• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengalaman keseharian guru guru di Jagoi Babang negosiasi atas wacana tapal batas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengalaman keseharian guru guru di Jagoi Babang negosiasi atas wacana tapal batas"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

PENGALAMAN KESEHARIAN GURU-GURU DI JAGOI

BABANG: NEGOSIASI ATAS WACANA TAPAL BATAS

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humiora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata

Dharma

Oleh :

Ervina Panduwinata Rete

136322010

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

PENGALAMAN KESEHARIAN GURU-GURU DI JAGOI

BABANG: NEGOSIASI ATAS WACANA TAPAL BATAS

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humiora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata

Dharma

Oleh :

Ervina Panduwinata Rete

136322010

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

To survive the Borderlands: you must live

sin fronteras

, be a

crossroads.

(8)

KATA PENGANTAR

Tesis ini adalah bagian dari proses saya menuju pendewasaan secara

intelektual. Sebuah perjalanan untuk memberi makna pada lingkungan di

mana saya dilahirkan dan tumbuh-berkembang. Meski tesis ini tidak

berupaya memberi jawaban atas persoalan yang dihadapi oleh masyarakat

perbatasan, tetapi saya yakin tesis ini menyumbangkan pemahaman yang

lain dalam memaknai pengalaman guru di perbatasan sehingga membuka

perspektif yang lebih beragam.

Dalam penyusunan tesis ini tidaklah mulus. Ada tantangan yang

silih berganti. Oleh sebab itu, lewat kesempatan ini saya mau berterima

kasih kepada semua pihak yang sudah banyak membantu dan mendukung

saya selama proses penyusunan tesis ini. Pertama-tama, saya menghaturkan

terima kasih kepada Pak Praktik selaku dosen pembimbing yang telah

membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan, saran serta

masukan selama penyusunan tesis ini. Dan juga saya ucapkan terima kasih

kepada seluruh dosen IRB yang dengan caranya masing-masing telah

berperan, baik dalam proses penyusunan tesis ini maupun selama proses

belajar saya di IRB. Tidak lupa juga saya ucapkan terima kasih atas Mbak

(9)

Mbak Dita yang menginformasikan jadwal bimbingan, serta Pak Mul yang

diandalkan dalam urusan logistik di IRB.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Pak Anton Haryono,

karena merekomendasikan untuk melanjutkan studi di pasca sarjana di IRB.

Dan juga saya berterima kasih kepada seluruh guru Jagoi Babang yang

bersedia menjadi narasumber dalam penelitian ini, baik guru di SDN 1 Jagoi

Babang, SMPN 1 Jagoi Babang dan SMAN 1 Jagoi Babang serta Pak Viktor

selaku Kepala UPT Pendidikan Jagoi Babang yang telah mengijinkan saya

untuk mewawancarai guru-guru di Jagoi Babang. Terima kasih juga untuk

staf dari Kantor Imigrasi Jagoi Babang dan Bea Cukai yang sudah

mendukung dalam pengambilan data di Jagoi Babang. Tak lupa, saya

berterima kasih kepada teman-teman IRB, terutama untuk angkatan 2013;

Anne, teman diskusi baik dalam penyusunan tesis ini maupun selama saya

berproses belajar di IRB, Daeng Umar yang telah memberi masukan untuk

tesis ini dan teman ngopi dikala pikiran sedang buntu, Hans teman diskusi

dan memberi kesempatan saya untuk mengakses internet di kostnya.

Felomena, teman curhat dan yang menemani saya saat ngelembur. Mas

Noel, yang juga banyak membantu saya selama belajar di IRB terutama

untuk referensi yang berbahasa asing dan persoalan yang berkaitan dengan

media dan teknologi. Romo Koko, teman ngopi, diskusi, dan kadang

nasehatnya bikin saya bersemangat. Padmo, teman diskusi dan ide-idenya

yang menginspirasi saya. Cahyo, teman yang baik hati, serta semua

(10)

saya belajar di IRB; Mas Antok, Umi, Kak Jolni, Mas Andre, Kak Phomat,

Lukas, Pak Riwi, Pak Alfons, dan Pak Efraim. Terima kasih juga untuk

kelompok belajar Jangkrik dan teman-teman lintas angkatan yang tidak

dapat saya sebut satu persatu tapi kalian selalu membuat saya bersemangat

untuk ke kampus. Lalu, terima kasih untuk dek Windi yang telah membantu

dan meluangkan waktu bersama saya selama di Jogja.

Saya ucapkan terima kasih yang tidak terhingga untuk orang-orang

yang berharga dalam hidup saya, terutama kedua orang tua saya yaitu;

Lambertus Rete dan Teresia serta ketiga kakak tercinta saya; Yuliana,

Valentina, dan Paulina yang tidak pernah lelah mendukung dan mendoakan

jalan apapun yang saya pilih meski itu terkadang aneh. Saya percaya dengan

terselesainya tesis ini juga karena doa-doa mereka. Saya juga berterima

kasih untuk Uyus dan keluarga yang setia mendukung dan menyemangati

saya untuk menyelesaikan tesis ini. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih

kepada Yesus Kristus atas konspirasi canggihnya.

Yogyakarta, 13 Juli 2017

(11)

ABSTRAK

Permasalahan masyarakat perbatasan adalah persoalan ikatan yang melampaui batas. Karena ikatan itu pula mereka kerap diberi label ganda oleh masyarakat lainnya. Pengalaman semacam itu yang dihadapi oleh guru-guru di Jagoi Babang. Sebagai guru-guru, mereka wajib menumbuhkan rasa solidaritas nasional dan sebagai bagian dari masyarakat lokal, mereka memiliki ikatan melampaui batas. Paralel dengan nalar Edwards Soja, penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap yaitu; material, wacana, dan praktik keseharian. Hasilnya, keterkaitan antara Jagoi Babang dengan Serawak sampai pada fase simbolik. Masyarakat lokal mengakui keterkaitan kultural yang melampaui batas sebagaimana yang ditunjukkan lewat material Rumah Adat suku Dayak Bedayuh dan barang-barang yang berlabel ganda (Rupiah dan Ringgit). Sedangkan dari sisi wacana, Jagoi Babang digambarkan sebagai area tapal batas yang kaku dan harus dijaga ketat, diawasi, hingga orang-orangnya pun pantas dicurigai. Dari sisi praktik keseharian, aktivitas melintas batas adalah ruang ketiga, yang menegosiasikan ikatan keluarga, kultural, dan ekonomi yang melampui batas. Dengan kata lain, dalam aktivitas melintas batas itulah ruang ketiga ditemui. Dalam kasus ini, menjadi guru di Jagoi Babang berarti menjadi guru yang melintas batas yang mau tak mau harus bernegosiasi atas wacana tapal batas.

(12)

ABSTRACT

The problem faced by people living on the borderline is their social bond that overrides the borderline itself. Thus the bond engenders double labeling attached to them. These conditions experienced by the teachers in Jago Babang. As teachers, they have to nurture national solidarity, at the same time being part of the local society whose bonds that override the borderline. In accordance with Edward Soja’s the way of thinking, this research divided into three spaces, i.e. material, discourses, and daily practice. Furthermore, the relation between Jagoi Babang and Serawak reach the symbolic phase. In the material space, local people acknowledge cultural tie that overrides the borderline as shown on Rumah Adat of Dayak Bedayuh tribe and other materials with double labels (e.g. Rupiah and Ringgit, Indonesian and Malaysian currency). While from the discourse side, Jagoi Babang described as a rigid borderline area, which must be closely guarded, watched, controlled, thus the cross border people deserved suspicion. In terms of daily practice, cross-border activity can be considered as the third space, which negotiates family, cultural, and economic ties beyond the boundaries. In other words, the third space can be found in the crossing-border activity. In this case, being a teacher in Jagoi Babang means to be a crossing-border teacher that inevitably negotiate over the boundary discourse.

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAM AN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

PERNYATAAN KEASLIAN... iv

PERNYATAAN PUBLIKASI... v

HALAMAN PERSEMBAHAN... vi

KATA PENGANTAR... vii

ABSTRAK... x

ABSTRACT... xi

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR GAMBAR... xiv

DAFTAR TABEL... xv

BAB I: PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Tema Penelitian... 7

C. Rumusan Masalah... 7

D. Tujuan Penelitian... 7

E. Pentingnya Penelitian... 8

F. Kajian Pustaka... 10

(14)

H. Metode Penelitian... 23

I. Sistematika Penulisan... 26

BAB II: KONDISI MATERIAL DI JAGOI BABANG... 27

A. Pengantar... 27

B. Gambaran Umum Jagoi Babang... 28

C. Jagoi Babang di Mata Guru-guru... 42

BAB III: WACANA TAPAL BATAS DI JAGOI BABANG ... 50

A. Pengantar... 50

B. Tapal Batas dari Masa ke Masa... 51

C. Tapal Batas Pasca Reformasi... 64

D. Jagoi Babang sebagai Tapal Batas... 66

BAB IV: NEGOSIASI MELALUI AKTIVITAS MELINTAS BATAS... 73

A. Pengantar... 73

B. Jagoi Babang: Titik Temu Antara Area di era Modern Padat dan Cair... 74

C. Aktivitas Keseharian Guru-guru di Jagoi Babang... D. Negosiasi Guru-guru di Jagoi Babang... 77 86 BAB V: PENUTUP... 93

A. Kesimpulan... 93

B. Saran... 96

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Peta Jagoi Babang... 28

Gambar 2 Letak geografi Jagoi Babang... 29

Gambar 3 Tugu Bung Kupuak... 32

Gambar 4 Rumah Adat Sebujit... 33

Gambar 5 Kebun Sawit... 34

Gambar 6 Papan Iklan Bank-Kalbar... 37

Gambar 7 Pasar Serikin... 39

Gambar 8 Tugu Perbatasan Jagoi Babang... 41

Gambar 9 Gambar 10 Gambar 11 Pos Terpadu Jagoi Babang... Kepala Sekolah dan murid-murid SDN I di Jagoi Babang... Surat penghargaan atas penangkapan PGRS dan Paraku.... 41

Tabel 2 Piramida Penduduk Kecamatan Jagoi Babang Tahun 2015.. 31

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat di perbatasan sering diberi label ganda (identitas ganda,

loyalitas ganda, sampai berkewargaan ganda) oleh media. Mereka

digambarkan sedemikian rupa karena memiliki ikatan yang melampaui

batas teritorial. Gambaran semacam ini dapat kita lihat dari fenomena warga

perbatasan di Nunukan, Kalimantan Utara, yang dikabarkan berpindah

kewargaan di akhir tahun 2014 lalu. Berbagai media massa mewacana

fenomena tersebut mulai dari antaranews.com1, liputan6.com2,

merdeka.com3, okezone.com4, beritasatu.com5, republika.com6,

kompas.com7, detik.com8, suara.com9.

(17)

Berita dari media itu pun menuliskan bahwa tingkat kemiskinan

yang tinggi, keterbatasan infrastruktur dan pelayanan publik yang tidak

maksimal membuat warga di perbatasan mudah tergiur “janji manis” negara

lain. Pandangan ini kemudian menuai polemik dan menjadi perdebatan di

masyarakat. Seperti yang terjadi dalam pembicaraan kaskus.co.id (diakses,

2016)dengan topik “setuju nggak kalo daerah perbatasan pindah negara?”.

Alih-alih menerima ada ikatan yang melampaui batas, pembicaraan tersebut

justru terbelah antara yang pro dan kontra. Pihak yang pro, cenderung

melihat warga perbatasan itu miskin, kurang perhatian pemerintah sehingga

wajar bila mereka pindah warganegara. Sedangkan pihak yang kontra

merasa warga perbatasan kurang sabar dalam menunggu pembangunan dari

pemerintah. Pemberian label ganda itu tidak hanya terjadi lewat berita di

surat kabar, tetapi juga lewat beberapa film seperti, Batas dan Tanah Surga

Katanya. Kedua film itu merepresentasikan kondisi masyarakat perbatasan

yang mengalami krisis solidaritas nasional. Fenomena di atas

memperlihatkan pandangan dominan orang dalam membicarakan

masyarakat di perbatasan. Masyarakat di perbatasan dengan mudah diberi

atribut ganda tanpa melihat kembali kondisi macam apa yang mereka hadapi

sehari-hari. Karena lahir dan tumbuh di perbatasan, tepatnya di Kecamatan

Seluas, Kabupaten Bengkayang,10 saya terbiasa melihat orang di perbatasan

melintas batas. Karena mereka memiliki ikatan-ikatan yang melampaui

batas. Melintas batas di dua negara yang pernah berperang di era Soekarno

10

(18)

peta.http://www.batasnegeri.com/potret-camar-bulan-dusun-terluar-indonesia-di-dan kerap bersengketa karena masalah batas teritorial, olahraga, TKI,

hingga produk budaya. Meski hubungan politis kedua negara naik turun,

orang perbatasan tetap berinteraksi. Interaksi itu mewujud lewat kebiasaan

mendengar siaran radio, menonton siaran tv, mengkonsumsi barang-barang,

sampai hapal lagu kebangsaan negeri jiran itu. Bahkan memiliki saudara

yang menetap di Serawak.

Secara kultural, Serawak hampir tidak ada bedanya dengan

daerah-daerah di Kalimantan Barat. Persamaan itu karena ikatan nenek moyang

(bdk. Eilenberg, 2012:25, Arifin, 2014:168). Ikatan suku Dayak yang

mendiami demarkasi sepanjang 2.004 km sampai hari ini masih kita jumpai

ada dari mereka yang sebahasa. Mereka serumpun berbeda batang yang

dipisahkan kolonial lewat pembentukan garis 4°10” Lintang Utara yang

bermula dari Pantai Timur Kalimantan ditarik ke arah Barat sampai Tanjung

Datu telah membagi Borneo menjadi milik Inggris dan Belanda (Arifin,

2014:101). Batas yang dibagi-bagi kolonial tersebut diwarisi oleh Indonesia

dan Malaysia.

Pembentukan tapal batas membuat pergaulan mereka tidak leluasa

misalnya, untuk berjumpa mereka harus melalui proses interogasi

berkali-kali dan harus melapor di setiap pos penjagaan. Pembatasan atas tubuh itu

dibuat demi menjaga kedaulatan negara yang kehadiran negara di tapal

batas masih sering dipertanyakan. Wacana tentang tapal batas mewarisi

narasi kolonial yang membentuk batas untuk menghadapi migrasi yang

(19)

ketat, sampai orang-orangnya pun pantas dicurigai. Narasi kolonial itu pula

tampak pada wacana dominan dalam membayangkan tapal batas yang

cenderung kaku sebagaimana yang tergambarkan lewat kartografi (tetap dan

kaku). Model pembayangan itu pula yang memposisikan orang-orang yang

punya ikatan melampui batas seolah-olah menjadi anak haram. Dan karena

itu, mereka yang kemudian menjadi lahan subur untuk proyek yang

bertemakan nasionalisme. Pendekatan top down semacam itu paling mudah

kita lihat dari pembangunan material yang mewujud lewat pos-pos imigrasi,

tugu perbatasan, patok-patok batas yang disakralkan. Material itu

memperlihatkan seperti apa negara mencerna daerah perbatasan dan

memperlakukan masyarakatnya.

Namun apa yang dibayangkan oleh negara tidak melulu semakna

dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat di perbatasan. Pembentukan

tapal batas tidak berarti melunturkan keterikatan masyarakat yang

melampaui batas. Pengalaman ini persis seperti yang dialami oleh suku

Melayu yang berada di Batam (Dedees,2015). Meski mereka tersebar di tiga

negara yaitu, Indonesia, Malaysia, dan Singapura, namun tidak sertamerta

melunturkan ikatan kemelayuan. Pengalaman hidup orang Melayu di Batam

yang berdektan dengan dua negara lainnya turut memengaruhi mereka

dalam membayangkan menjadi Indonesia. Bahwa orang Melayu di

Kepulauan Batam mengaku mencintai dan membela Indonesia dengan

kondisi yang “terbelah”, karena pada saat yang bersamaan juga beririsan

(20)

itu pula membawa konsekuensi pada rasa nasionalisme yang “terbelah”.

Dengan kata lain, pengalaman kesejarahan sebagai warganegara Indonesia

dan ikatan kultural yang melampaui batas menjadi keunikan orang Melayu

di Batam dalam membayangkan menjadi Indonesia.

Kasus di atas memperlihatkan ikatan politis dibayang-bayangi oleh

ikatan kultural. Meski berbeda negara, ikatan kultural di antara orang

Melayu tidak benar-benar luntur. Yang itu artinya persoalan tentang tapal

batas tidak benar-benar selesai. Kondisi itu menunjukkan apa yang

diwacanakan oleh negara belum tentu semakna dengan apa yang dilakukan

oleh masyarakat perbatasan dan itu kemudian yang memotivasi saya untuk

melihat ruang negosiasi macam apa yang dilakukan oleh masyarakat

perbatasan ketika berhadapan dengan wacana dominan tentang tapal batas.

Dengan kata lain, daya negosiasi itu hadir lewat praktik sehari-hari

masyarakat di perbatasan.

Sepakat dengan gagasan Soja (1996) tentang ruang ketiga

(Thirdspace). Soja melampaui ruang yang sering kali didefinisi secara biner

(firstspace dan secondspace) dengan membuka perspektif yang baru atau

yang disebut dengan ruang ketiga. Ruang pertama yang dimaksud oleh Soja

adalah material (real), ruang kedua adalah interpretasi atas ruang pertama

(imagined), di antara real dan imagined itu pula ada ruang yang lain atau

disebut dengan ruang ketiga (praktik keseharian). Ruang ketiga sebagai

strategi menghadapi ruang yang tampak biner tersebut. Ketiga sisi itu saling

(21)

diseragamkan. Dengan mengikuti gagasan Soja, saya mengidentifikasi

negosiasi yang dilakukan oleh masyarakat perbatasan yang berada pada

tataran praktik sehari-hari.

Penelusuran tentang negosiasi masyarakat di perbatasan, tepatnya

di Kecamatan Jagoi Babang. Jagoi Babang berbatasan langsung dengan

Serikin, Serawak yang masyakaratnya pun masih memiliki ikatan nenek

moyang (Siagian,1995). Saya melihat persoalan itu dari pengalaman

keseharian guru-guru di Kecamatan Jagoi Babang. Berprofesi sebagai guru,

otomatis orang memiliki tanggungjawab untuk mengenalkan keindonesiaan

kepada peserta didik, yang itu artinya, ia harus tunduk pada wacana

dominan dalam membayangkan tapal batas (ikatan politis) sedangkan dalam

kehidupan sehari-hari, guru memiliki ikatan-ikatan yang melampaui batas.

Oleh karena itu menjadi penting untuk melihat negosiasi macam apa yang

dilakukan oleh guru di Kecamatan Jagoi Babang.

Penelitian yang diberi judul Pengalaman Keseharian Guru-guru di

Jagoi Babang: Negosiasi Atas Wacana Tapal Batas, berbicara mengenai

negosiasi yang dilakukan guru di tengah wacana dominan tentang tapal

batas yang erat kaitannya dengan ikatan politis di tengah ikatan yang

melampaui batas. Penelitian ini terbatas pada pengalaman keseharian guru

dalam memaknai diri agar tidak bertambah asing di tengah kenyataan

(22)

B. Tema Penelitian

Negosiasi guru Jagoi Babang sebagai ruang ketiga atas wacana tapal batas.

C. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, Jagoi Babang adalah salah satu

kecamatan di Kabupaten Bengkayang, yang masyarakatnya memiliki ikatan

melampui batas. Sedangkan berprofesi sebagai guru, orang mau tak mau

tunduk pada wacana dominan dalam membayangkan Jagoi Babang sebagai

tapal batas. Di tengah kondisi tersebut, lantas negosiasi macam apa yang

dilakukan guru? Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:

1. Seperti apa kondisi material di Jagoi Babang?

2. Wacana apa yang mendominasi dalam membayangkan Jagoi Babang?

3. Negosiasi macam apa yang dilakukan oleh guru-guru di Jagoi Babang

atas wacana tapal batas?

D. Tujuan Penelitian

1. Melihat kondisi material di Jagoi Babang.

2. Membaca wacana yang mendominasi dalam membayangkan Jagoi

Babang

3. Mengidentifikasi negosiasi yang dilakukan oleh guru-guru di Jagoi

(23)

E. Pentingnya Penelitian

Pentingnya penelitian ini sebagai berikut:

1. Pengembangan Ilmu Pengetahuan Humaniora

Penelitian ini untuk menambah ilmu pengetahuan kita dalam

melihat masyarakat di tapal batas. Berangkat dari pandangan dominan yang

memberi label ganda pada masyarakat di tapal batas tanpa memeriksa

terlebih dahulu kondisi macam apa yang dihadapi oleh orang di perbatasan.

Untuk menghadapi pandangan tersebut, saya mengidentifikasi negosiasi

yang dilakukan oleh guru-guru di Jagoi Babang sebagai ruang ketiga atas

kondisi material dan wacana tapal batas. Penelitian ini melalui tiga tahapan

yaitu; material, interpetasi atas material, dan negosiasi. Dengan

mengidentifikasi negosiasi yag dilakukan oleh guru-guru di Jagoi Babang,

membuka perspektif yang lebih beragam dalam melihat masyarakat di

perbatasan.

2. Penulis

Penelitian ini sebagai salah satu cara bagi saya untuk

mendewasakan diri secara intelektual. Dengan mempelajari ilmu humaniora

yang lintas disiplin, saya belajar membaca fenomena di lingkungan sekitar

dengan perspektif kajian budaya. Seperti dalam kasus ini, saya sebagai

orang yang lahir dan tumbuh di perbatasan mencoba melihat kembali

(24)

ini saya melihat dengan kacamata kajian budaya yang lintas disiplin. Dalam

kasus ini, saya mengkombinasikan pandangan Edwards Soja dan Zygmunt

Bauman untuk mengidentifikasi negosiasi masyarakat perbatasan lewat

pengalaman keseharian guru Jagoi Babang. Penelitian ini juga sebagai salah

satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan studi pasca

sarjana di program Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma,

Yogyakarta.

3. Guru dan Pemerhati Perbatasan

Untuk guru di perbatasan penelitian ini adalah refleksi atas

tindakannya sehari-hari. Dengan memahami apa yang mereka lakukan

sehari-hari diharapkan guru tidak bertambah asing di tengah kenyataan

persoalannya dan berposisi atas pandangan yang dominan tentang tapal

batas.

Untuk pemerhati perbatasan, penelitian ini mencoba melihat

pandangan masyarakat setempat dalam mendefinisikan diri di tengah

pandangan yang cenderung top-down. Lewat penelitian ini, saya

mengidentifikasi negosiasi guru-guru di Jagoi Babang di antara kondisi

material dan bayangan tentang Jagoi Babang. Negosiasi ini dapat dijadikan

referensi untuk membicarakan masyarakat di tapal batas dan sebagai upaya

(25)

F. Kajian Pustaka

Penelitian tentang masyarakat di perbatasan sudah pernah dilakukan

oleh salah satu mahasiswi Ilmu Religi dan Budaya yaitu Novelina Laleba

(2010). Tesis dengan judul, Identitas Kebangsaan Masyarakat Pulau

Miangas Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara yang berbatasan dengan

Filipina Selatan. Lewat penelitian ini, ia menyatakan bahwa Miangas

sebagai ruang liminal di mana warga beridentitas ambivalen dan resistensi.

Hal ini, terkait dengan resistensi terhadap pendudukan negara Filipina dan

di satu sisi juga resistensi dengan NKRI sehingga terjadi tarik menarik

antara identitas lokal dan nasional (NKRI), yang kemudian muncul

kontestasi antara identitas lokal Miangas dengan identitas yang dibawa oleh

NKRI. Menurutnya, warga Miangas berada sebagai in-between citizenship.

Novelina menggunakan pendekatan pascakolonial dan sensitif

terhadap pengalaman warga Miangas dalam mengidentifikasi diri. Akan

tetapi, konteks perbatasan antara Miangas dan Filipina agak berbeda dengan

perbatasan Kalimantan-Malaysia yang cenderung cair. Di sini, saya akan

mengapresiasi tulisan yang relevan untuk membicarakan perbatasan

Malaysia-Indonesia di pulau Borneo.

1. Keterkaitan Masyarakat di Perbatasan

Kata serumpun berbeda batang tampak relevan untuk membicarakan

masyarakat di tapal batas. Semula ini adalah judul buku dari penelitian yang

(26)

masyarakat pulau Sebatik. Sebatik terletak di sebelah timur laut Kalimantan.

Secara administratif, Sebatik bagian dari Provinsi Kalimantan Utara. Pulau

ini terbagi menjadi dua, sebelah utara milik Malaysia dan sebelah selatan

milik Indonesia. Pulau ini dibagi atas konvensi yang pertama (1891) kali

antara Inggris dan Belanda dalam menentukan batas-batas kekuasaan

mereka di pulau Borneo.

Masyarakat Sebatik sering melintas batas ke Tawau (Sabah,

Malaysia). Di Sebatik, melintas batas sudah menjadi kebiasaan sehari-hari

mereka. Ada dua alasan yang memotivasi mereka melintas batas yaitu;

ekonomi dan kultural. Meski demikian, motif ekonomi lebih mendominasi

daripada kultural. Pertama, untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga,

seperti tabung gas, pupuk, alat elektronik, minyak goreng, dan sebagainya.

Di mata orang Sebatik, barang-barang yang mereka peroleh dari Tawau

(Sabah) lebih terjamin kualitasnya dibandingkan dengan barang-barang

produk lokal yang terasa lebih mahal dan tidak sebanding dengan

kualitasnya, kedua, sebagian besar petani di Sebatik menjual hasil pertanian,

perkebunan (kelapa Sawit) dan hutan mereka ke Tawau (Sabah) karena

mengingat pasar di sana lebih potensial dibandingkan kota-kota lokal seperti

Nunukan dan Tarakan, ketiga, untuk mencari pekerjaan. Peluang kerja di

negeri jiran lebih terbuka dengan tingkat kemajuan kota tersebut. Tidak

hanya orang lokal yang melintas batas untuk mencari kerja tetapi juga warga

(27)

Aktivitas melintas batas tercatat sejak tahun 1960-an. Seperti yang

kita ketahui di tahun itu terjadi konfrontasi antara Indonesia-Malaysia.

Meski demikian, orang-orang yang tinggal di area tersebut sampai saat ini

masih saling berinteraksi dan tetap melintas batas. Kondisi Tawau yang

lebih maju daripada Sebatik membuat orang-orang berduyun-duyun

mengais rezeki di negeri jiran. Banyak dari mereka yang menjadi TKI dan

ada pula yang menetap menjadi warga Malaysia. Selain karena pekerjaan,

masyarakat Sebatik pun digambarkan sangat bergantung dengan

produk-produk Malaysia bahkan mereka juga menggunakan dua mata uang

sekaligus.

Bila di pulau Sebatik, orang melintas batas lebih didominsi oleh

motivasi ekonomi, penelitian yang dilakukan oleh Eilenberg (2012) yang

mengkaji Dayak Iban yang menetap di perbatasan antara Kabupaten Kapuas

Hulu di Kalimantan Barat dengan Serawak menunjukkan fenomena

melintas batas karena motivasi kultural. Secara etnis, Dayak Iban di

Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, masih memiliki ikatan nenek

moyang dengan Dayak di Serawak. Ikatan kultural ini pula yang turut

berkontribusi pada pembentukan relasi yang cair antar masyarakat di

perbatasan. Menurut Eilenberg (2012), keterikatan ini turut andil dalam

mempengaruhi identitas Dayak Iban yang tampak memiliki loyalitas

melampaui batas-batas teritorialnya. Namun, dapat pula menimbulkan

kebangkitan lokal yang disebabkan loyalitas nasional yang kuat. Lewat

(28)

Kalimantan Barat-Sarawak adalah perbatasan yang cair dan fluktuaktif

(Eilenberg, 2012: ). Penelitian Eilenberg (2012) tampak sensitif terhadap

kehidupan warga di perbatasan. Ia memperlihatkan dinamika di perbatasan

itu yang naik-turun sebagai konsekuensi perjalanan historis yang

membentuk area tersebut. Seperti yang ia paparkan bahwa kolonial yang

awal mula membentuk batas-batas di wilayah tersebut dan kemudian

dipertegaskan oleh negara yang mewarisi yaitu; Malaysia dan Indonesia.

Sejak pembentukan awal tapal batas, masyarakat lokal tidak

diikutkan serta (Arifin, 2014). Sejarah mencatat, pembagian wilayah Borneo

dibagi atas dasar kesepakatan antara Inggris dan Belanda dengan melalui

tiga tahap konvensi yaitu; menentukan titik koordinat di peta, di air, dan di

gunung. Penentuan tapal batas yang terkesan semena-mena ini membawa

konsekuensi, seperti yang dikatakan oleh Dave Lumenta (2015),orang yang

menetap di tapal batas (Indonesia-Malaysia) cenderungmoderat dan terbuka

terhadap perubahan. Mereka yang lebih banyak melakukan aktivitas

ekonomi di wilayah Sarawak, nasionalisme menjadi urusan yang semu, dan

dalam berbagai sisi, tidak relevan.Orang di tapal batas cenderung memiliki

ikatan melampaui batas teritorialnya. Batas yang mereka pahami tidak sama

dengan apa yang dimaknai oleh negara yang melihat batas-batas itu secara

kaku sedangkan bagi masyarakat lokal justru sebaliknya.

Konteks di atas memperlihatkan bahwa batas yang kita kenal saat ini

adalah batas yang mengikuti narasi kolonial dan semakin dipertegas oleh

(29)

top-down untuk membedakan antara kekuasaan Inggris dan Belanda. Dengan

mengikuti narasi kolonial, batas yang kita kenal saat ini adalah buatan

kolonial yang belum tentu semakna dengan batas yang dipahami oleh

masyarakat lokal yang telah mendiami wilayah itu secara turun temurun.

Seperti yang dipaparkan oleh Eilenberg (2012), Dayak Iban di perbatasan

Kapuas Hulu-Serawak memiliki ikatan primordial. Yang itu artinya batas

yang mereka pahami belum tentu sama dengan batas yang kita pahami saat

ini. Atasnama itu, pengalaman melintas batas dapat dikatakan sebagai cara

mereka hidup.

2. Model Interaksi Antar Masyarakat di Perbatasan

Menurut Arifin (2014) keterkaitan perbatasan antara Kalimantan

Barat-Serawak meliputi berbagai aspek mulai dari ekonomi, kultural, jalan

raya, jaringan informasi dan saat ini yang sedang berjalan adalah impor

listrik dari Malaysia dengan membangun Sutet di sepanjang perbatasan di

Kalimantan Barat. Ada lima kabupaten di Kalimantan Barat yang

berbatasan langsung dengan Serawak yaitu, Sambas, Bengkayang, Sanggau

Kapuas, Sintang, dan Kapuas Hulu. Akan tetapi, diantara itu yang paling

dekat menghubungkan antara Pontianak dan Kuching adalah Jagoi Babang

yang terletak di Kabupaten Bengkayang. Kabupaten Bengkayang sendiri

memiliki dua pintu selain Kecamatan Jagoi Babang, yaitu Siding dan

(30)

Interaksi masyarakat di perbatasan Kalimantan Barat-Serawak

menurut Arifin (2014) mendekati kategori Coexistent Borderland yaitu,

interaksi penduduk perbatasan dapat diposisikan pada level on atau off oleh

negaranya masing-masing. Dengan kata lain, penduduk menerima interaksi

yang binasional (ganda) dengan terbatas. Selain itu, model interaksi mereka

mendekati kategori Interdependent Borderlands, di mana interaksi saling

terkait satu dengan yang lain dan saling membutuhkan. Dengan kata lain,

kedua wilayah saling melengkapi.

Kedua kategori di atas mengikuti gagasan Martinez (1994) dalam

membaca dinamika di perbatasan antara USA-Meksiko yang terdiri dari

empat tipe. Selain yang sudah disebutkan di atas, terdapat dua lagi yaitu;

Alienated Borderland, adalah perbatasan yang tegang dan tertutup. Interaksi

di perbatasan sama sekali tidak terjadi. Penduduk diantara dua sisi negara

itu saling mengasingkan. Integrated Borderland, perbatasan yang kuat dan

permanen dan memiliki integrasi ekonomi. Interaksi yang tidak terbatas dan

penduduk perbatasan mengganggap mereka adalah anggota yang sama

dengan satu sistem sosial.

Berdasarkan kategori di atas, tampak model interaksi masyarakat di

perbatasan Kalimanan Barat-Serawak terkait satu dengan yang lain, terbuka

dan saling menopang, misalnya Serawak sebagai kota yang lebih maju,

membuka peluang kerja yang menjadi kesempatan orang lokal di perbatasan

(31)

dan hutan di pasar Serawak. Mereka pun merayakan upacara adat secara

bersama-sama.

Dari paparan di atas, semakin memperjelas posisi penelitian saya.

Bahwa masyarakat lokal cenderung memperlakukan batas dengan cair

karena memiliki ikatan yang melampaui batas. Namun, wacana dominan

cenderung membatasi pergaulan mereka. Apa yang tergambarkan oleh

wacana tersebut mengikuti narasi kolonial yang membagi batas untuk

kepentingan kekuasaan dan strategi menghadapi orang-orang yang mereka

anggap sebagai penganggu alias yang melakukan migrasi (Eilenberg, 2012).

Warisan kolonial ini semakin dipertegas oleh sejarah Indonesia dan

Malaysia yang pernah terlibat konfrontasi pada tahun 1960-an dan sampai

saat ini, pengawasan al a militer menjadi dominan di kawasan ini.

Lewat kajian pustaka ini, semakin menunjukkan bahwa mereka

memiliki ikatan yang melampaui batas. Ikatan ini pula yang mewujud lewat

kondisi material meski di sisi lain mereka berhadapan dengan pandangan

dominan yang cenderung membatasi pergerakan. Menyadari kondisi itu

pula, saya mengidentifikasi negosiasi yang mereka lakukan lewat praktik

keseharian guru-guru di Jagoi Babang. Penelusuran negosiasi tersebut

sebagai upaya untuk menghadapi pandangan banal yang dengan mudah

melabel masyarakat perbatasan dengan atribut ganda tanpa melihat lebih

dalam kondisi macam apa yang mereka hadapi sehari-hari.

Berangkat dari situasi itu, penelitian ini melihat praktik keseharian

(32)

mengidentifikasi negosiasi macam apa yang mereka lakukan di antara

kondisi material dan wacana tapal batas. Penelitian ini mengikuti gagasan

Edwards Soja tentang ruang ketiga.

G. Kerangka Teori

Penelitian ini mengidentifikasi pengalaman guru-guru di Jagoi Babang

sebagai negosiasi atas wacana tapal batas. Untuk menjelaskan persoalan di

atas, saya merujuk pada gagasan Zygmunt Bauman tentang Liquid

Modernity dan Edwards Soja tentang Thirdspace.

1. Tapal Batas

Menurut Wadley (2005) batas teritorial yang dibayangkan antara

komunitas lokal dengan negara tidak selalu sama. Komunitas lokal

cenderung mendefinisikan batas berdasarkan landscape fisik seperti,

pepohonan, gunung, batu besar, dan sungai, sedangkan di mata negara, batas

adalah patok yang didirikan di sepanjang garis demarkasi dan biasanya

diperlakukan dengan pengawasan militer 24 jam. Dengan kata lain, batas

yang dimaknai oleh masyarakat lokal cenderung lebih fleksibel sedangkan

wacana politis cenderung melihat persoalan tapal batas itu sudah selesai,

persis yang digambarkan lewat kartografi. Area perbatasan diperlakukan

secara kaku dan ketat. Dengan batas, orang-orang dikategorikan secara

hitam dan putih, mereka dan kita, legal dan ilegal. Pos-pos penjagaan yang

(33)

dalam memaknai batas ini dapat kita jelaskan dengan mengikuti gagasan

dari Zygmunt Bauman (2000) yang membedakan gambaran area di era

Modern Padat (Solid) dan Cair (Liquid).

“Nowadays we are all on the move” kata Bauman (1998) bahwa

orang-orang bebas bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang

lain. Di tengah kondisi tersebut, Bauman (2000) membedakan antara era

Modern Padat dan Cair. Gagasan tentang era Modern Cair dimulai sejak era

Modern Padat mengalami keterbatasan dalam menamai

konsekuensi-konsekuensi yang dibawanya (Blackshaw, 2005). Modern Cair adalah

Modern Padat yang datang dengan segala konsekuensinya. Pada era Modern

Cair, hampir keseluruhan aspek menuju proses pencairan; tidak menetap,

mudah berubah-ubah, dan fleksibel tanpa terkecuali batas teritorial

(Bauman, 2003). Sedangkan era Modern Padat, adalah di mana negara

memiliki kekuasaan untuk membuat orang patuh, menahan diri dari

perlawanan, dan terobsesi pada size dan berat. Semakin banyak area yang

dapat ditaklukan maka semakin berkuasa. Teritorial sebagai salah satu

penentu kekuasaan. Pada era ini, orang-orang tidak bebas bergerak. Ini

adalah era face-to-face antara masyarakat dengan negara yang berlaku

secara top-down. Singkat kata, ini adalah era dari engagement. Era yang

terobsesi pada tatanan yang fixed sehingga terobsesi untuk mengkategorikan

dan mengklasifikasikan segala sesuatu yang dianggap berserakan.

Gambaran area di era Modern Padat, itu fixed dan rigid, sebaliknya di area

(34)

teritorial yang batas-batasnya tidak otomatis mendefinisikan warga yang

menempatinya. Kondisi ini ditandai dengan orang bebas untuk

berpindah-pindah dari wilayah ke wilayah lain. Ini adalah masa di mana batas-batas

teritorial menuju cair.

Mengikuti gagasan Bauman, pandangan dominan cenderung

memperlakukan area batas secara tetap dan kaku dapat ditempatkan sebagai

gambaran dari area di era Modern Padat, di mana negara memegang kontrol

yang kuat untuk membatasi pergerakan warganya. Akan tetapi di daerah

perbatasan antara Kalimantan Barat dan Serawak, kita justru menjumpai

masyarakat yang memiliki ikatan yang melampaui batas teritorial.

Pengalaman tersebut kita tempatkan sebagai gambaran dari area di era

Modern Cair, yang mana batas teritorial tidak dapat mendefinisikan warga

yang menempatinya.

Di tapal batas, kedua pandangan yang tampak bertentangan itu

bertemu. Dengan kata lain, tapal batas yang kita pahami dari penelitian ini

adalah titik temu antara gambaran area di era Modern Padat dan Modern

Cair. Berangkat dari pendapat ini, negosiasi macam apa yang dilakukan oleh

guru-guru di Jagoi Babang tersebut. Untuk menelusuri negosiasi itu dapat

merujuk pada gagasan Edwards Soja (1996) tentang ruang ketiga.

2. Negosiasi Sebagai Ruang Ketiga

Secara harfiah, negosiasi adalah proses tawar menawar dengan jalan

(35)

menunjukkan ada pandangan yang tampak bertentangan. Sebagaimana yang

dijelaskan di atas, pertentangan di tapal batas dalam kasus ini disebabkan

pertemuan pandangan dari era Modern Padat dan Modern Cair.

Konsekuensi orang yang tinggal di area tersebut sebagaimana yang dialami

oleh guru-guru di Jagoi Babang mau tak mau harus bernegosiasi. Jalan

negosiasi itu sebagai ruang ketiga.

Ruang ketiga yang dimaksudkan di sini erat kaitannya dengan

praktik spasial di tapal batas sebagaimana gagasan Soja. Gagasan Soja

(1996) tentang ruang ketiga hadir dalam kerangka konseptual trialectics

yaitu, ruang pertama, ruang kedua, dan ruang ketiga, yang ketiganya saling

memengaruhi satu dengan yang lain. Ruang ketiga dalam Soja diasosiasikan

sebagai strategi untuk menghadapi dominasi ruang pertama dan kedua.

Sekilas gagasan Soja (1996) punya kemiripan dengan konsep Lefebvre

tentang produksi ruang yang terdiri dari tiga pilar yaitu; praktik spasial,

representasi ruang, dan ruang representasional (perceived, conceived, live

space). Diakui oleh Soja (1996), konsep Lefebvre tersebut memberi denyut

atas konsep ruang ketiga hanya saja memiliki porsi dan tujuan yang

berbeda. Lefebvre dan Soja sama-sama memberi penekanan terhadap ruang

pertama yang adalah praktik spasial, namun porsi spasial bagi Lefebvre

sebagai panggung dari praktik sosial yang merupakan kekhasannya dengan

berlatar berlakang seorang sosiologi, sedangkan Soja melihat praktik spasial

adalah bagian yang tak terpisahkan dari praktik keseharian. Dengan kata

(36)

sehari-hari yang kemudian mempertegas posisi Soja yang berlatar belakang

geografi. Untuk ruang kedua, Lefebvre cenderung melihat wacana yang

dipakai untuk menggambarkan suatu ruang, sedangkan bagi Soja, ruang

kedua adalah interpretasi atas ruang pertama. Dengan kata lain, bila ruang

pertama memberi gambaran material secara umum, natural, dan terkesan

objektif, diruang kedua justru terkesan subkjetif. Sementara ruang ketiga

dari Lefebvre adalah live space yang berisi praktik keseharian, sementara

Soja memperlakukan ruang ketiga sebagai upaya strategi menghadapi

pandangan biner atas ruang (ruang pertama dan kedua). Dalam tataran ini,

ruang ketiga dijadikan kesempatan untuk membuka perspektif yang lebih

beragam atas ruang. Pembacaan ruang ketiga semacam itu seolah-olah mau

mengaburkan persoalan, “either/not but rather about both/and also

(Soja,1996).

Dalam analisis Soja (1996), ruang pertama atau praktik spasial berisi

data-data kuantitatif yang bisa dibaca ke dalam dua level yaitu, penjelasan

yang terfokus pada apa yang terlihat atau indigenous mode of spatial

analysis dan exogenous mode of spatial analysis atau penjelasan secara

umum tentang suatu ruang. Model penjelasan yang kedua dibutuhkan untuk

melampaui penjelasan data-data kuantitatif tersebut. Sebagaimana ruang

pertama, ruang kedua diinterpretasikan dengan mendalam ke dalam dua

level yaitu, introverted (indigenous) dan extroverted (exogenous).

Interpretasi pertama merupakan pembacaan atas kondisi internal dari ruang

(37)

dibayangkan itu sedang diklaim seolah-olah adalah kondisi real atau kondisi

dari ruang pertama. Sementara ruang ketiga hadir sebagai upaya

menghadapi ruang pertama dan kedua. Dengan kata lain, ruang ketiga hadir

di antara yang real (ruang pertama) dan imagined (ruang kedua) sebagai

Thirding-as-Othering atau strategi menghadapi ruang real dan imagined

yang cenderung biner. Penjelasan ruang dalam pandangan Soja tampak

berakar pada persoalan spatiality, historicality, dan sociality.

Ruang ketiga dalam definisi Soja terbuka atas pemaknaan dan

penafsiran yang lebih beragam dan karena itu relevan dengan apa yang

ditelusuri lewat penelitian ini untuk mengidentifikasi negosiasi guru-guru di

Jagoi Babang sebagai upaya menghadapi pandangan banal yang mudah

melabeli atribut ganda terhadap masyarakat perbatasan. Pembacaan kembali

atas fenomena tersebut dengan meminjam gagasan Soja. Penjelasan ruang

pertama merupakan kondisi material di Jagoi Babang yang saya

kombinasikan dengan pengalaman peneliti dan guru-guru di Jagoi Babang.

Pada tataran ini, saya sedikit berbeda dari Soja yang memperlakukan ruang

pertama seolah-olah objektif, sebaliknya dari ruang pertama saya telah

mengambil posisi subjektif atas kondisi material yang saya lihat di Jagoi

Babang. Sedangkan di ruang kedua merupakan pembacaan saya atas kondisi

material Jagoi Babang dengan merujuk pula pada pengalaman historis tapal

batas. Sementara pada ruang ketiga adalah pengalaman keseharian

masyarakat perbatasan yang dibaca lewat pengalaman keseharian guru-guru

(38)

Babang sebagai negosiasi atau ruang ketiga untuk menghadapi kondisi

material dan wacana tapal batas.

H. Metode Penelitian

Secara metodologis (Saukko, 2003:56 ) ruang ketiga menurut Soja

adalah pendekatan dengan multiperspektif untuk subjek yang sama.

Pendekatan ini terdiri dari ruang pertama, kedua, dan ketiga yang saling

memengaruhi. Lewat metode ini, kita diajak untuk memahami kondisi

material yang memfasilitasi tindakan kita sehari-hari. Dengan kata lain,

kondisi material tidak diperlakukan hanya sebagai panggung tetapi turut

berkontribusi pada tindakan kita. Mengikuti gagasan Soja di atas, langkah

pertama, saya melakukan pengamatan langsung ke Jagoi Babang untuk

melihat kondisi material, kedua, membaca wacana yang mendominasi di

Jagoi Babang, dan ketiga, berjumpa dengan guru-guru di Jagoi Babang.

Untuk itu, pendekatan ruang ketiga akan dikombinasikan dengan metode

etnografi baru untuk mengidentifikasi negosiasi guru Jagoi Babang atas

wacana tapal batas.

Metode etnografi baru merupakan salah satu model penelitian

sosial yang menerima subjektivitas liyan dan memperhatikan sensitif

terhadap latar belakang dan komitmen si peneliti dalam merefleksikan

pengalaman masyarakat yang ditelitinya. Dalam proses pengambilan data,

si peneliti memperhatikan suara-suara yang berbeda atau polyvocality. Apa

(39)

rambu-rambu dalam memaknai pengalaman guru-guru di Jagoi Babang.

Bahwa saya sadar akan latar berlakang yang juga berasal dari kawasan

perbatasan dan mengambil posisi untuk mendengarkan suara-suara guru di

tapal batas dalam memaknai pengalaman keseharian mereka yang melintas

batas.

1. Strategi pendekatan Etnografi Baru

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa pendekatan ini

memiliki fokus pada tiga strategi yang meliputi:

a. Collaboration

Kolaborasi dibutuhkan untuk meningkatkan kedekatan antara si peneliti

dengan realitas yang diteliti. Saya berasal dari kawasan perbatasan. Lebih

tepatnya, saya dari kecamatan Seluas Kabupaten Bengkayang di mana

letaknya bersebelahan dengan kecamatan Jagoi Babang. Kolaborasi ini

tampak dari pengalaman saya dan pengalaman guru-guru di Jagoi Babang.

b. Self-reflexivity

Refleksi peneliti pada diri sendiri agar dapat memediasi antara pemahaman

peneliti tentang kehidupan sendiri dan pemahaman dengan kehidupan

orang lain. Meski sama-sama berasal dari perbatasan di Kabupaten

Bengkayang dan berlatar pendidikan guru namun saya belum punya

(40)

c. Polyvocality

Peneliti memperhatikan bahwa pengalaman itu beragam. Oleh karena itu

keharusan peneliti untuk terbuka pada berbagai macam perspektif atau

suara. Lewat gambaran dari perspektif yang berbeda itu pula maka tampak

struktur sosial yang berbeda pula. Analisis ini kemudian dikaitkan dengan

ketidaksamaan struktur dan konteks sosial, bahwa apa yang diwacanakan

oleh struktur tidak selalu semakna dengan praktik sehari-hari guru di

perbatasan.

2. Lokasi Penelitian

Pengambilan data dimulai pada bulan Juli-Agustus 2015 di kota kecamatan

Jagoi Babang. Kecamatan Jagoi Babang merupakan kecamatan yang

terletak paling utara dari kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan

Barat.

3. Sumber data

Sumber data penelitian ini terdiri dari tiga bagian yaitu; pertama sumber

data berasal dari observasi langsung ke Jagoi Babang, kedua, studi pustaka

dan ketiga adalah hasil wawancara dengan guru-guru di Jagoi Babang. Data

wawancara diperoleh dengan cara wawancara dan dokumentasi. Wawancara

dilakukan pada lima belas orang guru yang terdiri dari, lima guru SD, lima

guru SMP, dan lima guru SMA. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat dari

(41)

Tabel 1: Tabel Pengumpulan Data

Kategori data Sumber data Teknik pengumpulan data

Ruang Pertama material Jagoi Babang Dokumentasi, wawancara, dan studi pustaka

Ruang Kedua wacana tapal batas Studi pustaka, dokumentasi dan wawancara

Ruang Ketiga pengalaman keseharian guru Jagoi Babang

Wawancara dan dokumentasi

I. Sistematika Penulisan

Secara garis besar penelitian ini dipaparkan secara sistematis dalam lima

bab yaitu sebagai berikut:

Bab pertama : latar belakang penelitian, tema, rumusan masalah, tujuan,

pentingnya penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis,

metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua : kondisi material di Jagoi Babang

Bab ketiga : wacana tapal batas di Jagoi Babang

Bab keempat : negosiasi guru atas wacana tapal batas

(42)

BAB II

KONDISI MATERIAL DI JAGOI BABANG

A. Pengantar

Bab ini merupakan paparan dari kondisi material di Kecamatan

Jagoi Babang. Pemaparan bab ini mengikuti gagasan Soja tentang ruang

pertama. Menurut Soja (1996), ruang pertama merupakan praktik spasial

yang dipaparkan ke dalam dua level yaitu; indigenous mode of spatial

analysis dan exogenous mode of spatial analysis. Analisis indigenous

terletak atas pengalaman melihat material di Jagoi Babang sedangkan

exogenous adalah paparan umum atas material Jagoi Babang. Keduanya

saya kombinasikan untuk menjelaskan kondisi material di Jagoi Babang.

Meski Soja menjelaskan ruang pertama seolah-olah objektif

dengan menampilkan senatural mungkin lewat kondisi geografis dan data

kuantitatif, akan tetapi saya tidak dapat mengklaim bab ini sebagaimana

kerangka kerja Soja tersebut namun saya justru mengambil posisi dalam

menjelaskan ruang pertama yang adalah kolaborasi antara data-data

kuantitatif dan pengalaman guru-guru dalam melihat kondisi material di

Jagoi Babang. Dengan kata lain, subjektivitas sudah muncul di ruang

pertama. Bab ini terdiri dari dua sub-bab yaitu; gambaran umum Kecamatan

(43)

B. Gambaran Umum Jagoi Babang

Sumber: http://www.borneoskycam.com/images/peta/kertas%20A3.jpg

Menurut data dari badan statistik (2016), Jagoi Babang adalah

kecamatan paling utara dari Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.

Secara geografis, kecamatan Jagoi Babang terletak di 1°15’16” Lintang

(44)

Bujur Timur. Sedangkan secara administratif, di sebelah utara berbatasan

dengan Serawak, Malaysia Timur, di sebelah selatan berbatasan dengan

Kecamatan Seluas, di sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Siding,

dan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sambas. Luas wilayah

Jagoi Babang mencapai 655,00 km² dan terbagi dalam 6 desa yaitu, desa

Jagoi, Kumba, Sinar Baru, Gersik, Semunying Jaya, Jagoi Sekida.

Gambar 2: Letak Geografis Jagoi Babang

Sumber: Arifin, 2014

Kecamatan Jagoi Babang dihuni oleh 9.591 jiwa dengan kepadatan

penduduk sebesar 15 jiwa per km². Sedangkan menurut jenis kelaminnya,

jumlah penduduk laki-laki sebanyak 5.341 jiwa dan penduduk perempuan

(45)

Tabel 2: Piramida Penduduk Kecamatan Jagoi Babang Tahun 2015

Sumber: BPS Jagoi Babang 2016

Berdasarkan tabel 2, rasio jenis kelamin Kecamatan Jagoi Babang

pada tahun 2015 adalah 126, yang itu artinya setiap 126 penduduk laki-laki

terdapat 100 penduduk perempuan. Sementara itu, desa yang memiliki

tingkat kepadatan paling tinggi adalah Desa Jagoi. Dengan kepadatan

penduduk sebesar 45 jiwa per kilometer persegi. Penduduk dari desa Jagoi

Babang, didominasi oleh dayak (Bedayuh). Meski demikian ada pula

sub-suku dayak lainnya, Jawa, Melayu, Bugis dan seterusnya. Dari data di atas,

kita dapat melihat kondisi di Jagoi Babang, meski tergolong kota kecil

(46)

demikian, masyarakat di Jagoi Babang didominasi oleh Dayak Bedayuh.

Dayak Bedayuh menyebar di berbagai tempat, ada yang di Serawak, ada

yang di kecamatan Jagoi, Siding, dan Seluas. Mereka yang menetap di Jagoi

menyebut diri sebagai Bijagoi. Bijagoi merupakan sub dari dayak Bedayuh.

Meski tersebar di berbagai tempat, mereka sadar betul masih memiliki

kesatuan nenek moyang (Siagian,1995). Kesadaran sebagai Bijagoi,

Bidoyoh, Bidayuh yang mengikat mereka secara emosional sehingga mereka

merasa sah-sah saja merayakan upacara adat bersama-sama. Perayaan adat

secara bersama-sama ini dapat kita lihat lewat dua upacara adat yaitu:

Gawai dan Nyobeng.

Gawai adalah syukuran setelah musim panen padi. Biasanya orang

Dayak merayakan sebagai ungkap syukur terhadap Jubata (Pencipta) yang

telah menganugerahi makanan dan memelihara ladang padi mereka. Gawai

dilaksanakan dengan sangat meriah bahkan lebih meriah daripada perayaan

hari besar keagamaan. Bahkan untuk keperluan Gawai, orang dayak siap

memperbaiki dan mendirikan rumah adat baru demi memaksimalkan

perayaan ini. Dengan kata lain, Gawai adalah hari besar bagi orang dayak

yang biasanya dimeriahkan dengan tari-tarian, musik, sampai makan-minum

secara bersama-sama. Gawai kerap dijadikan acara kumpul keluarga besar

yang saling mengunjungi dari rumah ke rumah. Bagi orang Jagoi, Gawai

dilaksanakan setiap tanggal 1 Juni sebagaimana orang dayak Bedayuh di

Serawak merayakannya. Gawai yang dilaksanakan secara serentak ini pun

(47)

melintas batas. Upacara ini dipusatkan di rumah adat dan untuk kasus orang

Jagoi, mereka memilih tempat di Bung Jagoi, sebuah bukit tempat

didirikaknnya tugu Bung Kupuak yang menunjukkan ikatan nenek moyang

orang Dayak Bedayuh baik yang ada Serawak maupun di Kalimantan Barat.

Meski mereka berbeda negara, namun tidak turut serta melunturkan

ikatan kultural diantara mereka. Bahkan dengan sadar mereka memilih

memusatkan tempat perayaan di Tugu Bung Kupuak (gambar 5) yang

menjadi simbol ikatan nenek moyang mereka sebagai orang Bedayuh. Tidak

hanya Gawai, tetapi juga upacara adat Nyobeng. Nyobeng adalah upacara

pemandian tengkorak hasil kayau nenek moyang dan upacara ini masih

menjadi rangkaian dari Gawai.

Gambar 3: Tugu Bung Kupak

Sumber: https://jagoibabang.wordpress.com/author/onakpot2012/page/2/ diunduh 11 Mei 2016

Sebagaimana Gawai, upacara adat Nyobeng juga dirayakan

bersama-sama antar negara. Upacara Nyobeng dimaknai sebagai ungkapan

(48)

Selain itu, juga sebagai ungkapan penghormatan kepada nenek moyang.

Tidak seperti Gawai yang dilaksanakan di Bung Jagoi, upacara adat

Nyobeng dilakukan di rumah adat Sebujit yang terletak di Kecamatan

Siding.

Meski berbeda kecamatan, orang Sebujit merupakan bagian dari

dayak Bedayuh, mengingat mereka masih serumpun. Sadar atas penyebaran

ini, di rumah adat Sebujit dihiasi oleh dua bendera, yaitu; Malaysia dan

Indonesia. Kesadaran primordial tumbuh subur diantara orang Bedayuh

yang mengesankan batas-batas yang dibuat oleh negara tidak dapat

membatasi ikatan nenek moyang diantara mereka. Singkatnya, menjadi

Bijagoi berarti memiliki keterkaitan secara kultural dengan dayak Bedayuh

yang berada di Malaysia.

Gambar 4: Rumat Adat Sebujit

(49)

Dari gambar di atas, menunjukkan dua bendera yang tepat di

pasang di depan pintu rumah adat. Kedua bendera itu pun menjadi simbol

dari dua warganegara yang menjadi tumpuan dari rumah adat tersebut.

Perayaan di rumah adat ini pula dilakukan selang beberapa hari setelah

gawai. Mereka secara bersama-sama merayakan Nyobeng yang menjadi

bagian dari warisan nenek moyang.

Perkebunan kelapa sawit mendominasi pandangan kita selama

dalam perjalanan. Seperti yang dicatat oleh BPS (2016), perkebunan

kelapa sawit di Jagoi Babang memakan lahan penduduk dan hutan dengan

luas yang mencapai 89.758 ha dari luas wilayah Jagoi Babang sebesar

655,00 km². Yang itu artinya, hampir separuh tanaman yang diberdayakan

di Jagoi Babang adalah kelapa sawit. Adapun perbandingannya dengan

jenis-jenis tanaman lainnya dapat dilihat dari tabel statistik.

Gambar 5: Perkebunan Kelapa Sawit di Jalan Dwikora

(50)

Tabel 3: Perkebunan di Jagoi Babang

Sumber: data BPS Jagoi Babang tahun 2016

Perkebunan kelapa sawit tersebut dikelola oleh perusahaan secara

langsung dan tidak langsung. Yang tidak langsung karena bekerjasama

dengan petani. Adapun perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang bercokol

di Jagoi Babang yaitu; PT DJI, PT Led Lestari, PT Wirata, PT Aset Pasifik

Internasional, PT WKN, dan PT Ceria Prima. Perusahaan tersebut ada yang

dikelola oleh nasional dan ada pula yang lintas modal atau lintas negara.

Dengan kata lain, ada investasi asing yang ditanamkan di perkebunan sawit

tersebut. Hasil produksi sawit menduduki peringkat paling atas sebanyak

74.618 ton sementara tanaman karet hanya memproduksi sebanyak 23.703

ton. Dari data BPS tahun 2016, sumber pencaharian masyarakat Jagoi

Babang berasal dari perkebunan kelapa sawit.

Tingkat produksi dari kebun kelapa sawit tidak berbanding lurus

dengan pengembangan sumber daya manusia di Jagoi Babang. Seperti yang

(51)

putus sekolah cukup tinggi. Sehingga bisa dibayangkan ada anak yang

memilih bekerja untuk membantu perekonomian keluarga termasuk sebagai

buruh dari perkebunan kelapa sawit.

Kondisi di Jagoi Babang tidak hanya ditunjukkan oleh luasnya

perkebunan kelapa sawit, tetapi juga dari kendaraan mereka.

Kendaraan-kendaraan dengan plat asing berlalu lalang di sepanjang jalan Dwikora. Plat

asal Sarawak itu dengan leluasa mondar-mandir. Walau plat asing tapi

belum tentu si pengendaranya juga warga asing. Mengapa? Jual-beli

kendaraan gelap atau istilah orang Serawak disebut kendaraan gusdur sangat

marak. Gelap karena biasanya itu adalah kendaraan hasil curian yang tidak

punya surat menyurat resmi. Kendaraan gelap ini biasanya dijual dengan

harga miring sehingga laris dibeli oleh masyarakat dengan kemampuan

ekonomi menengah ke bawah. Bahkan karena kendaraan-kendaraan tersebut

secara kualitas masih bagus, tidak jarang juga dibeli oleh orang dengan

kemampuan ekonomi menengah ke atas.

Kendaraan-kendaraan asal negara tetangga cenderung lebih kuat

dengan persoalan jalan di Jagoi Babang yang sebagian masih tanah kuning,

berbatu-batu dan berlumpur bila musim penghujan. Biasanya, kendaraan

gelap, terutama roda dua dipakai warga untuk ke kebun karena jarak tempuh

kebun dengan rumah mereka biasanya jauh. Selain itu, juga digunakan

untuk mengangkut pupuk dan hasil produksi pertanian. Akan tetapi,

kendaraan itu tidak mereka gunakan untuk menjangkau daerah-daerah yang

(52)

menggunakan kendaraan umum atau kendaraan yang punya surat-surat

resmi. Meski demikian, setidaknya kendaraan gelap tersebut dapat

membantu mereka melakukan aktivitas sehari-hari, seperti ke kebun,

mencari makanan ternak, dan mengangkut hasil panen, petisida, dan pupuk.

Dalam perjalanan ke Jagoi Babang, kita akan berjumpa dengan

papan iklan seperti gambar 3. Papan iklan itu berdiri, tepat di pinggir jalan

Dwikora dari kota kecamatan Jagoi Babang. Iklan tersebut milik Bank

Kalbar.

Gambar 6: Papan Iklan Bank Kal-Bar

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Sekilas hampir tidak ada yang aneh dari iklan tersebut dan baru

kita sadari ada apa-apanya sampai kita berbelanja barang di pasar Jagoi

Babang. Di pasar kita akan disuguhi pertanyaan oleh si pemilik toko dengan

kalimat, mau beli pakai ringgit atau rupiah? Barang-barang yang kita

temukan di pasar sampai warung-warung kelontong memiliki label ganda,

yaitu ringgit dan rupiah. Membeli dengan uang ringgit satuan harganya

(53)

yang berasal dari Serawak, maka masyarakat lokal mau tak mau harus

menyediakan ringgit.

Selain barang-barang yang berlabel ganda, ada pula pasar yang

menyatukan antara Jagoi Babang dan Serawak, yaitu pasar Serikin. Pasar ini

terletak di Serikin, Serawak. Namun biasanya yang berjualan adalah

masyarakat lokal Jagoi Babang dan sekitarnya. Pasar ini buka setiap sabtu

dan minggu. Produk-produk yang dijual oleh orang Jagoi Babang biasanya,

berupa kerajinan tangan, sayur-mayur, makanan, hingga kain. Menurut

catatan dari Kantor Bea Cukai Jagoi Babang, barang-barang yang keluar

dari Indonesia biasanya lebih berupa bahan-bahan mentah atau setengah

jadi, sedangkan yang berasal dari Malaysia justru barang-barang siap pakai.1

Adapun tarif yang dikenai pada barang-barang yang masuk maupun keluar

jumlahnya tidak melebihi RM 600 per bulan atau kurang lebih satu juta lima

ratus ribu rupiah. Barang-barang dari Malaysia yang siap jadi membanjiri

pasar Jagoi Babang.

Sampai hari ini, pasar Serikin masih aktif sebagai tempat berjualan

antar masyarakat lokal di perbatasan (gambar 4). Kondisi ini semakin

dipermudah dengan pembangunan jalan darat yang menghubungkan antara

Jagoi Babang dengan Serawak. Proyek jalan raya lintas negara hingga saat

ini masih berjalan. Dengan terbukanya jalan lintas negara tersebut maka

berpotensi menambah ramainya lalu lintas antar negara.

1Hasil wawancara di kantor Bea Cukai Jagoi Babang /28/07/ 2015. Jagoi

(54)

Gambar 7: Pasar Serikin

Sumber:https://www.tripadvisor.co.id

Jalan yang tersedia saat ini dapat dilalui oleh sepeda motor dan

mobil walaupun di sana sini, masih ditemukan jalan berlubang dan jembatan

kayu yang rapuh sehingga untuk melewatinya orang harus mengantri.

Kondisi jalan menuju Serawak terbilang aman bila musim kemarau tapi

jangan ditanyakan musim penghujan, karena kita akan berjumpa dengan

kubangan air dan tanah kuning yang becek.

Di samping jalan darat, mereka juga dihubungkan oleh jaringan

informasi seperti jaringan seluler, radio dan tv. Menjadi masayarakat Jagoi

Babang, kita dengan mudah menonton TV Malaysia; TV 1, TV 2, dan TV 3.

Bila masyarakat Jagoi Babang dengan mudah menonton saluran Malaysia,

sebaliknya untuk menonton saluran asal Indonesia, mereka harus membeli

perangkat seperti; Parabola dan TV Kabel. Bila tidak memakai

perangkat-perangkat semacam itu mereka otomatis tidak dapat menyaksikan saluran

(55)

Muzik, sedangkan untuk RRI dibutuhkan lokasi-lokasi yang tepat baru

terdengar. Selain itu, dengan adanya jaringan seluler semakin memperlancar

komunikasi diantara mereka sehingga komunikasi tidak terbatas pada

perjumpaan fisik tetapi juga lewat virtual.

Setelah melewati kota Jagoi Babang, kita pun disambut dengan barisan

pos-pos jaga, tugu perbatasan dan patok batas yang terletak kurang lebih 4

km dari garis sempadan. Di area ini, terdapat barisan pos-pos jaga; Imigrasi,

Bea Cukai, Polisi, dan TNI. Material itu menjadi simbol kecamatan Jagoi

Babang sebagai area tapal batas yang dimaksudkan untuk menandai

kedaulatan negara atas teritorialnya.

Kabupaten Bengkayang memiliki tiga pintu perbatasan; Jagoi

Babang, Siding, dan Separan. Namun, secara geografis kecamatan Jagoi

Babang paling dekat untuk menghubungkan antara Pontianak dan Kucing,

Serawak. Meski demikian, pos lintas batas di Jagoi Babang baru didirikan

atas hasil pembicaraan lewat forum Sosek Malindo pada tanggal 18 Juni

2008 di Pontianak. Sampai saat ini, Jagoi Babang masih berstatus PLB,

yang berarti hanya diperkenankan untuk masyarakat lokal yang hendak

melintas batas dengan menggunakan pas lintas batas (PLB) dengan

(56)

Gambar 8: Tugu Perbatasan Jagoi Babang

Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 9: Pos Terpadu di Jagoi Babang

(57)

C. Jagoi Babang di Mata Guru-guru

Meski Jagoi Babang adalah kawasan perbatasan, namun sekolah di

kota Kecamatan Jagoi Babang dapat dikatakan lengkap. Di kota Kecamatan

Jagoi Babang tersedia 2 unit TK, 16 unit SD, 4 Unit SMP, dan 2 unit SMA.

Adapun tenaga guru dan jumlah murid di Jagoi Babang perbandingannya

pada tahun 2015 dapat dilihat dari tabel 3.

Tabel 4: Rasio murid terhadap guru

Sumber: Kecamatan Jagoi Babang Dalam Angka 2016

Di tingkat SD dengan murid 1.916, jumlah guru sebanyak 211

orang, SMP dengan jumlah murid 482, tenaga guru yang ada 92 orang, dan

untuk SMA dengan murid 281, jumlah guru 42 orang. Berdasarkan tabel

rasio di atas tampak, rasio murid terhadap guru untuk SD, menurun dari 15

tahun 2013 menjadi 14 di tahun 2015. Rasio guru untuk SMP meningkat

(58)

Meski ada peningkatan rasio guru pada jenjang SMP dan SMA namun

angka putus sekolah masih tinggi. Seperti yang dinyatakan oleh Viktor2,

bahwa angka putus sekolah yang masih tinggi karena dipicu juga oleh

tingkat kemiskinan, sehingga anak-anak memilih bekerja ke Malaysia untuk

membantu perekonomian keluarga. Tidak hanya murid-murid yang putus

sekolah dan memilih bekerja ke Malaysia, tetapi adapula guru-guru yang

sesuai mengajar, bekerja sebagai tukang ojek ke perbatasan. Menurut

Viktor, kondisi tersebut sah-sah aja sselama tidak menganggu proses belajar

mengajar. Apalagi mengingat tidak semua guru mendapatkan tunjangan

khusus perbatasan, ucapnya. Sedangkan terkait dengan persoalan

kurikulum, diakui oleh Viktor, meski daerah ini khusus, namun konsep

pendidikannya tidak ada yang khusus. Itu artinya, apa yang diajarkan di

tempat lain, diajarkan juga di daerah ini. Walaupun masyarakat Jagoi

Babang memiliki ikatan kultural dengan masyarakat di Serawak. Seperti

yang diungkapkan oleh Viktor sebagai berikut:

Bagi masyarakat di sini, Malaysia dan Indonesia sama saja. Karena mereka merasa sebahasa dan sesuku. Jadi banyaklah kekeluargaanya.

Menurut Viktor, orang Jagoi menganggap mereka berasal dari

Malaysia seperti yang ditunjukkan oleh rumah adat mereka yang memiliki

gambar dua burung. Dari dua burung itu ada yang menghadap ke Malaysia

yang menunjukkan nenek moyang mereka berasal dari Sarawak. Karena

ikatan itu pula, mereka sering melintas batas, ucapnya. Meski Viktor, adalah

(59)

suku pendatang, tepatnya berasal dari Nusa Tenggara Timus, ia pun sering

melintas batas. Ia melintas batas dengan motif ekonomi, apalagi di Jagoi

Babang, barang-barang didominasi dari negeri jiran. Oleh karena, tinggal di

Jagoi Babang mau tak mau harus memiliki persediaan mata uang Ringgit.

Tinggal di Jagoi Babang, orang mau tak mau harus melintas batas. Seperti

yang dialami oleh guru-guru di Jagoi Babang.

Gambar 10: Kepala Sekolah dan murid-murid SDN I di Jagoi Babang

(dokumentasi pribadi.2015)

Lewat wawancara saya dengan guru-guru, saya mendapati mereka

pernah melintas batas dengan beragam motivasi, ada yang sekedar

jalan-jalan dan ada pula untuk bertemu saudara. Dari pengalaman melintas batas

itu, mereka melihat Serawak lebih maju dan bersih. Seperti yang ditutur

(60)

“di sudut-sudut kota, kita lebih banyak menemukan peringatan untuk tidak membuang sampah, berbeda dengan di sini, kita akan lebih banyak berjumpa dengan iklan rokok”.

Menurutnya, kota Serawak tidak hanya maju, dan bersih tetapi juga

tertib. Di jalan-jalan raya, kita lebih banyak bertemu pengendara roda

empat dibandingkan roda dua. Bisa dikatakan, orang yang mengendarai

roda dua itu TKI, ungkapnya. Pengendara mobil-mobil di Serawak lebih

teratur, tidak seperti di Jagoi Babang yang pengendaranya sering

ngebut-ngebutan dan menyalip pengendara lain. Selain itu, angkutan umum, di

Serawak lebih tepat waktu, sedangkan di Jagoi Babang, harus menunggu

bus penuh terlebih dahulu.

Meski demikian, bukan berati Serawak selalu unggul, ungkap

Ashadi.4 Menurutnya, di Jagoi Babang hampir setiap kampung ada listrik

dan jalan raya. Sedangkan di sana (Malaysia) hanya daerah-daerah tertentu

yang dialiri listrik dan jalan raya. Kadang ada kampung-kampung yang

tidak dialiri listrik dan hanya disediakan Genset untuk mereka mengurus

sendiri. Sementara di Jagoi Babang hampir semua kampung menjadi

perhatian. Kalau “di sana” tidak semua tempat itu dibangun, melainkan

tempat-tempat yang menguntungkan secara “ekonomi”. Ia merasa hampir

tidak ada masyarakat Jagoi Babang yang berniat menjadi warga Malaysia.

Mengingat Jagoi Babang termasuk daerah perbatasan yang maju

sedangkan orang-orang yang pindah kewargaan, biasanya karena kondisi

Gambar

Tabel 1.
Tabel 1: Tabel Pengumpulan Data
Gambar 2: Letak Geografis Jagoi Babang
Tabel 2: Piramida Penduduk Kecamatan Jagoi Babang Tahun 2015
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menghasilkan tepung kulit buah markisa yang berkualitas dan. mengetahui pengaruh dosis dan lama fermentasi yang berbeda terhadap

dalam pembelajaran Matematika pada siswa kelas VIII di MTsN Jambewangi Selopuro Blitar Semester I Tahun Pelajaran 2014/2015 adalah pembelajaran dengan

Proses pada system flow pengendalian pengadaan material proyek ini diawali dengan Bagian Pengadaan melakukan proses perawatan data master yang selanjutnya

1. Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat Polri adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan

Pengem bangan m edia post er m at eri st rukt ur at om yang dilakukan m elalui t ahapan ADDI E sudah dapat dikat egorikan sebagai alat bant u dalam proses pem belaj aran

b) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan Pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler ditandai dengan Pasien mengatakan dirinya dari pukul 06.00 wita s/d

[r]

The Rainforest Alliance works to conserve biodiversity and ensure sustainable livelihoods by transforming land-use practices, business practices and consumer behavior. The