• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Elang Jawa (Nisaetus Bartelsi Stresemann, 1924) Di Taman Nasional Gunung Halimun- Salak.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Elang Jawa (Nisaetus Bartelsi Stresemann, 1924) Di Taman Nasional Gunung Halimun- Salak."

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT

ELANG JAWA (Nisaetus bartelsi Stresemann, 1924) DI TAMAN

NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK

Andi Nugraha Cahyana

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Elang Jawa (Nisaetus Bartelsi Stresemann, 1924) Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

ANDI NUGRAHA CAHYANA. Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Elang Jawa (Nisaetus Bartelsi Stresemann, 1924) Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Dibimbing oleh JARWADI BUDI HERNOWO dan LILIK BUDI PRASETYO.

Elang jawa (Nisaetus bartelsi) merupakan jenis elang yang memiliki penyebaran terbatas (endemik) di Pulau Jawa yang keberadaannya terancam punah (endangered) karena populasi yang kecil, serta degradasi dan fragmentasi habitat (IUCN redlist, ver. 3.1). Perkiraan jumlah populasi elang jawa (EJ) saat ini berada pada rentang 108-542 pasang yang tersebar pada kantong-kantong habitat hutan di sepanjang Pulau Jawa (Syartinilia dkk 2008). Salah satu kawasan dengan jumlah populasi EJ paling tinggi adalah kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) dengan perkiraan populasi 23-33 pasang (Permenhut 2013).

Upaya pelestarian EJ mulai dilakukan oleh pemerintah, salah satunya dengan disahkannya Peraturan Menteri Kehutanan nomor P-58 tahun 2013 Tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Elang Jawa Tahun 2013-2022. Salah-satu poin dalam strategi dan rencana aksi yang disusun adalah memulihkan habitat EJ. Guna mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan kajian terhadap habitat EJ dan karakteristik habitat yang spesifik sehingga dapat diukur dan dievaluasi.

Penelitian mengenai pemodelan kesesuaian habitat EJ di TNGHS ini menggunakan metode analisis skoring Principal Component Analysis (PCA). Penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan model sebaran kesesuaian habitat EJ sehingga dapat dijadikan acuan dalam berbagai penerapan kebijakan pengelolaan dalam bidang ekologi dan konservasi.

Terdapat 10 variabel habitat yang dijadikan parameter untuk membangun model kesesuaian habitat EJ. Variabel-variabel tersebut adalah ketinggian tempat, kelerengan, arah lereng, Forest Canopy Density, curah hujan, suhu, jarak dari sungai, jarak dari jalan, jarak dari permukiman, serta kepadatan penduduk.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan areal dengan kelas kesesuaian tinggi bagi EJ sebagian besar (94.43%) berada pada kawasan TNGHS. Hal ini mengindikasikan bahwa TNGHS merupakan areal yang sangat penting bagi keberadaan EJ. Proporsi kelas kesesuaian habitat EJ di dalam kawasan TNGHS adalah 63,3% areal termasuk kedalam kelas kesesuaian tinggi, 29.71% termasuk kelas kesesuaian sedang, dan 10.11% termasuk kelas kesesuaian rendah. Berdasarkan sebaran varian data pada kelas kesesuaian tinggi diketahui bahwa EJ di lokasi penelitian cenderung menyukai habitat hutan alam perbukitan yang cukup basah dan sejuk dengan tingkat gangguan atau aktifitas manusia yang relatif sedikit dibandingkan dengan lokasi lainnya di areal penelitian.

(5)

SUMMARY

ANDI NUGRAHA CAHYANA. Habitat Spatial Model of Javan Hawk-Eagle (Nisaetus bartelsi Stresemann, 1924) In Gunung Halimun-Salak National Park. Supervised by JARWADI BUDI HERNOWO and LILIK BUDI PRASETYO.

Javan hawk eagle (Nisaetus bartelsi) is a raptor species which have limited distribution area (endemic) in Java island. Their existence is threatened (Endangered) due to small population, habitat degradation as well as fragmentation (IUCN redlist, ver. 3.1). Approximately the population of Javan hawk eagle are between 108-542 pairs which spread in habitat patches around Java island (Syartinilia dkk 2008). Gunung Halimun Salak National Park (GHSNP) is known as one of the major stronghold with highest population of javan hawk eagle where approximately 23-33 pairs of javan hawk eagle are living in this area (Permenhut 2013).

The conservation action has been done by government through regulation by Ministry of Forestry number P-58 year 2013 about Strategic Plan of Conservation Action for Javan Hawk Eagle 2013-2022. One of the point on this strategic plan is to recover natural habitat of Javan hawk eagle. To achieve that purpose, a study about specific habitat characteristic that suitable for javan hawk eagle is needed.

We established habitat suitability modeling of javan hawk eagle in GHSNP by used principal component analysis (PCA) scoring method. This study is expected to produce habitat suitability model for javan hawk eagle that can be implemented for better habitat management in GHSNP to identified priority area as well as to mitigating disturbance for javan hawk eagle.

There are 10 habitat variables used as parameters such as: altitude, slope, aspect, forest canopy density (FCD), temperature, rainfall, rivers distribution, road distribution, settlements and human density.

The result of this study showed that from total study area in GHSNP, 94.43% of this area is identified as high suitability class as habitat for javan hawk eagle. It indicated that GHSNP is very important habitat for the existence of javan hawk eagle. Proportion of high suitability class is 63.3%, meanwhile 29.71% is included as moderate suitability class and 10.11% is included as low suitability class for javan hawk eagle in GHSNP. Based on the distribution of data variation in high suitability class, we are able to recognize that javan hawk eagle in our study area is prefer a primary forest with low disturbance from human activities as their habitat.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT ELANG

JAWA (Nisaetus bartelsi Stresemann, 1924) DI TAMAN

NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)
(9)

Judul Tesis : Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Elang Jawa

(Nisaetus Bartelsi Stresemann, 1924) Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

Nama : Andi Nugraha Cahyana NIM : E351110111

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Jarwadi B. Hernowo, MSc. F

Ketua Prof. Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo, M.Sc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Konservasi Biodiversitas Tropika

Dr. Ir. Burhannudin Masyud, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(10)
(11)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan seluruh karunia, rahmat dan hidayah-Nya kepada penyusun sehingga penyusunan tesis yang berjudul “Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Elang Jawa (Nisaetus bartelsi Stresemann, 1924) di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak” dapat berjalan dengan baik dan lancar.

Penyusun tak lupa mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing Dr. Ir. Jarwadi Budi Hernowo, MscF. dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, Msc., serta Dr. Syartinilia, SP. Msi. selaku penguji pada ujian tesis. Terima kasih juga kepada keluarga besar IC, KSH 41, Uni Konservasi Fauna, KVT 2011, serta pihak -pihak yang telah memberikan dukungan, bimbingan dan arahan dalam penyusunan tesis ini. Rahayu Oktaviani, udin, serta keluarga atas doa, dukungan, kesabaran dan semangatnya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan.

Penyusun menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu diharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun dalam penyusunan tesis penelitian ini. Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih dan juga berharap tesis ini dapat bermanfaat dan berguna bagi semua pihak.

Bogor, Agustus 2015

(12)

i 2.3.1. Kegiatan Pendahuluan ... 6

2.3.2. Pengumpulan Data ... 6

Analisis Data dan Peta ... 6

2.4. 2.4.1. Analisis Peta ... 6

2.4.2. Model Skoring Principle Component Analysis (PCA) ... 12

Validasi Model ... 14

2.5. Uji Beda Kelas Kesesuaian EJ ... 14

2.6. III. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

Model Kesesuaian Habitat EJ ... 15

3.1.

3.2.4. Aktivitas Manusia ... 23

Kelemahan Model Kesesuaian Habitat EJ ... 25

(13)

ii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka pemikiran pemodelan kesesuaian habitat EJ ... 3

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian... 5

Gambar 3. Diagram alur pemuatan Forest Canopy Density (FCD) ... 8

Gambar 4. Tahapan dan alur kegiatan penelitian ... 10

Gambar 5. Peta kelas kesesuaian haitat EJ di lokasi penelitian... 17

Gambar 6. Peta sebaran patches di kawasan TNGHS. ... 18

Gambar 7. Sebaran nilai FCD pada kelas KT ... 20

Gambar 8. Sebaran nilai CH pada kelas KT ... 21

Gambar 9. Sebaran nilai SH pada kelas KT ... 22

Gambar 10. Sebaran nilai KG pada kelas KT ... 23

Gambar 11. Sebaran nilai JJ pada kelas KT ... 24

Gambar 12 Sebaran nilai JP pada kelas KT ... 24

Gambar 13. Sebaran nilai KP pada kelas KT ... 24

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Nilai MSA pada tiap variabel yang diuji. ... 12

Tabel 2. Nilai eigenvalues terhadap masing-masing PC yang terbentuk. ... 13

Tabel 3. Nilai factor loadings pada tiap variabel terhadap masing-masing PC ... 13

Tabel 4. Bobot dan konstanta tiap variabel ... 14

Tabel 5. Luas dan proporsi kelas kesesuaian EJ di areal penelitian ... 15

Tabel 6. Luas dan proporsi kelas kesesuaian EJ di kawasan TNGHS ... 16

Tabel 7. Hasil analisis anova untuk ketiga kelas KT ... 19

(14)

1 keberadaannya terancam punah (endangered) karena populasi yang kecil, serta degradasi dan fragmentasi habitat (IUCN redlist ver. 3.1). Perkiraan jumlah populasi elang jawa (EJ) saat ini berada pada rentang 108-542 pasang yang tersebar pada kantong-kantong habitat di sepanjang Pulau Jawa (Syartinilia et al. 2008). Salah satu kawasan dengan jumlah populasi EJ paling tinggi adalah kawasan Gunung Halimun-Salak dengan perkiraan populasi 23-33 pasang (Permenhut 2013).

Upaya pelestarian EJ sudah dilakukan secara intensif oleh pemerintah melalui disahkannya SK Dirjen PHKA No.138/IV-KKH/2011 dimana salah satu poin pentingnya berisi tentang peningkatan 3% populasi spesies terancam punah, termasuk EJ. Akan tetapi, upaya pelestarian habiatat dan populasi EJ menghadapi beberapa kendala seperti tingginya tingkat kebutuhan lahan di Pulau Jawa yang mengakibatkan tekanan besar terhadap keberadaan hutan yang merupakan habitat dari EJ. Kendala berikutnya adalah tingkat perjumpaan serta identifikasi individu yang sangat sulit. Hal ini berdampak pada sulitnya mendapatkan data akurat mengenai populasi dan sebaran EJ. Pendekatan berdasarkan analisis sebaran dan kesesuaian habitat di suatu areal berdasarkan sistem informasi geografis dapat dijadikan salah satu alternatif untuk dijadikan data dasar atau acuan dalam pengelolaan.

Selain dari itu, dalam rangka pelestarian elang jawa melalui upaya pelepasliaran masih banyak mengalami kendala terutama mengenai pemilihan habitat yang cocok sebagai lokasi pelepasliaran. Salah satu solusi yang bisa dilakukan untuk mengidentifikasi habitat yang sesuai adalah dengan pemodelan spasial kesesuaian habitat.

Perkembangan Geographic Information System (GIS) serta ketersediaan data spasial saat ini telah mendorong berkembangnya pendekatan analisis statistik mengenai distribusi dan sebaran pada spesies dalam skala lansekap (Braunisch 2008). Pengetahuan mengenai sebaran spasial suatu spesies sangat penting untuk berbagai penerapan dalam bidang ekologi dan konservasi (Graham et al. 2004). Sebagai contoh adalah beberapa penelitian mengenai pendugaan kesesuaian habitat untuk spesies terancam punah (Kumar 2009), evaluasi resiko perubahan iklim dan perkotaan terhadap habitat satwa (Galbairth et al. 2004), serta indikator ekologi untuk pengelolaan sumber daya (Dale et al. 2004).

(15)

2

kesesuaian habitat suatu spesies (Phillips et al. 2005). Model spasial yang didapat merupakan perkiraan relung ekologi berdasarkan pengujian dari data spasial seluruh variabel.

Metode analisis untuk model distribusi spasial telah banyak dikembangkan, salah satu metode yang umum digunakan adalah dengan menggunakan analisis Generalized Linear Models (GLM) yang termasuk di dalamnya analisis regresi dan regresi logistik. Namun pada penererapannya, metode analisis GLM memiliki beberapa kendala diantaranya adalah kebutuhan data “present dan absence” (kehadiran dan ketidak hadiran) yang sulit diterapkan dimana data “absence” mutlak sulit untuk diketahui. Pada beberapa kasus penelitian, kebutuhan data absence ini dapat diantisipasi dengan pendekatan “pseudo-absences” dengan mengambil sampel acak dari grid di areal penelitian (Ferrier dan Watson 1997). Selain GLM, metode Environmental-Niche Factor Analysis (ENFA) juga dapat digunakan untuk menduga distribusi spasial suatu spesies. ENFA hanya menggunakan data kehadiran yang dianalisis bersama variabel lingkungan pada areal penelitian tanpa memerlukan data sampel ketidakhadiran. Hal ini serupa dengan Principal Components Analysis (PCA) yang menggunakan transformasi linear untuk mendapatkan ruang marginalitas dan spesialisasi dari variabel lingkungan pada suatu spesies (Phillips et al. 2005). Metode lain yang bisa digunakan untuk pendugaaan distribusi yaitu melalui metode dengan pendekatan Maximum Entropy (MaxEnt). Jaynes (1957) dalam (Phillips et al. 2007), menyatakan bahwa cara terbaik untuk memastikan suatu pendekatan yang memiliki kendala pada ketiadaan distribusi, maka distribusi tersebut harus memiliki entropi maksimum. Prinsip utama dari MaxEnt adalah memperkirakan peluang distribusi suatu spesies dengan mencari peluang distribusi subjek (pixel) yang memiliki entropi maksimum dan memperkirakan nilai pixel lainnya pada areal penelitian (Phillips 2004). Model distribusi MaxEnt hanya menggunakan data kehadiran dalam analisisnya, yang selanjutnya dijadikan sampel dari area penelitian termasuk variabel lingkungan didalamnya untuk menduga nilai peluang distribusi disekitarnya (Phillips et al. 2005).

Pemodelan distribusi dan kesesuaian habitat EJ dengan menggunakan GIS di Indonesia sudah mulai dilakukan. Syartinilia et al. (2008) menggunakan metode analisis regresi logistik untuk menduga sebaran habitat EJ di Pulau Jawa. Penelitian lainnya dilakukan oleh Cahyana (2010) menggunakan metode analisis skoring PCA untuk menduga sebaran kesesuaian habitat EJ di Kabupaten Ciamis bagian utara. Perbedaan dalam metode analisis data tentunya menghasilkan pendugaan sebaran distribusi yang berbeda. Tingkat akurasi, sensitifitas serta kemudahan aplikasi di lapangan menjadi pertimbangan tersendiri dalam memilih model yang digunakan.

Penelitian mengenai pemodelan kesesuaian habitat EJ di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, menggunakan metode skoring analisis PCA. Penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan model sebaran kesesuaian habitat EJ dengan tingkat akurasi dan sensitifitas yang tinggi sehingga dapat dijadikan acuan dalam berbagai penerapan kebijakan pengelolaan dalam bidang ekologi dan konservasi.

Kerangka Pemikiran 1.2.

(16)

3 yang termasuk raptor, yaitu ordo Falconiformes yang merupakan raptor yang aktif pada siang hari (diurnal), dan ordo Strigiformes yang aktif pada malam hari (nokturnal). Di Indonesia terdapat tiga famili raptor yang berasal dari ordo Falconiformes yaitu Pandionidae (1 jenis), Accipitridae (64 jenis) dan Falconidae (10 jenis) dengan 15 jenis endemik (Prawiradilaga et al. 2003 dalam Supriatna, 2006). Ordo Strigiformes atau jenis burung hantu tercatat 34 jenis yang berasal dari dua famili (Tytonidae dan Strigidae) dan 16 jenis diantaranya adalah jenis endemik (Colijn, 2002 dalam Supriatna 2006).

Elang jawa merupakan jenis elang yang memiliki penyebaran terbatas (endemik) hanya dapat dijumpai di Pulau Jawa. Sebaran yang terbatas serta populasi yang sedikit mengakibatkan tingginya tingkat ancaman kepunahan spesies ini selain dari tekanan terhadap perubahan habitat karena kebutuhan lahan yang tinggi di Pulau Jawa. Tingkat ancaman kepunahan diperparah dengan tingginya perburuan EJ untuk dijadikan hewan peliharaan dengan prestige tinggi bagi pemeliharanya (IUCN redlist ver. 3.1).

Mengingat pentingnya peran dan tingkat ancaman, maka EJ termasuk ke dalam jenis burung pemangsa yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Perlindungan hukum bagi EJ diperkuat dengan diterbitkannya Keputusan Presiden (Keppres) nomor 4 tahun 1993 yang menetapkan EJ sebagai burung nasional dan lambang spesies langka. Upaya pelestarian EJ sudah mulai dilakukan secara intensif oleh pemerintah, salah satunya dengan disahkannya Peraturan Menteri Kehutanan nomor P-58 tahun 2013 Tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) Tahun 2013-2022.

Gambar 1. Kerangka pemikiran pemodelan kesesuaian habitat EJ

Pemodelan kesesuaian habitat EJ ini diharapkan mampu mengidentifikasi faktor habitat serta sebaran areal yang penting bagi keberlanjutan populasi di areal TNGHS. Data dan hasil dari penelitian ini dapat dijadikan dasar dari model pengelolaan satwa liar dalam hal ini EJ yang berdasar pada faktor habitat sehingga dalam pelaksanaannya mampu mencapai sasaran yang lebih terarah. Kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Perumusan Masalah 1.3.

Habitat yang sesuai bagi satu spesies berbeda dengan spesies lainnya, hal ini disebabkan kerena masing-masing spesies memiliki karakteristik komponen

(17)

4

habitat yang berbeda untuk mendukung kehidupannya (Alikodra 2002). Dengan demikian, dalam pengelolaan satwaliar yang berkelanjutan, harus berdasarkan karakter habitat yang sesuai dengan karakter dari satwaliar tersebut sehingga dalam pelaksanaannya akan lebih efektif dan terarah.

Strategi dan rencana aksi konservasi EJ telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kehutanan nomor P-58 tahun 2013. Strategi dan rencana aksi tersebut telah mencakup berbagai stakeholder seperti lembaga penelitian, lembaga pemerintah dan non pemerintah, serta lembaga pelaksana teknis di lapangan. Salah satu sasaran dalam pelaksanaan rencana aksi adalah dengan mempertahankan populasi dan habitat EJ di seluruh Pulau Jawa. Oleh karena itu, populasi, distribusi serta karakteristik habitat EJ mutlak diperlukan guna menentukan kebijakan dalam perencanaan maupun manajemen konservasi.

Mengingat pentingnya pengetahuan mengenai habitat EJ, maka studi mengenai model karakteristik dan sebaran habitat EJ sudah mulai dilakukan. Terdapat beberapa metode untuk penentuan model karakteristik dan sebaran habitat. Syartinilia et al. (2008) menggunakan metode analisis regresi logistik untuk menduga sebaran habitat EJ di Pulau Jawa. Penelitian lainnya dilakukan oleh Cahyana (2010) menggunakan metode analisis skoring PCA untuk menduga sebaran kesesuaian habitat EJ di Kabupaten Ciamis bagian utara. Perbedaan metode analisis yang dipakai tentunya mempengaruhi hasil yang didapat.

Berdasarkan model kesesuaian habitat hasil penelitian Syartinilia et al. (2008), areal TNGHS tidak termasuk ke dalam habitat yang sesuai bagi EJ, hal ini bertentangan dengan hasil ekstrapolasi data Raptor Indonesia (2000) yang menyebutkan bahwa jumlah perkiraan populasi EJ di kawasan Gunung Halimun-Salak adalah 23-33 pasang (Permenhut 2013). Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu dikaji dalam mengidentifikasi karakteristik dan kesesuaian habitat bagi EJ khususnya di areal TNGHS, diantaranya adalah dengan menggunakan metode pemodelan kesesuaian habitat yang berbeda dan spesifik pada areal tersebut.

Tujuan 1.4.

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui model sebaran habitat EJ di areal penelitian. 2. Mengetahui variabel habitat yang mempengaruhi sebaran EJ.

Manfaat 1.5.

(18)

5

II.

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu 2.1.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari – Agustus 2014. Lokasi penelitian berada pada kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) dan sekitarnya dengan total luas areal 435,596.66 Ha. Areal fokus pengambilan data berada di bagian timur TNGHS. Pemilihan areal fokus penelitian dipilih berdasarkan peluang perjumpaan EJ yang relatif tinggi dari hasil survey dan observasi terdahulu. Selain dari itu, lokasi areal fokus penelitian memiliki kondisi habitat dan aktivitas manusia yang beragam dan diharapkan dapat mewakili dari seluruh areal penelitian. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

Alat dan Bahan 2.2.

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut :

1. Global Positioning System (GPS) yang digunakan untuk mengetahui posisi titik tempat pengambilan data.

2. Kompas, digunakan untuk mengetahui posisi objek (EJ) dari pengamat. 3. Kamera digital, digunakan untuk keperluan dokumentasi.

4. Alat pencatat waktu (jam). 5. Binokuler/monokuler.

6. Rangefinder, digunakan untuk mengetahui jarak objek terhadap pengamat.

7. Seperangkat komputer beserta software ArcGIS 10.1, SPSS 20, FCD mapper dan software penunjang lainnya

(19)

6

menggunakan data citra lansat, peta topografi, peta kontur, peta penutupan lahan, peta rupa bumi Indonesia, peta iklim mikro di lokasi penelitian. Variabel yang digunakan dalam penelitian serta sumber data dapat dilihat pada Lampiran 14.

Metode Pengumpulan Data 2.3.

2.3.1. Kegiatan Pendahuluan

Kegiatan pendahuluan meliputi :

a. Orientasi lapangan, kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui informasi mengenai daerah penelitian baik melalui survey lapangan maupun melalui wawancara dengan masyarakat di sekitar lokasi penelitian.

b. Kajian pustaka, kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan literatur dan informasi yang berkaitan dengan penelitian diantaranya mengenai history sebaran EJ di areal penelitian, serta pemodelan yang sudah dilakukan.

c. Pengidentifikasian dan pengolahan peta faktor habitat yang diduga mempengaruhi sebaran EJ di lokasi penelitian. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi wilayah penelitian serta untuk penentuan daerah-daerah yang akan dijadikan sebagai plot sampel untuk pengambilan data.

2.3.2. Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam pemilihan lokasi dan pengambilan data diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Metode Titik

Metode titik dilakukan dengan menentukan titik pengamatan pada areal fokus penelitian. Penentuan titik pengamatan ditentukan dari hasil survey pendahuluan dimana lokasi tersebut terdapat populasi EJ. Terdapat tujuh titik utama penelitian dengan total 64 titik perjumpaan EJ. Sebaran titik perjumpaan EJ di lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 11. b. Metode Eksplorasi Lapang

Metode ini dilakukan untuk mengetahui posisi atau keberadaan EJ dalam wilayah penelitian dengan cara menjelajahi wilayah fokus penelitian. Metode eksplorasi dilakukan untuk mengetahui keberadaan EJ yang tidak terdeteksi pada titik pengamatan.

Analisis Data dan Peta 2.4.

2.4.1. Analisis Peta

Terdapat 10 variabel habitat yang dijadikan parameter untuk membangun model kesesuaian habitat EJ. Variabel-variabel tersebut dipilih dengan mempertimbangkan pendekatan karakter habitat EJ yang dapat terukur secara spasial. Variabel-variabel tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan Principle Component Analysis (PCA) guna mendapatkan skor atau bobot untuk menduga kesesuaian habitat EJ pada areal penelitian. Tahapan alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

2.4.1.1.Peta Forest Canopy Density (FCD)

(20)

7 (NDVI), Leaf Area Index (LAI), dan Forest Canopy Density (FCD). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan FCD karena memiliki tingkat akurasi yang cukup tinggi untuk menduga klasifikasi kerapatan hutan (Nugroho 2012).

Peta FCD merupakan peta dugaan kerapatan kanopi hutan. Metode pendugaan FCD adalah menggabungkan Vegetation Index (VI), Bare Soil Index (BI), Shadow Index (SI), dan Thermal Index (TI) pada analisis citra landsat untuk mendapatkan gambaran nilai kerapatan kanopi di suatu lokasi (Rikimaru 2002). Berikut persamaan masing-masing indeks.

a. Vegetation Index (VI)

Terdapat tiga indeks yang digunakan untuk menduga VI yaitu :

Normalized Differential Vegetation Index (NDVI) = (Near Infra Red-Red) / (Near Infra Red+Red);

Advanced Vegetation Index (AVI) = (Near Infra Red x (256-Red) x (Near Infra Red-Red) + 1)1/3, 0 < (Near Infra Red-Red) (ITTO/JOFCA 2003);

Advanced Normalized Vegetation Index (ANVI ) adalah indeks sintetik dari NDVI dan AVI menggunakan Principal Component Analysis.

b. Bare Soil Index (BI)

Persamaan untuk mengetahui BI adalah :

BI = ((MIR+R) - (B+NIR)) / ((MIR+R) + (B+NIR)); dimana:

NIR = Near Infra-Red Band dan MIR = Middle Infra-Red Band c. Shadow Index (SI)

Persamaan untuk SI adalah :

SI = ((256-B) x (256-G) x (256-R))1/3

dimana B= band biru, G = band hijau dan , R = band merah d. Thermal Index (TI)

TI diketahui dengan cara mengkalibrasi nilai band thermal pada peta citra. Nilai FCD didapatkan dari persamaan :

FCD = (VD x SSI+1)1/2 -1

Dimana nilai VD adalah Vegetation Density atau kerapatan tutupan vegetasi per pixel dihitung dengan Principal Component dari VI dan BI, dan dikalibrasi dengan minimum dan maximum tutupan vegetasi. Sedangkan nilai SSI merupakan nilai kalibrasi dari Shadow Index pada areal berhutan. Alur atau skema pembuatan kelas FCD dapat dilihat pada Gambar 3.

(21)

8

Gambar 3. Diagram alur pemuatan Forest Canopy Density (FCD) 2.4.1.2.Peta Ketinggian

Menurut beberapa penelitian (van Balen et al. 1999; Setiadi et al. 2000), distribusi EJ tersebar dari hutan dataran rendah sampai pegunungan dengan dengan jumlah penyebaran terbesar pada ketinggian 500–1,000 m dpl. Pendekatan spasial untuk mengetahui sebaran ketinggian (KG) di lokasi penelitian adalah berdasarkan peta raster DEM-SRTM dengan resolusi peta 90 m. Ketinggian di lokasi penelitian berkisar antara 0-2,200 mdpl. Peta sebaran ketinggian di lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.

2.4.1.3.Peta Kelerengan

Tingkat kelerengan atau kemiringan lereng memiliki pengaruh terhadap keberadaan EJ. Syartinilia (2009) menggunakan kemiringan lereng sebagai salah satu variabel yang berpengaruh dalam membangun model habitat EJ. Penelitian Prawiradilaga (2006), menunjukkan bahwa pohon sarang yang digunakan oleh EJ berada pada tingkat kelerengan yang tinggi antara 54° -86°.

Peta kelerengan (KL) atau slope di lokasi penelitian didapatkan dari hasil analisis turunan peta raster DEM-SRTM dengan resolusi 90 m dengan menggunakan tool surface pada software arcmap. Varian data kelerengan merupakan derajat kemiringan lahan. Rentang kelerengan di lokasi penelitian

(22)

9 berkisar antara 0°-90°. Peta kelerengan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2.

2.4.1.4.Peta Arah Lereng

Arah lereng berkaitan erat dengan intensitas radiasi cahaya matahari pada areal tertentu. Pada areal perbukitan dan pegunungan yang memiliki tingkat kemiringan lereng yang cukup tinggi, areal lereng yang menghadap timur cenderung memperoleh intensitas cahaya matahari lebih banyak dibandingkan dengan areal lereng yang menghadap ke barat. EJ merupakan satwa yang beraktivitas pada siang hari (diurnal) antara pukul 07.00 sampai dengan 16.30 (Prawiradilaga 2006). Hasil observasi Sozer & Nijman (1995) menyatakan bahwa pada pagi hari EJ mulai terbang soaring dengan memanfaatkan udara panas (thermal) dari pemanasan sinar matahari pada suatu areal. Oleh karena itu, cahaya matahari menjadi salah satu faktor penting dalam aktivitas EJ.

Peta sebaran arah lereng (AL) didapatkan dari hasil analisis aspec berdasarkan peta raster DEM-SRTM 90 m pada software arcmap. Data atau varian dari variabel arah lereng adalah derajat terhadap utara dengan selang data 0-3600. Peta arah lereng di lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 3.

2.4.1.5.Peta Curah Hujan

Elang jawa lebih cenderung menyukai areal dengan curah hujan yang relatif tinggi. Penelitian Sozer & Nijman (1995) menunjukkan bahwa EJ lebih menyukai lokasi hutan yang memiliki lebih dari 30 hari hujan dalam empat bulan musim kemarau (122 hari).

Peta sebaran curah hujan (CH) diperoleh dari peta raster bioclimatic (http://www.worldclim.org/) dengan resolusi 1 Km2. Penurunan ukuran pixel dilakukan dengan metode interpolasi menggunakan inverse distance weighted (IDW) berdasarkan titik tengah dari pixel sebelumnya. Varian data curah hujan adalah mm/tahun. Curah hujan di lokasi penelitian berkisar antara 2,547-4,379 mm/tahun. Peta curah hujan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 5. 2.4.1.6.Peta Sebaran Suhu

Suhu atau temperatur merupakan faktor yang penting pada wilayah biosfer, karena berpengaruh besar terhadap segala bentuk kehidupan. Setiap organisme memiliki selang temperatur optimum dimana kegiatan harian organisme tersebut berjalan secara normal. Perubahan temperatur atau suhu dari keadaan yang normal dapat menyebabkan perubahan struktur biotik (Alikodra 2002). Beberapa jenis elang memanfaatkan suhu udara (thermal) untuk meminimalkan energi pada saat terbang soaring (Li 2008). Pada EJ, soaring dilakukan untuk mengintai mangsa yang berada di antara kanopi dan tajuk pohon (Sozer & Nijman 1995).

(23)

10

(24)

11

2.4.1.7. Peta Sebaran Sungai

Air hujan membawa mineral tanah serta bahan organik ke sungai. Penelitian Hadi (2002) menyatakan bahwa keanekaragaman tumbuhan di sekitar sungai lebih tinggi dibandingkan dengan areal punggungan. Keanekaragaman tumbuhan di suatu lokasi biasanya diikuti oleh keanekaragaman satwa didalamnya termasuk jenis-jenis pakan EJ.

Peta sebaran sungai didapatkan dari peta hidrografi dalam Peta Rupabumi Indonesia (RBI) Badan Informasi Geo-Spasial (BAKOSULTANAL). Peta jarak dari sungai (JS) merupakan hasil ekstrapolasi menggunakan metode Euclidean distance pada software arcmap. Bentuk satuan varian data jarak dari sungai adalah meter. Jarak dari sungai pada lokasi penelitian berkisar antara 0-2,089 m. Peta jarak dari sungai di lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 7.

2.4.1.8.Peta Sebaran Jalan

Jalan merupakan tempat untuk lalu lintas manusia sebagai sarana penghubung antar tempat. Selain dari itu, jalan merupakan salah satu sarana bagi manusia untuk mengakses sumberdaya, oleh karenanya, tingkat aktivitas manusia pada areal ini cukup tinggi dibandingkan dengan daerah lain yang tidak terdapat jalan. Keberadaan jalan merupakan salah satu pendorong terjadinya deforestasi dan fragmentasi habitat akibat aksesibilitas yang mudah. Kerusakan dan degradasi hutan termasuk perubahan hutan menjadi perkebunan, padang rumput, dan areal budidaya lainnya merupakan ancaman paling utama bagi EJ (Sozer & Nijman 1995)

Peta sebaran jalan didapatkan dari peta transportasi dan utilitas dalam Peta Rupabumi Indonesia (RBI) Badan Informasi Geo-Spasial (BAKOSULTANAL). Peta jarak dari jalan (JJ) merupakan hasil ekstrapolasi menggunakan metode Euclidean distance pada software arcmap. Bentuk satuan varian data jarak dari jalan adalah meter. Jarak dari jalan pada lokasi penelitian berkisar antara 0-7,604 m. Peta jarak dari jalan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 8.

2.4.1.9.Peta Sebaran Permukiman

Permukiman merupakan daerah tempat bermukim dimana merupakan pusat dari aktivitas manusia. Semakin dekat jarak dengan permukiman maka aktivitas manusia semakin meningkat. Kawasan permukiman biasanya memiliki tutupan vegetasi serta keanekaragaman satwa yang rendah. Akan tetapi, berdasarkan hasil observasi Sozer & Nijman (1995), EJ kadang dijumpai pada habitat yang rendah seperti tegakan jati, perkebunan dan permukiman. Oleh karena itu, variabel sebaran permukiman dimasukkan kedalam salah satu variabel penentu kesesuaian habitat EJ.

(25)

12

2.4.1.10.Peta Kepadatan Penduduk

Kepadatan penduduk berkaitan dengan kebutuhan sumberdaya seperti ruang dan kebutuhan pokok lainnya. Dengan mengetahui sebaran kepadatan penduduk, maka akan diketahui kecenderungan kebutuhan sumberdaya serta tekanan terhadap habitat EJ.

Peta sebaran kepadatan penduduk didapatkan dari hasil interpolasi menggunakan inverse distance weighted (IDW) berdasarkan titik tengah dari tiap desa dengan acuan jumlah penduduk pada tiap desa. Data populasi penduduk didapatkan dari data kependudukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tahun 2014. Jumlah penduduk (JP) di areal penelitian berkisar antara 300-20,453 individu. Peta sebaran kepadatan penduduk di lokasi penelitian dapat dilihat Lampiran 11.

2.4.2. Model Skoring Principle Component Analysis (PCA)

Analisis PCA dilakukan untuk mengetahui dan mengidentifikasi adanya hubungan antar beberapa variabel untuk mendapatkan variabel baru yang tidak saling berhubungan (Santoso 2002). Pada beberapa penelitian (Dewi 2005, Nursal 2007, Kastanya 2001), analisis PCA dapat dijadikan acuan dalam penentuan skor atau bobot variabel untuk menduga tingkat kesesuaian habitat pada suatu spesies. Pemodelan kesesuaian habitat pada EJ menggunakan PCA sebangai acuan untuk menentukan bobot pada tiap variabel yang diujikan.

Total jumlah titik perjumpaan EJ di lokasi penelitian adalah 64 perjumpaan. Titik perjumpaan tersebut dijadikan titik ikat untuk mengetahui variabel habitat yang akan diuji. Berdasarkan analisis data, dari 10 variabel yang diuji, hanya 7 variabel yang memenuhi persyaratan untuk bisa dianalisis dengan PCA (nilai Measures of Sampling Adequacy (MSA) > 0.5). Variabel arah lereng, jarak dari sungai, dan kelerengan memiliki nilai MSA < 0.5 yang berarti variabel tersebut tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dianalisis lebih lanjut. Nilai MSA pada masing masing veriabel dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai MSA pada tiap variabel yang diuji. Variabel MSA

(26)

13 cenderung memiliki keterkaitan serta mengelompok pada faktor satu (PC1), sedangkan variabel curah hujan, dan jumlah penduduk termasuk ke dalam kelompok faktor 2 (PC2). Nilai factor loadings atau keterkaitan tiap variabel terhadap faktor baru yang terbentuk dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Nilai eigenvalues terhadap masing-masing PC yang terbentuk.

Component

Initial Eigenvalues Extraction Sums of Squared Loadings

Angka eigenvalues menunjukkan kepentingan relatif masing-masing faktor dalam menghitung varians dari ketujuh variabel yang dianalisis. PC1 memiliki nilai eigenvalue 3.781 atau memiliki keterwakilan varian semua variabel sebesar 54.014%. sedangkan PC2 memiliki nilai eigenvalue 1.489 atau memiliki keterwakilan varian 21.268%. Nilai eigenvalue atau nilai keterwakilan tiap PC dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 3. Nilai factor loadings pada tiap variabel terhadap masing-masing PC Variabel PC 1 2 untuk menduga komposisi varian data seluruh variabel habitat yang sesuai bagi EJ. Dengan demikian, persamaan nilai skor kumulatif (SK) kesesuaian habitat EJ adalah sebagai berikut :

SK= 3.781(PC1) + 1.489(PC2)

(27)

14

Tabel 4. Bobot dan konstanta tiap variabel Variabel PC1 PC2

Berdasarkan nilai bobot tersebut maka bentuk persamaan untuk setiap PC adalah sebagai berikut :

PC1 = 3.530324 - 0.000061(CH) - 0.003129(FCD) - 0.000441(JJ) + 0.00023(KP) + 0.000626(JP) - 0.033565(SH) + 0.002140(KG) PC2 = 3.034688 + 0.000979(CH) + 0.021300(FCD) 0.000137(JJ)

-0.000608(KP) - 0.000074(JP) + 0.012802(SH) - 0.000539(KG) Berdasarkan persamaan yang telah terbentuk, maka didapatkan nilai skor kumulatif kesesuaian habitat pada areal penelitian antara -2.64 sd 2.73. Nilai tersebut kemudian dibagi menjadi tiga kelas kesesuaian yaitu kelas kesesuaian rendah (KR), kelas kesesuaian sedang (KS), dan kelas kesesuaian tinggi (KT). Rentang nilai skor kumulatif pada kelas KR antara (-2.64)-(-0.85), kelas KS antara (-0.86)-(0.94), dan kelas KT antara (0.95)-(2.73).

Validasi Model 2.5.

Validasi model dilakukan untuk mengetahui tingkat kepercayaan atau ketepatan model yang dibuat. Berdasarkan hasil validasi dengan menggunakan 25 titik perjumpaan terhadap model yang didapat diketahui bahwa 18 titik perjumpaan (72%) berada pada kelas KT, 6 titik (24%) berada pada kelas KS, dan 1 titik (4%) berada pada kelas KR. Proporsi sebaran titik perjumpaan EJ tersebut menggambarkan model yang terbentuk memiliki tingkat akurasi yang cukup tinggi (72%).

Uji Beda Kelas Kesesuaian EJ 2.6.

Uji beda dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan rata-rata pada tiap kelas kesesuaian habitat EJ. Proses pengujian varian data dilakukan dengan metode one way anova dengan hipotesis :

(28)

15

III.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Model Kesesuaian Habitat EJ 3.1.

Berdasarkan peta kesesuaian haitat EJ yang telah terbentuk, maka didapatkan nilai kesesuaian habitat pada seluruh areal penelitian antara -2.64 sd 2.73. Rentang nilai tersebut kemudian dibagi menjadi tiga kelas kesesuaian yaitu kesesuaian rendah (KR) dengan nilai rentang (-2.64) – (-0.85), kesesuaian sedang (KS) dengan nilai rentang (-0.86) – 0.94, dan kesesuaian tinggi (KT) dengan nilai rentang 0.94 – 2.73. Total luasan areal yang dianalisis adalah 435,596.66 ha dengan proporsi 66.5% areal termasuk kedalam KR, 18.07% termasuk kedalam KS, dan 15.39% termasuk kedalam KT (Tabel 5). Proporsi tersebut menunjukan bahwa hanya sebagian kecil habitat yang sesuai bagi keberlangsungan populasi EJ di areal penelitian.

Tabel 5. Luas dan proporsi kelas kesesuaian EJ di areal penelitian Kelas Kesesuaian Luas (Ha) Proporsi (%)

Rendah 289,865.60 66.54 Sedang 78,701.67 18.07 Tinggi 67,029.39 15.39

Model yang terbentuk menunjukkan areal dengan kelas KT bagi EJ 94.43% berada pada kawasan TNGHS. Hal ini mengindikasikan bahwa TNGHS merupakan areal yang sangat penting bagi keberadaan EJ pada seluruh areal penelitian. Diperkirakan populasi EJ di areal TNGHS sebanyak 23-33 pasangan yang merupakan jumlah perkiraan populasi EJ terbanyak di seluruh Jawa (Permenhut, 2013). Berdasarkan observasi yang telah dilakukan di kawasan TNGHS, perjumpaan EJ tercatat di hampir seluruh kawasan termasuk areal perkebunan teh Nirmala (Kuswandono et al. 2003, van Balen 1999, Gjershaug et al. 2004). Kawasan TNGHS merupakan hutan hujan tropis terluas di Pulau Jawa. Berdasarkan peta tutupan lahan (Dephut 2011), kawasan TNGHS didominasi oleh tipe hutan lahan kering sekunder, hutan lahan kering primer, serta hutan tanaman. Komposisi tipe hutan tersebut teridentifikasi merupakan habitat yang disukai oleh EJ (Prawiradilaga 2006, Nijman 2003, Kuswandono et al. 2003, Sozer 1995).

(29)

16

serta titik perjumpaan langsung EJ. Hal ini mengakibatkan teridentifikasinya areal-areal habitat yang tidak teridentifikasi pada model sebelumnya.

Total areal pengelolaan TNGHS memiliki luas areal sekitar 105.100 ha, 63,3% areal termasuk kedalam kelas KT, 29.71% termasuk kelas KS, dan 10.11% termasuk kelas KR (Tabel 6). Secara umum, sebaran areal kelas KT di areal TNGHS terbagi menjadi 4 patches yang saling terpisah yaitu areal Gunung Salak (9,298.25 ha), areal Pegunungan Halimun (50,307.79 ha), areal Gunung Endut (2,349.83 ha), dan areal Gunung Talaga (334.85 ha). Areal Pegunungan Halimun merupakan habitat utama EJ karena mencakup 80.7% dari total keseluruhan areal KT di TNGHS. Jarak patch paling jauh adalah areal Gunung Talaga dengan jarak dari patch utama 8.4 km, areal Gunung Salak 3 km, dan yang terdekat adalah areal Gunung Endut sejauh 0.4 km. Peta sebaran kelas kesesuaian serta patches habitat dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.

Tabel 6. Luas dan proporsi kelas kesesuaian EJ di kawasan TNGHS Kelas Kesesuaian Luas (Ha) Proporsi (%)

Rendah 10,638.90 10.114

Sedang 31,251.06 29.71

Tinggi 63,296.91 60.175

Habitat yang terfragmentasi merupakan salah satu ancaman bagi kelestarian EJ karena terjadi isolasi populasi yang berdampak pada penurunan kualitas genetik karena inbreeding (Sozer 1995). Mengacu pada wilayah jelajah (Gjershaug et al. 2004) dan jarak antar patch, areal habitat EJ di Gunung Talaga memiliki tingkat ancaman yang paling tinggi karena memiliki areal yang kecil serta jarak dari patch lainnya yang cukup jauh.

(30)
(31)

18

(32)

19

Karakteristik Habitat EJ 3.2.

Berdasarkan hasil uji beda menggunakan one way anova (Tabel 7) terhadap variabel habitat berdasarkan kelas kesesuaian, menunjukkan bahwa ketiga kelas kesesuaian habitat yang terbentuk memiliki varian variabel yang berbeda secara nyata. Hal ini menandakan bahwa ketiga kelas kesesesuaian memiliki karakter tersendiri yang spesifik dan berbeda dengan yang lainnya. Pada kelas kesesuaian tinggi, varian data berkelompok pada selang tertentu yang menggambarkan karakteristik habitat EJ yang spesifik. Nilai rata-rata varian data setiap variabel pada kelas KT serta dilihat pada Tabel 8.

Tabel 7. Hasil analisis anova untuk ketiga kelas KT Variabel F Sig.

Habitat yang sesuai bagi satu spesies berbeda dengan spesies lainnya, hal ini disebabkan kerena masing-masing spesies memiliki karakteristik komponen habitat yang berbeda untuk mendukung kehidupannya (Alikodra 2002). Pada EJ di lokasi penelitian, karakteristik habitat diidentifikasi dengan rentang pengelompokkan varian data pada tiap variabel yang berada dalam kelas KT (Gambar 7-Gambar 13). Variabel tersebut merupakan tujuh variabel yang digunakan dalam pembentukan model.

(33)

20

Variabel yang paling berpengaruh terhadap model kesesuaian habitat EJ dalam penelitian ini dilihat berdasarkan nilai factor loadings atau nilai korelasi tertinggi pada PC1 yang memiliki nilai keterwakilan terhadap populasi data terbesar. Diantara tujuh variabel yang dianalisis, variabel suhu (SH) dan ketinggian (KG) memiliki pengaruh terbesar terhadap model dengan nilai korelasi -0.949 dan 0.932 pada PC1. Hal ini sedikit berbeda dengan model yang dikembangkan Syartinilia (2009) dimana variabel yang berpengaruh terhadap EJ terdiri dari veriabel kemiringan lereng (slope), ketinggian (elevasi), dan NDVI (vegetasi). Pada penelitian ini, variabel SH dan KG merupakan variabel makro habitat yang erat kaitannya dengan keberadaan hutan dan tutupan vegetasi. Sebaran keberadaan hutan di lokasi penelitian hanya tersisa pada areal perbukitan dan pegunungan sehingga sebaran habitat EJ berada pada ketinggian yang relatif tinggi. Variabel SH tidak terlepas dari variabel KG dimana secara alami suhu rata-rata turun dengan bertambahnya ketinggian (van Steenis 2006).

3.2.1. Vegetasi

Beberapa penelitian yang telah dilakukan (Prawiradilaga 2006, Nijman 2003, Kuswandono et al. 2003, Sozer 1995) menyebutkan bahwa EJ lebih cenderung menggunakan tipe habitat hutan hujan tropis primer dan hutan sekunder. Kedua tipe habitat tersebut dimanfaatkan oleh EJ sebagai areal untuk berburu dan bersarang (Gjershaug et al. 2004). Dalam penelitian ini, pengukuran kelas vegetasi dilakukan dengan metode Forest Canopy Density (FCD). Nilai atau varian data dalam FCD adalah persen tutupan kanopi yang menggambarkan kondisi vegetasi di areal penelirian (Rikimaru 2002). Hasil analisis menunjukkan bahwa EJ di lokasi penelitian, cenderung menyukai areal yang memiliki tutupan kanopi sedang sampai rapat dengan rata-rata nilai FCD 68.96 ± 11.18. Sebagian besar kawasan TNGHS merupakan hutan primer dengan tutupan hutan yang rapat (Dewi 2005). Hasil pengukuran FCD di TNGHS menunjukkan bahwa areal ini memiliki tutupan vegetasi yang cukup rapat dengan rata-rata nilai FCD berada di kisaran 63 ± 14.5.

Gambar 7. Sebaran nilai FCD pada kelas KT

(34)

21 mempunyai korelasi tinggi terhadap crown indicator atau indikator tegakan yang mencerminkan dimensi vertikal dan horizontal serta kualitas tajuk. Struktur dan komposisi tegakan yang beragam merupakan salah satu indikator dari keberagaman satwa pada areal tersebut. EJ mempunyai satwa mangsa yang beragam dari jenis mamalia kecil, burung, serta reptil. Prawiradilaga (2006) menyebutkan bahwa sekurangnya terdapat 29 jenis satwa mangsa EJ yang berupa mamalia kecil, seperti jenis tupai (Tupaidae), bajing (Sciuridae), serta jenis mamalia kecil lainnya termasuk anakan monyet dan kancil (Tragulus javanicus) selain dari jenis burung dan reptil dengan proporsi yang lebih sedikit.

Peran kanopi bagi EJ juga berkaitan langsung dengan pakan dan perilaku berburu. EJ tercatat lebih sering dijumpai memangsa jenis tupai dan bajing yang hidup pada kanopi hutan. Jenis pakan kegemaran EJ secara tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku berburu. EJ lebih sering dijumpai berburu dengan cara bertengger dan mengintai mangsanya dari balik kanopi hutan yang tersembunyi. Perilaku berburu lainnya adalah dengan terbang rendah di antara kanopi secara perlahan dan menyergap mangsanya baik di pohon maupun di tanah (Prawiradilaga 2006, Sozer 1995). Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan hutan alam merupakan faktor yang penting bagi kehidupan EJ (Widodo 2004, Utami 2002).

3.2.2. Suhu dan Curah Hujan

Selain dari tutupan hutan yang rapat, EJ juga menyukai areal hutan hujan dengan curah hujan yang tinggi serta temperatur atau suhu yang relatif rendah. Penelitian Sozer (1995) menunjukkan bahwa EJ lebih menyukai lokasi hutan yang memiliki lebih dari 30 hari hujan dalam empat bulan musim kemarau (122 hari). Sebaran data SH dan CH (Gambar 8 dan Gambar 9) menunjukkan bahwa kelas KT bagi EJ di lokasi penelitian berada pada rentang CH tinggi dengan nilai rata-rata 3,883.05 ± 299.61 mm/tahun dengan SH rata-rata-rata-rata 19.93 ± 1.72 ºC.

(35)

22

Gambar 9. Sebaran nilai SH pada kelas KT

Curah hujan berpengaruh terhadap kondisi vegetasi di suatu wilayah (van Steenis 2006). Penelitian Alder (2007) menyatakan bahwa setiap kenaikan curah hujan di suatu wilayah diikuti dengan meningkatnya keragaman vegetasinya. Hal tersebut juga berlaku untuk suhu udara, berdasarkan penelitian Francis (2003), rata-rata tahunan suhu dan curah hujan berpengaruh secara signifikan terhadap keragaman angiosparmae. EJ memiliki satwa mangsa yang beragam dari jenis mamalia, burung, serta reptil (Lampiran 12). Vegetasi yang beragam tentunya menjadi jaminan bagi keberadaan satwa mangsa sekaligus keberlangsungan hidup EJ. Selain dari kondisi vegetasi, suhu atau temperatur merupakan faktor yang penting pada wilayah biosfer, karena berpengaruh besar terhadap segala bentuk kehidupan. Setiap organisme memiliki selang temperatur optimum dimana kegiatan harian organisme tersebut berjalan secara normal. Perubahan temperatur atau suhu dari keadaan yang normal dapat menyebabkan perubahan struktur biotik (Alikodra 2002).

EJ merupakan satwa yang beraktifitas pada siang hari (diurnal) antara pukul 07.00 sampai dengan 16.30 (Prawiradilaga 2006). Salah satu aktifitas yang sering dilakukan adalah terbang soaring dengan memanfaatkan udara panas (thermal) dari pemanasan sinar matahari yang dilakukan untuk mengintai mangsa yang berada di antara kanopi dan tajuk pohon (Sozer & Nijman 1995). Selain dari itu, EJ sering dijumpai terbang soaring dan terkadang bersuara untuk menandai areal teritorial dari elang lainnya.

3.2.3. Ketinggian

(36)

23

Gambar 10. Sebaran nilai KG pada kelas KT

Simbolon (1997) dalam Dewi (2005) menyebutkan bahwa di kawasan TNGHS berada pada zona collin (ketinggian di bawah 900 mdpl) yang didominasi oleh Altingia excelsa, zona sub- montana (ketinggian 1,050-1,400 mdpl) yang didominasi oleh Schima wallichii, Antidesma montanum, Eurya acuminata, Evodia aromatica, dan juga spesies-spesies dari famili Fagaceae, dan zona montana (ketinggian 1,500-1,800 mdpl) yang didominasi oleh spesies-spesies dari famili Fagaceae (Castanopsis sp., Lithocarpus sp., dan Quercus sp.). Jenis-jenis pohon tersebut umumnya merupakan jenis pohon penting yang teramati sering di manfaatkan EJ baik untuk bersarang, bertengger, maupun berburu (Lampiran 13). Selain dari itu, faktor ketinggian berkaitan erat dengan keragaman biota baik tumbuhan maupun satwa.

Ketinggian kelas KT pada EJ di TNGHS merupakan zona atau areal peralihan antara tipe hutan dataran rendah dan hutan pegunungan bawah (van Steenis 2006) yang memiliki tingkat keanekaragaman spesies yang tinggi. Comber (1990) dalam Whitten (1996) menyatakan bahwa 99% dari 217 spesies anggrek di Pulau Jawa tercatat pada ketinggian 800-1,200 mdpl. Pada selang ketinggian tersebut juga tercatat memiliki keragaman jenis tikus paling banyak dibandingkan dengan rentang ketinggian lainnya (12 jenis) yang merupakan salah satu pakan utama EJ.

3.2.4. Aktivitas Manusia

Selain dari karakteristik kondisi habitat, kualitas habitat juga dipengaruhi oleh besaran tingat gangguan terhadap habitat. Besaran tingkat gangguan ditentukan oleh tingkat toleransi atau adaptasi suatu spesies terhadap perubahan lingkungan atau habitatnya. Kerusakan dan degradasi hutan termasuk perubahan hutan menjadi perkebunan, padang rumput, dan areal budidaya lainnya merupakan ancaman paling utama bagi EJ (Sozer 1995). Pendekatan parameter yang dapat diukur untuk mengetahui tingkat gangguan terhadap EJ pada penelitian ini adalah jarak dari jalan, jarak dari permukiman dan jumlah penduduk.

(37)

24

yang jauh dari jalan. Selain dari itu, komoditas pertanian intensif yang dikembangkan biasanya berupa tanaman pangan seragam seperti sayuran dan persawahan dengan tutupan vegetasi yang sangat rendah. EJ di lokasi penelitian, bereaksi negatif terhadap keberadaan jalan. Sebaran kelas KT berada pada jarak yang cukup jauh dari jalan dengan rata-rata JJ 2,207.69 ± 1,445.86 m.

Gambar 11. Sebaran nilai JJ pada kelas KT

Gambar 12 Sebaran nilai JP pada kelas KT

(38)

25 Variabel lainnya yang dapat diukur untuk mengetahui tingkat aktifitas manusia adalah keberadaan permukiman serta jumlah penduduk. Permukiman merupakan pusat dari aktivitas manusia sehingga semakin dekat jarak dengan permukiman serta jumlah penduduknya maka tingkat aktivitas manusia semakin meningkat. Di lokasi penelitian, permukiman penduduk berkelompok pada areal tertentu dan berdekatan dengan areal pertanian intensif sehingga memiliki tutupan vegetasi yang relatif rendah. Sebaran kelas KT bagi EJ berada pada pada lokasi yang relatif jauh dari pusat aktivitas manusia serta memiliki jumlah penduduk yang relatif sedikit dengan rata-rata JP 2,727.51 ± 1,554.61 m, dan rata-rata KP 3,829.08 ± 1,504.37 m.

Kelemahan Model Kesesuaian Habitat EJ 3.3.

Metode analisis serta data yang digunakan untuk membangun model menjadi faktor utama yang mempengaruhi tingkat ketepatan serta keakuratan model yang dihasilkan. Kendala utama yang sering dijumpai dalam pemodelan spasial untuk menduga habitat pada satwaliar adalah penentuan variabel pembentuk model yang sulit diukur secara spasial. Komposisi pembentuk habitat satwaliar di alam, terdiri dari komponen bioltik serta komponen fisik. Identifikasi habitat yang ideal bagi satwaliar didasarkan dari kesatuan fungsi komponen habiatat sebagai penyedia pakan, air, dan tempat berlindung bagi satwa liar tersebut (Alikodra 2002). Pada penelitian ini, variabel yang digunakan untuk menduga kesesuaian habitat EJ hanya berdasarkan komponen pembentuk habitat khususnya kondisi fisik kawasan. Hal ini disebabkan oleh belum tersedianya data yang mewakili pada komponen biotik di lokasi penelitian.

Indikasi dampak dari pemilihan variabel pembentuk model yang hanya berdasarkan komponen fisik habitat dapat dilihat dari nilai validasi model yang memiliki tingkat ketepatan atau validitas 72%. Dengan demikian, dapat juga diartikan bahwa terdapat 28% komposisi habitat yang tidak terwakili oleh variabel yang digunakan. Hal ini dapat juga diakibatkan kurang terwakilinya titik sampel perjumpaan EJ. Tititk perjumpaan EJ yang digunakan dalam analisis hanya berasal dari areal fokus penelitian yang kemungkinan belum bisa mewakili keseluruhan areal penelitian. Kendala lain yang dijumpai pada waktu penelitian adalah titik perjumpaan EJ sebagian besar berada pada tepi hutan dimana EJ relatif lebih mudah teramati dibandingkan pengamatan di dalam tegakan hutan dengan jarak pandang yang terbatas.

Selain dari keterwakilan variabel yang diukur, metode analisis yang digunakan juga berpengaruh terhadap ketepatan model yang dibuat. Model kesesuaian habitat EJ pada penelitian ini menggunakan metode PCA untuk menentukan bobot pada tiap varibel pembentuk. Nilai bobot pada tiap variabel yang terbentuk didasarkan pada nilai eigenvalues atau nilai keterwakilan varian data dari variabel komponen habitat pembentuk. Berdasarkan hasil analisis, nilai total eigenvalues kumulatif berada pada 75.28%. Nilai ini menunjukkan bahwa model yang tebentuk mewakili dari 75.28% varian data dan terdapat 24.72% varian data yang belum terwakili. Salah satu faktor yang diduga mempengaruhi tingkat keterwakilan data pada penelitian ini adalah perbedaan rentang varian serta satuan data pada tujuh variabel pembentuk.

(39)

26

Setiap jenis menempati habitat spesifik yang sesuai dengan lingkungan yang diperlukan dalam kehidupannya (Alikodra 2002). Model habitat yang ideal adalah model yang dapat menggambarkan rentang habitat spesifik dari jenis tersebut. Pada penelitian ini, persamaan model yang dihasilkan merupakan persamaan dalam bentuk linear, sehingga rentang skor kumulatif kesesuian habitat menjadi tidak terbatas. Hal ini mengakibatkan tingkat ketepatan model menjadi riskan apabila diaplikasikan di luar areal penelitian.

Implikasi Model Terhadap Pengelolaan 3.4.

Hasil dari model analisis spasial diketahui bahwa sebagian besar areal yang memiliki tingkat kesesuaian habitat yang tinggi bagi EJ berada pada kawasan TNGHS. Oleh karena itu, kawasan TNGHS merupakan areal yang sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan EJ. Peta sebaran kelas kesesuaian EJ dalam kawasan TNGHS bisa dijadikan acuan dasar dalam strategi pelestarian. Salah satu upaya yang mungkin bisa dilakukan adalah pengamanan serta perlindungan habitat berdasarkan sebaran tingkat kesesuaian habitat yang telah diketahui. Upaya lain yang bisa dilaksanakan adalah pengelolaan habitat dengan cara rehabilitasi dan pengkayaan habitat pada areal yang memiliki kelas kesesuaian habitat rendah dan sedang yang diharapkan mampu menambah jumlah populasi EJ guna mencapai program peningkatan populasi 3% spesies terancam punah dari pemerintah. Terdapat sekitar 41,000 ha atau 39.9% kawasan yang memiliki tingkat kesesuaian rendah dan sedang di kawasan TNGHS, kawasan tersebut dapat dijadikan prioritas pengelolaan dalam peningkatan kualitas habitat pada EJ. Selain dari itu, upaya rehabilitasi dan pengkayaan habitat diharapkan mampu menghubungkan kantung-kantung habitat EJ sehingga mengurangi resiko fragmentasi habitat di areal TNGHS.

Upaya lainnya yang sudah dilaksanakan adalah program pelepasliaran EJ dan jenis elang lainya dari pusat-pusat rehabilitasi satwa. Kendala yang sering dijumpai adalah penentuan lokasi atau areal pelepasliaran, dimana informasi dasar mengenai karakteristik habitat masih bersifat deskriptif dan sulit diaplikasikan di lapangan. Dengan adanya penelitian mengenai karakteristik dan pemodelan spasial kesesuaian habitat ini diharapkan mampu dijadikan acuan dalam proses identifikasi habitat bagi areal pelepasliaran.

(40)

27

IV.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 4.1.

Terdapat dua kesimpulan dalam penelitian ini :

1. Model kesesuaian habitat EJ yang terbentuk menunjukkan areal dengan kelas KT bagi EJ sebagian besar (94.43%) berada pada kawasan TNGHS. Hal ini mengindikasikan bahwa TNGHS merupakan areal yang sangat penting bagi keberadaan EJ.

2. Variabel yang mempengaruhi sebaran EJ di lokasi penelitian adalah ketinggian, FCD, curah hujan, suhu, jarak dari jalan, jarak dari pemukiman, dan kepadatan penduduk. EJ di lokasi penelitian cenderung menyukai habitat hutan perbukitan yang cukup basah dan sejuk dengan tingkat gangguan atau aktifitas manusia yang relatif sedikit dibandingkan dengan lokasi lainnya.

Saran 4.2.

1. TNGHS merupakan areal yang sangat penting bagi keberadaan EJ. Guna menjaga kelestarian populasi EJ, maka areal-areal yang merupakan habitat utama bagi EJ khususnya di dalam kawasan TNGHS perlu tetap dipertahankan dan dilestarikan.

2. Terdapat empat patch areal dengan kesesuaian habitat tinggi bagi EJ di areal TNGHS yang saling terpisah. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk menghubungkan tiap kantung habitat tersebut agar keragaman genetik EJ tetap terjaga. Salah satu upaya yang mungkin dilakukan adalah dengan pengkayaan jenis vegetasi pada areal dengan kesesuaian habitat sedang dan rendah mengingat vegetasi merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi sebaran EJ.

(41)

28

V.

DAFTAR PUSTAKA

Alder, P.B., J.M. Levine. 2007. Contrasting relationships between precipitation and species richness in space and time. Oikos. 116: 221-232.

Alikodra, H.S. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Braunisch, V, K. Bollmann, Roland F. G, A. H. Hirzel. 2008. Living on the edge—modelling habitat suitability for species at the edge of their fundamental niche. Ecological Modelling 214: 153–167.

Cahyana, AN. 2009. Pemodelan Spasial Habitat Elang Jawa (Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924), Elang Hitam (Ictinaetus malayanus Temminck, 1822), dan Elang-Ular Bido (Spilornis cheela Latham, 1790) dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Ciamis Bagian Utara. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Dale, V.H, PJ. Mulholland, LM. Olsen, JW. Feminella, KO. Maloney, DC. White, A. Peacock, 3 and T. Foster. 2004. Selecting a suite of ecological indicators for resource management. ASTM International.3-17.

Dewi, H. 2005. Tingkat Kesesuaian Habitat Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Tesis. Sekolah Pascasrjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Ferrier, S. & Watson, G. 1996. An Evaluation of the Effectiveness of Environmental Surrogates and Modelling Techniques in Predicting The Distribution of Biological Diversity. Armidale, Australia: Environment Australia.

Francis, AP. dan David, JC. 2003. A globally consistent richness-climate relationship for angiosperms. The American Naturalist. 161(4): 523–536. Galbraith, H., J. Price, M. Dixon and J. Stromberg. 2004. Development of hsi

models to evaluate risks to riparian wildlife habitat from climate change and urban sprawl. ASTM International.148-168.

Gjershaug JO, Røv N, Nygård T, Prawiradilaga DM, Afianto MY, Hapsoro & Supriatna A. 2004. Home-range size of the javan hawk-eagle (Spizaetus bartelsi) estimated from direct observations and radiotelemetry. J. Raptor Res. 38:343-349.

Graham CH, Ferrier S, Huettman F, Mortiz C, Peterson AT. 2004. New developments in museum based informatics and applications in biodiversity analysis. Trends Ecol Evol 19:497–503.

Hadi, A.N. 2002. Studi Karakteristik Wilayah Jelajah Owa Jawa (Hylobates moloch, Audebert 1798) di Taman Nasional Gunung Halimun (Studi Kasus di Resort Cikaniki). Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hirzel, A.H., Hausser, J., Chessel, D. & Perrin, N. 2002. Ecological-niche factor analysis: how to compute habitat-suitability maps without absence data. Ecology. 83(7): 2027–2036.

(42)

29 Hirzel, A.H., Le Lay, G. 2008. Habitat suitability modelling and niche theory.

Journal of Applied Ecology. 45: 1372–1381.

Kastanya, F. J. P. 2001. Landscape Characteristic Of Javan Hawk-Eagle Habitat’s Using Remote Sensing and GIS In Western Part Of Java. Graduate Program. Bogor Agricultural University. Bogor.

Kumar, S., Stohlgren, T.J. 2009. Maxent modeling for predicting suitable habitat for threatened and endangered tree Canacomyricamonticola in New Caledonia. Ecology and Natural Environment. 1(4), pp: 094-098.

Kuswandono. 2010. Analisis Kesenjangan dalam Pelestarian Elang Jawa (Spizaetus bartelsi). Tesis. Sekolah Pascasrjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Li YD. 2008. An Introduction to The Raptors of Southeast Asia. Singapura (SN): Nature Society.

Nijman, V. dan R. Sojer. 1998. Field identification of the javan hawk eagle Spizaetus bartelsi. FORKTAIL 14: 13-16.

Nijman, V, C. R. Shepherd, B van Balen. 2009. Declaration of the javan hawk eagle Spizaetus bartelsi as Indonesia’s National rare animal impedes conservation of the species. Fauna & Flora International. Oryx. 43(1): 122–128.

Nugroho, S. 2012. Metode Deteksi Degradasi Hutan Menggunakan Citra Satelit Landsat di Hutan Lahan Kering Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Tesis. Sekolah Pascasrjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nursal, W. I. 2004. Stand-Alone Gis Application for Wildlife Distribution And Habitat Suitability (Case Study: Javan Gibbon, Gunung Salak, West Java). Graduate Program. Bogor Agricultural University. Bogor.

[PerMenhut] Peraturan Menteri Kehutanan P.58/Menhut-II/2013 tentang Strategi Dan Rencana Aksi Konservasi Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) Tahun 2013-2022.

Phillips, S.J. 2004. A maximum entropy approach to species distribution modeling. Proceedings of the Twenty-First International Conference on Machine Learning. ACM Press, New York, pp. 472-486.

Phillips, S.J. RP. Andersonb, RE. Schapired. 2006. Maximum entropy modeling of species geographic distributions. Ecological Modelling. 190: 231-259. Phillips, S.J., Dudic, M. 2007. Modeling of species distributions with maxent:

new extensions and a comprehensive evaluation. Ecography. 31: 161-175. Prawiradilaga, D. M. 2006. Ecology and conservation of endangered javan hawk-eagle Spizaetus bartelsi. The Ornithological Society of Japan. Ornithol Sci 5: 177–186.

Rikimaru, A. 2003. Concept of FCD Mapping Model and Semi-Expert System. Japan: Overseas Forestry Consultants Association.

Santoso, S. 2002. Buku Latihan Statistik Multivariat. PT Elex Media Komputindo, Jakarta.

(43)

30

Sözer R & Nijman V (1995) Behavioural Ecology, Distribution and Conservation of The Javan Hawk-Eagle Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924. Verslagen en Technische Gegevens 62: 1–122.

Supriatna, AA. 2006. Dasar-Dasar Pengetahuan Burung Pemangsa (raptor). Makalah presentasi di Pusat Primata Schmutzer – TMR.

Supriatna, A. A, U. Suparman. 2006. Observation on nests of Ictianetus malayensis found in Java. Indonesian Environmental Information Center (PILI-NGO Movement).

Syartinilia,.Tsuyuki, S. 2008. GIS-Based modeling of javan hawk-eagle distribution using logistic and autologistic regression models. Biological Conservation. 141: 756-769.

Syartinilia., Tsuyuki, S., Lee, J.S. 2009. Gis-Based habitat model of javan hawk-eagle (Spizaetus bartelsi) using inductive approach in Java Island, Indonesia. Conservation and Biodiversity. 302-312.

Utami, BD. 2002. Kajian Potensi Pakan Elang Jawa (Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924) di Gunung Salak. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

van Balen, S; V. Nijman and R. Sozer. 1999. Distribution and conservation of javan hawk-eagle Spizaetus bartelsi. Bird Conservation International 9 : 333-349.

van Steenis,CGGJ.2006. Flora Pegunungan Jawa. Terj. Pusat Penelitian Biologi

LIPI, Bogor.

Whitten T, Soeriaatmadja RE dan Afiff SA. 1996. The Ecology of Java and Bali: The Ecology of Indonesia Series, Vol. 2. Singapore: Periplus Editions. Widodo, T. 2004. Populasi Dan Wilayah Jelajah Elang Jawa (Spizaetus bartelsi

(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)

Lampiran 12. Pakan atau mangsa EJ (Permenhut, 2013)

Spesies Jumlah Pengamatan Metode Referensi Mammalia

Lesser Mouse deer 1 3 RCS, 1996-2006 unpublish;

Tragulus javanica Prawiradilaga, 2006

Common Treeshrew

(Tupaia glis) 3 1 RCS, 1996-2006 Prawiradilaga, 2006 unpublish; Ebony langur

Fruitbat (Cynopterus sp.) 2 1 RCS, 1996-2006 unpublish; Prawiradilaga, 2006 Prawiradilaga et al., 2000 Plantain Squirrel

(Callosciurus notatus)

1 1 RCS, 1996-2006 unpublish; Prawiradilaga et al., 2000 Squirrel (Callosciurus sp.) 5 1 & 2 RCS, 1996-2006,

unpublish; Prawiradilaga et al., 2000

Stink badger Mydaus

javensis 1 1 Bartels, 1924 dalam Sözer &

Nijman, 1995

(57)

Domestic Chicken Prawiradilaga et al., 2000 Emerald Dove

(Chalcophaps indica) 2 2 RCS, 1996-2006 Prawiradilaga et al., 2000 unpublish; Dove (Streptopelia sp.) 1 RCS, 1996-2006 unpublish;

2 Prawiradilaga et al., 2000 Javan Frogmouth

(Batrachostomus javensis) 1 2 Prawiradilaga et al., 2000

Woodpecker (Picus sp.) 1 1 Hadi, 2001 Prawiradilaga et al., 2000; Hadi, 2001

Lizard (Reptilia) 1 1, 3 Prawiradilaga et al., 2000 Agamid Bronchocela

jubata 1 1 Hadi (2001) Prawiradilaga,2006

Skink (Scincidae) 1 4 Prawiradilaga unpublished

Gambar

Gambar 1. Kerangka pemikiran pemodelan kesesuaian habitat EJ
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian
Gambar 3. Diagram alur pemuatan Forest Canopy Density (FCD)
Gambar 4. Tahapan dan alur kegiatan penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil meteodologi penelitian yang dilaksanakan didapatkan hasil aplikasi sistem informasi geografis mobile untuk sebaran kantor pemerintahan. Pembuatan aplikasi ini

Pengembangan sistem SMS Gateway untuk mendistribusikan informasi jadwal ujian skripsi akan mengkolaborasikan data ujian skripsi yang diinput melalui sistem Smart Campus3.

Dari hasil uji korelasi parsial terlihat nilai variabel harga yang paling besar pengaruhnya dimana hasil uji penelitian t hitung untuk variabel harga diikuti variabel

Dengan bukti audit yang cukup dan tepat, auditor sudah menekan risiko audit, namun tidak mungkin samapai ke tingkat nol, karena. adanya kendala bawaaan dalam

Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertama, Pengadilan Agama Sumenep dalam penetapan nomer 0247/Pdt.P2014/PA.Smp menolak permohonan isbat nikah berdasarkan

Hal tersebut menyatakan bahwa variabel independen dalam penelitian ini yang terdiri dari gaya kepemimpinan, kompetensi, integritas, motivasi, dan disiplin kerja

Hasil ini juga menjelaskan bahwa pemberian vitamin D pada kasus anak yang menderita pneumonia memiliki peluang penurunan suhu tubuh yang lebih baik dibandingkan