung ada listrik
dan jalan raya. Sedangkan di sana (Malaysia) hanya daerah-daerah tertentu
yang dialiri listrik dan jalan raya. Kadang ada kampung-kampung yang
tidak dialiri listrik dan hanya disediakan Genset untuk mereka mengurus
sendiri. Sementara di Jagoi Babang hampir semua kampung menjadi
perhatian. Kalau “di sana” tidak semua tempat itu dibangun, melainkan
tempat-tempat yang menguntungkan secara “ekonomi”. Ia merasa hampir
tidak ada masyarakat Jagoi Babang yang berniat menjadi warga Malaysia.
Mengingat Jagoi Babang termasuk daerah perbatasan yang maju
sedangkan orang-orang yang pindah kewargaan, biasanya karena kondisi