• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

3.2.4. Aktivitas Manusia

Selain dari karakteristik kondisi habitat, kualitas habitat juga dipengaruhi oleh besaran tingat gangguan terhadap habitat. Besaran tingkat gangguan ditentukan oleh tingkat toleransi atau adaptasi suatu spesies terhadap perubahan lingkungan atau habitatnya. Kerusakan dan degradasi hutan termasuk perubahan hutan menjadi perkebunan, padang rumput, dan areal budidaya lainnya merupakan ancaman paling utama bagi EJ (Sozer 1995). Pendekatan parameter yang dapat diukur untuk mengetahui tingkat gangguan terhadap EJ pada penelitian ini adalah jarak dari jalan, jarak dari permukiman dan jumlah penduduk.

Variabel JJ berkaitan dengan aksesibilitas masyarakat terhadap sumberdaya. Mayoritas masyarakat di sekitar kawasan TNGHS memiliki aktivitas di bidang pertanian seperti berkebun, berladang dan bertani. Semakin dekat dengan jalan, maka kegiatan-kegiatan tersebut semakin intensif sehingga tingkat aktivitas manusia pada areal sekitar jalan relatif tinggi dibandingkan dengan areal

24

yang jauh dari jalan. Selain dari itu, komoditas pertanian intensif yang dikembangkan biasanya berupa tanaman pangan seragam seperti sayuran dan persawahan dengan tutupan vegetasi yang sangat rendah. EJ di lokasi penelitian, bereaksi negatif terhadap keberadaan jalan. Sebaran kelas KT berada pada jarak yang cukup jauh dari jalan dengan rata-rata JJ 2,207.69 ± 1,445.86 m.

Gambar 11. Sebaran nilai JJ pada kelas KT

Gambar 12 Sebaran nilai JP pada kelas KT

25 Variabel lainnya yang dapat diukur untuk mengetahui tingkat aktifitas manusia adalah keberadaan permukiman serta jumlah penduduk. Permukiman merupakan pusat dari aktivitas manusia sehingga semakin dekat jarak dengan permukiman serta jumlah penduduknya maka tingkat aktivitas manusia semakin meningkat. Di lokasi penelitian, permukiman penduduk berkelompok pada areal tertentu dan berdekatan dengan areal pertanian intensif sehingga memiliki tutupan vegetasi yang relatif rendah. Sebaran kelas KT bagi EJ berada pada pada lokasi yang relatif jauh dari pusat aktivitas manusia serta memiliki jumlah penduduk yang relatif sedikit dengan rata-rata JP 2,727.51 ± 1,554.61 m, dan rata-rata KP 3,829.08 ± 1,504.37 m.

Kelemahan Model Kesesuaian Habitat EJ 3.3.

Metode analisis serta data yang digunakan untuk membangun model menjadi faktor utama yang mempengaruhi tingkat ketepatan serta keakuratan model yang dihasilkan. Kendala utama yang sering dijumpai dalam pemodelan spasial untuk menduga habitat pada satwaliar adalah penentuan variabel pembentuk model yang sulit diukur secara spasial. Komposisi pembentuk habitat satwaliar di alam, terdiri dari komponen bioltik serta komponen fisik. Identifikasi habitat yang ideal bagi satwaliar didasarkan dari kesatuan fungsi komponen habiatat sebagai penyedia pakan, air, dan tempat berlindung bagi satwa liar tersebut (Alikodra 2002). Pada penelitian ini, variabel yang digunakan untuk menduga kesesuaian habitat EJ hanya berdasarkan komponen pembentuk habitat khususnya kondisi fisik kawasan. Hal ini disebabkan oleh belum tersedianya data yang mewakili pada komponen biotik di lokasi penelitian.

Indikasi dampak dari pemilihan variabel pembentuk model yang hanya berdasarkan komponen fisik habitat dapat dilihat dari nilai validasi model yang memiliki tingkat ketepatan atau validitas 72%. Dengan demikian, dapat juga diartikan bahwa terdapat 28% komposisi habitat yang tidak terwakili oleh variabel yang digunakan. Hal ini dapat juga diakibatkan kurang terwakilinya titik sampel perjumpaan EJ. Tititk perjumpaan EJ yang digunakan dalam analisis hanya berasal dari areal fokus penelitian yang kemungkinan belum bisa mewakili keseluruhan areal penelitian. Kendala lain yang dijumpai pada waktu penelitian adalah titik perjumpaan EJ sebagian besar berada pada tepi hutan dimana EJ relatif lebih mudah teramati dibandingkan pengamatan di dalam tegakan hutan dengan jarak pandang yang terbatas.

Selain dari keterwakilan variabel yang diukur, metode analisis yang digunakan juga berpengaruh terhadap ketepatan model yang dibuat. Model kesesuaian habitat EJ pada penelitian ini menggunakan metode PCA untuk menentukan bobot pada tiap varibel pembentuk. Nilai bobot pada tiap variabel yang terbentuk didasarkan pada nilai eigenvalues atau nilai keterwakilan varian data dari variabel komponen habitat pembentuk. Berdasarkan hasil analisis, nilai total eigenvalues kumulatif berada pada 75.28%. Nilai ini menunjukkan bahwa model yang tebentuk mewakili dari 75.28% varian data dan terdapat 24.72% varian data yang belum terwakili. Salah satu faktor yang diduga mempengaruhi tingkat keterwakilan data pada penelitian ini adalah perbedaan rentang varian serta satuan data pada tujuh variabel pembentuk.

Evolusi dan adaptasi menghasilkan relung ekologi pada setiap jenis makhluk hidup yang merupakan faktor pembatas dalam pemanfaatan sumberdaya.

26

Setiap jenis menempati habitat spesifik yang sesuai dengan lingkungan yang diperlukan dalam kehidupannya (Alikodra 2002). Model habitat yang ideal adalah model yang dapat menggambarkan rentang habitat spesifik dari jenis tersebut. Pada penelitian ini, persamaan model yang dihasilkan merupakan persamaan dalam bentuk linear, sehingga rentang skor kumulatif kesesuian habitat menjadi tidak terbatas. Hal ini mengakibatkan tingkat ketepatan model menjadi riskan apabila diaplikasikan di luar areal penelitian.

Implikasi Model Terhadap Pengelolaan 3.4.

Hasil dari model analisis spasial diketahui bahwa sebagian besar areal yang memiliki tingkat kesesuaian habitat yang tinggi bagi EJ berada pada kawasan TNGHS. Oleh karena itu, kawasan TNGHS merupakan areal yang sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan EJ. Peta sebaran kelas kesesuaian EJ dalam kawasan TNGHS bisa dijadikan acuan dasar dalam strategi pelestarian. Salah satu upaya yang mungkin bisa dilakukan adalah pengamanan serta perlindungan habitat berdasarkan sebaran tingkat kesesuaian habitat yang telah diketahui. Upaya lain yang bisa dilaksanakan adalah pengelolaan habitat dengan cara rehabilitasi dan pengkayaan habitat pada areal yang memiliki kelas kesesuaian habitat rendah dan sedang yang diharapkan mampu menambah jumlah populasi EJ guna mencapai program peningkatan populasi 3% spesies terancam punah dari pemerintah. Terdapat sekitar 41,000 ha atau 39.9% kawasan yang memiliki tingkat kesesuaian rendah dan sedang di kawasan TNGHS, kawasan tersebut dapat dijadikan prioritas pengelolaan dalam peningkatan kualitas habitat pada EJ. Selain dari itu, upaya rehabilitasi dan pengkayaan habitat diharapkan mampu menghubungkan kantung-kantung habitat EJ sehingga mengurangi resiko fragmentasi habitat di areal TNGHS.

Upaya lainnya yang sudah dilaksanakan adalah program pelepasliaran EJ dan jenis elang lainya dari pusat-pusat rehabilitasi satwa. Kendala yang sering dijumpai adalah penentuan lokasi atau areal pelepasliaran, dimana informasi dasar mengenai karakteristik habitat masih bersifat deskriptif dan sulit diaplikasikan di lapangan. Dengan adanya penelitian mengenai karakteristik dan pemodelan spasial kesesuaian habitat ini diharapkan mampu dijadikan acuan dalam proses identifikasi habitat bagi areal pelepasliaran.

Model kesesuaian habitat yang dihasilkan dari penelitian ini berbentuk persamaan berdasarkan variabel-variabel yang mempengaruhi sebaran EJ. Dengan demikian, persamaan atau model tersebut dapat diaplikasikan pada kawasan lain yang memiliki karakteristik habitat yang tidak jauh berbeda dengan lokasi penelitian. Selain dari itu, nilai bobot pada setiap variabel dalam persamaan yang terbentuk merupakan bobot dari nilai variabel sebenarnya (real), sehingga mudah diaplikasikan pada areal lainnya.

27

IV. SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 4.1.

Terdapat dua kesimpulan dalam penelitian ini :

1. Model kesesuaian habitat EJ yang terbentuk menunjukkan areal dengan kelas KT bagi EJ sebagian besar (94.43%) berada pada kawasan TNGHS. Hal ini mengindikasikan bahwa TNGHS merupakan areal yang sangat penting bagi keberadaan EJ.

2. Variabel yang mempengaruhi sebaran EJ di lokasi penelitian adalah ketinggian, FCD, curah hujan, suhu, jarak dari jalan, jarak dari pemukiman, dan kepadatan penduduk. EJ di lokasi penelitian cenderung menyukai habitat hutan perbukitan yang cukup basah dan sejuk dengan tingkat gangguan atau aktifitas manusia yang relatif sedikit dibandingkan dengan lokasi lainnya.

Saran 4.2.

1. TNGHS merupakan areal yang sangat penting bagi keberadaan EJ. Guna menjaga kelestarian populasi EJ, maka areal-areal yang merupakan habitat utama bagi EJ khususnya di dalam kawasan TNGHS perlu tetap dipertahankan dan dilestarikan.

2. Terdapat empat patch areal dengan kesesuaian habitat tinggi bagi EJ di areal TNGHS yang saling terpisah. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk menghubungkan tiap kantung habitat tersebut agar keragaman genetik EJ tetap terjaga. Salah satu upaya yang mungkin dilakukan adalah dengan pengkayaan jenis vegetasi pada areal dengan kesesuaian habitat sedang dan rendah mengingat vegetasi merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi sebaran EJ.

3. Model kesesuaian habitat EJ yang telah terbentuk diperoleh dari variabel dengan skala ukur yang luas sehingga model serta inoformasi yang didapatkan hanya bisa diaplikasikan pada skala makro. Untuk mendapatkan informasi dan model yang spesifik seperti areal berburu atau area bersarang maka perlu dilakukan kajian dengan skala mikro habitat dengan variabel yang lebih spesifik.

28

V. DAFTAR PUSTAKA

Alder, P.B., J.M. Levine. 2007. Contrasting relationships between precipitation and species richness in space and time. Oikos. 116: 221-232.

Alikodra, H.S. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Braunisch, V, K. Bollmann, Roland F. G, A. H. Hirzel. 2008. Living on the edge—modelling habitat suitability for species at the edge of their fundamental niche. Ecological Modelling 214: 153–167.

Cahyana, AN. 2009. Pemodelan Spasial Habitat Elang Jawa (Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924), Elang Hitam (Ictinaetus malayanus Temminck, 1822), dan Elang-Ular Bido (Spilornis cheela Latham, 1790) dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Ciamis Bagian Utara. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Dale, V.H, PJ. Mulholland, LM. Olsen, JW. Feminella, KO. Maloney, DC. White, A. Peacock, 3 and T. Foster. 2004. Selecting a suite of ecological indicators for resource management. ASTM International.3-17.

Dewi, H. 2005. Tingkat Kesesuaian Habitat Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Tesis. Sekolah Pascasrjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Ferrier, S. & Watson, G. 1996. An Evaluation of the Effectiveness of Environmental Surrogates and Modelling Techniques in Predicting The Distribution of Biological Diversity. Armidale, Australia: Environment Australia.

Francis, AP. dan David, JC. 2003. A globally consistent richness-climate relationship for angiosperms. The American Naturalist. 161(4): 523–536. Galbraith, H., J. Price, M. Dixon and J. Stromberg. 2004. Development of hsi

models to evaluate risks to riparian wildlife habitat from climate change and urban sprawl. ASTM International.148-168.

Gjershaug JO, Røv N, Nygård T, Prawiradilaga DM, Afianto MY, Hapsoro & Supriatna A. 2004. Home-range size of the javan hawk-eagle (Spizaetus bartelsi) estimated from direct observations and radiotelemetry. J. Raptor Res. 38:343-349.

Graham CH, Ferrier S, Huettman F, Mortiz C, Peterson AT. 2004. New developments in museum based informatics and applications in biodiversity analysis. Trends Ecol Evol 19:497–503.

Hadi, A.N. 2002. Studi Karakteristik Wilayah Jelajah Owa Jawa (Hylobates moloch, Audebert 1798) di Taman Nasional Gunung Halimun (Studi Kasus di Resort Cikaniki). Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hirzel, A.H., Hausser, J., Chessel, D. & Perrin, N. 2002. Ecological-niche factor analysis: how to compute habitat-suitability maps without absence data. Ecology. 83(7): 2027–2036.

Hirzel, A.H., Le Lay, G., Helfer, V., Randin, C. & Guisan, A. 2006. Evaluating the ability of habitat suitability models to predict species presences. Ecological Modelling. 199(2): 142–152.

29 Hirzel, A.H., Le Lay, G. 2008. Habitat suitability modelling and niche theory.

Journal of Applied Ecology. 45: 1372–1381.

Kastanya, F. J. P. 2001. Landscape Characteristic Of Javan Hawk-Eagle Habitat’s Using Remote Sensing and GIS In Western Part Of Java. Graduate Program. Bogor Agricultural University. Bogor.

Kumar, S., Stohlgren, T.J. 2009. Maxent modeling for predicting suitable habitat for threatened and endangered tree Canacomyricamonticola in New Caledonia. Ecology and Natural Environment. 1(4), pp: 094-098.

Kuswandono. 2010. Analisis Kesenjangan dalam Pelestarian Elang Jawa (Spizaetus bartelsi). Tesis. Sekolah Pascasrjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Li YD. 2008. An Introduction to The Raptors of Southeast Asia. Singapura (SN): Nature Society.

Nijman, V. dan R. Sojer. 1998. Field identification of the javan hawk eagle Spizaetus bartelsi. FORKTAIL 14: 13-16.

Nijman, V, C. R. Shepherd, B van Balen. 2009. Declaration of the javan hawk eagle Spizaetus bartelsi as Indonesia’s National rare animal impedes conservation of the species. Fauna & Flora International. Oryx. 43(1): 122–128.

Nugroho, S. 2012. Metode Deteksi Degradasi Hutan Menggunakan Citra Satelit Landsat di Hutan Lahan Kering Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Tesis. Sekolah Pascasrjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nursal, W. I. 2004. Stand-Alone Gis Application for Wildlife Distribution And Habitat Suitability (Case Study: Javan Gibbon, Gunung Salak, West Java). Graduate Program. Bogor Agricultural University. Bogor.

[PerMenhut] Peraturan Menteri Kehutanan P.58/Menhut-II/2013 tentang Strategi Dan Rencana Aksi Konservasi Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) Tahun 2013-2022.

Phillips, S.J. 2004. A maximum entropy approach to species distribution modeling. Proceedings of the Twenty-First International Conference on Machine Learning. ACM Press, New York, pp. 472-486.

Phillips, S.J. RP. Andersonb, RE. Schapired. 2006. Maximum entropy modeling of species geographic distributions. Ecological Modelling. 190: 231-259. Phillips, S.J., Dudic, M. 2007. Modeling of species distributions with maxent:

new extensions and a comprehensive evaluation. Ecography. 31: 161-175. Prawiradilaga, D. M. 2006. Ecology and conservation of endangered javan hawk-eagle Spizaetus bartelsi. The Ornithological Society of Japan. Ornithol Sci 5: 177–186.

Rikimaru, A. 2003. Concept of FCD Mapping Model and Semi-Expert System. Japan: Overseas Forestry Consultants Association.

Santoso, S. 2002. Buku Latihan Statistik Multivariat. PT Elex Media Komputindo, Jakarta.

Setiadi AP, Rakhman Z, Nurwatha PF, Muchtar M dan Raharjaningtrah W. 2000. Status, Distribusi, Populasi, Ekologi dan Konservasi Elang Jawa Spizaetus bartelsi, Stressemann 1924 Di Jawa Barat Bagian Selatan. Bandung: BPFFI-BirdLife International-YPAL-HIMBIO UNPAD.

30

Sözer R & Nijman V (1995) Behavioural Ecology, Distribution and Conservation of The Javan Hawk-Eagle Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924. Verslagen en Technische Gegevens 62: 1–122.

Supriatna, AA. 2006. Dasar-Dasar Pengetahuan Burung Pemangsa (raptor). Makalah presentasi di Pusat Primata Schmutzer – TMR.

Supriatna, A. A, U. Suparman. 2006. Observation on nests of Ictianetus malayensis found in Java. Indonesian Environmental Information Center (PILI-NGO Movement).

Syartinilia,.Tsuyuki, S. 2008. GIS-Based modeling of javan hawk-eagle distribution using logistic and autologistic regression models. Biological Conservation. 141: 756-769.

Syartinilia., Tsuyuki, S., Lee, J.S. 2009. Gis-Based habitat model of javan hawk-eagle (Spizaetus bartelsi) using inductive approach in Java Island, Indonesia. Conservation and Biodiversity. 302-312.

Utami, BD. 2002. Kajian Potensi Pakan Elang Jawa (Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924) di Gunung Salak. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

van Balen, S; V. Nijman and R. Sozer. 1999. Distribution and conservation of javan hawk-eagle Spizaetus bartelsi. Bird Conservation International 9 : 333-349.

van Steenis,CGGJ.2006. Flora Pegunungan Jawa. Terj. Pusat Penelitian Biologi LIPI, Bogor.

Whitten T, Soeriaatmadja RE dan Afiff SA. 1996. The Ecology of Java and Bali: The Ecology of Indonesia Series, Vol. 2. Singapore: Periplus Editions. Widodo, T. 2004. Populasi Dan Wilayah Jelajah Elang Jawa (Spizaetus bartelsi

Stresemann, 1924) Di Gunung Kendeng Resort Cikaniki Taman Nasional Gunung Halimun. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Lampiran 12. Pakan atau mangsa EJ (Permenhut, 2013)

Spesies Jumlah Pengamatan Metode Referensi Mammalia

Lesser Mouse deer 1 3 RCS, 1996-2006 unpublish;

Tragulus javanica Prawiradilaga, 2006

Common Treeshrew

(Tupaia glis) 3 1 RCS, 1996-2006 Prawiradilaga, 2006 unpublish; Ebony langur (Trachypithecus auratus) young 1 3 RCS, 1996-2006 unpublish; Prawiradilaga, 2006 Crab-eating Monkey

(Macaca fascicularis) 1 1 Hadi, 2001 Flying Lemur

(Cynocephalus variegatus)

1 3 RCS, 1996-2006 unpublish; Prawiradilaga, 2006

Fruitbat (Cynopterus sp.) 2 1 RCS, 1996-2006 unpublish; Prawiradilaga, 2006

Fruitbat (Brachyotis sp.) 2 1 Hadi 2001

Bat (Chiroptera) 6 1 RCS, 1996-2006 unpublish;

Prawiradilaga et al., 2000, Prawiradilaga, 2006 Black Giant Squirrel

(Callosciurus nigrovittatus)

1 2 RCS, 1996-2006 unpublish; Prawiradilaga et al., 2000 Plantain Squirrel

(Callosciurus notatus) 1 1 RCS, 1996-2006 Prawiradilaga et alunpublish., 2000 ; Squirrel (Callosciurus sp.) 5 1 & 2 RCS, 1996-2006,

unpublish; Prawiradilaga et al., 2000

Stink badger Mydaus

javensis 1 1 Bartels, 1924 dalam Sözer &

Nijman, 1995

Squirrel or Treeshrew 31 1 RCS, 1996-2006 unpublish; Prawiradilaga et al., 2000, Hadi 2001

Rat (Rattus sp.) 5 2 RCS, 1996-2006 unpublish; Prawiradilaga et al., 2000: Hadi, 2001;

Prawiradilaga,2006

Small Rodent (Muridae) 8 1 RCS, 1996-2006 unpublish; Prawiradilaga et al., 2000; Hadi, 2001

Unidentified mammals 2 1 Hadi, 2001

Total Mammals 72

Domestic Chicken

(Gallus gallus) 2 3 RCS, 1996-2006 Prawiradilaga et al., 2000 unpublish; Chestnut-bellied Partridge

(Arborophila javanica) 2 1 Hadi 2001

Barred Button-quail

(Turnix suscitator) 1 2 RCS, 1996-2006 Prawiradilaga et al.unpublish, 2000 ; Emerald Dove

(Chalcophaps indica) 2 2 RCS, 1996-2006 Prawiradilaga et al., 2000 unpublish; Dove (Streptopelia sp.) 1 RCS, 1996-2006 unpublish;

2 Prawiradilaga et al., 2000 Javan Frogmouth

(Batrachostomus javensis) 1 2 Prawiradilaga et al., 2000

Woodpecker (Picus sp.) 1 1 Hadi, 2001

Nestlings of Pycnonotus

sp. 1 1 Suparman pers. com, 2007

Unidentified bird (Aves) 1 1 Prawiradilaga et al., 2000

Total Birds 12

Reptiles

Snake (Reptilia) 3 1, 3 Sözer & Nijman 1995, Prawiradilaga et al., 2000; Hadi, 2001

Lizard (Reptilia) 1 1, 3 Prawiradilaga et al., 2000 Agamid Bronchocela

jubata 1 1 Hadi (2001) Prawiradilaga,2006

Skink (Scincidae) 1 4 Prawiradilaga unpublished

Lampiran 13. Spesies pohon penting bagi EJ (Permenhut, 2013)

No Spesies Penggunaan Lokasi Referensi

1 Altingia excelsa bersarang G. Pangrango, G. Salak, G.Tangkuban Perahu

Sözer & Nijman (1995), Hapsoro et al. (1998), Afianto (1999), Setiadi et al. (2000)

2 Arthocarpus elastica bersarang South Cianjur Suparman (2002) 3 Castanea

javanica bersarang G. Merapi Yuda et al. (2003) 5 Castanopsis

argentea bersarang G. Kendeng- GHSNP This study 6 Castanopsis sp. bersarang South Cianjur Suparman (2002) 7 Eugenia lavimyrtus bersarang G. Salak Afianto (1999) 8 Eugenia cuprea Bersarang G. Tangkuban Perahu NR Hendarsah (2003) 9 Lithocarpus

sundaicus bersarang G. Salak Afianto (1999) 10 Pinus merkusii bersarang G. Salak Afianto (1999)

11 Quercus spp. bersarang South Cianjur Suparman et al. (2001) 12 Quercus

teysmanni bersarang Telaga Warna NR Mikoyan (2004) 13 Schima wallichi bersarang Jampang, G. Salak Hapsoro Afianto (1999) et al. (1998),

Lampiran 14. Variabel yang digunakan dalam penelitian serta sumber data.

No Variabel Habitat Singkatan Sumber Data

1 Peta Forest Canopy

Density FCD Landsat 8 bulan Oktober 2013 (http://earthexplorer.usgs.gov/)

2 Ketinggian KG Peta DEM-SRTM (90 m)

3 Kelerengan KL Peta DEM-SRTM (90 m)

4 Arah lereng AL Peta DEM-SRTM (90 m)

5 Peta sebaran suhu SH Peta bioclimatic (http://www.worldclim.org/) 6 Peta curah hujan CH Peta bioclimatic (http://www.worldclim.org/) 7 Peta jarak dari sungai JS Peta Rupa Bumi Indonesia 8 Peta jarak dari jalan JJ Peta Rupa Bumi Indonesia 9 Peta jarak dari permukiman JP Peta Rupa Bumi Indonesia 10 Peta sebaran kepadatan penduduk SH Data kependudukan (KPU 2014)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 25 Oktober 1986 sebagai anak kedua dari pasangan Bapak Cacah Cahyana dan Ibu Nani Sumarni. Menamatkan sekolah menengah atas di SMAN 1 Kawali tahun 2004, serta menamatkan pendidikan sarjana di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB tahun 2009. Pada tahun 2011 penulis melanjutkan studi di Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, Sekolah Pascasarjana IPB.

Penulis berprofesi sebagai peneliti dan konsultan lepas dibidang kehutanan khususnya satwa liar dan pemodelan serta pemetaan habitat. Tergabung sebagai anggota tim peneliti Uni Konservasi Fauna (UKF-IPB), anggota Wahana Telisik Seni dan Sastra (WTS), telah melakukan berbagai kegiatan penelitian mengenai biodiversitas atau keanekaragaman hayati serta pemetaan habitat, beberapa kegiatan penilaian kawasan, serta aktif di beberapa kegiatan pelestarian lingkungan.

Dokumen terkait