• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

2.4.2. Model Skoring Principle Component Analysis (PCA)

Analisis PCA dilakukan untuk mengetahui dan mengidentifikasi adanya hubungan antar beberapa variabel untuk mendapatkan variabel baru yang tidak saling berhubungan (Santoso 2002). Pada beberapa penelitian (Dewi 2005, Nursal 2007, Kastanya 2001), analisis PCA dapat dijadikan acuan dalam penentuan skor atau bobot variabel untuk menduga tingkat kesesuaian habitat pada suatu spesies. Pemodelan kesesuaian habitat pada EJ menggunakan PCA sebangai acuan untuk menentukan bobot pada tiap variabel yang diujikan.

Total jumlah titik perjumpaan EJ di lokasi penelitian adalah 64 perjumpaan. Titik perjumpaan tersebut dijadikan titik ikat untuk mengetahui variabel habitat yang akan diuji. Berdasarkan analisis data, dari 10 variabel yang diuji, hanya 7 variabel yang memenuhi persyaratan untuk bisa dianalisis dengan PCA (nilai Measures of Sampling Adequacy (MSA) > 0.5). Variabel arah lereng, jarak dari sungai, dan kelerengan memiliki nilai MSA < 0.5 yang berarti variabel tersebut tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dianalisis lebih lanjut. Nilai MSA pada masing masing veriabel dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai MSA pada tiap variabel yang diuji. Variabel MSA AL 0.249 CH 0.752 FCD 0.835 JJ 0.778 JS 0.276 KP 0.537 JP 0.684 KL 0.287 SH 0.506 KG 0.539

Analisis PCA terhadap tujuh variabel menghasilkan dua variabel faktor baru (PC) yang tidak saling berhubungan dengan nilai total eigenvalue kumulatif atau nilai keterwakilan terhadap varian awal sebesar 75.282%. Tingkat keterkaitan antara variabel habitat dengan tiap PC digambarkan dengan nilai factor loadings yang merupakan korelasi antara variabel habitat dan faktor yang terbentuk (PC). Variabel jarak dari jalan, jarak dari permukiman, suhu, FCD dan ketinggian

13 cenderung memiliki keterkaitan serta mengelompok pada faktor satu (PC1), sedangkan variabel curah hujan, dan jumlah penduduk termasuk ke dalam kelompok faktor 2 (PC2). Nilai factor loadings atau keterkaitan tiap variabel terhadap faktor baru yang terbentuk dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Nilai eigenvalues terhadap masing-masing PC yang terbentuk.

Component

Initial Eigenvalues Extraction Sums of Squared Loadings Total % of Variance Cumulative % Total % of Variance Cumulative % 1 3.781 54.014 54.014 3.781 54.014 54.014 2 1.489 21.268 75.282 1.489 21.268 75.282 3 0.704 10.056 85.337 4 0.594 8.479 93.817 5 0.248 3.547 97.364 6 0.164 2.344 99.709 7 0.020 0.291 100.000

Angka eigenvalues menunjukkan kepentingan relatif masing-masing faktor dalam menghitung varians dari ketujuh variabel yang dianalisis. PC1 memiliki nilai eigenvalue 3.781 atau memiliki keterwakilan varian semua variabel sebesar 54.014%. sedangkan PC2 memiliki nilai eigenvalue 1.489 atau memiliki keterwakilan varian 21.268%. Nilai eigenvalue atau nilai keterwakilan tiap PC dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 3. Nilai factor loadings pada tiap variabel terhadap masing-masing PC Variabel PC 1 2 CH 0.334 0.856 FCD 0.546 0.458 JJ -0.534 -0.340 KP -0.056 -0.945 JP 0.674 0.222 SH -0.949 -0.068 KG 0.932 0.192

Nilai eigenvalues pada tiap PC tersebut dapat dijadikan skor atau bobot untuk menduga komposisi varian data seluruh variabel habitat yang sesuai bagi EJ. Dengan demikian, persamaan nilai skor kumulatif (SK) kesesuaian habitat EJ adalah sebagai berikut :

SK= 3.781(PC1) + 1.489(PC2)

Nilai masing-masing PC yang terbentuk, merupakan gabungan dari variabel-variabel pembentuknya. Guna mengetahui persamaan nilai masing-masing PC pada setiap varian data maka dilakukan analisis regresi dari factor scores setiap PC terhadap seluruh variabel pembentuknya (Tabel 4).

14

Tabel 4. Bobot dan konstanta tiap variabel Variabel PC1 PC2 Konstanta 3.530324 -3.034688 CH -0.000061 0.000979 FCD -0.003129 0.0213 JJ -0.000441 -0.000137 KP 0.00023 -0.000608 JP 0.000626 -0.000074 SH -0.033565 0.012802 KG 0.00214 -0.000539

Berdasarkan nilai bobot tersebut maka bentuk persamaan untuk setiap PC adalah sebagai berikut :

PC1 = 3.530324 - 0.000061(CH) - 0.003129(FCD) - 0.000441(JJ) + 0.00023(KP) + 0.000626(JP) - 0.033565(SH) + 0.002140(KG) PC2 = 3.034688 + 0.000979(CH) + 0.021300(FCD) 0.000137(JJ)

-0.000608(KP) - 0.000074(JP) + 0.012802(SH) - 0.000539(KG) Berdasarkan persamaan yang telah terbentuk, maka didapatkan nilai skor kumulatif kesesuaian habitat pada areal penelitian antara -2.64 sd 2.73. Nilai tersebut kemudian dibagi menjadi tiga kelas kesesuaian yaitu kelas kesesuaian rendah (KR), kelas kesesuaian sedang (KS), dan kelas kesesuaian tinggi (KT). Rentang nilai skor kumulatif pada kelas KR antara (-2.64)-(-0.85), kelas KS antara (-0.86)-(0.94), dan kelas KT antara (0.95)-(2.73).

Validasi Model 2.5.

Validasi model dilakukan untuk mengetahui tingkat kepercayaan atau ketepatan model yang dibuat. Berdasarkan hasil validasi dengan menggunakan 25 titik perjumpaan terhadap model yang didapat diketahui bahwa 18 titik perjumpaan (72%) berada pada kelas KT, 6 titik (24%) berada pada kelas KS, dan 1 titik (4%) berada pada kelas KR. Proporsi sebaran titik perjumpaan EJ tersebut menggambarkan model yang terbentuk memiliki tingkat akurasi yang cukup tinggi (72%).

Uji Beda Kelas Kesesuaian EJ 2.6.

Uji beda dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan rata-rata pada tiap kelas kesesuaian habitat EJ. Proses pengujian varian data dilakukan dengan metode one way anova dengan hipotesis :

H0 : Ketiga kelas kesesuaian EJ memiliki varian data yang sama. H1 : Ketiga kelas kesesuaian EJ memiliki varian data yang berbeda.

15

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Model Kesesuaian Habitat EJ 3.1.

Berdasarkan peta kesesuaian haitat EJ yang telah terbentuk, maka didapatkan nilai kesesuaian habitat pada seluruh areal penelitian antara -2.64 sd 2.73. Rentang nilai tersebut kemudian dibagi menjadi tiga kelas kesesuaian yaitu kesesuaian rendah (KR) dengan nilai rentang (-2.64) – (-0.85), kesesuaian sedang (KS) dengan nilai rentang (-0.86) – 0.94, dan kesesuaian tinggi (KT) dengan nilai rentang 0.94 – 2.73. Total luasan areal yang dianalisis adalah 435,596.66 ha dengan proporsi 66.5% areal termasuk kedalam KR, 18.07% termasuk kedalam KS, dan 15.39% termasuk kedalam KT (Tabel 5). Proporsi tersebut menunjukan bahwa hanya sebagian kecil habitat yang sesuai bagi keberlangsungan populasi EJ di areal penelitian.

Tabel 5. Luas dan proporsi kelas kesesuaian EJ di areal penelitian Kelas Kesesuaian Luas (Ha) Proporsi (%)

Rendah 289,865.60 66.54 Sedang 78,701.67 18.07 Tinggi 67,029.39 15.39

Model yang terbentuk menunjukkan areal dengan kelas KT bagi EJ 94.43% berada pada kawasan TNGHS. Hal ini mengindikasikan bahwa TNGHS merupakan areal yang sangat penting bagi keberadaan EJ pada seluruh areal penelitian. Diperkirakan populasi EJ di areal TNGHS sebanyak 23-33 pasangan yang merupakan jumlah perkiraan populasi EJ terbanyak di seluruh Jawa (Permenhut, 2013). Berdasarkan observasi yang telah dilakukan di kawasan TNGHS, perjumpaan EJ tercatat di hampir seluruh kawasan termasuk areal perkebunan teh Nirmala (Kuswandono et al. 2003, van Balen 1999, Gjershaug et al. 2004). Kawasan TNGHS merupakan hutan hujan tropis terluas di Pulau Jawa. Berdasarkan peta tutupan lahan (Dephut 2011), kawasan TNGHS didominasi oleh tipe hutan lahan kering sekunder, hutan lahan kering primer, serta hutan tanaman. Komposisi tipe hutan tersebut teridentifikasi merupakan habitat yang disukai oleh EJ (Prawiradilaga 2006, Nijman 2003, Kuswandono et al. 2003, Sozer 1995).

Pemodelan habitat pada EJ sebelumnya telah dilakukan oleh Syartinilia et al. (2009) dengan menggunakan analisis regresi logistik yang diekstrapolasi pada seluruh areal Pulau Jawa. Variabel penduga yang digunakan adalah ketinggian, kelerengan, NDVI, Indeks cahaya matahari, jarak dari sungai, jarak dari permukiman, dan jarak dari jalan. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa areal TNGHS tidak termasuk kedalam habitat yang sesuai bagi EJ karena memiliki peluang kehadiran EJ kurang dari 0.5 atau luasan areal habitat sesuai kurang dari 50 Km2. Selain dari faktor analisis, faktor variabel penduga serta perbedaan sampel perjumpaan EJ diduga menjadi faktor yang menyebabkan perbedaan hasil dan kesimpulan dengan penelitian ini. Syartinilia et al. (2009) menggunakan titik sarang EJ sebagai variabel dependen pada model sehingga model yang dihasilkan menjadi lebih spesifik pada karakteristik tempat bersarang EJ. Pada penelitian ini, variabel data sebaran yang digunakan adalah titik sarang

16

serta titik perjumpaan langsung EJ. Hal ini mengakibatkan teridentifikasinya areal-areal habitat yang tidak teridentifikasi pada model sebelumnya.

Total areal pengelolaan TNGHS memiliki luas areal sekitar 105.100 ha, 63,3% areal termasuk kedalam kelas KT, 29.71% termasuk kelas KS, dan 10.11% termasuk kelas KR (Tabel 6). Secara umum, sebaran areal kelas KT di areal TNGHS terbagi menjadi 4 patches yang saling terpisah yaitu areal Gunung Salak (9,298.25 ha), areal Pegunungan Halimun (50,307.79 ha), areal Gunung Endut (2,349.83 ha), dan areal Gunung Talaga (334.85 ha). Areal Pegunungan Halimun merupakan habitat utama EJ karena mencakup 80.7% dari total keseluruhan areal KT di TNGHS. Jarak patch paling jauh adalah areal Gunung Talaga dengan jarak dari patch utama 8.4 km, areal Gunung Salak 3 km, dan yang terdekat adalah areal Gunung Endut sejauh 0.4 km. Peta sebaran kelas kesesuaian serta patches habitat dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.

Tabel 6. Luas dan proporsi kelas kesesuaian EJ di kawasan TNGHS Kelas Kesesuaian Luas (Ha) Proporsi (%)

Rendah 10,638.90 10.114

Sedang 31,251.06 29.71

Tinggi 63,296.91 60.175

Habitat yang terfragmentasi merupakan salah satu ancaman bagi kelestarian EJ karena terjadi isolasi populasi yang berdampak pada penurunan kualitas genetik karena inbreeding (Sozer 1995). Mengacu pada wilayah jelajah (Gjershaug et al. 2004) dan jarak antar patch, areal habitat EJ di Gunung Talaga memiliki tingkat ancaman yang paling tinggi karena memiliki areal yang kecil serta jarak dari patch lainnya yang cukup jauh.

Salah satu upaya yang mungkin dilakukan untuk mengurangi dampak fragmentasi habitat adalah dengan menghubungkan setiap patch yang ada dengan koridor habitat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kualitas habitat yang memiliki kelas KS. Berdasarkan hasil validasi model, 24% perjumpaan EJ terdapat pada areal dengan kelas KS. Hal ini mengindikasikan bahwa habitat dengan kelas KS memiliki tingkat peluang keberadaan EJ yang relatif tinggi. Luas areal kelas KS mencapai 29.7% dari wilayah TNGHS yang merupakan areal penghubung antar patch habitat kelas KT, maka areal kelas KS bisa dijadikan acuan untuk pengembangan koridor habitat EJ di kawasan TNGHS.

Gambar 5. Peta kelas kesesuaian haitat EJ di lokasi penelitian. 17

18

19

Karakteristik Habitat EJ 3.2.

Berdasarkan hasil uji beda menggunakan one way anova (Tabel 7) terhadap variabel habitat berdasarkan kelas kesesuaian, menunjukkan bahwa ketiga kelas kesesuaian habitat yang terbentuk memiliki varian variabel yang berbeda secara nyata. Hal ini menandakan bahwa ketiga kelas kesesesuaian memiliki karakter tersendiri yang spesifik dan berbeda dengan yang lainnya. Pada kelas kesesuaian tinggi, varian data berkelompok pada selang tertentu yang menggambarkan karakteristik habitat EJ yang spesifik. Nilai rata-rata varian data setiap variabel pada kelas KT serta dilihat pada Tabel 8.

Tabel 7. Hasil analisis anova untuk ketiga kelas KT Variabel F Sig. CH 283.076 0.000 FCD 851.012 0.000 JJ 1878.921 0.000 KP 76.698 0.000 JP 2554.816 0.000 SH 4751.978 0.000 KT 4388.365 0.000

Habitat yang sesuai bagi satu spesies berbeda dengan spesies lainnya, hal ini disebabkan kerena masing-masing spesies memiliki karakteristik komponen habitat yang berbeda untuk mendukung kehidupannya (Alikodra 2002). Pada EJ di lokasi penelitian, karakteristik habitat diidentifikasi dengan rentang pengelompokkan varian data pada tiap variabel yang berada dalam kelas KT (Gambar 7-Gambar 13). Variabel tersebut merupakan tujuh variabel yang digunakan dalam pembentukan model.

Tabel 8. Nilai varian rata-rata variabel pada kelas KT Variabel Rata-rata Std. deviasi CH Total KT 3743.74 3883.05 365.64 299.61 FCD Total KT 45.28 68.96 23.01 11.18 JJ Total KT 672.99 2207.69 948.49 1445.86 KP Total KT 4455.97 3829.08 2100.04 1504.37 JP Total KT 817.60 2727.51 1089.27 1554.61 SH Total KT 240.55 199.26 22.51 17.18 KG Total KT 515.67 1136.05 345.41 271.46

20

Variabel yang paling berpengaruh terhadap model kesesuaian habitat EJ dalam penelitian ini dilihat berdasarkan nilai factor loadings atau nilai korelasi tertinggi pada PC1 yang memiliki nilai keterwakilan terhadap populasi data terbesar. Diantara tujuh variabel yang dianalisis, variabel suhu (SH) dan ketinggian (KG) memiliki pengaruh terbesar terhadap model dengan nilai korelasi -0.949 dan 0.932 pada PC1. Hal ini sedikit berbeda dengan model yang dikembangkan Syartinilia (2009) dimana variabel yang berpengaruh terhadap EJ terdiri dari veriabel kemiringan lereng (slope), ketinggian (elevasi), dan NDVI (vegetasi). Pada penelitian ini, variabel SH dan KG merupakan variabel makro habitat yang erat kaitannya dengan keberadaan hutan dan tutupan vegetasi. Sebaran keberadaan hutan di lokasi penelitian hanya tersisa pada areal perbukitan dan pegunungan sehingga sebaran habitat EJ berada pada ketinggian yang relatif tinggi. Variabel SH tidak terlepas dari variabel KG dimana secara alami suhu rata-rata turun dengan bertambahnya ketinggian (van Steenis 2006).

3.2.1. Vegetasi

Beberapa penelitian yang telah dilakukan (Prawiradilaga 2006, Nijman 2003, Kuswandono et al. 2003, Sozer 1995) menyebutkan bahwa EJ lebih cenderung menggunakan tipe habitat hutan hujan tropis primer dan hutan sekunder. Kedua tipe habitat tersebut dimanfaatkan oleh EJ sebagai areal untuk berburu dan bersarang (Gjershaug et al. 2004). Dalam penelitian ini, pengukuran kelas vegetasi dilakukan dengan metode Forest Canopy Density (FCD). Nilai atau varian data dalam FCD adalah persen tutupan kanopi yang menggambarkan kondisi vegetasi di areal penelirian (Rikimaru 2002). Hasil analisis menunjukkan bahwa EJ di lokasi penelitian, cenderung menyukai areal yang memiliki tutupan kanopi sedang sampai rapat dengan rata-rata nilai FCD 68.96 ± 11.18. Sebagian besar kawasan TNGHS merupakan hutan primer dengan tutupan hutan yang rapat (Dewi 2005). Hasil pengukuran FCD di TNGHS menunjukkan bahwa areal ini memiliki tutupan vegetasi yang cukup rapat dengan rata-rata nilai FCD berada di kisaran 63 ± 14.5.

Gambar 7. Sebaran nilai FCD pada kelas KT

Penutupan kanopi pada hutan alam dalam hal ini pada kawasan TNGHS berkaitan erat dengan struktur dan komposisi vegetasi penyusunnya. Hasil penelitian Nugroho (2012) menunjukkan bahwa kerapatan kanopi hutan

21 mempunyai korelasi tinggi terhadap crown indicator atau indikator tegakan yang mencerminkan dimensi vertikal dan horizontal serta kualitas tajuk. Struktur dan komposisi tegakan yang beragam merupakan salah satu indikator dari keberagaman satwa pada areal tersebut. EJ mempunyai satwa mangsa yang beragam dari jenis mamalia kecil, burung, serta reptil. Prawiradilaga (2006) menyebutkan bahwa sekurangnya terdapat 29 jenis satwa mangsa EJ yang berupa mamalia kecil, seperti jenis tupai (Tupaidae), bajing (Sciuridae), serta jenis mamalia kecil lainnya termasuk anakan monyet dan kancil (Tragulus javanicus) selain dari jenis burung dan reptil dengan proporsi yang lebih sedikit.

Peran kanopi bagi EJ juga berkaitan langsung dengan pakan dan perilaku berburu. EJ tercatat lebih sering dijumpai memangsa jenis tupai dan bajing yang hidup pada kanopi hutan. Jenis pakan kegemaran EJ secara tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku berburu. EJ lebih sering dijumpai berburu dengan cara bertengger dan mengintai mangsanya dari balik kanopi hutan yang tersembunyi. Perilaku berburu lainnya adalah dengan terbang rendah di antara kanopi secara perlahan dan menyergap mangsanya baik di pohon maupun di tanah (Prawiradilaga 2006, Sozer 1995). Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan hutan alam merupakan faktor yang penting bagi kehidupan EJ (Widodo 2004, Utami 2002).

Dokumen terkait