• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.7 Kesimpulan

4.6.1 Aktivitas peletakan telur D bisaltide

Berdasarkan hasil observasi pada tiga periode, total jumlah telur yang diletakkan betina D. bisaltide per periode bervariasi dan berbeda (n=3, p<0.001). Nilai koefisien keragaman sebesar 23.74%. Begitu pula dengan ulangan dalam setiap periode (n=6, p=0.002). Jumlah telur total yang diletakkan 50 pasang imago D. bisaltide pada periode November-Desember lebih banyak, yakni sebesar 15 075 butir telur, diikuti periode Juni-Juli (11 351 butir), dan periode Mei-Juni (6 016 telur). Hal ini sesuai dengan deskripsi ISU (2006), yakni populasi optimum D. bisaltide dicapai saat musim penghujan, yakni antara September sampai Juni. Di Indonesia, periode November-Desember merupakan bulan basah. Pada periode ini kelembapan sangat tinggi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kelembapan di rumah kaca lebih dari 90%, sedangkan pada periode Mei-Juni dan Juni-Juli kelembapan hanya berkisar 60%. Hal ini mengindikasikan bahwa kelembapan berpengaruh terhadap fekunditas capaian imago D. bisaltide.

Terdapat perbedaan yang nyata untuk peubah jumlah telur yang diletakkan pada 13 aksesi handeuleum. Jumlah telur yang diletakkan pada 13 aksesi di setiap periode nyata berbeda (Tabel 4.1). Jumlah telur yang diletakkan imago pada aksesi 12 menempati urutan paling bawah dan berbeda dengan aksesi lainnya baik pada periode Mei-Juni (H=29.42, p=0.003), Juni-Juli (H=33.70, p=0.001), maupun November-Desember (H=28.49, p=0.005) (Tabel 4.1). Berdasarkan pengamatan, imago meletakkan telur cukup banyak di aksesi 1, 5, dan 9. Ketiga aksesi tersebut selalu menempati urutan atas dalam jumlah telur yang diletakkan pada tiga periode pengujian. Aksesi lainnya berfluktuasi pada ketiga periode pengujian, sehingga tidak dapat ditentukan preferensi imago pada aksesi tersebut.

Tabel 4.1 Jumlah telur yang diletakkan D.bisaltide pada 13 aksesi handeuleum dalam tiga periode pengujian

Aksesi Jumlah telur (butir) Rataan

Mei-Juni Juni-Juli November-Desember

1 67.70d 143.18a 114.57a 108.48a

2 54.33d 130.14c 135.44c 106.64a

3 67.16b 82.64h 143.73h 97.84a

4 54.45c 102.19e 164.61e 107.08a

5 56.21e 117.11b 149.56b 107.63a 6 40.84 i 61.08 j 129.25j 77.06a 7 66.69g 100.10d 100.21d 89.00a 8 21.92k 119.21d 132.35d 91.16a 9 76.88a 102.85f 125.73f 101.82a 10 52.78h 86.94 i 152.35i 97.36a 11 43.27j 97.43g 148.90g 96.53a 12 7.64l 21.48k 19.05k 16.06b 13 55.76f 91.03f 119.43f 88.74a Rataan 51.20u 96.57t 125.78s

Keterangan: Kolom dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey pada α=5%. Setiap periode diuji menggunakan Kruskal-Wallis.

Pengamatan terhadap persentase jumlah telur yang diletakkan diperlukan untuk mengantisipasi bias akibat perbedaan fekunditas individu imago D. bisaltide. Persentase jumlah telur yang diletakkan imago D. bisaltide pada masing-masing aksesi terhadap total telur masing-masing periode ditampilkan pada Tabel 4.2. Berdasarkan persentase terhadap total jumlah telur yang diletakkan, jumlah telur paling sedikit diletakkan pada aksesi 12. Besarnya persentase peletakan telur pada aksesi ini hanya 1.33 % dari total telur yang diletakkan pada masing-masing periode pengujian. Besarnya persentase peletakan telur pada aksesi 6 berkisar antara 4.86 % hingga 7.75 %. Aksesi handeuleum yang memiliki persentase cukup besar sebagai tempat peletakan telur adalah aksesi 1, 5 dan 9, dengan persentase di atas 10 %. Aksesi lainnya memiliki persentase jumlah telur yang berfluktuasi pada ketiga periode pengujian. Diduga preferensi imago D. bisaltide sangat rendah pada aksesi 12 dan 6 dan tinggi pada aksesi 1, 5, dan 9.

Tabel 4.2 Persentase jumlah telur yang diletakkan D.bisaltide pada 13 aksesi handeuleum dalam tiga periode pengujian

Aksesi Persentase jumlah telur (%) Rataan Mei-Juni Juni-Juli November-Desember

1 10.17 11.41 6.87 9.48 2 8.16 10.37 8.09 8.87 3 10.09 6.58 8.62 8.43 4 8.18 8.14 9.88 8.73 5 8.44 9.33 8.98 8.92 6 6.13 4.86 7.75 6.25 7 10.02 7.97 6.16 8.05 8 3.29 9.50 7.94 6.91 9 11.55 8.19 9.33 9.69 10 7.93 6.92 9.14 8.00 11 6.50 7.76 8.94 7.73 12 1.15 1.71 1.14 1.33 13 8.38 7.25 7.16 7.60

Rojak dan Rochimat (2007) menyatakan bila D. bisaltide telah menerima tanaman inangnya, mereka akan meletakkan seluruh atau sebagian telurnya dalam satu kluster. Berdasarkan teori tersebut, maka dilakukan analisis beberapa metabolit sekunder, pigmen tanaman, unsur kalsium, serat, dan C/N rasio pada daun 13 aksesi tanaman handeuleum.

Berdasarkan pengamatan morfologi daun warna daun pada aksesi 12 berbeda dengan aksesi lainnya. Diduga hal ini menjadi dasar berbedanya jumlah telur yang diletakkan pada aksesi 12 dengan 12 aksesi lainnya. Warna tanaman mempengaruhi landing dan aktivitas peletakan telur serangga (Hirota dan Kato 2001). Hal ini dikarenakan selama proses penerimaan inang, serangga terbang, seperti lepidoptera akan menggunakan indera pengelihatan disamping penciumannya untuk mengenali tanaman inangnya (Schoonhoven et al. 2005; Reddy et al. 2009). Kristina dan Mardiningsih (2008) mengungkapkan D. bisaltide lebih menyukai handeuleum dengan warna ungu sebagai tempat untuk meletakkan telur. Morfologi daun 13 aksesi handeuleum ditampilkan pada Gambar 4.1.

Aksesi 1 Aksesi 2 Aksesi 3

Aksesi 4 Aksesi 5 Aksesi 6

Aksesi 7 Aksesi 8 Aksesi 9

Aksesi 10 Aksesi 11 Aksesi 12

Aksesi 13

Berdasarkan pengamatan visual, warna daun sebagian besar aksesi serupa. Akan tetapi hasil analisis pigmen tanaman menunjukkan adanya variasi baik konsentrasi maupun persentase pigmen antosianin, klorofil, dan karotenoid. Konsentrasi pigmen antosianin pada aksesi 1 paling tinggi, sedangkan kandungan antosianin paling rendah ditemui pada aksesi 12. Antosianin diketahui merupakan salah satu pigmen yang juga berfungsi sebagai pertahanan tanaman. Guo et al. (2008) dan Cuttriss et al. (2008) menyatakan bahwa pigmen antosianin, begitu juga karotenoid, bersifat antibiosis. Berdasarkan hal tersebut, diasumsikan bahwa daun dengan kandungan antosianin yang tinggi tidak disukai imago untuk meletakkan telur (Schoonhoven et al. 1998; Schoonhoven et al. 2005). Namun demikian, pada penelitian ini ditemukan walaupun aksesi 12 memiliki kandungan antosianin paling rendah, aksesi ini tidak dipilih imago. Sebaliknya, jumlah telur yang diletakkan aksesi 1 dan 9 yang memiliki kandungan antosianin tinggi, menempati urutan tertinggi. Diduga, antosianin digunakan D. bisaltide untuk menemukan inangnya, sehingga besarnya proporsi pigmen berpengaruh terhadap aktivitas peletakan telur oleh imago D. bisaltide.

Persentase kandungan ketiga jenis pigmen bervariasi. Aksesi 1 memiliki persentase kandungan antosianin lebih besar dibanding aksesi lainnya, sedangkan aksesi 12 memiliki persentase kandungan antosianin paling sedikit dibandingkan aksesi lainnya (Tabel 4.3). Selain kedua aksesi tersebut, 11 aksesi handeuleum lainnya memiliki proporsi pigmen antosianin : klorofil : karotenoid adalah 4:4:2.

Tabel 4.3 Persentase pigmen antosianin, klorofil, dan karotenoid pada 13 aksesi tanaman handeuleum

Aksesi

Persentase pigmen dalam tanaman (%)

Antosianin Klorofil Karotenoid

1 52.23 28.81 18.96 3 43.67 35.85 20.47 4 38.90 38.81 22.30 5 39.55 36.88 23.56 6 36.90 40.89 22.21 7 36.14 41.07 22.80 8 38.37 37.59 24.04 9 42.78 35.76 21.46 10 36.45 41.19 22.35 11 35.51 41.38 23.11 12 13.80 60.08 26.13 13 36.20 41.20 22.60

Berdasarkan data pada Tabel 4.3, diduga sifat antibiosis pada antosianin yang terkandung dalam tanaman handeuleum tidak berpengaruh terhadap D. bisaltide. Hal ini mengacu pada pernyataan beberapa peneliti (Rosenthal dan Janzen 1979; Berenbaum et al, 1989; Adler et al., 1995; Nieminen et al. 2003; Agrawal and Kurashige, 2003) bahwa beberapa zat kimia yang bersifat deterrent pada tanaman tidak berpengaruh terhadap serangga spesialis.

Kelber (1999) menyebutkan bahwa serangga umumnya memiliki reseptor yang peka pada panjang gelombang 360 nm (reseptor ultraviolet), 440 nm (reseptor biru), dan 540 nm (reseptor hijau). Sebelumnya Smith (1989) menyatakan bahwa serangga pemakan daun umumnya sensitif terhadap panjang gelombang 500-580 nm. Untuk famili Nymphalidae, Schrer dan Kolb (1987) menyebutkan bahwa aktivitas peletakan telur didapatkan pada panjang gelombang sekitar 550 nm. Di lain pihak, diketahui bahwa klorofil dapat menyerap panjang gelombang 400-450 nm dan 650- 700 nm (White dan Tollin 1971; Evan et al. 1992), sedangkan antosianin dapat menyerap panjang gelombang 550 nm. Apabila keduanya dikaitkan, maka dapat menjelaskan tingginya aktivitas peletakan telur pada aksesi dengan kandungan antosianin yang tinggi. Dugaan lain yang dapat menjelaskan fenomena tersebut di antaranya: 1) pada aksesi 12 terdapat metabolit sekunder lainnya yang menyebabkan aksesi ini tidak terpilih. 2) imago cenderung meletakkan telur pada lingkungan yang kurang sesuai bagi perkembangan larvanya untuk menghindari kompetisi intra- spesies dan inter-spesies serta menghindari serangan musuh alami.

Pada penelitian ini, imago D. bisaltide tidak selalu meletakkan telur pada tempat yang sama. Pada satu waktu imago meletakkan semua telur pada satu tanaman, namun di lain waktu imago membagi telurnya pada beberapa tanaman. Hal serupa juga ditemukan Janz et al. (2005) pada Polygonia c-album (Lepidoptera: Nymphalidae). Perbedaan tingkat preferensi pada beberapa aksesi diduga akibat ketertarikan serangga pada tanaman tertentu terjadi hanya pada waktu tertentu, bukan simultan. Dugaan tersebut didukung Thompson dan Pellmyr (1991) bahwa keputusan imago betina untuk meletakkan telur pada suatu tanaman dilakukan setelah serangga tersebut hinggap pada daun tanaman inang.

Konsisten terhadap teori bahwa kandungan fitokimia tanaman tersebar dengan konsentrasi yang bervariasi antar bagian tanaman (Rosenthal dan Janzen

1979; Taiz dan Zeiger 2002), hasil penelitian menunjukkan imago D. bisaltide cenderung meletakkan telur pada daun muda. Hasil serupa juga diperoleh pada penelitian Nozawa dan Ohgushi (2002) pada Aphrophora pectoralis (Homoptera: Aphrophoridae). Rhoades (1979) begitu pula dengan Panda dan Kush (1995) menyatakan metabolit sekunder tidak disintesis di daun muda, tetapi ditranslokasikan dari daun yang telah berkembang sempurna ke daun muda, karena sintesis metabolit sekunder pada daun muda akan menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan jaringan daun tersebut menjadi terhambat. Lebih lanjut Schoonhoven et al. (2005) menyatakan bahwa beberapa jenis metabolit sekunder bersifat autotoksin bagi tanaman. Selain itu, daun muda juga memiliki kandungan nitrogen dan air yang tinggi serta tingkat kekerasan yang lebih rendah dibandingkan daun yang telah berkembang sempurna (Raupp and Denno 1983). Dengan demikian, larva instar I yang muncul kemudian dapat dengan mudah mengkonsumsi dan mencerna jaringan lunak tanaman.

Selain karena faktor intrinsik tanaman, kondisi lingkungan mikro juga menentukan tingkat preferensi oviposisi imago terhadap bagian tertentu pada aksesi handeuleum (Gilbert, 1975; Rausher, 1978; Stanton, 1982). Grossmueller and Lederhouse (1985) menduga bahwa imago meletakkan telur pada bagian pucuk karena diduga daerah tersebut memperoleh sinar matahari yang lebih banyak.

4.6.2 Analisis hubungan pengaruh langsung dan tidak langsung karakteristik

Dokumen terkait